MAKALAH
KELOMPOK 5
SEMINAR
PERPAJAKAN
Materi : Penggabungan Usaha (Merger)
Tanggal : 6 Desember 2017
Dosen : Drs. Iman Santoso, M.Si
Anggota
Kelompok:
Aprilia
Praditasari 1406540742
Kania
Susan Pramesti 1406572574
Lisdayanti 1406540805
Novanti
Nayasaputri 1406568702
Nurul
Salsabila 1406540686
Shinta
Ria Magdalena 1406619445
Vidina
Diniarti Hanifa 1406619533
FAKULTAS
ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM
ILMU ADMINISTRASI FISKAL REGULER
UNIVERSITAS
INDONESIA
DEPOK
SEPTEMBER 2017
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB 1
1 GAMBARAN KASUS
PT Gairah Taruna (PTGT) merencanakan akan melakukan penggabungan
(merger) dengan PT Pikiran Kolot (PTPK), dimana pada tanggal efektif
penggabungan tersebut (1 Juli 2015), harta dan utang PTPK akan diserahkan
(transfer) kepada PTGT. Selanjutnya, PTPK akan dibubarkan (likuidasi). PTPK
sebesar 51% sahamnya dimiliki oleh Old Crack Pte. Ltd Singapore yang setelah
merger akan memperoleh saham pada PTGT sebesar 40%
Adapun komposisi
neraca setelah diaudit oleh pihak independent
auditor dari PTPK, selaku transferor
company sebelum dilakukannya
transaksi merger tersebut adalah sebagai berikut (dalam Rp juta):
No
|
Uraian
|
Tercatat pada PTGT
|
Nilai Buku pada PTPK
|
1
|
Aktiva lancar – kas
|
1.000
|
1.000
|
2
|
Aktiva lancar -
piutang
|
4.000
|
4.500
|
3
|
Aktiva tetap tanah
& bangunan
|
25.000
|
25.000
|
4
|
Persediaan barang
dagang
|
7.000
|
7.000
|
5
|
Investasi saham
perusahaan dalam dan luar negeri
|
3.000
|
3.000
|
6
|
Total aktiva
|
40.000
|
40.500
|
7
|
Utang dagang
|
12.000
|
11.500
|
8
|
Utang lain-lain
|
1.500
|
1.500
|
9
|
Total utang
|
13.500
|
13.000
|
10
|
Modal saham
|
|
20.000
|
11
|
Laba ditahan
|
|
3.500
|
12
|
Total utang + modal
|
|
40.500
|
Informasi tambahan:
●
Pemegang saham kedua perusahaan
telah setuju untuk melakukan merger dengan nilai buku dan akan mendukung penuh
operasional PTGT selaku surviving entity.
●
Posisi financial statement terakhir kedua perusahaan sebelum merger yang
telah diaudit oleh independent auditor
adalah: PTGT menderita kerugian Rp 10 Milyar; sementara PTPK membukukan laba Rp
3,5 Milyar
●
PTGT bergerak pada industri
perkebunan sementara PTPK adalah perusahaan pupuk organik yang produknya secara
masal digunakan oleh PTGT untuk menumbuh-suburkan kebun kelapa sawitnya,
sehingga mereka berkeyakinan merger akan mensinergikan usaha kedua perusahaan
●
Semua utang pajak baik yang ada
pada PTGT dan PTPK telah dilunasi dan telah dikeluarkan tax clearance-nya oleh KPP tempat kedua perusahaan terdaftar
●
Utang-piutang kedua perusahaan
telah dieliminasi jurnal pencatatannya oleh independent
auditor
●
Kedua perusahaan berstatus
sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak)
BAB 2
BAB 2
2 PERMASALAHAN KASUS
1.
Apakah merger di atas masuk
dalam kategori merger dengan nilai buku yang mendapatkan fasilitas perpajakan?
Sebut dan jelaskan komentar dan argumentasi Saudara berdasarkan regulasi
perpajakan yang berlaku!
2.
