BAB 1 PENDAHULUAN
Persaingan usaha
dituntut untuk dapat berkembang mengikuti perkembangan trend kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, arus globalisasi,
perkembangan kebijakan dan peraturan dalam rangka pengawasan kegiatan usaha.
Maka dari itu, tidak dapat dipungkiri bahwa persaingan di dunia usaha sekarang
ini demikian ketat dan tentu saja diperlukan kedisiplinan dari masing-masing
pelaku usaha bila tidak ingin perusahaannya gulung tikar (tutup). Seperti kita
ketahui ada beberapa alasan perusahaan terpaksa tutup di antaranya adalah
perusahaan mengalami kerugian beruntun, perusahaan mengalami kemunduran
kegiatan usaha, perusahaan mengalami penurunan omset, atau perusahaan terlilit
hutang. Apabila perusahaan mengalami kondisi tersebut, pada umumnya manajemen
perusahaan akan segera melakukan usaha perbaikan dan penyelamatan agar
terhindar dari kebangkrutan dan tutupnya usaha.
Beberapa usaha
biasanya mengupayakan terhindarnya diri dari kebangkrutan dan tutupnya usaha
dengan cara melakukan restrukturisasi keuangan (financial reengineering) dengan mengkonversikan utang menjadi
modal, melakukan penjadwalan ulang pembayaran utang dan renegoisasi suku bunga
pinjaman, melakukan usaha persuasif kepada investor agar mau menyuntikan dana
talangan (bridging fund) atau membeli
atau mengakuisisi perusahaan.
Namun, apabila
usaha penyelamatan perusahaan tersebut menemui jalan buntu, maka perusahaan
dengan terpaksa ditutup atau dilikuidasi. Keputusan ini adalah pilihan terakhir
karena akan berdampak pada terhentinya pemasukan serta penyelesaian kewajiban
kepada pihak ketiga, termasuk kewajiban utang pajak yang dilindungi
undang-undang.
Makalah ini
membahas manajemen pajak dalam rangka penutupan usaha, yang meliputi proses
likuidasi, melakukan strategy status dormant,
serta penghapusan NPWP.
BAB II ISI
1.PROSES LIKUIDASI PERUSAHAAN
1.1 Pengertian Likuidasi
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
(1990:523),[1] Sudarsono (1999:250)[2],
mendefinisikan likuidasi, merupakan pembubaran perusahaan sebagai badan hukum
yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditur dan pembagian harta
yang tersisa kepada para pemegang saham (Persero). Dari definisi tersebut,
Santoso dan Rahayu (2013: 148)[3],
mengambil poin penting, bahwa likuidasi adalah tindakan pemberesan terhadap
harta kekayaan atau aset (aktiva) dan kewajiban-kewajiban (passiva) suatu
perusahaan sebagai tindak lanjut dari penutupan atau pembubaran perusahaan.
Santoso dan Rahayu menekankan bahwa tujuan utama dari likuidasi adalah untuk
melakukan pencairan, pengurusan dan pemberesan atas harta perusahaan yang
dibubarkan tersebut.
1.2 Tahap-Tahap Likuidasi Perseroan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(UU PT), Bab X, tentang Pembubaran, Likuidasi, dan Berakhirnya Status Badan
Hukum Perseroan, Pasal 142, ayat (1), menyebutkan bahwa pembubaran Perseroan
terjadi:
a)
Berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
b)
Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran
dasar telah berakhir;
c)
Berdasarkan penetapan pengadilan;
d)
Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan
niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak
cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e)
Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit
berada dalam keadaan insolvensi[4]
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang; atau
f)
Karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan
Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan, maka wajib diikuti
dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator[5],
dan Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk
membereskan semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi (Pasal 142 ayat (2)
UU PT). Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status
badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator
diterima oleh RUPS atau pengadilan (Pasal 143 ayat (1) UU PT. Oleh karena itu,
sejak saat pembubaran pada setiap surat ke luar Perseroan dicantumkan kata
“dalam likuidasi” di belakang nama Perseroan (Pasal 143 ayat (2) UU PT). Adapun
pembubaran Perseroan dimulai sejak saat yang ditetapkan dalam keputusan RUPS
(Pasal 144 ayat (3) UU PT).
Berikut ini adalah
tahap-tahap likuidasi sebuah Perseroan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 147
sampai dengan pasal 152 UU PT:
1.2.1 Tahap Pengumuman dan Pemberitahuan Pembubaran Perseroan
Terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari, likuidator wajib memberitahukan
kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan
Berita Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, likuidator juga wajib
memberitahukan pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar
Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi (Pasal 147 ayat (1) UU PT).
Kemudian, likuidator melakukan pemberitahuan kepada kreditor
dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia. Pemberitahuan harus
memuat pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya; nama dan alamat likuidator;
tata cara pengajuan tagihan dan jangka waktu pengajuan tagihan (Pasal 147 ayat
(2) UU PT). Jangka waktu pengajuan tagihan tersebut adalah 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak tanggal pengumuman pembubaran Perseroan (Pasal 147 ayat (3) UU
PT). Dalam hal pemberitahuan kepada Menteri tentang pembubaran Perseroan,
likuidator wajib melengkapi dengan bukti dasar hukum pembubaran Perseroan dan
pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar (Pasal 147 ayat (4) UU PT).
Apabila pemberitahuan kepada kreditor dan Menteri belum
dilakukan, pembubaran Perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga (Pasal 148 ayat
(1) UU PT). Jika likuidator lalai melakukan pemberitahuan tersebut, likuidator
secara tanggung renteng dengan Perseroan bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita pihak ketiga (Pasal 148 ayat 2 UU PT).
1.2.2 Tahap Pencatatan dan Pembagian Harta Kekayaan
Selanjutnya, menurut Pasal 149 ayat (1) UU PT, kewajiban
likuidator dalam melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses
likuidasi harus meliputi pelaksanaan:
- Pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang Perseroan;
- Pengumuman dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi;
- Pembayaran kepada para kreditor;
- Pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang sham; dan
- Tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan.
Kemudian dalam hal likuidator memperkirakan bahwa utang
Perseroan lebih besar daripada kekayaan Perseroan, likuidator wajib mengajukan
permohonan pailit Perseroan, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan
lain dan semua kreditor yang diketahui identitas dan alamatnya, menyetujui
pemberesan dilakukan di luar kepailitan (Pasal 149 ayat (2) UU PT).
1.2.3. Tahap Pengajuan Keberatan Kreditor
Kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana pembagian
kekayaan hasil likuidasi dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam) puluh hari
terhitung sejak tanggal pengumuman pembubaran Perseroan (Pasal 149 ayat (3) UU
PT). Dalam hal pengajuan keberatan tersebut ditolak oleh likuidator, kreditor
dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat
60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan (Pasal 149 ayat (4) UU
PT).
Kemudian kreditor yang mengajukan tagihan sesuai dengan
jangka waktu tersebut, dan kemudian ditolak oleh likuidator dapat mengajukan
gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh)
hari terhitung tanggal penolakan (Pasal 150 ayat (1) UU PT). Sebaliknya,
kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui pengadilan
negeri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran Perseroan
diumumkan (Pasal 150 ayat (2) UU PT). Tagihan yang diajukan kreditor tersebut
dapat dilakukan dalam hal terdapat sisa kekayaan hasil likuidasi yang
diperuntukkan bagi pemegang saham (Pasal 150 ayat (3) UU PT). Dengan demikian,
pemegang saham wajib mengembalikan sisa kekayaan hasil tersebut secara
proporsional dengan jumlah yang diterima terhadap jumlah tagihan (Pasal 150
ayat (5) UU PT).
Apabila dalam hal likuidator tidak dapat melaksanakan
kewajibannya seperti yang diatur, atas permohonan pihak yang berkepentingan
atau atas permohonan kejaksaan ketua pengadilan negeri dapat mengangkat
likuidator baru dan memberhentikan likuidator lama. Pemberhentian likuidator
tersebut, dilakukan setelah yang bersangkutan dipanggil untuk didengar keterangannya
(Pasal 151 ayat (1) dan (2) UU PT).
1.2.4. Tahap Pertanggungjawaban Likuidator
Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atau pengadilan yang
mengangkatnya atas likuidasi Perseroan yang dilakukan dan kurator bertanggung
jawab kepada hakim pengawas atas likuidasi Perseroan yang dilakukan (Pasal 152
ayat (1) UUPT).
