Skip to main content

Manajemen Pajak pada Penutupan Usaha








BAB 1 PENDAHULUAN

Persaingan usaha dituntut untuk dapat berkembang mengikuti perkembangan trend kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, arus globalisasi, perkembangan kebijakan dan peraturan dalam rangka pengawasan kegiatan usaha. Maka dari itu, tidak dapat dipungkiri bahwa persaingan di dunia usaha sekarang ini demikian ketat dan tentu saja diperlukan kedisiplinan dari masing-masing pelaku usaha bila tidak ingin perusahaannya gulung tikar (tutup). Seperti kita ketahui ada beberapa alasan perusahaan terpaksa tutup di antaranya adalah perusahaan mengalami kerugian beruntun, perusahaan mengalami kemunduran kegiatan usaha, perusahaan mengalami penurunan omset, atau perusahaan terlilit hutang. Apabila perusahaan mengalami kondisi tersebut, pada umumnya manajemen perusahaan akan segera melakukan usaha perbaikan dan penyelamatan agar terhindar dari kebangkrutan dan tutupnya usaha.
Beberapa usaha biasanya mengupayakan terhindarnya diri dari kebangkrutan dan tutupnya usaha dengan cara melakukan restrukturisasi keuangan (financial reengineering) dengan mengkonversikan utang menjadi modal, melakukan penjadwalan ulang pembayaran utang dan renegoisasi suku bunga pinjaman, melakukan usaha persuasif kepada investor agar mau menyuntikan dana talangan (bridging fund) atau membeli atau mengakuisisi perusahaan.
Namun, apabila usaha penyelamatan perusahaan tersebut menemui jalan buntu, maka perusahaan dengan terpaksa ditutup atau dilikuidasi. Keputusan ini adalah pilihan terakhir karena akan berdampak pada terhentinya pemasukan serta penyelesaian kewajiban kepada pihak ketiga, termasuk kewajiban utang pajak yang dilindungi undang-undang.
Makalah ini membahas manajemen pajak dalam rangka penutupan usaha, yang meliputi proses likuidasi, melakukan strategy status dormant, serta penghapusan NPWP.

BAB II ISI

1.PROSES LIKUIDASI PERUSAHAAN

1.1 Pengertian Likuidasi

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1990:523),[1] Sudarsono (1999:250)[2], mendefinisikan likuidasi, merupakan pembubaran perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditur dan pembagian harta yang tersisa kepada para pemegang saham (Persero). Dari definisi tersebut, Santoso dan Rahayu (2013: 148)[3], mengambil poin penting, bahwa likuidasi adalah tindakan pemberesan terhadap harta kekayaan atau aset (aktiva) dan kewajiban-kewajiban (passiva) suatu perusahaan sebagai tindak lanjut dari penutupan atau pembubaran perusahaan. Santoso dan Rahayu menekankan bahwa tujuan utama dari likuidasi adalah untuk melakukan pencairan, pengurusan dan pemberesan atas harta perusahaan yang dibubarkan tersebut.

1.2 Tahap-Tahap Likuidasi Perseroan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Bab X, tentang Pembubaran, Likuidasi, dan Berakhirnya Status Badan Hukum Perseroan, Pasal 142, ayat (1), menyebutkan bahwa pembubaran Perseroan terjadi:
a)      Berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
b)      Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
c)      Berdasarkan penetapan pengadilan;
d)     Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e)      Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi[4] sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
f)       Karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan, maka wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator[5], dan Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi (Pasal 142 ayat (2) UU PT). Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan (Pasal 143 ayat (1) UU PT. Oleh karena itu, sejak saat pembubaran pada setiap surat ke luar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” di belakang nama Perseroan (Pasal 143 ayat (2) UU PT). Adapun pembubaran Perseroan dimulai sejak saat yang ditetapkan dalam keputusan RUPS (Pasal 144 ayat (3) UU PT).
Berikut ini adalah tahap-tahap likuidasi sebuah Perseroan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 147 sampai dengan pasal 152 UU PT:

1.2.1 Tahap Pengumuman dan Pemberitahuan Pembubaran Perseroan

Terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari, likuidator wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, likuidator juga wajib memberitahukan pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi (Pasal 147 ayat (1) UU PT).
Kemudian, likuidator melakukan pemberitahuan kepada kreditor dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia. Pemberitahuan harus memuat pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya; nama dan alamat likuidator; tata cara pengajuan tagihan dan jangka waktu pengajuan tagihan (Pasal 147 ayat (2) UU PT). Jangka waktu pengajuan tagihan tersebut adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman pembubaran Perseroan (Pasal 147 ayat (3) UU PT). Dalam hal pemberitahuan kepada Menteri tentang pembubaran Perseroan, likuidator wajib melengkapi dengan bukti dasar hukum pembubaran Perseroan dan pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar (Pasal 147 ayat (4) UU PT).
Apabila pemberitahuan kepada kreditor dan Menteri belum dilakukan, pembubaran Perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga (Pasal 148 ayat (1) UU PT). Jika likuidator lalai melakukan pemberitahuan tersebut, likuidator secara tanggung renteng dengan Perseroan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga (Pasal 148 ayat 2 UU PT).

1.2.2 Tahap Pencatatan dan Pembagian Harta Kekayaan

Selanjutnya, menurut Pasal 149 ayat (1) UU PT, kewajiban likuidator dalam melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi harus meliputi pelaksanaan:
  1. Pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang Perseroan;
  2. Pengumuman dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi;
  3. Pembayaran kepada para kreditor;
  4. Pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang sham; dan
  5. Tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan.
Kemudian dalam hal likuidator memperkirakan bahwa utang Perseroan lebih besar daripada kekayaan Perseroan, likuidator wajib mengajukan permohonan pailit Perseroan, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain dan semua kreditor yang diketahui identitas dan alamatnya, menyetujui pemberesan dilakukan di luar kepailitan (Pasal 149 ayat (2) UU PT).

1.2.3. Tahap Pengajuan Keberatan Kreditor

Kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam) puluh hari terhitung sejak tanggal pengumuman pembubaran Perseroan (Pasal 149 ayat (3) UU PT). Dalam hal pengajuan keberatan tersebut ditolak oleh likuidator, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan (Pasal 149 ayat (4) UU PT).
Kemudian kreditor yang mengajukan tagihan sesuai dengan jangka waktu tersebut, dan kemudian ditolak oleh likuidator dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung tanggal penolakan (Pasal 150 ayat (1) UU PT). Sebaliknya, kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui pengadilan negeri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran Perseroan diumumkan (Pasal 150 ayat (2) UU PT). Tagihan yang diajukan kreditor tersebut dapat dilakukan dalam hal terdapat sisa kekayaan hasil likuidasi yang diperuntukkan bagi pemegang saham (Pasal 150 ayat (3) UU PT). Dengan demikian, pemegang saham wajib mengembalikan sisa kekayaan hasil tersebut secara proporsional dengan jumlah yang diterima terhadap jumlah tagihan (Pasal 150 ayat (5) UU PT).
Apabila dalam hal likuidator tidak dapat melaksanakan kewajibannya seperti yang diatur, atas permohonan pihak yang berkepentingan atau atas permohonan kejaksaan ketua pengadilan negeri dapat mengangkat likuidator baru dan memberhentikan likuidator lama. Pemberhentian likuidator tersebut, dilakukan setelah yang bersangkutan dipanggil untuk didengar keterangannya (Pasal 151 ayat (1) dan (2) UU PT).

1.2.4. Tahap Pertanggungjawaban Likuidator

Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atau pengadilan yang mengangkatnya atas likuidasi Perseroan yang dilakukan dan kurator bertanggung jawab kepada hakim pengawas atas likuidasi Perseroan yang dilakukan (Pasal 152 ayat (1) UUPT).