Jelaskan implikasi perpajakan
yang terkait (all taxes) bagi kedua
perusahaan atas jawaban pertanyaan di atas!
BAB 3
3 PERATURAN TERKAIT DENGAN KASUS
Permasalahan kasus yang dituliskan dalam Bab 2 akan
dibahas dalam Bab 4 disertakan dengan peraturan-peraturan yang terkait pada
setiap permasalahan. Oleh karena itu, dalam Bab 3 ini akan dituliskan
peraturan-peraturan terkait dengan permasalahan kasus yang dituliskan dalam Bab
sebelumnya.
3.1 Peraturan Terkait Merger Dengan Nilai Buku
●
Undang-undang No. 10 Tahun 1994 s.t.d.d. Undang-undang No.
36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 10 ayat (3)
●
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
43/PMK.03/2008 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka
Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha pasal 1 ayat (3), pasal 2
●
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2008
Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Izin Penggunaan Nilai Buku Atas
Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha
pasal 5
●
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 29/PJ/2015
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta
Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha
3.2 Peraturan Terkait Implikasi Perpajakan (All Taxes) Atas Merger
● Undang-undang No. 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Pasal 1A ayat (2) huruf d
● Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 17
● Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 4
ayat (2)
● Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1997 Tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek Pasal 1 ayat (2)
● Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 s.t.d.d
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008 Tentang Pembayaran
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan pasal 1 ayat (2), pasal 2 ayat (1), pasal 4 dan 8
● Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 635/KMK.04/1994
s.t.t.d Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 243/PMK.03/2008
Tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan pasal 1 ayat (1) dan pasal 4
● Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18
Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan pasal 5 ayat (7)
dan pasal 6
BAB 4
4 PEMBAHASAN
4.1 Penggabungan Usaha (Merger) Antara PTGT dan PTPK
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1994 s.t.d.d UU No. 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan pasal 10 ayat (3), dijelaskan bahwa nilai perolehan
atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh
Menteri Keuangan.
Pengecualian yang dimaksud diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 43/PMK.03/2008 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan
Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha (selanjutnya
disebut dengan PMK 43/2008), sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara
Pemberian Izin Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka
Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha (selanjutnya disebut dengan PER
28/2008) dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 29/PJ/2015 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 Tentang
Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan,
Peleburan, Atau Pemekaran Usaha (selanjutnya disebut dengan SE 29/2015).
Berdasarkan PMK 43/2008 pasal 1 dijelaskan bahwa Wajib Pajak yang
melakukan merger dapat menggunakan nilai buku, dimana merger dapat berupa
penggabungan usaha atau peleburan usaha. Pada pasal yang sama, penggabungan
usaha didefinisikan sebagai penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan
yang modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa
kerugian yang lebih kecil. Dalam SE-29/PJ/2015 angka 2 juga dijelaskan bahwa
apabila Wajib Pajak melakukan penggabungan usaha, Wajib Pajak yang menerima
pengalihan harta (surviving company)
merupakan Wajib Pajak yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa
kerugian yang lebih kecil dibandingkan dengan Wajib Pajak yang mengalihkan
harta berdasarkan sisa kerugian fiskal dan komersial.
Dalam memanfaatkan penggabungan usaha berdasarkan nilai buku, Wajib
Pajak wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dijelaskan dalam PMK 43/2008 pasal
2:
1)
mengajukan permohonan kepada
Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger
dan pemekaran usaha;
2)
melunasi seluruh utang pajak
dari tiap badan usaha yang terkait; dan
3)
memenuhi persyaratan tujuan
bisnis (business purpose test)
Persyaratan tujuan bisnis diatur lebih lanjut dalam PER 28/2008
pasal 5 sebagai berikut:
1)
tujuan utama dari merger dan
pemekaran usaha adalah menciptakan sinergi usaha yang kuat dan memperkuat
struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk penghindaran pajak;
2)
kegiatan usaha Wajib Pajak yang
mengalihkan harta masih berlangsung sampai dengan tanggal efektif merger;
3)
kegiatan usaha Wajib Pajak yang
mengalihkan harta sebelum merger terjadi wajib dilanjutkan oleh Wajib Pajak
yang menerima pengalihan harta paling singkat 5 tahun setelah tanggal efektif
merger;
4)
kegiatan usaha Wajib Pajak yang
menerima harta dalam rangka merger tetap berlangsung paling singkat 5 tahun
setelah tanggal efektif merger;
5)
kegiatan usaha Wajib Pajak yang
menerima harta dalam rangka pemekaran usaha wajib berlangsung paling singkat 5
tahun setelah tanggal efektif pemekaran usaha; dan
6)
harta yang dimiliki oleh Wajib
Pajak yang menerima harta setelah terjadinya merger atau pemekaran usaha tidak
dipindahtangankan oleh Wajib Pajak yang menerima harta paling singkat 2 tahun
setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha.