1.2.5. Tahap Pengumuman Hasil Likuidasi
Kemudian, likuidator wajib memberitahukan kepada Menteri dan
mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS
memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan
menerima pertanggung jawaban likuidator yang ditunjuknya. Ketentuan tersebut
berlaku juga bagi kurator yang pertanggung jawabannya telah diterima oleh hakim
pengawas (Pasal 152 ayat (3) dan (4) UU PT).
Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan dan
menghapus nama Perseroan dari daftar Perseroan, setelah ketentuan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 152 ayat (3) dan ayat (4) dipenuhi. Ketentuan ini berlaku
juga bagi berakhirnya status badan hukum Perseroan karena Penggabungan,
Peleburan atau Pemisahan (Pasal 152 ayat (5) dan (6) UU PT).
Selanjutnya, pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana
dimaksud Pasal 152 ayat (3) dan (4) UUPT dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pertanggungjawaban
likuidator atau kurator diterima oleh RUPS, pengadilan atau hakim pengawas
(Pasal 152 ayat (7) UU PT). Tahapan-tahapan likuidasi telah dinilai selesai
pada saat Menteri mengumumkan berakhirnya status badan hukum Perseroan dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Hal yang perlu diperhatikan dari perspektif perpajakan, suatu
perusahaan akan berakhir kewajiban pajak subjektifnya apabila ia telah
dilikuidasi, sehingga perlu dilakukan penghapusan NPWP/NPPKP terhadapnya.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU KUP yang berlaku, Direktur Jenderal Pajak
(DJP) setelah melakukan pemeriksaan untuk Wajib Pajak Badan, harus memberikan
keputusan atas permohonan penghapusan NPWP dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan dan penghapusan NPPKP dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
1.3 Tahap-Tahap Likuidasi Persekutuan
1.3.1 Perbedaan Likuidasi dengan Perubahan Persekutuan
Likuidasi terjadi apabila semua sekutu mengundurkan diri dan
persekutuan dibubarkan, serta aktiva non-kasnya dijual (Beam, 2000: 625)[6].
Sedangkan, perubahan persekutuan terjadi apabila:
a) Sekutu berkurang,
hal ini terjadi bila seorang sekutu atau beberapa sekutu mengundurkan diri.
b) Sekutu bertambah,
hal ini terjadi apabila ada seorang sekutu atau beberapa sekutu yang masuk ke
dalam persekutuan.
1.3.2 Proses Likuidasi pada Persekutuan
Proses likuidasi
persekutuan ada 4 (Empat) tahapan (Wibowo dan Arif: 2005: 43)[7],
yaitu:
a.
Tahap menghitung
dan membagi laba atau rugi persekutuan sampai saat likuidasi (berupa rasio
pembagian laba)
Pembagian laba dilakukan sesuai dengan
metode pembagian laba. Tahap ini hanya diperlukan apabila likuidasi tidak
dilakukan pada awal atau akhir periode.
b. Meng-uangkan (menjual) semua aktiva selain kas
Tahap yang kedua ini disebut realisasi. Apabila nilai realisasi
aktiva non-kasnya lebih kecil dibanding nilai bukunya maka kerugian harus
ditanggung semua sekutu dengan mengurangkan modalnya. Sebaliknya bila nilai
realisasi aktiva non-kasnya lebih besar dibanding nilai bukunya maka keuntungan
akan menambah modal semua sekutu sesuai rasio pembagian labanya. Rugi-laba
tersebut diakui sebagai rugi laba realisasi.
c. Melunasi semua hutang persekutuan
Setelah penjualan aktiva non-kas
(realisasi) maka hasilnya akan menambah kas, kemudian kas ini sesuai Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata harus digunakan terlebih dahulu untuk:
(1)
Melunasi hutang kepada pihak ketiga (bukan sekutu)
Hutang pihak ketiga
harus diprioritaskan untuk dilunasi terutama hutang pihak ketiga yang jumlahnya
besar terlebih dahulu.
(2)
Melunasi hutang sekutu
Setelah semua utang
kepada pihak ketiga dilunasi maka menyusul pelunasan hutang sekutu yang
biasanya bila hanya hutang pada seorang sekutu maka dilakukan bersama-sama
dengan pengembalian modal pada likuidasi sederhana. Apabila hutang lebih dari
satu sekutu maka dilakukan pelunasan dengan prioritas sekutu yang modalnya
lebih besar.
Apabila terbukti
modalnya tidak cukup untuk melunasi hutang maka sekutu yang bersangkutan harus
membayar hutang dengan harta pribadi.
d.
Membagi sisa kas
yang masih ada kepada para sekutu
Sisa kas dibagikan setelah hutang kepada pihak ketiga dan
sekutu dilunasi. Tujuan pembagian sisa kas ini adalah:
(1) Untuk mengembalikan
modal kepada para sekutu sebagai wujud pembagian hak kepada sekutu.
Pengembalian modal ini sebesar modal bersih (modal setelah dikurangi laba-rugi
realisasi dan hutang) masing-masing sekutu;
(2)
Untuk melindungi kepentingan sekutu dikarenakan tanggung
jawab sekutu tidak terbatas maka apabila kas memungkinkan biasanya pembayaran
utang kepada sekutu dilakukan bersama-sama dengan pengembalian modal kepada
sekutu.
Menurut cara
pembagian kasnya, likuidasi dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:
(1) Likuidasi
Sekaligus/ Sederhana, yaitu likuidasi yang pembagian kasnya dilakukan serentak
karena realisasi non-aktivanya sekaligus.
(2) Likuidasi Bertahap/
Berangsur, yaitu likuidasi yang dilakukan sesuai tersedianya kas walaupun
realisasinya belum tuntas.
1.3.3. Ilustrasi Proses Likuidasi Persekutuan
Persekutuan ABC, yang modalnya dari Tn. Adi, Tn. Budi, dan
Tn. Chandra memutuskan untuk melikuidasi persekutuan mereka. Rasio pembagian
adalah 5:3:2. Pada 8 November 2001, kegiatan perusahaan dihentikan dan
diperkirakan ditutup. Ikhtisar buku besarnya adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Ikhtisar Buku Besar Persekutuan
ABC Per 8 November 2001
Kas
|
Rp
|
40.000
|
|
-
|
Aktiva Non-Kas
|
Rp
|
80.000
|
|
-
|
Utang Usaha
|
|
-
|
Rp
|
30.000
|
Modal Tn. Adi
|
|
-
|
Rp
|
40.000
|
Modal Tn. Budi
|
|
-
|
Rp
|
30.000
|
Modal Tn. Chandra
|
|
-
|
Rp
|
20.000
|
Jumlah
|
Rp
|
120.000
|
Rp
|
120.000
|
Sumber: diolah
sendiri oleh peneliti (2017)
a) Keuntungan Penjualan Aktiva Non-Kas
Antara tanggal 10 November-30 November 2001, Tn. Adi, Tn.
Budi, dan Tn. Chandra menjual aktiva non-kas sebesar Rp 100.000, maka penjualan
aktiva non-kas mendapatkan keuntungan sebesar Rp 20.000 (nilai jual Rp
100.000-nilai buku Rp 80.000). Laporan likuidasi persekutuan yang
mengikhtisarkan proses likuidasi adalah sebagai berikut:
Tabel 1.2 Laporan Likuidasi Persekutuan ABC
untuk Periode 30 November 2001 (dalam satuan Rupiah)
Keterangan
|
AKTIVA
|
=
|
KEWAJIBAN
|
+
|
MODAL
|
|||
Kas
|
Aktiva Non-Kas
|
|
Utang Usaha
|
|
Tn. Adi
|
Tn. Budi
|
Tn. Chandra
|
|
Saldo Sebelum
Likuidasi
|
40.000
|
80.000
|
|
30.000
|
|
40.000
|
30.000
|
20.000
|
Penjualan Aktiva
Non-Kas
|
100.000
|
(80.000)
|
|
-
|
|
10.000[8]
|
6.000[9]
|
4.000[10]
|
Saldo Setelah
Penjualan Aktiva Non-Kas
|
140.000
|
0
|
|
30.000
|
|
50.000
|
36.000
|
24.000
|
Membayar
Kewajiban
|
(30.000)
|
-
|
|
(30.000)
|
|
-
|
-
|
-
|
Saldo Setelah
Membayar Kewajiban
|
110.000
|
0
|
|
0
|
|
50.000
|
36.000
|
24.000
|
Pembagian Uang
Kas kepada Sekutur
|
(110.000)
|
-
|
|
-
|
|
(50.000)
|
(36.000)
|
(24.000)
|
Saldo Setelah
Likuidasi
|
0
|
0
|
|
0
|
|
0
|
0
|
0
|
Sumber: diolah
sendiri oleh peneliti (2017)
Aspek Akuntansi
Ayat jurnal untuk
mencatat langkah-langkah likuidasi adalah sebagai berikut:
|
|||||
30 November 2001
|
Kas
|
|
100.000
|
-
|
|
|
Aktiva Non-Kas
|
-
|
80.000
|
||
|
Keuntungan
Realisasi
|
-
|
20.000
|
||
|
|||||
30 November 2001
|
Keuntungan
Realisasi
|
|
20.000
|
-
|
|
|
Modal, Tn. Andi
|
-
|
10.000
|
||
|
Modal, Tn. Budi
|
-
|
6.000
|
||
|
Modal, Tn.