1.2.5. Tahap Pengumuman Hasil Likuidasi

Kemudian, likuidator wajib memberitahukan kepada Menteri dan mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggung jawaban likuidator yang ditunjuknya. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi kurator yang pertanggung jawabannya telah diterima oleh hakim pengawas (Pasal 152 ayat (3) dan (4) UU PT).
Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus nama Perseroan dari daftar Perseroan, setelah ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 152 ayat (3) dan ayat (4) dipenuhi. Ketentuan ini berlaku juga bagi berakhirnya status badan hukum Perseroan karena Penggabungan, Peleburan atau Pemisahan (Pasal 152 ayat (5) dan (6) UU PT).
Selanjutnya, pemberitahuan dan pengumuman sebagaimana dimaksud Pasal 152  ayat (3) dan (4) UUPT dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pertanggungjawaban likuidator atau kurator diterima oleh RUPS, pengadilan atau hakim pengawas (Pasal 152 ayat (7) UU PT). Tahapan-tahapan likuidasi telah dinilai selesai pada saat Menteri mengumumkan berakhirnya status badan hukum Perseroan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Hal yang perlu diperhatikan dari perspektif perpajakan, suatu perusahaan akan berakhir kewajiban pajak subjektifnya apabila ia telah dilikuidasi, sehingga perlu dilakukan penghapusan NPWP/NPPKP terhadapnya. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU KUP yang berlaku, Direktur Jenderal Pajak (DJP) setelah melakukan pemeriksaan untuk Wajib Pajak Badan, harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan NPWP dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan penghapusan NPPKP  dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

1.3 Tahap-Tahap Likuidasi Persekutuan

1.3.1 Perbedaan Likuidasi dengan Perubahan Persekutuan

Likuidasi terjadi apabila semua sekutu mengundurkan diri dan persekutuan dibubarkan, serta aktiva non-kasnya dijual (Beam, 2000: 625)[6]. Sedangkan, perubahan persekutuan terjadi apabila:
a)       Sekutu berkurang, hal ini terjadi bila seorang sekutu atau beberapa sekutu mengundurkan diri.
b)      Sekutu bertambah, hal ini terjadi apabila ada seorang sekutu atau beberapa sekutu yang masuk ke dalam persekutuan.

1.3.2 Proses Likuidasi pada Persekutuan

Proses likuidasi persekutuan ada 4 (Empat) tahapan (Wibowo dan Arif: 2005: 43)[7], yaitu:
a.      Tahap menghitung dan membagi laba atau rugi persekutuan sampai saat likuidasi (berupa rasio pembagian laba)
Pembagian laba dilakukan sesuai dengan metode pembagian laba. Tahap ini hanya diperlukan apabila likuidasi tidak dilakukan pada awal atau akhir periode.
b.     Meng-uangkan (menjual) semua aktiva selain kas
Tahap yang kedua ini disebut realisasi. Apabila nilai realisasi aktiva non-kasnya lebih kecil dibanding nilai bukunya maka kerugian harus ditanggung semua sekutu dengan mengurangkan modalnya. Sebaliknya bila nilai realisasi aktiva non-kasnya lebih besar dibanding nilai bukunya maka keuntungan akan menambah modal semua sekutu sesuai rasio pembagian labanya. Rugi-laba tersebut diakui sebagai rugi laba realisasi.
c.      Melunasi semua hutang persekutuan
Setelah penjualan aktiva non-kas (realisasi) maka hasilnya akan menambah kas, kemudian kas ini sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata harus digunakan terlebih dahulu untuk:
(1)   Melunasi hutang kepada pihak ketiga (bukan sekutu)
Hutang pihak ketiga harus diprioritaskan untuk dilunasi terutama hutang pihak ketiga yang jumlahnya besar terlebih dahulu.
(2)   Melunasi hutang sekutu
Setelah semua utang kepada pihak ketiga dilunasi maka menyusul pelunasan hutang sekutu yang biasanya bila hanya hutang pada seorang sekutu maka dilakukan bersama-sama dengan pengembalian modal pada likuidasi sederhana. Apabila hutang lebih dari satu sekutu maka dilakukan pelunasan dengan prioritas sekutu yang modalnya lebih besar.
Apabila terbukti modalnya tidak cukup untuk melunasi hutang maka sekutu yang bersangkutan harus membayar hutang dengan harta pribadi.
d.     Membagi sisa kas yang masih ada kepada para sekutu
Sisa kas dibagikan setelah hutang kepada pihak ketiga dan sekutu dilunasi. Tujuan pembagian sisa kas ini adalah:
(1)   Untuk mengembalikan modal kepada para sekutu sebagai wujud pembagian hak kepada sekutu. Pengembalian modal ini sebesar modal bersih (modal setelah dikurangi laba-rugi realisasi dan hutang) masing-masing sekutu;
(2)   Untuk melindungi kepentingan sekutu dikarenakan tanggung jawab sekutu tidak terbatas maka apabila kas memungkinkan biasanya pembayaran utang kepada sekutu dilakukan bersama-sama dengan pengembalian modal kepada sekutu.
Menurut cara pembagian kasnya, likuidasi dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:
(1)   Likuidasi Sekaligus/ Sederhana, yaitu likuidasi yang pembagian kasnya dilakukan serentak karena realisasi non-aktivanya sekaligus.
(2)   Likuidasi Bertahap/ Berangsur, yaitu likuidasi yang dilakukan sesuai tersedianya kas walaupun realisasinya belum tuntas.

1.3.3. Ilustrasi Proses Likuidasi Persekutuan

Persekutuan ABC, yang modalnya dari Tn. Adi, Tn. Budi, dan Tn. Chandra memutuskan untuk melikuidasi persekutuan mereka. Rasio pembagian adalah 5:3:2. Pada 8 November 2001, kegiatan perusahaan dihentikan dan diperkirakan ditutup. Ikhtisar buku besarnya adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Ikhtisar Buku Besar Persekutuan ABC Per 8 November 2001
Kas
Rp
40.000

-
Aktiva Non-Kas
Rp
80.000

-
Utang Usaha

-
Rp
30.000
Modal Tn. Adi

-
Rp
40.000
Modal Tn. Budi

-
Rp
30.000
Modal Tn. Chandra

-
Rp
20.000
Jumlah
Rp
120.000
Rp
120.000
Sumber: diolah sendiri oleh peneliti (2017)
a) Keuntungan Penjualan Aktiva Non-Kas
Antara tanggal 10 November-30 November 2001, Tn. Adi, Tn. Budi, dan Tn. Chandra menjual aktiva non-kas sebesar Rp 100.000, maka penjualan aktiva non-kas mendapatkan keuntungan sebesar Rp 20.000 (nilai jual Rp 100.000-nilai buku Rp 80.000). Laporan likuidasi persekutuan yang mengikhtisarkan proses likuidasi adalah sebagai berikut:



Tabel 1.2 Laporan Likuidasi Persekutuan ABC untuk Periode 30 November 2001 (dalam satuan Rupiah)
Keterangan
AKTIVA
=
KEWAJIBAN
+
MODAL
Kas
Aktiva Non-Kas

Utang Usaha

Tn. Adi
Tn. Budi
Tn. Chandra
Saldo Sebelum Likuidasi
40.000
80.000

30.000

40.000
30.000
20.000
Penjualan Aktiva Non-Kas
100.000
(80.000)

-

10.000[8]
6.000[9]
4.000[10]
Saldo Setelah Penjualan Aktiva Non-Kas
140.000
0

30.000

50.000
36.000
24.000
Membayar Kewajiban
(30.000)
-

(30.000)

-
-
-
Saldo Setelah Membayar Kewajiban
110.000
0

0

50.000
36.000
24.000
Pembagian Uang Kas kepada Sekutur
(110.000)
-

-

(50.000)
(36.000)
(24.000)
Saldo Setelah Likuidasi
0
0

0

0
0
0
Sumber: diolah sendiri oleh peneliti (2017)