Dalam kasus ini, hasil audit laporan keuangan PTGT sebagai surviving company menyatakan bahwa PTGT
mengalami kerugian, sedangkan PTPK sebagai transferor
company mengalami keuntungan. Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai
aturan perpajakan atas penggabungan usaha, dapat diketahui bahwa PTGT dan PTPK
tidak dapat menggunakan nilai buku sebagai
dasar menentukan nilai perolehan atau pengalihan harta yang disebabkan
oleh PTGT selaku surviving company
merupakan pihak mengalami kerugian. Meskipun persyaratan merger dengan nilai buku
telah dipenuhi oleh kedua perusahaan, seperti misalnya merger bertujuan untuk
menciptakan sinergi usaha yang kuat dan memperkuat struktur permodalan serta
tidak dilakukan untuk penghindaran pajak dan utang pajak kedua Wajib Pajak yang
melakukan penggabungan usaha telah dilunasi, namun PTGT dan PTPK tetap tidak
dapat menggunakan merger dengan nilai buku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
yang menjadi dasar penilaian perolehan atau pengalihan harta dalam rangka
penggabungan usaha yang dilakukan oleh PTGT dan PTPK adalah nilai pasar.
ASUMSI LAIN:
Apabila PTGT dan
PTPK memenuhi syarat yang diatur dalam PMK 243/2008, maka penggabungan usaha
yang dilakukan PTGT dan PTPK dapat melakukan merger dengan nilai buku.
Langkah-langkah yang harus dilakukan sesuai dengan PER 28/2008 adalah sebagai
berikut:
1)
PTGT selaku surviving company mengajukan permohonan
kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kantor
Pelayanan Pajak tempat PTGT berada, paling lama 31 Januari 2016.
2)
Format permohonan sesuai dengan
lampiran I PER 28/2008
3)
Melampirkan surat pernyataan
yang mengemukakan alasan dan tujuan melakukan merger dengan disertai bukti
pendukung, diantaranya
a.
Fotokopi Merger Plan
b.
Fotokopi Pengumuman Merger Plan
yang telah dimuat di dua media massa;
c.
Fotokopi Laporan Keuangan dari
Wajib Pajak yang mengalihkan harta dan Wajib Pajak yang menerima harta, sebelum
merger dan setelah merger, yang diaudit oleh Akuntan Publik;
d.
Bagan/Skema struktur organisasi
sebelum dan setelah merger disertai komposisi kepemilikan pemegang saham;
e.
Proyeksi penghasilan dan Pajak
Penghasilan yang terutang sebelum dan setelah merger;
f.
Surat penjelasan mengenai
perincian penghitungan eliminasi perkiraan antar perusahaan (akun-akun
resiprokal) yang dilakukan dalam rangka merger;
g.
Fotokopi Akte Pendirian dan
Anggaran Dasar beserta perubahannya;
h.
Fotokopi Pernyataan Keputusan
RUPS Luar Biasa terakhir untuk masing-masing badan usaha;
i.
Fotokopi Surat Persetujuan
Penggabungan Usaha atau Surat Keputusan Izin Prinsip Penggabungan Usaha dari
instansi terkait;
j.
Pendaftaran akta Merger dan
Akta Perubahan Anggaran Dasar dalam Daftar Perusahaan;
k.