Chandra
|
-
|
4.000
|
||
|
|||||
30 November
|
Utang Usaha
|
|
30.000
|
-
|
|
|
Kas
|
-
|
30.000
|
||
|
|||||
30 November 2001
|
Modal, Tn. Andi
|
|
50.000
|
-
|
|
Modal, Tn. Budi
|
|
36.000
|
-
|
||
Modal, Tn.Chandra
|
|
24.000
|
-
|
||
|
Kas
|
-
|
110.000
|
||
Aspek Pajak
Dari contoh kasus di atas, pada saat likuidasi, Persekutuan
ABC masih memiliki kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi. Hal ini disebabkan
karena persyaratan subjektif dan objektif masih melekat pada Persekutuan ABC.
Persyaratan objektif yang dimaksud adalah terkait penghasilan dari pengalihan
aset non-kas dengan asumsi aset tersebut bukan merupakan tanah/ bangunan.
Penghasilan dari hasil pengalihan aset non-kas merupakan objek yang dikenakan
Pajak Penghasilan sesuai tarif pada Pasal 17 UU PPh yakni 25 persen (badan).
Dengan asumsi bahwa penghasilan pada tahun yang bersangkutan hanya berasal dari
pengalihan aset non-kas, maka kewajiban pajak Persekutuan ABC dapat diketahui berdasarkan
perhitungan berikut,
Penjualan
100.000
Harga
Pokok (80.000)
Laba
Kotor 20.000
Beban
Operasi 0
Penghasilan
Kena Pajak 20.000
PPh Badan Terutang = 25% x 20.000
=
5.000
Penghasilan serta
PPh Badan sampai dengan tanggal likuidasi harus tetap dilaporkan oleh
Persekutuan ABC di dalam SPT Tahunan Badan. Hal ini merupakan sesuatu yang
logis mengingat belum ada pencabutan NPWP oleh KPP tempat kegiatan usaha
Persekutuan ABC, sehingga data NPWP masih terekam di dalam master file pajak.
Selain aspek PPh,
pada saat likuidasi juga terdapat aspek PPN yang harus diperhatikan. Sesuai
Pasal 16D UU PPN disebutkan bahwa “ Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena
Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan c.” Maka
dari itu, pengalihan aset non-kas dengan asumsi bukan tanah/ bangunan dan tidak
termasuk dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan c UU PPN dikenakan PPN sebesar 10
persen. Persekutuan ABC yang merupakan PKP diwajibkan memungut PPN sebesar Rp
1.000 kepada pembeli untuk kemudian disetorkan ke kas negara paling lambat
tanggal 15 Desember 2001. Di samping itu, Persekutuan ABC juga wajib melaporkan
SPT Masa PPN untuk Masa Pajak November 2001.
2. PERLAKUAN PERPAJAKAN (TAX TREATMENT) DALAM PROSES LIKUIDASI
Sangat perlu dipahami bahwa likuidasi adalah suatu siklus dan
keputusan bisnis yang memiliki dampak perpajakan tersendiri. Adapun aspek
perpajakan terkait meliputi, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), penagihan pajak seketika dan sekaligus, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB).
2.1. Pajak Penghasilan (PPh)
2.1.1. Pengalihan Harta
Unsur yang merupakan penghasilan sebagai objek pajak adalah
keuntungan penjualan atau karena pengalihan harta termasuk keuntungan karena
likuidasi (pasal 4 ayat 1 huruf d angka 3 UU PPh). Nilai perolehan atau
pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali
ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan (pasal 10 ayat 3 UU PPh). Dalam hal
penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate,
dan persewaan tanah dan bangunan dikenai pajak bersifat final (pasal 4 ayat
(2) huruf d UU PPh).
Ketentuan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan,
dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya
(yang selanjutnya dituliskan PP Nomor 34 Tahun 2016).
Berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016, Pasal 1, atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari: (a) pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan[11];
atau (b) perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta
perubahannya[12],
terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Besarnya Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a adalah
sebesar[13]:
- 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana[14] atau Rumah Susun Sederhana[15] yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
- 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
- 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah[16]:
- nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah;
- nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Vendu Reglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya);
- nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;
- nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;atau
- nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
Adapun besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta
perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b berdasarkan
tarif sebagaimana pada ayat (1) dari
jumlah bruto, yaitu[17]:
- nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa; atau
- nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.
Nilai Pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai
berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Tanah
dan/atau Bangunan yang bersangkutan[18],
kecuali dalam hal pengalihan hak kepada Pemerintah adalah nilai berdasarkan
keputusan pejabat yang bersangkutan; dan dalam hal pengalihan hak sesuai dengan
peraturan lelang adalah nilai menurut risalah lelang tersebut (Pasal 4 ayat (2)
PP Nomor 71 Tahun 2008).
Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar,
maka untuk memperoleh besarnya Nilai Jual Objek Pajak, orang pribadi atau badan
yang melakukan pengalihan wajib meminta surat keterangan mengenai besarnya NJOP
atas tanah dan/atau bangunan untuk tahun pajak yang bersangkutan kepada Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau
bangunan tersebut berada (Pasal 4 ayat (4) PP Nomor 71 Tahun 2008).
Keberadaan PP Nomor
34 Tahun 2016 menurut pertimbangan:
a.
bahwa dalam rangka percepatan pelaksanaan program pembangunan
pemerintah untuk kepentingan umum, pemberian kemudahan dalam berusaha, serta
pemberian perlindungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah, perlu mengatur
kembali kebijakan atas Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, dan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan
beserta perubahannya;
b.
bahwa dalam rangka pengaturan kebijakan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu mengganti Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas
Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah
dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya.
PP 34 Tahun 2016 dimaksudkan untuk mengimplementasikan Pasal
5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893).
2.1.2. Dividen
Santoso dan Rahayu (2013: 154) mengkhawatirkan kemungkinan
pengembalian sejumlah dana kepada pemegang saham baik yang besarannya lebih
kecil, sama dengan, atau lebih besar dari nilai penyertaannya dulu kepada
perusahaan. Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor kepada pemegang saham adalah dividen yang merupakan objek pajak. Hal
ini sesuai dengan penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh. Apabila kondisi
ini terpenuhi, perusahaan terlikuidasi wajib memotong PPh pasal 23. Apabila
pemegang saham adalah subjek pajak luar negeri, dilakukan pemotongan PPh pasal
26 atau sesuai P3B.
2.1.3. Keuntungan Karena Pembebasan Hutang
Santoso dan Rahayu (2013: 153-154) menekankan pentingnya
memperhatikan aspek-aspek perpajakan khususnya dalam kondisi pembubaran
perusahaan. Pembubaran perusahaan mungkin berakibat terhapusnya piutang
perusahaan kepada pihak debitur (baik sebagian atau keseluruhan) dan sebaliknya
mungkin sebagian atau seluruh hutang perusahaan kepada kreditur, juga terhapus.
Sesuai penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh,
penghasilan adalah keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan
Pemerintah mengatur bahwa pembebasan utang debitur kecil, seperti kredit usaha
keluarga prasejahtera (Kukesra), kredit usaha tani (KUT), kredit usaha rakyat
(KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya
sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak. Ketentuan
tersebut diatur oleh PP Nomor 130 Tahun 2000 tentang Pengecualian Sebagai Objek
Pajak Atas Keuntungan Karena Pembebasan Utang Debitur Kecil. Menurut PP Nomor
130 Tahun 2000, Pasal 2, pengecualian objek PPh atas pembebasan hutang diberikan
selama kredit tersebut tidak melebihi Rp 350 juta.
