Skip to main content

Mentalitas yang Dibutuhkan untuk Pembangunan Indonesia

Setiap negara menginginkan warga negaranya hidup makmur dan sejahtera sebagaimana masyarakat di negara-negara maju, begitu pula dengan Indonesia. Kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia dapat dicapai dengan mengadakan pembangunan ekonomi. Namun pembangunan ekonomi di Indonesia masih mengalami kendala yang sulit untuk dicapai. Padahal Indonesia tidak kurang akan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) atau tenaga kerja yang melimpah. Tidak hanya itu, berbagai bantuan modal asing yang tidak sedikit jumlahnya sehingga dapat dengan mudah meningkatkan jumlah dan keterampilan teknologi, rupanya juga belum mampu membangun perekonomian Indonesia menjadi negara maju yang makmur dan sejahtera. Rupanya masih ada syarat-syarat lain yang belum mencukupi dalam setiap usaha membangun ekonomi.

Ahli ekonomi dari aliran klasik, David Ricardo, telah sadar akan adanya faktor-faktor susunan masyarakat yang tidak mudah dapat diperhitungkan dalam hal menganalisa masalah penduduk dalam proses perkembangan ekonomi. Ahli ekonomi lain, J. Schumpeter dalam bukunya Theorie der Wirtschaflicher Entwicklung (1911) menambahkan dua unsur lagi[1], sebagai syarat untuk memungkinkan proses perkembangan ekonomi itu. Pertama, suatu ekonomi akan berkembang jika dalam masyarakat yang bersangkutan ada suatu jumlah yang cukup besar dari tokoh-tokoh yang mempunyai bakat berusaha (entrepreneur). Kedua, suatu ekonomi akan berkembang jika dalam masyarakat ada iklim sosial budaya yang cocok untuk memungkinkan para entrepreneur itu mengambil resiko untuk berusaha. 

Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia dibutuhkan ciri-ciri mentalitas warga masyarakat yang mampu mendukung pembangunan tersebut. J. Tinbergen, ahli ekonomi Belanda, dalam sebuah buku berjudul Development Planning (1967:260), mengemukakan bahwa yang harus ada pada suatu bagian besar penduduk suatu bangsa yang ingin maju adalah[2]: Pertama, menaruh perhatian besar dan menilai tinggi benda materiil. Ciri pertama ini memberi motif dan alasan bagi suatu bangsa untuk membangun ekonominya dan melaksanakan usaha-usaha yang bersifat serba ekonomis. Kedua, menilai tinggi teknologi. Ciri yang kedua diperlukan karena pembangunan ekonomi modern berarti mekanisasi dan industrialisasi yang berdasarkan teknologi modern. Ketiga, suatu orientasi ke depan. Ciri yang ketiga dibutuhkan karena suatu bangsa yang hendak membangun ekonominya harus dapat menyisihkan tiap keuntungan yang didapatkan itu untuk investment yang bisa memungkinkannya suatu keuntungan yang jauh lebih besar lagi di kemudian hari. Keempat, suatu keberanian untuk mengambil resiko. Kelima, suatu jiwa yang tabah dalam usaha. Ciri keempat dan kelima ini terkait hal bahwa dalam sektor ekonomi setiap usaha itu baru menunjukkan hasil dalam jangka waktu yang lama dan pada permulaan seringkali ditemui kegagalan, sehingga dibutuhkan keberanian untuk memulai dan tabah dengan segala kemungkinan resiko. Keenam, kemampuan untuk bekerjasama dengan sesamanya secara berdisiplin dan bertanggung jawab. Dalam hubungan perdagangan dan transaksi-transaksi ekonomi, kepercayaan dari pihak lawannya menjadi hal penting. 

Apabila syarat-syarat dalam daftar Tinbergen kita bandingkan dengan unsur-unsur nilai budaya dan sikap manusia Indonesia, maka tampak bahwa mentalitas yang menilai tinggi aktivitas untuk mengusahakan penambahan kekayaan materiil dan kemajuan teknologi itu bertentangan dengan mentalitas manusia Indonesia yang bermental petani (peasant mentality).