Surat Keterangan Pendaftaran
Tanah yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya/Kabupaten dimana
tanah dan/atau bangunan tersebut berada;
l.
Fotokopi Sertifikat tanah
dan/atau bangunan yang telah dilegalisir oleh perusahaan yang bersangkutan
dengan menunjukkan sertifikat aslinya;
m.
Fotokopi SPT Tahunan PPh badan
tahun pajak terakhir;
n.
Fotokopi kartu Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) untuk masing-masing badan usaha yang menerima pengalihan
harta dan yang melakukan pengalihan harta;
o.
Fotokopi kartu Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) para pemegang saham dari masing-masing badan usaha;
p.
Data kompensasi kerugian PPh WP
Badan beserta surat ketetapan pajak untuk 5 tahun terakhir untuk masing-masing
Wajib Pajak yang menerima harta dan yang mengalihkan harta
4)
Melampirkan daftar isian dan
surat pernyataan dalam rangka business
purpose test sesuai dengan format dalam Lampiran III PER 28/2008
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur
Jenderal Pajak nantinya akan menerbitkan surat keputusan paling lama 1 bulan
sejak diterimanya permohonan dari Wajib Pajak secara lengkap. Apabila jangka
waktu tersebut telah lewat, maka permohonan penggunaan nilai buku dalam rangka
penggabungan usaha dinyatakan diterima.
4.2 Implikasi Perpajakan Terkait Dengan Penggabungan Usaha (Merger) Antara PTGT dan PTPK
4.2.1 Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Berdasarkan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya disebut
dengan UU PPN) pasal 1A ayat (2) huruf d, yang tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena pajak adalah pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan
syarat pihak yang melakukan pengalihan dan menerima pengalihan adalah Pengusaha
Kena Pajak.
Selain itu merger dengan menggunakan
nilai pasar tidak dikenakan PPN dengan syarat harus dipastikan bahwa kedua
entitas yang melakukan penggabungan usaha berbentuk Persroan Terbatas (PT) dan
di dalam akta merger harus ada keterangan yang menyatakan bahwa merger
dilakukan dalam kerangka Perseroan Terbatas sesuai dengan Undang-Undang
Perseroan Terbatas.
Maka pengalihan BKP atas kegiatan merger yang dilakukan oleh PTGT
dan PTPK tidak dikenakan PPN, sebab kedua perusahaan yang melakukan merger
merupakan PKP dan merger dilakukan dalam kerangka Perseroan Terbatas.
4.2.2 Bea Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Pada saat melakukan penggabungan usaha, aktiva tetap berupa tanah
dan bangunan milik PTPK (transferor
company) dialihkan kepada PTGT (surviving
company). Atas pengalihan tersebut, muncul BPHTB yang wajib dibayarkan oleh
PTGT sebagai pemilik baru tanah dan bangunan tersebut. BPHTB diatur dalam
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(selanjutnya disebut dengan UU PDRD). Pengaturan lebih lanjut mengenai BPHTB
dilakukan melalui peraturan daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan
menentukan besarnya NPOPTKP dan menentukan tarif BPHTB namun tetap mengacu pada
UU PDRD.
Pada kasus ini, diasumsikan tanah dan bangunan milik PTPK berlokasi
di DKI Jakarta, sehingga peraturan daerah yang digunakan sebagai dasar
penentuan BPHTB terutang adalah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.
Perda tersebut menetapkan besarnya NPOPTKP adalah sebesar 80 juta rupiah dengan
tarif sebesar 5% sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5 ayat (7) dan pasal 6.
Dari penjelasan
di atas, perhitungan besarnya BPHTB terutang yang wajib dibayarkan oleh PTGT
adalah sebagai berikut:
5% x (Rp 25.000.000.000 - Rp 80.000.000) = Rp 1.246.000.000
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pasal 8
ayat (1) huruf k, BPHTB atas penggabungan uasaha terutang sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta penggabungan. BPHTB yang terutang harus dilunasi pada
saat perelohan hak atas bagunan sebagaimana yang dimaksud ayat 1 sesuai Pasal 8
ayat (2). Pada saat pembayaran BPHTB, PTGT wajib membayar sendiri pajak yang
terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) sebagaimana
diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18
Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pasal 10 ayat (1).