2.2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
2.2.1. Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak
Berdasarkan UU RI Nomor 8 Tahun 1983 j.o. Terakhir Diubah
Perubahan Ketiga dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (selanjutnya disebut UU PPN dan PPnBM),
Pasal 1 A ayat (2) huruf e., menyebutkan:
“Yang tidak
termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah: ...e. aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa
pada saat pembubaran perusahaan, dan yang pajak masukan atas perolehannya tidak
dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf
c. Termasuk dalam pengertian ini adalah sebagai berikut:
a.
Perolehan barang kena pajak atau jasa kena pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha.
b.
Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan
dan station wagon, kecuali merupakan
barang dagangan atau disewakan.
Selanjutnya, dalam Pasal 16D UU PPN dan PPnBM, Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya
tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (8) huruf b dan
huruf c.
Dalam hal ini perlu diidentifikasi terkait penyerahan yang
termasuk objek pajak PPN dan yang bukan objek pajak PPN. Ketentuan dalam UU PPN
dan PPnBM memperjelas bahwa aktiva yang tersisa saat pembubaran perusahaan yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak,
atas penyerahannya dikenakan PPN. Adapun, penyerahan dalam hal tersebut yang
dikecualikan hanya dibatasi pada BKP yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha dan perolehan dan pemeliharaan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang
dagangan atau disewakan yang akan tetap dikenakan PPN.
2.2.2. Persediaan
Barang kena pajak, berupa persediaan dan atau aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada
saat pembubaran perusahaan (pasal 1A ayat (1) huruf e UU PPN). Dengan kata
lain, jika persediaan memenuhi syarat sebagai barang kena pajak, yang memenuhi
ketentuan semula tidak untuk diperjualbelikan, akan dikenakan PPN.
2.3. Penagihan Pajak
Apabila terdapat tanda-tanda perusahaan akan membubarkan
perusahaan, maka dilakukan penagihan seketika dan sekaligus (pasal 20 ayat 2 UU
KUP).
“Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)[19],
penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila: ...c. terdapat tanda-tanda
bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau
memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang
dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; d. Badan usaha akan
dibubarkan oleh negara; atau e. Terjadinya penyitaan atas barang Penanggung
Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.”
Selain itu, menurut pasal 21 ayat (1), (2), dan (3) UU KUP,
negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik
penanggung pajak, yang meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga,
denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak. Namun dikecualikan atas hak
mendahulu untuk utang pajak terhadap hal-hal berikut ini: (1) Biaya perkara
yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang
bergerak dan atau barang tidak bergerak; (2) Biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkan barang dimaksud; (3) Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh
pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Namun, hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima)
tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah (Pasal 21
ayat (4) UU KUP). Adapun penghitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan
sebagai berikut (Pasal 21 ayat (5) UU KUP):
- Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
- Dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.
2.4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 85 sampai dengan Pasal
93, terkait BPHTB, objek Pajak BPHTB adalah atas perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut meliputi
pemindahan hak (karena jual beli; tukar menukar; hibah; hibah wasiat; waris;
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan; penunjukan pembeli dalam lelang; pelaksanaan putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; penggabungan usaha; peleburan usaha;
pemekaran usaha; atau hadiah) atau
pemberian hak baru (karena kelanjutan pelepasan hak; atau di luar pelepasan
hak). Hak atas tanah yang dimaksud adalah: hak milik; hak guna usaha; hak guna
bangunan; hak pakai; hak milik atas satuan rumah susun; dan hak pengelolaan.
Objek pajak yang
tidak dikenakan BPHTB adalah obek pajak yang diperoleh:
- Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
- Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
- Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
- Orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
- Orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
- Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Adapun, subjek
pajak dan/atau wajib pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang
memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
Dasar pengenaan
pajak BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak (NPOP). NPOP yang dimaksud
ditentukan sebagai berikut:
- Berdasarkan harga transaksi
NPOP berdasarkan harga transaksi digunakan
dalam hal terjadi jual beli; penunjukan pembeli dalam hal lelang.
- Berdasarkan nilai pasar
NPOP berdasarkan nilai pasar digunakan
dalam hal terjadi tukar menukar; hibah; hibah wasiat; waris; pemasukan dalam
perseroan atau badan hukum lainnya; pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap; pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak; penggabungan usaha;
peleburan usaha; pemekaran usaha; hadiah.
Jika NPOP tersebut, kecuali NPOP atas penunjukan pembeli
dalam lelang, tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan
dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang
dipakai adalah NJOP PBB.
NPOPTKP ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan paling rendah
sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap WP. Namun, dalam
hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima OP yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke
atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri, NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
Tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan tarif
paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Sedangkan BPHTB terutang dihitung
dengan mengalikan tarif dengan DPP setelah dikurangi NPOPTKP. BPHTB terutang
tersebut dipungut di wilayah daerah tempat Tanah dan/atau Bangunan berada.
Saat terutangnya
BPHTB ditetapkan sebagai berikut:
a.
Sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta, dalam hal terjadi jual beli; tukar
menukar; hibah; hibah wasiat; pemasukan dalam perseroan atau badan hukum
lainnya; pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; penggabungan usaha;
peleburan usaha; pemekaran usaha; hadiah.
b.
Sejak tanggal yang
bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan, dalam hal waris.
c.
Sejak tanggal
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam hal putusan
hakim.
d.
Sejak tanggal
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, dalam hal terjadi
pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak; pemberian
hak baru di luar pelepasan hak.
e.
Sejak tanggal
penunjukan pemenang lelang, dalam hal lelang.
Adapun pajak yang terutang tersebut dilunasi pada saat
terjadinya perolehan hak. Berkaitan dengan hal ini, Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT)/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah
dan/atau bangunan setelah WP menyerahkan bukti pembayaran pajak. Begitu pun
dengan Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat
menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan
setelah WP menyerahkan bukti pembayaran pajak. Apabila PPAT/Notaris dan Kepala
Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara melanggar ketentuan tersebut
maka dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh
juta lima ratus ribu rupiah). Selain itu, Kepala Kantor Bidang Pertanahan hanya
dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas
tanah setelah WP menyerahkan bukti pembayaran pajak. Kepala Kantor Bidang
Pertanahan yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
PPAT/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi pelayanan
lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya. Apabila PPAT/Notaris dan Kepala Kantor yang
membidangi pelayanan lelang negara melanggar ketentuan ini, dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp 250.000,00 (dua ratu lima puluh ribu
rupiah) untuk setiap lapooran. Tata cara pelaporan tersebut diatur dalam
Peraturan Kepala Daerah.
3. MANAJEMEN PAJAK ATAS ISU PPh POTONG-PUNGUT UNTUK PENGURUSAN PROSES LIKUIDASI
Manajemen pajak
yang perlu direncanakan oleh Perusahaan yang akan dilikuidasi adalah salah
satunya melalui upaya manajemen pajak potong-pungut (pot-put). Hal ini terkait
dengan perlunya pendampingan dari para profesional dalam hal pengurusan proses
selama likuidasi. Dalam hal ini, Perusahaan akan memberikan imbalan atas jasa
profesional tersebut. Sebagaimana menurut ketentuan UU RI Nomor 7 Tahun 1983
j.o Perubahan Keempat dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
(PPh), Pasal 23 mengatur ketentuan bahwa salah satu objek witholding tax adalah salah satunya bunga. Sesuai ketentuan UU PPh
pasal 23 ayat (1) yang menyebutkan:
“Atas penghasilan
tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong
pajak oleh pihak yang membayarkan: c. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah
bruto atas: ...(2) imbalan sehubungan dengan ...jasa konsultan, dan jasa lain
selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal
21.”
Dalam kondisi tertentu, dapat disepakati di dalam kontrak
perjanjian bahwa pengadministrasian PPh Pot-Put yang normalnya dilakukan oleh
pihak pembayar (payor), untuk
dilakukan oleh pihak penerima penghasilan (payee).
Kompleksnya sistem pemotongan pemungutan PPh di Indonesia, berdampak pada
pihak payor yang akan mengalami
kesulitan untuk menunaikan kewajiban perpajakannya, ditambah lagi apabila
kondisi internal payor yang tidak
memungkinkan untuk itu, seperti (i) tidak adanya sumber daya (tax personel) yang memadai untuk
melakukan kewajiban pengadministrasian PPh pot-put; (ii) payor dalam posisi sedang proses likuidasi (pembubaran), misalnya;
atau (iii) biaya pengadministrasian pajak ini dianggap terlalu mahal dan kurang
memberikan manfaat bagi payor.