Aspek Akuntansi
Ayat jurnal untuk mencatat langkah-langkah likuidasi adalah sebagai berikut:
  1. Penjualan Aktiva Non-Kas
30 November 2001
Kas

100.000
-

Aktiva Non-Kas
-
80.000

Keuntungan Realisasi
-
20.000
  1. Pembagian Keuntungan
30 November 2001
Keuntungan Realisasi

20.000
-

Modal, Tn. Andi
-
10.000

Modal, Tn. Budi
-
6.000

Modal, Tn. Chandra
-
4.000
  1. Membayar Kewajiban
30 November
Utang Usaha

30.000
-

Kas
-
30.000
  1. Pembagian Uang Kas kepada Sekutu
30 November 2001
Modal, Tn. Andi

50.000
-
Modal, Tn. Budi

36.000
-
Modal, Tn.Chandra

24.000
-

Kas
-
110.000









Aspek Pajak
Dari contoh kasus di atas, pada saat likuidasi, Persekutuan ABC masih memiliki kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi. Hal ini disebabkan karena persyaratan subjektif dan objektif masih melekat pada Persekutuan ABC. Persyaratan objektif yang dimaksud adalah terkait penghasilan dari pengalihan aset non-kas dengan asumsi aset tersebut bukan merupakan tanah/ bangunan. Penghasilan dari hasil pengalihan aset non-kas merupakan objek yang dikenakan Pajak Penghasilan sesuai tarif pada Pasal 17 UU PPh yakni 25 persen (badan). Dengan asumsi bahwa penghasilan pada tahun yang bersangkutan hanya berasal dari pengalihan aset non-kas, maka kewajiban pajak Persekutuan ABC dapat diketahui berdasarkan perhitungan berikut,
            Penjualan         100.000
            Harga Pokok   (80.000)
            Laba Kotor      20.000
            Beban Operasi 0
            Penghasilan Kena Pajak          20.000
PPh Badan Terutang = 25% x 20.000
            = 5.000
Penghasilan serta PPh Badan sampai dengan tanggal likuidasi harus tetap dilaporkan oleh Persekutuan ABC di dalam SPT Tahunan Badan. Hal ini merupakan sesuatu yang logis mengingat belum ada pencabutan NPWP oleh KPP tempat kegiatan usaha Persekutuan ABC, sehingga data NPWP masih terekam di dalam master file pajak.
Selain aspek PPh, pada saat likuidasi juga terdapat aspek PPN yang harus diperhatikan. Sesuai Pasal 16D UU PPN disebutkan bahwa “ Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan c.” Maka dari itu, pengalihan aset non-kas dengan asumsi bukan tanah/ bangunan dan tidak termasuk dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan c UU PPN dikenakan PPN sebesar 10 persen. Persekutuan ABC yang merupakan PKP diwajibkan memungut PPN sebesar Rp 1.000 kepada pembeli untuk kemudian disetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 15 Desember 2001. Di samping itu, Persekutuan ABC juga wajib melaporkan SPT Masa PPN untuk Masa Pajak November 2001.

2. PERLAKUAN PERPAJAKAN (TAX TREATMENT) DALAM PROSES LIKUIDASI

Sangat perlu dipahami bahwa likuidasi adalah suatu siklus dan keputusan bisnis yang memiliki dampak perpajakan tersendiri. Adapun aspek perpajakan terkait meliputi, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), penagihan pajak seketika dan sekaligus, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

2.1. Pajak Penghasilan (PPh)

2.1.1. Pengalihan Harta
Unsur yang merupakan penghasilan sebagai objek pajak adalah keuntungan penjualan atau karena pengalihan harta termasuk keuntungan karena likuidasi (pasal 4 ayat 1 huruf d angka 3 UU PPh). Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan (pasal 10 ayat 3 UU PPh). Dalam hal penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan dikenai pajak bersifat final (pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh).
Ketentuan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya (yang selanjutnya dituliskan PP Nomor 34 Tahun 2016).
Berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016, Pasal 1, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari: (a) pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan[11]; atau (b) perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya[12], terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Besarnya Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a adalah sebesar[13]:
  1. 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana[14] atau Rumah Susun Sederhana[15] yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
  2. 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
  3. 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah[16]:
  1. nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah;
  2. nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Vendu Reglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya);
  3. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;
  4. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;atau
  5. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
Adapun besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b berdasarkan tarif sebagaimana  pada ayat (1) dari jumlah bruto, yaitu[17]:
  1. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa; atau
  2. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.
Nilai Pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Tanah dan/atau Bangunan yang bersangkutan[18], kecuali dalam hal pengalihan hak kepada Pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan; dan dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang adalah nilai menurut risalah lelang tersebut (Pasal 4 ayat (2) PP Nomor 71 Tahun 2008).
Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar, maka untuk memperoleh besarnya Nilai Jual Objek Pajak, orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan wajib meminta surat keterangan mengenai besarnya NJOP atas tanah dan/atau bangunan untuk tahun pajak yang bersangkutan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan tersebut berada (Pasal 4 ayat (4) PP Nomor 71 Tahun 2008).
Keberadaan PP Nomor 34 Tahun 2016 menurut pertimbangan:
a.       bahwa dalam rangka percepatan pelaksanaan program pembangunan pemerintah untuk kepentingan umum, pemberian kemudahan dalam berusaha, serta pemberian perlindungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah, perlu mengatur kembali kebijakan atas Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya;
b.      bahwa dalam rangka pengaturan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
c.       bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya.
PP 34 Tahun 2016 dimaksudkan untuk mengimplementasikan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893).

2.1.2. Dividen

Santoso dan Rahayu (2013: 154) mengkhawatirkan kemungkinan pengembalian sejumlah dana kepada pemegang saham baik yang besarannya lebih kecil, sama dengan, atau lebih besar dari nilai penyertaannya dulu kepada perusahaan. Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor kepada pemegang saham adalah dividen yang merupakan objek pajak. Hal ini sesuai dengan penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh. Apabila kondisi ini terpenuhi, perusahaan terlikuidasi wajib memotong PPh pasal 23. Apabila pemegang saham adalah subjek pajak luar negeri, dilakukan pemotongan PPh pasal 26 atau sesuai P3B.

2.1.3. Keuntungan Karena Pembebasan Hutang

Santoso dan Rahayu (2013: 153-154) menekankan pentingnya memperhatikan aspek-aspek perpajakan khususnya dalam kondisi pembubaran perusahaan. Pembubaran perusahaan mungkin berakibat terhapusnya piutang perusahaan kepada pihak debitur (baik sebagian atau keseluruhan) dan sebaliknya mungkin sebagian atau seluruh hutang perusahaan kepada kreditur, juga terhapus.
Sesuai penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh, penghasilan adalah keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah mengatur bahwa pembebasan utang debitur kecil, seperti kredit usaha keluarga prasejahtera (Kukesra), kredit usaha tani (KUT), kredit usaha rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak. Ketentuan tersebut diatur oleh PP Nomor 130 Tahun 2000 tentang Pengecualian Sebagai Objek Pajak Atas Keuntungan Karena Pembebasan Utang Debitur Kecil. Menurut PP Nomor 130 Tahun 2000, Pasal 2, pengecualian objek PPh atas pembebasan hutang diberikan selama kredit tersebut tidak melebihi Rp 350 juta.