Apabila dalam kasus penggabungan usaha antara PTKP dan PTGT
menggunakan metode nilai buku, maka dalam menentukan besarnya BPHTB yang harus
dibayar akan mendapatkan fasilitas berupa pengurangan 50% sebagaimana diatur
dalam Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 103 Tahun
2011 Pasal 2 ayat (2) huruf b angka (5).
Perhitungan BPHTB yang terutang apabila mendapatkan pengurangan
sebesar 50% sebagai berikut:
5% x (Rp 25.000.000.000 - Rp 80.000.000) x 50% = 623.000.000
4.2.3 Pajak Penghasilan atas Tanah dan Bangunan (PPhTB)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun
1994 s.t.d.d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008
Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas
Tanah Dan/Atau Bangunan (selanjutnya disebut PP 71/2008) pasal 1 ayat (2) dan
pasal 2 ayat (1), badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari penjualan, tukar-menukar,
perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau
cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah, wajib membayar
sendiri Pajak Penghasilan. Masih pada peraturan yang sama pasal 4 dan pasal 8,
dijelaskan bahwa atas pajak penghasilan yang terutang bersifat final dengan
tarif 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Dalam kasus ini, PTPK mengalihkan tanah dan bangunan kepada PTGT
senilai Rp 25 Miliar. Atas penghasilan yang diterima PTPK dikenakan PPh final
sesuai dengan PP 71/2008 sebesar 5% dengan perhitungan sebagai berikut:
5% x Rp 25.000.000.000 = Rp 1.250.000.000
Penyetoran dan pelaporan PPhTB diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 635/KMK.04/1994 s.t.t.d Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 243/PMK.03/2008 Tentang Pelaksanaan
Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan. Pada pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa PPhTB terutang wajib
dibayarkan oleh PTPK menggunakan SSP sebelum akta, 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang
mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang
mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bag, pembangunan untuk
kepentingan umumkeputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang ditanda
tangani oleh pejabat yang berwenang. Pelaporan wajib dilakukan oleh PTPK
menggunakan Surat Pemberitahuan Masa paling lama tanggal 20 bulan berikutnya
setelah bulan dilakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau diterimanya
pembayaran berdasarkan pasal 4 peraturan yang sama.
Hingga saat ini, tepatnya pada tahun 2016 melalui Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan
perjanjian pengikatan jual beli atas tanah adan/atau bangunan beserta
perubahannya. Pemerintah telah menerapkan tarif pajak yang baru atas PPhTB
sebagaimana yang tertuang di Pasal 2 ayat (1) Pasal PP Nomor 34 Tahun 2016.
perubahan yang pertama adalah tarif PPhTB 2,5% (dua koma lima persen) dari
jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan selain
pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah
Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan. kedua adalah 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah
Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan. Terakhir adalah
4.2.4 Pengalihan Investasi Saham
Dalam kegiatan merger, aktiva dan pasiva perseroan yang
menggabungkan diri beralih sepenuhnya kepada perseroan yang menerima
penggabungan. Oleh karena itu, pada saat melakukan penggabungan usaha,
investasi saham perusahaan dalam dan luar negeri milik PTPK (transferor company) dialihkan kepada
PTGT (surviving company). Pada
dasarnya pengambilalihan saham adalah kegiatan jual beli saham (Teahastuti,
2000:15). Maka dari itu atas pengalihan investasi saham, terhadap PTPK
dikenakan Pajak Penghasilan, sebagai berikut:
● Apabila perusahaan yang diambilalih bukan perusahaan go public atau tidak masuk dalam listed Bursa Efek, maka pengenaan
tarifnya dikenakan berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17, yaitu
sebesar 25%. Pajak Penghasilan dikenakan atas kenaikan dari selisih antara
nilai yang tercatat pada surviving
company dan nilai buku pada transferor
company. Kenaikan tersebut digabungkan dengan penghasilan lainnya dan
dikurangi dengan pengurang penghasilan kena pajak kemudian dikalikan tarif 25%
sehingga didapatkan Pajak Penghasilan terutang. Dalam kasus ini, tidak ada
kenaikan (capital gain) sehingga
tidak ada Pajak Penghasilan yang dikenakan pada PTPK.