Misal, mengambil contoh ilustrasi dari Santoso dan Rahayu
(2013: 178-179) apabila pihak PT A, perusahaan yang akan dilikuidasi mengikat
kontrak jasa penghapusan NPWP/NPPKP sekaligus asistensi penanganan pemeriksaan
pajaknya kepada MIC (suatu persekutuan perdata yang bergerak di bidang
konsultan pajak, dengan imbalan sebesar Rp 100.000.000,00 maka secara yuridis
PT A akan melakukan pemotongan PPh pasal 23 sebesar Rp 2.000.000 (2% x Rp
100.000.000) kepada MIC saat pembayaran imbalan jasa konsultasi perpajakan
tadi. Kendala teknis terjadi apabila atas porsi pembayaran imbalan tadi baru
dapat ditagihkan (sehingga mendapat pelunasan) setelah pekerjaannya selesai,
saat mana PT A mungkin telah menyelesaikan proses likuidasi (pembubaran
usahanya). Bagaimana PT A melakukan kewajiban pemotongan pajak atas tagihan
dari MIC setelah ia dibubarkan?
Selain disepakatinya pembayaran imbalan jasa sebelum
pembubaran sehingga aspek pemotongan pajak dapat tetap dilakukan, biasanya
secara praktis dimungkinkan juga kontrak MIC dilakukan dengan pihak pemegang
saham PT A sehingga kewajiban PPh pot-put beralih kepada pihak pemegang saham.
Namun demikian, apabila pemegang saham PT A adalah wajib pajak orang pribadi
(WPOP), di samping mungkin bukan merupakan pihak yang ditunjuk selaku pemotong,
mereka biasanya enggan diberikan kewajiban pajak yang bagi mereka sendiri sulit
untuk mengadministrasikannya. Solusi dari kondisi di atas, sebenarnya dapat juga
diselesaikan dengan adanya klausul kewajiban pengadministrasian PPh pot-put
pada pihak payor untuk dan atas nama payee.
Konkritnya, atas tagihan jasa dari MIC tadi, pihak PT A akan
melakukan pembayaran penuh, tanpa pemotongan pajak. Sehingga MIC akan menerima
total pembayaran sebesar Rp 110.000.000 (total imbalan jasa senilai Rp
100.000.000 + 10% PPN-nya). Kemudian, MIC akan membantu PT A untuk
mengadministrasikan PPh pot-putnya berupa: (i) penyiapan dan pembayaran SSP PPh
Pasal 23 sebesar Rp 2.000.000 untuk dan atas nama PT A (dengan memakai nama,
alamat, dan NPWP PT A); (ii) pembuatan bukti potong PPh Pasal 23 dan SPT Masa
PPh Pasal 23 untuk dilaporkan ke KPP tempat PT A terdaftar; dan (iii)
Menyerahkan SSP dan SPT Masa PPh Pasal 23 asli kepada PT A untuk kepentingan
arsipnya.
Manajemen pajak tersebut menganut asas konsensualisme, ialah
bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah
dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan (Kharirandy, 2003: 27)[20].
Adapun asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1388 ayat (1) KUH Perdata
yang berbunyi: “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Berarti bahwa para pihak diberi kebebasan untuk membuat
perjanjian sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Berdasarkan asas tersebut
para pihak bebas untuk menentukan isi perjanjian, bentuk perjanjian maupun
klausul-klausul yang ada dalam kontrak perjanjian yang mereka buat. Kebebasan
dalam asas kebebasan berkontrak ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,
pancaran hak asasi manusia dan perjanjian yang mereka buat mempunyai kekuatan
mengikat seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta sun servanda) inilah
yang dimaksud dengan asas kekuatan mengikatnya kontrak, seperti diatur dalam
Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang berbunyi : “Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak, atau oleh karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu.”
Jadi asas tersebut menyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah
dipenuhi oleh para pihak karena perjanjian adalah undang-undang bagi para pihak
kecuali apabila para pihak tersebut sepakat untuk tidak memenuhi perjanjian
tersebut. Namun kebebasan dalam asas kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan
yang tanpa batas karena suatu perjanjian harus memenuhi syarat sah perjanjian,
sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata bahwa: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: (i) sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya; (ii) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
(iii) suatu hal tertentu; dan (iv) suatu sebab halal.”
4. PENGHENTIAN KEGIATAN OPERASIONAL DAN STATUS DORMANT
Cara selain
melikuidasi perusahaan berkenaan dengan pembubaran perusahaan adalah melakukan
tahapan penghentian kegiatan operasional usaha dan mengondisikan perusahaan
menjadi perusahaan yang tidur dan tidak aktif (status dormant). Cara ini dapat dilakukan apabila perusahaan masih
berpotensi mendapatkan proyek baru. Jika suatu saat perusahaan benar-benar
ingin menutup usahanya, maka persyaratan legal pembubaran perusahaan dapat
dilakukan secara berangsur-berangsur. Dalam rangka efisiensi usaha pada masa dormant, perusahaan dapat memangkas
berbagai operasional, seperti menekan biaya gaji pegawai dengan mem-PHK
sebagian karyawan (dengan mempertahankan beberapa person in charge yang menangani kewajiban perpajakan). Dengan
memberhentikan karyawan, perusahaan juga dapat sekaligus menekan biaya asuransi
karyawan. Alternatif lainnya adalah menurunkan biaya sewa gedung dengan cara
memindahkan sementara lokasi usaha ke tempat yang lebih murah, menurunkan biaya
iklan, dan sebagainya.
Meskipun dengan
menerapkan status dormant perusahaan
dapat tidak menerima dan/ atau memperoleh penghasilan sama sekali (nihil),
namun perlu diperhatikan bahwa selama masa dormant
perusahaan tetap harus melaksanakan kewajiban perpajakan, yakni menyampaikan
SPT baik masa maupun tahunan. Hal ini karena perusahaan hanya kehilangan
kewajiban pajak objektifnya, sedangkan kewajiban pajak subjektifnya belum
berakhir.
Perusahaan yang
menerapkan status dormant dapat
memperoleh beberapa keuntungan antara lain perusahaan tidak perlu melakukan
proses likuidasi dalam rangka penutupan usaha serta menghadapi pemeriksaan
pajak dalam rangka penutupan NPWP perusahaan. Selain itu, apabila ternyata
perusahaan mendapatkan proyek baru maka perusahaan tidak perlu mengajukan
permohonan NPWP baru atas perusahaan baru karena NPWP yang lama belum dihapus.
Berkenaan dengan
pemeriksaan pajak, perusahaan dengan status dormant
cenderung dapat mengelola pemeriksaan pajak terkait dengan permohonan
penghapusan NPWP/NPPKP dengan baik. Hal ini mengingat dalam masa dormant, tidak banyak kewajiban yang
dilakukan oleh perusahaan sehingga tax
exposure dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus-kasus
tertentu, masa dormant dapat
diterapkan selama masa daluwarsa penetapan pajak (5 tahun). Cara ini dilakukan
antara lain untuk mengatasi tax exposure temuan
pemeriksaan pajak yang masif apabila pihak otoritas perpajakan memeriksa
keseluruhan tahun yang masih terbuka (all
open years) untuk pemeriksaan. Sebagai contoh, apabila pada tahun 2017
suatu perusahaan ingin melakukan penutupan usaha, maka ketika perusahaan
tersebut mengajukan penghapusan NPWP dan NPPKP, konsekuensinya adalah
pemeriksaan oleh pemeriksa pajak. Tahun yang masih terbuka untuk pemeriksaan
pajak adalah tahun 2013 s.d. 2017. Jika perusahaan merasa bahwa dokumen-dokumen
tahun 2013 sudah tidak lengkap karena sebagian sudah hilang sehingga
dikhawatirkan akan menimbulkan tax
exposure yang tinggi, maka perusahaan dapat menunda penutupan usaha sampai
tahun 2018 dengan cara menjadikan perusahaan dormant. Maka ketika perusahaan diperiksa pada tahun 2018, maka
pemeriksa pajak sudah tidak bisa memeriksa untuk tahun 2013.
Jika ada temuan,
dapat dipastikan bahwa jumlahnya tidak akan material. Hal ini disebabkan karena
secara substantif perusahaan sudah tidak melakukan kegiatan operasional usaha
atau bahkan mungkin sudah tidak lagi memiliki pegawai, sehingga kemungkinan
risiko pajak yang ditemukan hanya berupa keterlambatan lapor SPT.