2.2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

2.2.1. Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak

Berdasarkan UU RI Nomor 8 Tahun 1983 j.o. Terakhir Diubah Perubahan Ketiga dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (selanjutnya disebut UU PPN dan PPnBM), Pasal 1 A ayat (2) huruf e., menyebutkan:
“Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah: ...e. aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang pajak masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c. Termasuk dalam pengertian ini adalah sebagai berikut:
a.      Perolehan barang kena pajak atau jasa kena pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
b.      Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
Selanjutnya, dalam Pasal 16D UU PPN dan PPnBM, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
Dalam hal ini perlu diidentifikasi terkait penyerahan yang termasuk objek pajak PPN dan yang bukan objek pajak PPN. Ketentuan dalam UU PPN dan PPnBM memperjelas bahwa aktiva yang tersisa saat pembubaran perusahaan yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, atas penyerahannya dikenakan PPN. Adapun, penyerahan dalam hal tersebut yang dikecualikan hanya dibatasi pada BKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan perolehan dan pemeliharaan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan yang akan tetap dikenakan PPN.

2.2.2. Persediaan

Barang kena pajak, berupa persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan (pasal 1A ayat (1) huruf e UU PPN). Dengan kata lain, jika persediaan memenuhi syarat sebagai barang kena pajak, yang memenuhi ketentuan semula tidak untuk diperjualbelikan, akan dikenakan PPN.

2.3. Penagihan Pajak

Apabila terdapat tanda-tanda perusahaan akan membubarkan perusahaan, maka dilakukan penagihan seketika dan sekaligus (pasal 20 ayat 2 UU KUP).
“Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)[19], penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila: ...c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau e. Terjadinya penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.”
Selain itu, menurut pasal 21 ayat (1), (2), dan (3) UU KUP, negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak, yang meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak. Namun dikecualikan atas hak mendahulu untuk utang pajak terhadap hal-hal berikut ini: (1) Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak; (2) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; (3) Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Namun, hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah (Pasal 21 ayat (4) UU KUP). Adapun penghitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut (Pasal 21 ayat (5) UU KUP):
  1. Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
  2. Dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.

2.4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 85 sampai dengan Pasal 93, terkait BPHTB, objek Pajak BPHTB adalah atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut meliputi pemindahan hak (karena jual beli; tukar menukar; hibah; hibah wasiat; waris; pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; penunjukan pembeli dalam lelang; pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; penggabungan usaha; peleburan usaha; pemekaran usaha; atau hadiah)  atau pemberian hak baru (karena kelanjutan pelepasan hak; atau di luar pelepasan hak). Hak atas tanah yang dimaksud adalah: hak milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak milik atas satuan rumah susun; dan hak pengelolaan.
Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah obek pajak yang diperoleh:
  1. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
  2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
  3. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
  4. Orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
  5. Orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
  6. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Adapun, subjek pajak dan/atau wajib pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
Dasar pengenaan pajak BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak (NPOP). NPOP yang dimaksud ditentukan sebagai berikut:
  1. Berdasarkan harga transaksi
NPOP berdasarkan harga transaksi digunakan dalam hal terjadi jual beli; penunjukan pembeli dalam hal lelang.
  1. Berdasarkan nilai pasar
NPOP berdasarkan nilai pasar digunakan dalam hal terjadi tukar menukar; hibah; hibah wasiat; waris; pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak; pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak; penggabungan usaha; peleburan usaha; pemekaran usaha; hadiah.
Jika NPOP tersebut, kecuali NPOP atas penunjukan pembeli dalam lelang, tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP PBB.
NPOPTKP ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan paling rendah sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap WP. Namun, dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima OP yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan tarif paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Sedangkan BPHTB terutang dihitung dengan mengalikan tarif dengan DPP setelah dikurangi NPOPTKP. BPHTB terutang tersebut dipungut di wilayah daerah tempat Tanah dan/atau Bangunan berada.
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan sebagai berikut:
a.       Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, dalam hal terjadi jual beli; tukar menukar; hibah; hibah wasiat; pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; penggabungan usaha; peleburan usaha; pemekaran usaha; hadiah.
b.      Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan, dalam hal waris.
c.       Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam hal putusan hakim.
d.      Sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, dalam hal terjadi pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak; pemberian hak baru di luar pelepasan hak.
e.       Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, dalam hal lelang.
Adapun pajak yang terutang tersebut dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak. Berkaitan dengan hal ini, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau bangunan setelah WP menyerahkan bukti pembayaran pajak. Begitu pun dengan Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah WP menyerahkan bukti pembayaran pajak. Apabila PPAT/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara melanggar ketentuan tersebut maka dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Selain itu, Kepala Kantor Bidang Pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah WP menyerahkan bukti pembayaran pajak. Kepala Kantor Bidang Pertanahan yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PPAT/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. Apabila PPAT/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara melanggar ketentuan ini, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 250.000,00 (dua ratu lima puluh ribu rupiah) untuk setiap lapooran. Tata cara pelaporan tersebut diatur dalam Peraturan Kepala Daerah.

3. MANAJEMEN PAJAK ATAS ISU PPh POTONG-PUNGUT UNTUK PENGURUSAN PROSES LIKUIDASI

Manajemen pajak yang perlu direncanakan oleh Perusahaan yang akan dilikuidasi adalah salah satunya melalui upaya manajemen pajak potong-pungut (pot-put). Hal ini terkait dengan perlunya pendampingan dari para profesional dalam hal pengurusan proses selama likuidasi. Dalam hal ini, Perusahaan akan memberikan imbalan atas jasa profesional tersebut. Sebagaimana menurut ketentuan UU RI Nomor 7 Tahun 1983 j.o Perubahan Keempat dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), Pasal 23 mengatur ketentuan bahwa salah satu objek witholding tax adalah salah satunya bunga. Sesuai ketentuan UU PPh pasal 23 ayat (1) yang menyebutkan:

“Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang membayarkan: c. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas: ...(2) imbalan sehubungan dengan ...jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.”