● Apabila perusahaan yang diambilalih merupakan perusahaan go public, berdasarkan UU No. 36 Tahun
2008 j.o PP No. 41 Tahun 1994 yang telah diubah dengan PP No. 14 Tahun 1997
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di
Bursa Efek Pasal 1 ayat (2), maka bagi saham biasa tarif pajak penghasilannya
sebesar 0,1% dari nilai bruto penjualan dan bersifat final. Maka dari itu
besarnya Pajak Penghasilan adalah
0,1% x Rp 3.000.000.000 = Rp
300.000.000
Untuk saham luar negeri, tidak ada peraturan khusus yang mengatur
perpajakannya. Sehingga, saham luar negeri tersebut diperlakukan sama seperti perusahaan dalam negeri yang tidak masuk dalam listed Bursa Efek.
4.2.5 Perlakuan Atas Adanya Penurunan Piutang
1) Kemungkinan selisih sebesar Rp 500 juta
adalah utang dari PTPK kepada PTGT, sehingga PTGT hanya mencatat sebesar Rp 4
Miliar. Dalam kasus ini, kemungkinan yang pertama adalah transferor company
berhutang kepada surviving company , maka dari itu PTGT tidak mencatat utang
tersebut dengan alasan PTPK sudah menjadi bagian dari PTGT sehingga tidak perlu
untuk dicatat lagi karena jika dicatat akan sama saja dengan berhutang pada
diri sendiri.
2) Piutang PTPK sebesar Rp 500 juta
tereliminasi seolah-olah telah dilakukan write
off (penghapusan) atas piutangnya. Diasumsikan bahwa piutang sebesar
tersebut yang dihapus adalah utang PTGT kepada PTPK. Perlakuan atas
dihapuskannya piutang ini dapat terjadi dalam dua hal, yaitu apabila PTGT dan
PTPK merger berdasarkan nilai pasar dan apabila seandainya PTGT dan PTPK merger
berdasarkan nilai buku.
● Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 207/PMK.010/2015 Tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 Tentang Piutang
yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto, persyaratan atas penentuan piutang yang tidak dapat ditagih ini adalah:
a. telah dibebankan sebagai biaya dalam
laporan laba rugi komersial
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak;
dan
c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih tersebut:
1.
telah
diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara;
2.
terdapat
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara
kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
tersebut;
3.
telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
4.
adanya
pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang
tertentu.
PTPK berhak untuk mengajukan permohonan penghapusan
piutang tak tertagih sebagai pengurang penghasilan bruto ini karena telah
memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam PMK dan penghapusan atas piutang ini
memiliki alasan kuat yaitu kondisi PTGT yang mengalami kerugian sehingga tidak
memungkinkan untuk membayarkan utangnya.
●
Berdasarkan
bagian materi angka 13 dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-29/PJ/2015 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.03/2008 Tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka
Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha, Kompensasi timbal-baiik (offset) utang piutang dalam hal terjadi kompensasi timbal-balik (offset) utang piutang di antara para
Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka merger, maka:
a.
penghapusan
utang bagi pihak debitur bukan merupakan penghasilan;
b. penghapusan piutang bagi pihak kreditur
bukan merupakan biaya.
Maka dalam hal apabila merger antara PTGT dan PTPK
menggunakan nilai buku, PTGT dan PTPK dapat langsung menganggap “impas”
utang-piutang senilai tersebut seakan-akan kewajiban tersebut telah dilunasi.
Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185
Comments
Post a Comment
Your comments help me improving my papers; therefore, I'm going to be glad receiving your advice. Thanks for visiting my blog.