Konsekuensi atas
keterlambatan pelaporan SPT adalah dikenakannya sanksi administrasi berupa denda.
Ketentuan mengenai sanksi ini diatur di dalam
Pasal 7 ayat (1) UU KUP, di mana apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), maka dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar:
a)
Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN ;
b)
Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya
(seperti PPh Pasal 4(2), 15 21/26,dan 23/26);
c)
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan; dan
d)
Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi.
Pada dasarnya,
perusahaan dengan status dormant
dapat terbebas dari pengenaan sanksi poin a sampai dengan c karena dalam Pasal
7 ayat (2) huruf e UU KUP disebutkan bahwa, “pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana disebutkan di
atas tidak dilakukan terhadap Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan
usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
Ketentuan tersebut
juga diperkuat oleh Pasal 17 ayat (2) huruf e PMK Nomor 243 Tahun 2014 tentang
Surat Pemberitahuan (SPT) di mana bunyinya persis sama dengan Pasal 7 ayat (2)
huruf e UU KUP. Akan tetapi, kenyataan di lapangan justru berbicara lain. Pada
kebanyakan kasus, pemeriksaan pajak untuk penghapusan NPWP, Surat Tagihan Pajak
(STP) untuk menagih denda tersebut seringkali diterbitkan. Atas penerbitan STP
tersebut, perusahaan dapat mengajukan permohonan untuk membatalkan STP sesuai
dengan Pasal 36 ayat (1) huruf c UU KUP, tetapi sebaiknya perlu ada analisis
dari perusahaan terkait perbandingan biaya antara menerima STP dan mengajukan
permohonan pembatalan STP. Bisa jadi
karena jumlahnya yang kurang signifikan, banyak perusahaan menerima STP
tersebut atau dengan kata lain tidak keberatan untuk melunasi denda tersebut
agar penghapusan NPWP/NPPKP perusahaan dapat berjalan lancar (Rahayu dan
Santoso, 2013:153).
|
|||
5. PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP) DAN NOMOR POKOK PENGUSAHA KENA PAJAK (NPPKP)
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) Pasal 1 angka 6, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah
nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak (WP) sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas WP
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Kemudian mengenai Pengusaha
Kena Pajak dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5, yaitu Pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai
pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
(UU PPN).
Penjelasan lebih
lanjut mengenai NPWP dan Pengukuhan PKP terdapat dalam UU KUP pasal 2 ayat (1)
sampai ayat (9), sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Setiap Wajib
Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok
Wajib Pajak.
(2) Setiap Wajib
Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
(3) Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan:
- tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
- tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
(4) Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena
Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2).
(4a) Kewajiban
perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib
Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(5) Jangka waktu
pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(6) Penghapusan
Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
- diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
- Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
- Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
- dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(7) Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib
Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(8) Direktur
Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan
pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(9) Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
Jangka waktu
pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan termasuk
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
147/PMK.03/2017 Tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak (PMK 147/2017). Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP
dimaksudkan untuk kepentingan administrasi perpajakan serta tidak menghilangkan
hak dan kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan oleh Wajib Pajak dan/atau
PKP yang bersangkutan.
Keadaan yang mengharuskan penghapusan NPWP
Secara khusus dalam
UU KUP Pasal 2 ayat (6) dijelaskan bahwa penghapusan NPWP dilakukan oleh
Direktur Jenderal Pajak apabila:
a.
diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh Wajib Pajak (WP)
dan/atau ahli warisnya apabila WP sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan;
b.
WP badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan
usaha;
c.
WP bentuk usaha tetap (BUT) menghentikan kegiatan usahanya di
Indonesia; atau
d.
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
menghapuskan NPWP dari WP yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Berdasarkan PMK
147/2017 pasal 1 angka 17 dan angka 21, Penghapusan NPWP adalah tindakan
menghapuskan NPWP dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Kemudian Wajib
Pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif namun belum
dilakukan Penghapusan NPWP disebut Wajib Pajak Non-Efektif. Berdasarkan PMK
147/2017 Pasal 31 ayat (3), Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran
permohonan penghapusan NPWP, berupa:
- dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan telah dilikuidasi atau dibubarkan; atau
- dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.
Berdasarkan PMK
147/2017 pasal 31 ayat (6), Penghapusan NPWP dilakukan berdasarkan hasil
pemeriksaan. Oleh karena itu, sebelum wajib pajak melakukan permohonan
penghapusan NPWP, terlebih dahulu wajib pajak harus memastikan kelengkapan
dokumen-dokumen yang akan diperiksa oleh kantor pajak. Untuk kemudian,
berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala KPP
menerbitkan keputusan atas permohonan penghapusan NPWP tersebut paling lama 12
(dua belas) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.
Kemudian dalam PMK
147/2017 pasal 15 dijelaskan lebih lanjut mengenai syarat-syarat lainnya
apabila wajib pajak ingin melakukan penghapusan NPWP, yaitu:
Pasal 15
(1)
|
Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif
dan/atau objektif,
penghapusan NPWP dilakukan sepanjang Wajib Pajak memenuhi
ketentuan sebagai
berikut:
a. tidak mempunyai
utang pajak;
b. tidak sedang
dilakukan tindakan:
1. pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
2. pemeriksaan bukti
permulaan;
3. penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan; atau
4. penuntutan tindak
pidana di bidang perpajakan;
c.
tidak sedang dalam proses penyelesaian persetujuan bersama
(mutual
agreement procedure);
d.
tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga
transfer (advance
pricing agreement);
e. seluruh NPWP
cabang telah dihapus; dan
f. tidak sedang
dalam proses penyelesaian upaya hukum di bidang perpajakan,
berupa:
1.
keberatan;
2.
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;
3.
pengurangan atau pembatalan SKP;
4.
pengurangan atau pembatalan STP;
5.
pembatalan hasil pemeriksaan, verifikasi, atau penelitian
PBB;
6.
gugatan;
7.
banding; dan/atau
8.
peninjauan kembali.
|
(2)
|
Dikecualikan dari pengertian utang pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
huruf a, meliputi:
a. utang pajak yang
penagihannya telah daluwarsa; dan/atau
b. utang pajak yang
dimiliki oleh:
1.
Wajib Pajak yang telah meninggal dunia dan tidak
meninggalkan warisan;
atau
2.
Wajib Pajak yang tidak mempunyai harta kekayaan.
|
Apabila WP tidak
memiliki cash flow untuk melunasi utang pajak sehingga NPWP belum dapat
dihapus, WP dapat mengangsur atau menunda pembayaran utang pajak. Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pembayaran
dan Penyetoran Pajak (PMK 242/2014) pasal 20, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengangsur atau menunda
kekurangan pembayaran pajak, pajak yang terutang, atau pajak yang masih harus
dibayar, yang selanjutnya disebut utang pajak, dalam hal Wajib Pajak mengalami
kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib
Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.
Berdasarkan Pasal
21 PMK 242/2014, Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
harus diajukan secara tertulis menggunakan surat permohonan pengangsuran
pembayaran pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran pajak paling lama 9
(sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan
dan bukti yang mendukung permohonan, dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri surat kuasa sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
- surat permohonan mencantumkan:
1.
jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk
diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran; atau
2.
jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk
ditunda dan jangka waktu penundaan.
- dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran PBB yang masih harus dibayar, selain memenuhi persyaratan huruf a dan b, Wajib Pajak harus tidak memiliki tunggakan PBB tahun-tahun sebelumnya dan permohonan dimaksud juga harus dilampiri fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak PBB, atau Surat Tagihan Pajak PBB yang dimohonkan pengangsuran atau penundaan.
Pasal 22
(1) Wajib Pajak yang mengajukan permohonan
pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak harus memberikan jaminan yang
dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak,
penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat
deposito.
(2) Wajib Pajak yang mengajukan permohonan
pengangsuran pembayaran pajak setelah melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 harus memberikan jaminan berupa garansi bank sebesar utang
pajak yang dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu pengangsuran.