Seorang ahli ekonomi Belanda, H. J. Boeke, menganggap mental petani tidak suka bekerja, bersifat statis, tidak mempunyai inisiatif, dan hanya mengandalkan kepada orang-orang yang berkedudukan lebih tinggi.[3] Hal tersebut terbukti bahwa rasio entrepreneur di Indonesia terhadap jumlah penduduk sebesar 1,6%, atau di bawah standar minimum yang seharusnya sebesar 2% sebagai syarat untuk menjadi negara yang perekonomiannya lebih maju. Jumlah pengusaha Indonesia sekitar 3,9 juta dari total 240 juta penduduk (data Badan Pusat Statistik per Februari 2013), sehingga tertinggal dalam berbagai bidang dibandingkan negara tetangga. Karena semua negara maju memiliki rasio entrepreneur di atas 5%. Seperti Singapura, rasio entrepreneur 7,2%, Jepang sekitar 10% dengan populasi 127 juta jiwa.[4] Selain itu, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat hingga 14 Maret 2013, ada 6,5 juta jumlah TKI yang bekerja di 142 negara.[5] Hal demikian menunjukkan masih rendahnya inisiatif entrepreneur dan tingginya ketergantungan masyarakat kepada orang-orang berkedudukan lebih tinggi yang masih menunjukkan adanya mentalitas petani pada masyarakat Indonesia.

Demikian pula syarat bahwa bangsa yang hendak membangun itu harus memiliki suatu orientasi ke masa depan, juga bertentangan dengan mentalitas manusia Indonesia yang hanya dapat memperhatikan hari sekarang, atau hanya merindukan masa kejayaan di masa yang lampau. Juga syarat bahwa untuk membangun itu orang harus bersifat ulet dalam hal karya dan usaha, akan terhambat oleh sikap tidak percaya kepada diri sendiri dan oleh sikap lesu dan apatis yang dimiliki masyarakat Indonesia. Kalaupun orang Indonesia, terutama orang Jawa, kadang-kadang tampak ulet, tetapi ulet dalam penderitaan, akibat unsur-unsur nrima, sabar, dan ikhlas yang dinilai tinggi itu. Sebaliknya, orang Jawa tidak ulet dalam karya dan usaha.

Kemudian syarat bahwa orang harus dapat menunjukkan suatu kemampuan kerjasama dengan sesamanya secara berdisiplin dan bertanggung jawab merupakan ciri-ciri yang justru sudah tidak dimiliki lagi oleh orang Indonesia sekarang ini. Dibuktikan dengan semakin maraknya kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang dari kalangan pejabat tinggi negara yang tidak bertanggung jawab dengan peran profesinya. Sehingga, beberapa unsur nilai budaya yang menghambat pembangunan tersebut harus mulai dirombak dan semua sikap negatif yang berkembang dalam periode kemunduran ekonomi harus dipulihkan menjadi positif kembali. 

Pemulihan mentalitas masyarakat Indonesia untuk pembangunan harus menjadi pokok perhatian. Pertama, masyarakat Indonesia harus lebih banyak berorientasi ke masa yang akan datang, belajar memperhatikan akibat dari segala tindakan kita dalam jangka waktu yang jauh ke masa depan, belajar membuat rencana-rencana yang matang dengan jangkauan yang cukup jauh ke masa depan, dan belajar dari masa lalu mengenai sebab dan dasar-dasar asasi dari kebesaran nenek moyang kita dari sudut pandang kebudayaan, ekonomi, dan susunan masyarakatnya dan mengenai sebab dan dasar-dasar kemunduran dan keruntuhan mereka. Kedua, dalam sebuah buku berjudul The Achieving Society (1961), karangan D. MCClelland, ahli psychologi, meneliti nilai budaya dalam hubungannya dengan perkembangan kebudayaan dan ekonomi, bahwa perkembangan masyarakat itu dibutuhkan suatu jumlah besar di antara warganya yang mempunyai apa yang disebut achievement motive[6], yaitu hasrat intensif untuk menghasilkan karya sebanyak mungkin, tidak untuk pengakuan masyarakat, gengsi, atau kedudukan, tetapi untuk rasa kepuasan dari dalam jiwa terhadap hasil dari kerja yang dicapai. Pemulihan mentalitas tersebut dapat dimulai dengan pendidikan pada generasi anak-anak Indonesia yang sekarang belum terlampaui terpengaruh oleh mentalitas lama dengan mengajarkan anak-anak untuk berdiri sendiri, mencapai kehendaknya dengan usaha sendiri, mengenal disiplin, dan merasakan tanggung jawab. Unsur-unsur nilai budaya tersebut dimasukkan ke dalam tema-tema bacaan anak-anak di sekolah. Selain anak-anak, generasi pemuda yang sudah terpengaruh oleh nilai-nilai lama dan generasi-generasi orang dewasa dan tua yang masih aktif dirubah mentalitasnya dengan penerangan yang intensif melalui media massa, intruksi-intruksi dari pihak atasan, atau saluran agama dalam khutbah-khutbah dan pertemuan keagamaan.