Dalam kondisi tertentu, dapat disepakati di dalam kontrak perjanjian bahwa pengadministrasian PPh Pot-Put yang normalnya dilakukan oleh pihak pembayar (payor), untuk dilakukan oleh pihak penerima penghasilan (payee). Kompleksnya sistem pemotongan pemungutan PPh di Indonesia, berdampak pada pihak payor yang akan mengalami kesulitan untuk menunaikan kewajiban perpajakannya, ditambah lagi apabila kondisi internal payor yang tidak memungkinkan untuk itu, seperti (i) tidak adanya sumber daya (tax personel) yang memadai untuk melakukan kewajiban pengadministrasian PPh pot-put; (ii) payor dalam posisi sedang proses likuidasi (pembubaran), misalnya; atau (iii) biaya pengadministrasian pajak ini dianggap terlalu mahal dan kurang memberikan manfaat bagi payor.
Misal, mengambil contoh ilustrasi dari Santoso dan Rahayu (2013: 178-179) apabila pihak PT A, perusahaan yang akan dilikuidasi mengikat kontrak jasa penghapusan NPWP/NPPKP sekaligus asistensi penanganan pemeriksaan pajaknya kepada MIC (suatu persekutuan perdata yang bergerak di bidang konsultan pajak, dengan imbalan sebesar Rp 100.000.000,00 maka secara yuridis PT A akan melakukan pemotongan PPh pasal 23 sebesar Rp 2.000.000 (2% x Rp 100.000.000) kepada MIC saat pembayaran imbalan jasa konsultasi perpajakan tadi. Kendala teknis terjadi apabila atas porsi pembayaran imbalan tadi baru dapat ditagihkan (sehingga mendapat pelunasan) setelah pekerjaannya selesai, saat mana PT A mungkin telah menyelesaikan proses likuidasi (pembubaran usahanya). Bagaimana PT A melakukan kewajiban pemotongan pajak atas tagihan dari MIC setelah ia dibubarkan?
Selain disepakatinya pembayaran imbalan jasa sebelum pembubaran sehingga aspek pemotongan pajak dapat tetap dilakukan, biasanya secara praktis dimungkinkan juga kontrak MIC dilakukan dengan pihak pemegang saham PT A sehingga kewajiban PPh pot-put beralih kepada pihak pemegang saham. Namun demikian, apabila pemegang saham PT A adalah wajib pajak orang pribadi (WPOP), di samping mungkin bukan merupakan pihak yang ditunjuk selaku pemotong, mereka biasanya enggan diberikan kewajiban pajak yang bagi mereka sendiri sulit untuk mengadministrasikannya. Solusi dari kondisi di atas, sebenarnya dapat juga diselesaikan dengan adanya klausul kewajiban pengadministrasian PPh pot-put pada pihak payor untuk dan atas nama payee.
Konkritnya, atas tagihan jasa dari MIC tadi, pihak PT A akan melakukan pembayaran penuh, tanpa pemotongan pajak. Sehingga MIC akan menerima total pembayaran sebesar Rp 110.000.000 (total imbalan jasa senilai Rp 100.000.000 + 10% PPN-nya). Kemudian, MIC akan membantu PT A untuk mengadministrasikan PPh pot-putnya berupa: (i) penyiapan dan pembayaran SSP PPh Pasal 23 sebesar Rp 2.000.000 untuk dan atas nama PT A (dengan memakai nama, alamat, dan NPWP PT A); (ii) pembuatan bukti potong PPh Pasal 23 dan SPT Masa PPh Pasal 23 untuk dilaporkan ke KPP tempat PT A terdaftar; dan (iii) Menyerahkan SSP dan SPT Masa PPh Pasal 23 asli kepada PT A untuk kepentingan arsipnya.
Manajemen pajak tersebut menganut asas konsensualisme, ialah bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan (Kharirandy, 2003: 27)[20]. Adapun asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1388 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Berarti bahwa para pihak diberi kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Berdasarkan asas tersebut para pihak bebas untuk menentukan isi perjanjian, bentuk perjanjian maupun klausul-klausul yang ada dalam kontrak perjanjian yang mereka buat. Kebebasan dalam asas kebebasan berkontrak ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia dan perjanjian yang mereka buat mempunyai kekuatan mengikat seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta sun servanda)  inilah yang dimaksud dengan asas kekuatan mengikatnya kontrak, seperti diatur dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang berbunyi : “Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau oleh karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.”
Jadi asas tersebut menyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah dipenuhi oleh para pihak karena perjanjian adalah undang-undang bagi para pihak kecuali apabila para pihak tersebut sepakat untuk tidak memenuhi perjanjian tersebut. Namun kebebasan dalam asas kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan yang tanpa batas karena suatu perjanjian harus memenuhi syarat sah perjanjian, sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata bahwa: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: (i) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (ii) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (iii) suatu hal tertentu; dan (iv) suatu sebab halal.”

4. PENGHENTIAN KEGIATAN OPERASIONAL DAN STATUS DORMANT 

Cara selain melikuidasi perusahaan berkenaan dengan pembubaran perusahaan adalah melakukan tahapan penghentian kegiatan operasional usaha dan mengondisikan perusahaan menjadi perusahaan yang tidur dan tidak aktif (status dormant). Cara ini dapat dilakukan apabila perusahaan masih berpotensi mendapatkan proyek baru. Jika suatu saat perusahaan benar-benar ingin menutup usahanya, maka persyaratan legal pembubaran perusahaan dapat dilakukan secara berangsur-berangsur. Dalam rangka efisiensi usaha pada masa dormant, perusahaan dapat memangkas berbagai operasional, seperti menekan biaya gaji pegawai dengan mem-PHK sebagian karyawan (dengan mempertahankan beberapa person in charge yang menangani kewajiban perpajakan). Dengan memberhentikan karyawan, perusahaan juga dapat sekaligus menekan biaya asuransi karyawan. Alternatif lainnya adalah menurunkan biaya sewa gedung dengan cara memindahkan sementara lokasi usaha ke tempat yang lebih murah, menurunkan biaya iklan, dan sebagainya.
Meskipun dengan menerapkan status dormant perusahaan dapat tidak menerima dan/ atau memperoleh penghasilan sama sekali (nihil), namun perlu diperhatikan bahwa selama masa dormant perusahaan tetap harus melaksanakan kewajiban perpajakan, yakni menyampaikan SPT baik masa maupun tahunan. Hal ini karena perusahaan hanya kehilangan kewajiban pajak objektifnya, sedangkan kewajiban pajak subjektifnya belum berakhir.
Perusahaan yang menerapkan status dormant dapat memperoleh beberapa keuntungan antara lain perusahaan tidak perlu melakukan proses likuidasi dalam rangka penutupan usaha serta menghadapi pemeriksaan pajak dalam rangka penutupan NPWP perusahaan. Selain itu, apabila ternyata perusahaan mendapatkan proyek baru maka perusahaan tidak perlu mengajukan permohonan NPWP baru atas perusahaan baru karena NPWP yang lama belum dihapus.
Berkenaan dengan pemeriksaan pajak, perusahaan dengan status dormant cenderung dapat mengelola pemeriksaan pajak terkait dengan permohonan penghapusan NPWP/NPPKP dengan baik. Hal ini mengingat dalam masa dormant, tidak banyak kewajiban yang dilakukan oleh perusahaan sehingga tax exposure dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus-kasus tertentu, masa dormant dapat diterapkan selama masa daluwarsa penetapan pajak (5 tahun). Cara ini dilakukan antara lain untuk mengatasi tax exposure temuan pemeriksaan pajak yang masif apabila pihak otoritas perpajakan memeriksa keseluruhan tahun yang masih terbuka (all open years) untuk pemeriksaan. Sebagai contoh, apabila pada tahun 2017 suatu perusahaan ingin melakukan penutupan usaha, maka ketika perusahaan tersebut mengajukan penghapusan NPWP dan NPPKP, konsekuensinya adalah pemeriksaan oleh pemeriksa pajak. Tahun yang masih terbuka untuk pemeriksaan pajak adalah tahun 2013 s.d. 2017. Jika perusahaan merasa bahwa dokumen-dokumen tahun 2013 sudah tidak lengkap karena sebagian sudah hilang sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan tax exposure yang tinggi, maka perusahaan dapat menunda penutupan usaha sampai tahun 2018 dengan cara menjadikan perusahaan dormant. Maka ketika perusahaan diperiksa pada tahun 2018, maka pemeriksa pajak sudah tidak bisa memeriksa untuk tahun 2013.
Jika ada temuan, dapat dipastikan bahwa jumlahnya tidak akan material. Hal ini disebabkan karena secara substantif perusahaan sudah tidak melakukan kegiatan operasional usaha atau bahkan mungkin sudah tidak lagi memiliki pegawai, sehingga kemungkinan risiko pajak yang ditemukan hanya berupa keterlambatan lapor SPT.
Konsekuensi atas keterlambatan pelaporan SPT adalah dikenakannya sanksi administrasi berupa denda. Ketentuan mengenai sanksi ini diatur di dalam  Pasal 7 ayat (1) UU KUP, di mana apabila SPT tidak disampaikan  dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), maka dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar:
a)                  Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN ;
b)                  Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya (seperti PPh Pasal 4(2), 15 21/26,dan 23/26);
c)                  Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan; dan
d)                 Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi.
Pada dasarnya, perusahaan dengan status dormant dapat terbebas dari pengenaan sanksi poin a sampai dengan c karena dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU KUP disebutkan bahwa, “pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana disebutkan di atas tidak dilakukan terhadap Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
Ketentuan tersebut juga diperkuat oleh Pasal 17 ayat (2) huruf e PMK Nomor 243 Tahun 2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) di mana bunyinya persis sama dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU KUP. Akan tetapi, kenyataan di lapangan justru berbicara lain. Pada kebanyakan kasus, pemeriksaan pajak untuk penghapusan NPWP, Surat Tagihan Pajak (STP) untuk menagih denda tersebut seringkali diterbitkan. Atas penerbitan STP tersebut, perusahaan dapat mengajukan permohonan untuk membatalkan STP sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) huruf c UU KUP, tetapi sebaiknya perlu ada analisis dari perusahaan terkait perbandingan biaya antara menerima STP dan mengajukan permohonan pembatalan STP.  Bisa jadi karena jumlahnya yang kurang signifikan, banyak perusahaan menerima STP tersebut atau dengan kata lain tidak keberatan untuk melunasi denda tersebut agar penghapusan NPWP/NPPKP perusahaan dapat berjalan lancar (Rahayu dan Santoso, 2013:153).