Pasal 30
(1) Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk
mengangsur atau menunda pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
huruf a dan huruf b dan persetujuan yang diberikan tersebut tidak berkaitan
dengan Surat Tagihan Pajak, SPPT, dan STP PBB, Wajib Pajak dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang KUP, yang dihitung sejak jatuh
tempo pembayaran sampai dengan pembayaran angsuran/pelunasan, dengan ketentuan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk
mengangsur atau menunda pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
huruf a dan huruf b dan persetujuan yang diberikan tersebut berkaitan dengan
SPPT dan STP PBB, Wajib Pajak dikenai denda administrasi sebesar 2% (dua
persen) sebulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang PBB
yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Berdasarkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-20/PJ/2013 Tentang Tata Cara
Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Perubahan Data dan Pemindahan
Wajib Pajak (PER 20/2013) Pasal 13 ayat (4) huruf b, terdapat utang pajak yang
tidak termasuk sebagai utang pajak yang harus dilunasi sebelum WP menghapus
NPWP-nya, yaitu:
1)
penagihannya sudah daluwarsa;
2)
Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia dengan tidak
meninggalkan warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat
ditemukan; atau
3)
Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan;
Cara menghapus NPWP
Berdasarkan PMK 147/2017, Pasal 31 sebagai berikut:
Pasal 31
(1)
|
Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (1)
disampaikan pada:
a. KPP tempat Wajib
Pajak terdaftar; atau
b. KP2KP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan atau tempat
kegiatan usaha
Wajib Pajak.
|
(2)
|
Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri
dengan dokumen yang
disyaratkan.
|
(3)
|
Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan
penghapusan NPWP
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. dokumen yang
menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan telah dilikuidasi atau
dibubarkan; atau
b. dokumen yang
menunjukkan bahwa Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap telah
menghentikan
kegiatan usahanya di Indonesia.
|
(4)
|
Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan
melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
|
(5)
|
Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan:
a. secara langsung;
b. melalui pos
dengan bukti pengiriman surat; atau
c. melalui
perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
|
(6)
|
Penghapusan NPWP atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
|
(7)
|
Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), Kepala KPP
menerbitkan keputusan atas permohonan tersebut paling lama
12 (dua belas) bulan
sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara
lengkap.
|
(8)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
terlampaui dan Kepala
KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak
dianggap dikabulkan
dan Kepala KPP harus menerbitkan surat keputusan
penghapusan NPWP paling
lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (7)
berakhir.
|
Keadaan yang mengharuskan penghapusan NPPKP
Berdasarkan PMK
147/2017 pasal 1 angka 18, Pencabutan Pengukuhan PKP adalah tindakan mencabut
Pengukuhan PKP dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Kemudian
berdasarkan pasal 53 PMK 147/2017, dalam hal PKP tidak menyampaikan klarifikasi
sesuai ketentuan atau klarifikasi PKP ditolak, dilakukan pencabutan pengukuhan
PKP. Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi:
Pasal 53
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menonaktifkan
sementara Sertifikat
Elektronik terhadap PKP dengan kriteria sebagai berikut :
a. PKP yang tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai untuk 3
(tiga) Masa Pajak berturut-turut;
b. PKP yang
terindikasi menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak
pengukuhan PKP;
dan/atau
c. PKP selain
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang tidak
melaksanakan
kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Terhadap penonaktifan sementara Sertifikat Elektronik
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), PKP dapat menyampaikan klarifikasi dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. paling lama 1
(satu) bulan terhitung sejak penonaktifan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
huruf a diberitahukan; atau
b. dalam jangka
waktu lain yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
|
(3)
|
Dalam hal berdasarkan klarifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diketahui
bahwa PKP tidak memenuhi kriteria penonaktifan sementara
Sertifikat Elektronik,
dilakukan pengaktifan kembali Sertifikat Elektronik.
|
Cara menghapus NPPKP
Pasal 56
(1)
|
PKP menyampaikan permohonan pencabutan
pengukuhan PKP pada KPP atau
KP2KP tempat PKP dikukuhkan.
|
(2)
|
Permohonan pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara elektronik atau tertulis,
dan dilampiri dengan dokumen yang
menunjukkan bahwa PKP tidak lagi memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (1) (yaitu tidak lagi melakukan
penyerahan objek PPN dan atau
menghasilkan omset usaha kurang dari Rp 4,8 Milyar).
|
(3)
|
Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan
melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
|
(4)
|
Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan:
a. secara langsung;
b. melalui pos
dengan bukti pengiriman surat; atau
c. melalui
perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
|
(5)
|
Pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan permohonan PKP
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasü Pemeriksaan.
|
(6)
|
Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), Kepala KPP
menerbitkan keputusan atas permohonan tersebut dalam jangka
waktu 6 (enam)
bulan sejak tanggal permohonan PKP diterima secara lengkap.
|
(7)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
telah terlampaui dan
Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan PKP
dianggap dikabulkan
dan Kepala KPP menerbitkan surat keputusan pencabutan
pengukuhan PKP dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka
waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) berakhir.
|
Resiko apabila NPWP dan NPPKP tidak dihapus pada saat
penutupan usaha dan resiko saat penghapusannya
Pada saat usaha
wajib pajak telah ditutup, NPWP tidak secara otomatis terhapus, dan juga status
PKP tidak secara otomatis dicabut. WP harus melakukan pengajuan penghapusan
NPWP dan pencabutan status PKP apabila WP tidak menginginkan adanya penagihan
pajak ke depannya. Penagihan pajak dapat dilakukan oleh kantor pajak karena WP
yang telah melakukan penutupan usaha biasanya sudah tidak melaporkan lagi Surat
Pemberitahuan (SPT) Pajak-nya dan juga tidak memenuhi kewajiban perpajakan
lainnya. Untuk menghindari hal-hal demikian, WP perlu melakukan manajemen
penutupan usahanya dengan baik, termasuk mengenai kewajiban yang berhubungan
dengan pajak.
Hal-hal yang harus
diperhatikan oleh Wajib Pajak yang melakukan penutupan usaha adalah sebagai
berikut:
1.
WP harus menyadari bahwa usaha untuk menghapus NPWP dan NPPKP
merupakan salah satu upaya DJP untuk merapikan administrasi pajak di Indonesia.
Usaha WP yang kooperatif untuk segera mengajukan penghapusan NPWP dan NPPKP
segera setelah usahanya ditutup dan segala persyaratan telah dipenuhi akan
mempermudah pendataan dari sisi DJP maupun dari sisi WP itu sendiri. Hal ini
juga dilakukan untuk menghindari sanksi pajak yang mungkin timbul ke depannya
apabila NPWP dan NPPKP WP masih ada tetapi kegiatan usahanya sudah tidak berjalan
lagi. Mengenai status PKP, apabila WP belum melaporkan pencabutan statusnya,
hal ini akan berdampak pada WP lain yang bertransaksi dengannya. Status PKP
atau non-PKP akan berdampak pada diperbolehkan atau tidak diperbolehkannya
pengkreditan Pajak Masukan PPN.
2.
WP harus mengajukan permohonan penghapusan NPWP secara
elektronik atau tertulis kepada KPP tempat WP terdaftar, atau KP2KP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha WP
dilampiri dengan dokumen-dokumen yang disyaratkan.
3.
WP harus menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan pada saat
pemeriksaan DJP pasca permohonan penghapusan NPWP yaitu dokumen yang
menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan telah dilikuidasi atau dibubarkan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU
PT) Pasal 142 sampai dengan Pasal 152 dijelaskan terkait pembubaran, likuidasi,
dan berakhirnya status badan hukum perseroan. Dokumen-dokumen yang menunjukkan
bahwa Wajib Pajak Badan telah dilikuidasi atau dibubarkan, seperti yang dijelaskan
secara tersirat dalam UU PT, meliputi:
●
Surat keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
●
Anggaran dasar WP Badan yang menunjukkan jangka waktu
berdirinya PT telah berakhir;
●
Surat penetapan pengadilan atau putusan pengadilan niaga;
●
Surat pencabutan izin usaha PT; atau
●
Surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat
informasi mengenai penutupan usaha WP Badan.
4.
WP harus memastikan tidak mempunyai utang pajak (tidak
termasuk utang pajak yang penagihannya telah daluwarsa dan utang pajak yang
dimiliki oleh Wajib Pajak yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan
warisan; atau Wajib Pajak yang tidak mempunyai harta kekayaan), tidak sedang
dilakukan tindakan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan; pemeriksaan bukti permulaan; penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan; atau penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tidak sedang dalam
proses penyelesaian persetujuan bersama (mutual
agreement procedure), tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan
harga transfer (advance pricing agreement),
seluruh NPWP cabang telah dihapus, tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya
hukum di bidang perpajakan, berupa:
a. keberatan;
b. pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi;
c. pengurangan atau
pembatalan SKP;
d. pengurangan atau
pembatalan STP;
e. pembatalan hasil
pemeriksaan, verifikasi, atau penelitian PBB;
f. gugatan;
g. banding; dan/atau
h. peninjauan kembali.