[1] Schumpeter, J. 1911. Theorie der Wirtschaflicher Entwicklung. Eine Untersuchung Uber Uternehmergewirch. Munchen-Lelbzig.
[2] Thinbergen, J. 1967. Development Planning. New York, Toronto, McGraw-Hill Book Company. (Terjemahan dari Bahasa Belanda), hlm. 260.
[3] Boeke, J. H. 1937. De Grenzen van het Indonesische Dorp, Tijdschrift van het Koninklijk NederlandschAardrijkskundig Genootschaft, LIV: hlm. 812.
[4] http://www.neraca.co.id/article/34458/Perekonomian-Indonesia-Tergantung-TeenPreneur, online: diakses pada tanggal 4 April 2015, pukul 16.29 WIB.
[6] McClelland, D. C. 1961. The Achieving Society. New York, The Press, 1961.

Daftar Pustaka:
Koentjaraningrat. 1971. Rintangan2 Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia. Jakarta: Bhratara.

Best regards, Muhammad Abdur Rozaq
Undergraduate Student of Fiscal Administration Study
Faculty of Social and Political Science University of Indonesia
E-Mail/Mobile : muh.abdurrozaq@gmail.com / 082260280185

Comments

Popular posts from this blog

Kenapa angka India menjadi angka Arab?

Kebanyakan dari kita mungkin mengira angka Arab seperti angka-angka yang tercantum di dalam Al-Qur’an. Namun pada kenyataannya angka Arab bukanlah seperti yang selama ini kita asumsikan. Angka Arab itu sendiri sebenarnya angka yang sekarang menjadi angka internasional yaitu 1, 2, 3, 4, 5, ...dst. Lalu, angka yang kita kenal sebagai angka Arab yang ada di Al Qur’an itu angka apa? Fakta yang lucu. Ketika masyarakat umum dunia menyebutnya angka Arab, tapi orang Arab sendiri justru menyebutnya sebagai angka Hindi. Angka Arab yang sebenarnya adalah angka India yaitu ١ , ٢ , ٣ , ٤ , ٥ , ٦ , ٧ , ٨ , ٩ ,١٠ . Hal ini bisa dilihat dari sejarah perkembangan evolusi tulisan angka Arab dan Hindi itu sendiri. Kenyataannya angka-angka yang kita pakai saat ini adalah keturunan dari angka India. Dan sistem angka Hindu-Arab dikembangkan oleh matematikawan India. Angka India kemudian diadopsi oleh matematikawan Persia di India, dan diteruskan lebih lanjut kepada orang-orang Arab di sebelah barat. ...

Go-Jek Indonesia dan Tantangan Lingkungan dalam Perspektif Teori Organisasi

Organisasi bisnis jasa online , dewasa ini sedang banyak dikembangkan di Indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya penawaran fasilitas-fasilitas yang berdalih memberikan kemudahan dalam memenuhi setiap kebutuhan dan aktivitas masyarakat yang dikemas secara online dalam sebuah software aplikasi. Sebagaimana dapat kita amati, kemunculan berbagai bentuk layanan belanja online seperti Tokopedia , Bukalapak , Lazada , OLX , Grab-Bike , dan Go-Jek. Terkait hal bisnis jasa online , dalam tulisan ini akan dibahas mengenai layanan Go-Jek Indonesia. Go-Jek merupakan startup lokal di bidang digital. Selain Go-Jek, terdapat juga Grab-Bike yang merupakan startup asal Malaysia. Khususnya Go-Jek, ini sangat cermat dalam melihat kondisi lingkungan, yang terkait kemacetan yang terjadi di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Ide diciptakannya layanan Go-Jek muncul dari lingkungan eksternal organisasi Go-Jek, yaitu masyarakat (yang kemudian menjadi target sebagai customer Go-Jek) dan kemace...

Tanya Jawab Seputar Manusia dan Masyarakat Indonesia

1.       Soal: Setiap sukubangsa/etnis di Indonesia, memiliki budaya yang mendasari terbangunnya kearifan lokal untuk kelangsungan hidup mereka saat beradaptasi dengan lingkungan alamnya, baik dalam mengelola sumberdaya alam, mitigasi bencana dan berbagai kehidupan sosial. Sebut dan jelaskan langkah-langkah yang konstruktif harus dilakukan pemerintah dalam membangun kemitraan dengan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan budaya! Pembahasan: Kearifan lokal merupakan prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat. [1] Kearifan lokal juga berkaitan dengan strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. [2] Hidup yang berdampingan dengan alam mengharuskan kita mampu beradaptasi den...