 





5. PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP) DAN NOMOR POKOK PENGUSAHA KENA PAJAK (NPPKP)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 1 angka 6, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak (WP) sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Kemudian mengenai Pengusaha Kena Pajak dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5, yaitu Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya (UU PPN).
Penjelasan lebih lanjut mengenai NPWP dan Pengukuhan PKP terdapat dalam UU KUP pasal 2 ayat (1) sampai ayat (9), sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
  1. tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
  2. tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
(4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
(4a) Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(5) Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(6) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
  1. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
  2. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
  3. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
  4. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(7) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(8) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(9) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 Tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PMK 147/2017). Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP dimaksudkan untuk kepentingan administrasi perpajakan serta tidak menghilangkan hak dan kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan oleh Wajib Pajak dan/atau PKP yang bersangkutan.

Keadaan yang mengharuskan penghapusan NPWP
Secara khusus dalam UU KUP Pasal 2 ayat (6) dijelaskan bahwa penghapusan NPWP dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
a.       diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh Wajib Pajak (WP) dan/atau ahli warisnya apabila WP sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
b.      WP badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
c.       WP bentuk usaha tetap (BUT) menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
d.      dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan NPWP dari WP yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan PMK 147/2017 pasal 1 angka 17 dan angka 21, Penghapusan NPWP adalah tindakan menghapuskan NPWP dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Kemudian Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif namun belum dilakukan Penghapusan NPWP disebut Wajib Pajak Non-Efektif. Berdasarkan PMK 147/2017 Pasal 31 ayat (3), Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan penghapusan NPWP, berupa:
  1. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan telah dilikuidasi atau dibubarkan; atau
  2. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.
Berdasarkan PMK 147/2017 pasal 31 ayat (6), Penghapusan NPWP dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan. Oleh karena itu, sebelum wajib pajak melakukan permohonan penghapusan NPWP, terlebih dahulu wajib pajak harus memastikan kelengkapan dokumen-dokumen yang akan diperiksa oleh kantor pajak. Untuk kemudian, berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala KPP menerbitkan keputusan atas permohonan penghapusan NPWP tersebut paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.
Kemudian dalam PMK 147/2017 pasal 15 dijelaskan lebih lanjut mengenai syarat-syarat lainnya apabila wajib pajak ingin melakukan penghapusan NPWP, yaitu:
Pasal 15
(1)
Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif,
penghapusan NPWP dilakukan sepanjang Wajib Pajak memenuhi ketentuan sebagai
berikut:

a.       tidak mempunyai utang pajak;
b.      tidak sedang dilakukan tindakan:
1.      pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
2.      pemeriksaan bukti permulaan;
3.      penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
4.      penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan;
c.       tidak sedang dalam proses penyelesaian persetujuan bersama (mutual
agreement procedure);
d.      tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer (advance
pricing agreement);
e.       seluruh NPWP cabang telah dihapus; dan
f.       tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya hukum di bidang perpajakan,
berupa:
1.      keberatan;
2.      pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;
3.      pengurangan atau pembatalan SKP;
4.      pengurangan atau pembatalan STP;
5.      pembatalan hasil pemeriksaan, verifikasi, atau penelitian PBB;
6.      gugatan;
7.      banding; dan/atau
8.      peninjauan kembali.
(2)
Dikecualikan dari pengertian utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, meliputi:
a.       utang pajak yang penagihannya telah daluwarsa; dan/atau
b.      utang pajak yang dimiliki oleh:
1.      Wajib Pajak yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
atau
2.      Wajib Pajak yang tidak mempunyai harta kekayaan.

Apabila WP tidak memiliki cash flow untuk melunasi utang pajak sehingga NPWP belum dapat dihapus, WP dapat mengangsur atau menunda pembayaran utang pajak. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (PMK 242/2014) pasal 20, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengangsur atau menunda kekurangan pembayaran pajak, pajak yang terutang, atau pajak yang masih harus dibayar, yang selanjutnya disebut utang pajak, dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.
Berdasarkan Pasal 21 PMK 242/2014, Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus diajukan secara tertulis menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran pajak paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan, dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri surat kuasa sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  2. surat permohonan mencantumkan:
1.      jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran; atau
2.      jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan.
  1. dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran PBB yang masih harus dibayar, selain memenuhi persyaratan huruf a dan b, Wajib Pajak harus tidak memiliki tunggakan PBB tahun-tahun sebelumnya dan permohonan dimaksud juga harus dilampiri fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak PBB, atau Surat Tagihan Pajak PBB yang dimohonkan pengangsuran atau penundaan.
Pasal 22
(1) Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak harus memberikan jaminan yang dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat deposito.
(2) Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran pembayaran pajak setelah melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus memberikan jaminan berupa garansi bank sebesar utang pajak yang dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu pengangsuran.
Pasal 30
(1) Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dan huruf b dan persetujuan yang diberikan tersebut tidak berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak, SPPT, dan STP PBB, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang KUP, yang dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan pembayaran angsuran/pelunasan, dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dan huruf b dan persetujuan yang diberikan tersebut berkaitan dengan SPPT dan STP PBB, Wajib Pajak dikenai denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang PBB yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-20/PJ/2013 Tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak (PER 20/2013) Pasal 13 ayat (4) huruf b, terdapat utang pajak yang tidak termasuk sebagai utang pajak yang harus dilunasi sebelum WP menghapus NPWP-nya, yaitu:
1)      penagihannya sudah daluwarsa;
2)      Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan; atau
3)      Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan;

Cara menghapus NPWP
Berdasarkan PMK 147/2017, Pasal 31 sebagai berikut:
Pasal 31
(1)
Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
disampaikan pada:
a.       KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau
b.      KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan atau tempat
kegiatan usaha Wajib Pajak.
(2)
Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen yang
disyaratkan.
(3)
Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan penghapusan NPWP
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a.       dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan telah dilikuidasi atau
dibubarkan; atau
b.      dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap telah
menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.
(4)
Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(5)
Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan:
a.       secara langsung;
b.      melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c.       melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(6)
Penghapusan NPWP atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(7)
Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala KPP
menerbitkan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.
(8)
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui dan Kepala
KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan
dan Kepala KPP harus menerbitkan surat keputusan penghapusan NPWP paling
lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
berakhir.

Keadaan yang mengharuskan penghapusan NPPKP
Berdasarkan PMK 147/2017 pasal 1 angka 18, Pencabutan Pengukuhan PKP adalah tindakan mencabut Pengukuhan PKP dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Kemudian berdasarkan pasal 53 PMK 147/2017, dalam hal PKP tidak menyampaikan klarifikasi sesuai ketentuan atau klarifikasi PKP ditolak, dilakukan pencabutan pengukuhan PKP. Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi:
Pasal 53
(1)
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menonaktifkan sementara Sertifikat
Elektronik terhadap PKP dengan kriteria sebagai berikut :
a.       PKP yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak berturut-turut;
b.      PKP yang terindikasi menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak
pengukuhan PKP; dan/atau
c.       PKP selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang tidak
melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2)
Terhadap penonaktifan sementara Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), PKP dapat menyampaikan klarifikasi dengan ketentuan sebagai berikut :
a.       paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak penonaktifan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a diberitahukan; atau
b.      dalam jangka waktu lain yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(3)
Dalam hal berdasarkan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui
bahwa PKP tidak memenuhi kriteria penonaktifan sementara Sertifikat Elektronik,
dilakukan pengaktifan kembali Sertifikat Elektronik.