5.
WP harus menyampaikan permohonan pencabutan pengukuhan PKP
secara elektronik atau tertulis pada KPP atau KP2KP tempat PKP dikukuhkan,
dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan telah
dilikuidasi atau dibubarkan.
6.
WP harus menyiapkan dokumen-dokumen bukti penutupan usaha
yang dibutuhkan pada saat pemeriksaan DJP pasca permohonan pencabutan status
PKP meliputi:
●
Surat keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
●
Anggaran dasar WP Badan yang menunjukkan jangka waktu
berdirinya PT telah berakhir;
●
Surat penetapan pengadilan atau putusan pengadilan niaga;
●
Surat pencabutan izin usaha PT; atau
●
Surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat
informasi mengenai penutupan usaha WP Badan.
7.
Apabila WP tidak memiliki cash flow untuk melunasi utang
pajak sehingga NPWP belum dapat dihapus, WP dapat mengangsur atau menunda
pembayaran utang pajak. Wajib Pajak harus mengajukan permohonan secara tertulis
menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak atau surat
permohonan penundaan pembayaran pajak paling lama 9 (sembilan) hari kerja
sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung
permohonan, dan memenuhi persyaratan. WP juga harus menyiapkan jaminan berupa
garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan
utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat deposito, dan juga
garansi bank sebesar utang pajak yang dapat dicairkan sesuai dengan jangka
waktu pengangsuran apabila permohonan pengangsuran pembayaran pajak diajukan
setelah melampaui batas waktu.
BAB III PENUTUP
Manajemen
pajak dalam rangka penutupan usaha dapat dilakukan dengan cara penutupan usaha
sekaligus atau menghentikan kegiatan operasional atau status dormant.
Apabila
perusahaan memilih untuk melakukan penutupan usaha sekaligus, maka dapat
menimbulkan konsekuensi dari aspek non pajak dan pajak. Bagi pelaku usaha yang
memilih untuk melakukan penutupan usaha disamping menyelesaikan kewajiban
perpajakannya untuk juga tidak lupa melakukan penghapusan NPWP dan pencabutan
Pengusaha Kena Pajak. Penghapusan dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak tidak terjadi sendiri apabila kita tutup usaha melainkan dengan
mengajukan permohonan kepada Kantor pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak
terdaftar.Aspek non pajak meliputi, biaya pesangon atas diberhentikannya
karyawan (PHK – Putus Hubungan Kerja), menjual asset, menggunakan jasa-jasa
profesional untuk penyelesaian proses likuidasi
-seperti konsultan hukum, konsultan pajak, kurator, likuidator - dan
proses penutupan perusahaan, pembayaran sisa laba (jika ada) kepada pemegang
saham berupa dividen. Sedangkan aspek pajaknya meliputi, pemotongan PPh 21 atas
Pesangon, pemotongan PPh Final, pemungutan BPHTB dan PPN atas Penjualan Aset
berupa Tanah dan/atau Bangunan, pengakuan bjek PPh Pasal 17 atas penjualan aset
selain yang dikenakan PPh Final, PPh Potong Pungut (PPh 23/26) atas penggunaan
jasa-jasa profesional, dan PPh Potong Pungut atas pembagian dividen ( memotong
PPh Final apabila penerima dividen adalah orang pribadi) dan memotong PPh 23
(bagi Penerima Dividen WPDN), memotong PPh 26 (bagi Penerima Dividen WPLN).
Apabila
perusahaan memilih untuk melakukan strategi status dormant, maka perusahaan tidak perlu melakukan penghapusan NPWP.
Selain itu, perusahaan akan diuntungkan berupa dapat terhindar dari
dilakukannya pemeriksaan pajak karena tidak ada penghapusan NPWP. Oleh karena
itu, perusahaan dapat meminimalkan Tax
Exposure yang massive. Status dormant dapat memberikan benefit berupa menekan biaya-biaya
operasional, seperti: Menurunkan
biaya gaji pegawai dengan mem-PHK beberapa karyawan; Berkurangnya karyawan juga dapat menurunkan biaya asuransi; Menurunkan biaya iklan dengan
menghentikan pemasangan iklan produk; Menurunkan biaya sewa gedung dengan cara memindahkan lokasi usaha.
Apabila mendapatkan proyek
baru, maka perusahaan tidak
perlu mengajukan NPWP atas perusahaan baru karena tidak pernah dilakukan
penghapusan NPWP dalam status dormant.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Beams, Floyd A., Jusuf, Abadi, Amir. 2000. Akuntansi
Keuangan Lanjutan di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Khairandy, Ridwan. (2003). Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Rahayu, Ning dan Iman Santoso. (2013). Corporate Tax Management: Mengulas Upaya Pengelolaan Pajak Perusahaan
Secara Konseptual-Praktikal. Jakarta: ORTAX.
Sudarsono. (1999). Kamus Hukum, cetakan ke-2. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
(1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Wibowo dan Abubakar Arif. (2006). Pengantar Akuntansi II (Ikhtisar Teori dan Soal-Soal) – Edisi Revisi
II, Cetakan Keempat. Jakarta: PT Grasindo.
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008
Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016
Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan
Beserta Perubahannya
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
242/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
243/PMK.03/2014 Tahun 2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT).
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
147/PMK.03/2017 Tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak.
Republik Indonesia. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor:
PER-20/PJ/2013 Tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib
Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta
Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak.
[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
(1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, halaman 523.
[3] Santoso, Iman, dan Ning Rahayu. 2013. Corporate Tax Management: Mengulas Upaya Pengelolaan Pajak Perusahaan
Secara Konseptual-Praktikal. Jakarta: ORTAX.
[4] Equity insolvency,
adalah ketidakmampuan untuk melakukan pembayaran-pembayaran pada waktunya; Bankruptcy
insolvency, adalah total
hutang yang melebihi nilai nilai wajar assets.
[5] Kurator (Trustee) adalah perorangan atau persekutuan
perdata yang berdomisili di wilayah Indonesia yang memiliki keahlian khusus
untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit dan telah terdaftar di
Departemen Kehakiman.
[6] Beams, Floyd A., Jusuf, Abadi, Amir. 2000. Akuntansi
Keuangan Lanjutan di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
[7] Wibowo dan Abubakar Arif. 2006. Pengantar Akuntansi II (Ikhtisar Teori dan Soal-Soal) – Edisi Revisi
II, Cetakan Keempat. Jakarta: PT Grasindo.
[8] Penghitungan Laba=Rasio Pembagian Laba * Laba, yaitu 5/10*Rp
20.000=Rp 10.000
[9] Penghitungan Laba=Rasio Pembagian Laba * Laba, yaitu
3/10*Rp 20.000=Rp 6.000
[10] Penghitungan Laba=Rasio Pembagian Laba * Laba, yaitu
2/10*Rp 20.000=Rp 4.000
[11] Penghasilan dimaksud adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui
penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris,
atau cara lain yang disepakati antara para pihak (Pasal 1 ayat (2) PP Nomor 34
Tahun 2016).
[12] Penghasilan dimaksud adalah penghasilan dari: (a) pihak
penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat
pertama kali ditandatangani;atau (b) pihak pembeli yang namanya tercantum dalam
perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum
perjanjian pengikatan jual beli, atas terjadinya perubahan pihak pembeli dalam
perjanjian pengikatan jual beli tersebut.
[14] Rumah Sederhana dimaksud terdiri atas Rumah Sederhana Sehat
dan Rumah Inti tumbuh, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 4
ayat (5) PP Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang digantikan
dengan PP Nomor 34 Tahun 2016).
[15] Rumah Susun Sederhana dimaksud adalah bangunan bertingkat
yang dibangun dalam satu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian
yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu unit hunian maupun terpisah
dengan penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat
fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 4 ayat (6) PP Nomor 71 Tahun 2008).
[16] Disarikan dari PP Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 2 ayat (2)
[17] Disarikan dari PP Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 2 ayat (3)
[18] NJOP sebagaimana dimaksud adalah NJOP menurut Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun yang
bersangkutan atau dalah hal SPPT dimaksud belum terbit, adalah NJOP menurut
SPPT tahun pajak sebelumnya (Pasal 4 ayat (3) PP Nomor 71 Tahun 2008).
[19] Dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
[20] Khairandy, Ridwan. 2003. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185
Comments
Post a Comment
Your comments help me improving my papers; therefore, I'm going to be glad receiving your advice. Thanks for visiting my blog.