Cara menghapus NPPKP
Pasal 56
(1)
PKP menyampaikan permohonan pencabutan pengukuhan PKP pada KPP atau
KP2KP tempat PKP dikukuhkan.
(2)
Permohonan pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen yang
menunjukkan bahwa PKP tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (1) (yaitu tidak lagi melakukan penyerahan objek PPN dan atau
menghasilkan omset usaha kurang dari Rp 4,8 Milyar).
(3)
Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4)
Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan:
a.       secara langsung;
b.      melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c.       melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(5)
Pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan permohonan PKP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasü Pemeriksaan.
(6)
Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala KPP
menerbitkan keputusan atas permohonan tersebut dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak tanggal permohonan PKP diterima secara lengkap.
(7)
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah terlampaui dan
Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan PKP dianggap dikabulkan
dan Kepala KPP menerbitkan surat keputusan pencabutan pengukuhan PKP dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) berakhir.

Resiko apabila NPWP dan NPPKP tidak dihapus pada saat penutupan usaha dan resiko saat penghapusannya
Pada saat usaha wajib pajak telah ditutup, NPWP tidak secara otomatis terhapus, dan juga status PKP tidak secara otomatis dicabut. WP harus melakukan pengajuan penghapusan NPWP dan pencabutan status PKP apabila WP tidak menginginkan adanya penagihan pajak ke depannya. Penagihan pajak dapat dilakukan oleh kantor pajak karena WP yang telah melakukan penutupan usaha biasanya sudah tidak melaporkan lagi Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak-nya dan juga tidak memenuhi kewajiban perpajakan lainnya. Untuk menghindari hal-hal demikian, WP perlu melakukan manajemen penutupan usahanya dengan baik, termasuk mengenai kewajiban yang berhubungan dengan pajak.
Hal-hal yang harus diperhatikan oleh Wajib Pajak yang melakukan penutupan usaha adalah sebagai berikut:
1.      WP harus menyadari bahwa usaha untuk menghapus NPWP dan NPPKP merupakan salah satu upaya DJP untuk merapikan administrasi pajak di Indonesia. Usaha WP yang kooperatif untuk segera mengajukan penghapusan NPWP dan NPPKP segera setelah usahanya ditutup dan segala persyaratan telah dipenuhi akan mempermudah pendataan dari sisi DJP maupun dari sisi WP itu sendiri. Hal ini juga dilakukan untuk menghindari sanksi pajak yang mungkin timbul ke depannya apabila NPWP dan NPPKP WP masih ada tetapi kegiatan usahanya sudah tidak berjalan lagi. Mengenai status PKP, apabila WP belum melaporkan pencabutan statusnya, hal ini akan berdampak pada WP lain yang bertransaksi dengannya. Status PKP atau non-PKP akan berdampak pada diperbolehkan atau tidak diperbolehkannya pengkreditan Pajak Masukan PPN.
2.      WP harus mengajukan permohonan penghapusan NPWP secara elektronik atau tertulis kepada KPP tempat WP terdaftar, atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha WP dilampiri dengan dokumen-dokumen yang disyaratkan.
3.      WP harus menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan pada saat pemeriksaan DJP pasca permohonan penghapusan NPWP yaitu dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan telah dilikuidasi atau dibubarkan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) Pasal 142 sampai dengan Pasal 152 dijelaskan terkait pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan. Dokumen-dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan telah dilikuidasi atau dibubarkan, seperti yang dijelaskan secara tersirat dalam UU PT, meliputi:
       Surat keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
       Anggaran dasar WP Badan yang menunjukkan jangka waktu berdirinya PT telah berakhir;
       Surat penetapan pengadilan atau putusan pengadilan niaga;
       Surat pencabutan izin usaha PT; atau
       Surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat informasi mengenai penutupan usaha WP Badan.
4.      WP harus memastikan tidak mempunyai utang pajak (tidak termasuk utang pajak yang penagihannya telah daluwarsa dan utang pajak yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan; atau Wajib Pajak yang tidak mempunyai harta kekayaan), tidak sedang dilakukan tindakan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; pemeriksaan bukti permulaan; penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tidak sedang dalam proses penyelesaian persetujuan bersama (mutual agreement procedure), tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement), seluruh NPWP cabang telah dihapus, tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya hukum di bidang perpajakan, berupa:
a.       keberatan;
b.      pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;
c.       pengurangan atau pembatalan SKP;
d.      pengurangan atau pembatalan STP;
e.       pembatalan hasil pemeriksaan, verifikasi, atau penelitian PBB;
f.       gugatan;
g.      banding; dan/atau
h.      peninjauan kembali.
5.      WP harus menyampaikan permohonan pencabutan pengukuhan PKP secara elektronik atau tertulis pada KPP atau KP2KP tempat PKP dikukuhkan, dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan telah dilikuidasi atau dibubarkan.
6.      WP harus menyiapkan dokumen-dokumen bukti penutupan usaha yang dibutuhkan pada saat pemeriksaan DJP pasca permohonan pencabutan status PKP meliputi:
       Surat keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
       Anggaran dasar WP Badan yang menunjukkan jangka waktu berdirinya PT telah berakhir;
       Surat penetapan pengadilan atau putusan pengadilan niaga;
       Surat pencabutan izin usaha PT; atau
       Surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat informasi mengenai penutupan usaha WP Badan.
7.      Apabila WP tidak memiliki cash flow untuk melunasi utang pajak sehingga NPWP belum dapat dihapus, WP dapat mengangsur atau menunda pembayaran utang pajak. Wajib Pajak harus mengajukan permohonan secara tertulis menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran pajak paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan, dan memenuhi persyaratan. WP juga harus menyiapkan jaminan berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat deposito, dan juga garansi bank sebesar utang pajak yang dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu pengangsuran apabila permohonan pengangsuran pembayaran pajak diajukan setelah melampaui batas waktu.

BAB III PENUTUP



Manajemen pajak dalam rangka penutupan usaha dapat dilakukan dengan cara penutupan usaha sekaligus atau menghentikan kegiatan operasional atau status dormant.
Apabila perusahaan memilih untuk melakukan penutupan usaha sekaligus, maka dapat menimbulkan konsekuensi dari aspek non pajak dan pajak. Bagi pelaku usaha yang memilih untuk melakukan penutupan usaha disamping menyelesaikan kewajiban perpajakannya untuk juga tidak lupa melakukan penghapusan NPWP dan pencabutan Pengusaha Kena Pajak. Penghapusan dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak tidak terjadi sendiri apabila kita tutup usaha melainkan dengan mengajukan permohonan kepada Kantor pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak terdaftar.Aspek non pajak meliputi, biaya pesangon atas diberhentikannya karyawan (PHK – Putus Hubungan Kerja), menjual asset, menggunakan jasa-jasa profesional untuk penyelesaian proses likuidasi  -seperti konsultan hukum, konsultan pajak, kurator, likuidator - dan proses penutupan perusahaan, pembayaran sisa laba (jika ada) kepada pemegang saham berupa dividen. Sedangkan aspek pajaknya meliputi, pemotongan PPh 21 atas Pesangon, pemotongan PPh Final, pemungutan BPHTB dan PPN atas Penjualan Aset berupa Tanah dan/atau Bangunan, pengakuan bjek PPh Pasal 17 atas penjualan aset selain yang dikenakan PPh Final, PPh Potong Pungut (PPh 23/26) atas penggunaan jasa-jasa profesional, dan PPh Potong Pungut atas pembagian dividen ( memotong PPh Final apabila penerima dividen adalah orang pribadi) dan memotong PPh 23 (bagi Penerima Dividen WPDN), memotong PPh 26 (bagi Penerima Dividen WPLN).
Apabila perusahaan memilih untuk melakukan strategi status dormant, maka perusahaan tidak perlu melakukan penghapusan NPWP. Selain itu, perusahaan akan diuntungkan berupa dapat terhindar dari dilakukannya pemeriksaan pajak karena tidak ada penghapusan NPWP. Oleh karena itu, perusahaan dapat meminimalkan Tax Exposure yang massive. Status dormant dapat memberikan benefit berupa menekan biaya-biaya operasional, seperti: Menurunkan biaya gaji pegawai dengan mem-PHK beberapa karyawan; Berkurangnya karyawan juga dapat menurunkan biaya asuransi; Menurunkan biaya iklan dengan menghentikan pemasangan iklan produk; Menurunkan biaya sewa gedung dengan cara memindahkan lokasi usaha. Apabila mendapatkan proyek baru, maka perusahaan tidak perlu mengajukan NPWP atas perusahaan baru karena tidak pernah dilakukan penghapusan NPWP dalam status dormant.



DAFTAR PUSTAKA
Buku
Beams, Floyd A., Jusuf, Abadi, Amir. 2000.  Akuntansi Keuangan Lanjutan di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Khairandy, Ridwan. (2003). Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Rahayu, Ning dan Iman Santoso. (2013). Corporate Tax Management: Mengulas Upaya Pengelolaan Pajak Perusahaan Secara Konseptual-Praktikal. Jakarta: ORTAX.
Sudarsono. (1999). Kamus Hukum, cetakan ke-2. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wibowo dan Abubakar Arif. (2006). Pengantar Akuntansi II (Ikhtisar Teori dan Soal-Soal) – Edisi Revisi II, Cetakan Keempat. Jakarta: PT Grasindo.
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 Tahun 2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT).
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 Tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Republik Indonesia. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-20/PJ/2013 Tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak.






[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, halaman 523.
[2] Sudarsono. (1999). Kamus Hukum, cetakan ke-2. Jakarta: PT Rineka Cipta, halaman 250.
[3] Santoso, Iman, dan Ning Rahayu. 2013. Corporate Tax Management: Mengulas Upaya Pengelolaan Pajak Perusahaan Secara Konseptual-Praktikal. Jakarta: ORTAX.

[4] Equity insolvency, adalah ketidakmampuan untuk melakukan pembayaran-pembayaran pada waktunya; Bankruptcy insolvency, adalah total hutang yang melebihi nilai nilai wajar assets.

[5] Kurator (Trustee) adalah perorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di wilayah Indonesia yang memiliki keahlian khusus untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit dan telah terdaftar di Departemen Kehakiman.

[6] Beams, Floyd A., Jusuf, Abadi, Amir. 2000.  Akuntansi Keuangan Lanjutan di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

[7] Wibowo dan Abubakar Arif. 2006. Pengantar Akuntansi II (Ikhtisar Teori dan Soal-Soal) – Edisi Revisi II, Cetakan Keempat. Jakarta: PT Grasindo.
[8] Penghitungan Laba=Rasio Pembagian Laba * Laba, yaitu 5/10*Rp 20.000=Rp 10.000
[9] Penghitungan Laba=Rasio Pembagian Laba * Laba, yaitu 3/10*Rp 20.000=Rp 6.000
[10] Penghitungan Laba=Rasio Pembagian Laba * Laba, yaitu 2/10*Rp 20.000=Rp 4.000
[11] Penghasilan dimaksud adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak (Pasal 1 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2016).
[12] Penghasilan dimaksud adalah penghasilan dari: (a) pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat pertama kali ditandatangani;atau (b) pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, atas terjadinya perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.
[13] Disarikan dari PP Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 2 ayat (1)
[14] Rumah Sederhana dimaksud terdiri atas Rumah Sederhana Sehat dan Rumah Inti tumbuh, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 4 ayat (5) PP Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang digantikan dengan PP Nomor 34 Tahun 2016).
[15] Rumah Susun Sederhana dimaksud adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam satu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 4 ayat (6) PP Nomor 71 Tahun 2008).
[16] Disarikan dari PP Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 2 ayat (2)
[17] Disarikan dari PP Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 2 ayat (3)
[18] NJOP sebagaimana dimaksud adalah NJOP menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun yang bersangkutan atau dalah hal SPPT dimaksud belum terbit, adalah NJOP menurut SPPT tahun pajak sebelumnya (Pasal 4 ayat (3) PP Nomor 71 Tahun 2008).
[19] Dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
[20] Khairandy, Ridwan. 2003. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
 

Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185

Comments

Popular posts from this blog

Kenapa angka India menjadi angka Arab?

Kebanyakan dari kita mungkin mengira angka Arab seperti angka-angka yang tercantum di dalam Al-Qur’an. Namun pada kenyataannya angka Arab bukanlah seperti yang selama ini kita asumsikan. Angka Arab itu sendiri sebenarnya angka yang sekarang menjadi angka internasional yaitu 1, 2, 3, 4, 5, ...dst. Lalu, angka yang kita kenal sebagai angka Arab yang ada di Al Qur’an itu angka apa? Fakta yang lucu. Ketika masyarakat umum dunia menyebutnya angka Arab, tapi orang Arab sendiri justru menyebutnya sebagai angka Hindi. Angka Arab yang sebenarnya adalah angka India yaitu ١ , ٢ , ٣ , ٤ , ٥ , ٦ , ٧ , ٨ , ٩ ,١٠ . Hal ini bisa dilihat dari sejarah perkembangan evolusi tulisan angka Arab dan Hindi itu sendiri. Kenyataannya angka-angka yang kita pakai saat ini adalah keturunan dari angka India. Dan sistem angka Hindu-Arab dikembangkan oleh matematikawan India. Angka India kemudian diadopsi oleh matematikawan Persia di India, dan diteruskan lebih lanjut kepada orang-orang Arab di sebelah barat. ...

Go-Jek Indonesia dan Tantangan Lingkungan dalam Perspektif Teori Organisasi

Organisasi bisnis jasa online , dewasa ini sedang banyak dikembangkan di Indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya penawaran fasilitas-fasilitas yang berdalih memberikan kemudahan dalam memenuhi setiap kebutuhan dan aktivitas masyarakat yang dikemas secara online dalam sebuah software aplikasi. Sebagaimana dapat kita amati, kemunculan berbagai bentuk layanan belanja online seperti Tokopedia , Bukalapak , Lazada , OLX , Grab-Bike , dan Go-Jek. Terkait hal bisnis jasa online , dalam tulisan ini akan dibahas mengenai layanan Go-Jek Indonesia. Go-Jek merupakan startup lokal di bidang digital. Selain Go-Jek, terdapat juga Grab-Bike yang merupakan startup asal Malaysia. Khususnya Go-Jek, ini sangat cermat dalam melihat kondisi lingkungan, yang terkait kemacetan yang terjadi di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Ide diciptakannya layanan Go-Jek muncul dari lingkungan eksternal organisasi Go-Jek, yaitu masyarakat (yang kemudian menjadi target sebagai customer Go-Jek) dan kemace...

Tanya Jawab Seputar Manusia dan Masyarakat Indonesia

1.       Soal: Setiap sukubangsa/etnis di Indonesia, memiliki budaya yang mendasari terbangunnya kearifan lokal untuk kelangsungan hidup mereka saat beradaptasi dengan lingkungan alamnya, baik dalam mengelola sumberdaya alam, mitigasi bencana dan berbagai kehidupan sosial. Sebut dan jelaskan langkah-langkah yang konstruktif harus dilakukan pemerintah dalam membangun kemitraan dengan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan budaya! Pembahasan: Kearifan lokal merupakan prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat. [1] Kearifan lokal juga berkaitan dengan strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. [2] Hidup yang berdampingan dengan alam mengharuskan kita mampu beradaptasi den...