Skip to main content

Kasus Merger


MAKALAH KELOMPOK 5
SEMINAR PERPAJAKAN

Materi           : Penggabungan Usaha (Merger)
Tanggal        : 6 Desember 2017
Dosen            : Drs. Iman Santoso, M.Si

Anggota Kelompok:
Aprilia Praditasari                             1406540742
Kania Susan Pramesti                       1406572574
Lisdayanti                                         1406540805
Novanti Nayasaputri                        1406568702
Nurul Salsabila                                 1406540686
Shinta Ria Magdalena                       1406619445
Vidina Diniarti Hanifa                      1406619533



FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM ILMU ADMINISTRASI FISKAL REGULER
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
SEPTEMBER 2017
DAFTAR ISI



               


BAB 1

1           GAMBARAN KASUS

PT Gairah Taruna (PTGT) merencanakan akan melakukan penggabungan (merger) dengan PT Pikiran Kolot (PTPK), dimana pada tanggal efektif penggabungan tersebut (1 Juli 2015), harta dan utang PTPK akan diserahkan (transfer) kepada PTGT. Selanjutnya, PTPK akan dibubarkan (likuidasi). PTPK sebesar 51% sahamnya dimiliki oleh Old Crack Pte. Ltd Singapore yang setelah merger akan memperoleh saham pada PTGT sebesar 40%
Adapun komposisi neraca setelah diaudit oleh pihak independent auditor dari PTPK, selaku transferor company sebelum dilakukannya transaksi merger tersebut adalah sebagai berikut (dalam Rp juta):
No
Uraian
Tercatat pada PTGT
Nilai Buku pada PTPK
1
Aktiva lancar – kas
1.000
1.000
2
Aktiva lancar - piutang
4.000
4.500
3
Aktiva tetap tanah & bangunan
25.000
25.000
4
Persediaan barang dagang
7.000
7.000
5
Investasi saham perusahaan dalam dan luar negeri
3.000
3.000
6
Total aktiva
40.000
40.500
7
Utang dagang
12.000
11.500
8
Utang lain-lain
1.500
1.500
9
Total utang
13.500
13.000
10
Modal saham

20.000
11
Laba ditahan

3.500
12
Total utang + modal

40.500

Informasi tambahan:
     Pemegang saham kedua perusahaan telah setuju untuk melakukan merger dengan nilai buku dan akan mendukung penuh operasional PTGT selaku surviving entity.
     Posisi financial statement terakhir kedua perusahaan sebelum merger yang telah diaudit oleh independent auditor adalah: PTGT menderita kerugian Rp 10 Milyar; sementara PTPK membukukan laba Rp 3,5 Milyar
     PTGT bergerak pada industri perkebunan sementara PTPK adalah perusahaan pupuk organik yang produknya secara masal digunakan oleh PTGT untuk menumbuh-suburkan kebun kelapa sawitnya, sehingga mereka berkeyakinan merger akan mensinergikan usaha kedua perusahaan
     Semua utang pajak baik yang ada pada PTGT dan PTPK telah dilunasi dan telah dikeluarkan tax clearance-nya oleh KPP tempat kedua perusahaan terdaftar
     Utang-piutang kedua perusahaan telah dieliminasi jurnal pencatatannya oleh independent auditor
     Kedua perusahaan berstatus sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak)
BAB 2

2           PERMASALAHAN KASUS


1.      Apakah merger di atas masuk dalam kategori merger dengan nilai buku yang mendapatkan fasilitas perpajakan? Sebut dan jelaskan komentar dan argumentasi Saudara berdasarkan regulasi perpajakan yang berlaku!
2.      Jelaskan implikasi perpajakan yang terkait (all taxes) bagi kedua perusahaan atas jawaban pertanyaan di atas!
BAB 3

3           PERATURAN TERKAIT DENGAN KASUS


Permasalahan kasus yang dituliskan dalam Bab 2 akan dibahas dalam Bab 4 disertakan dengan peraturan-peraturan yang terkait pada setiap permasalahan. Oleh karena itu, dalam Bab 3 ini akan dituliskan peraturan-peraturan terkait dengan permasalahan kasus yang dituliskan dalam Bab sebelumnya.

3.1         Peraturan Terkait Merger Dengan Nilai Buku

       Undang-undang No. 10 Tahun 1994 s.t.d.d. Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 10 ayat (3)
       Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 43/PMK.03/2008 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha pasal 1 ayat (3), pasal 2
       Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Izin Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha pasal 5
       Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 29/PJ/2015 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha

3.2         Peraturan Terkait Implikasi Perpajakan (All Taxes) Atas Merger

       Undang-undang No. 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Pasal 1A ayat (2) huruf d
       Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 17
       Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)
       Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1997 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek Pasal 1 ayat (2)
       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 s.t.d.d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan pasal 1 ayat (2), pasal 2 ayat (1), pasal 4 dan 8
       Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 635/KMK.04/1994 s.t.t.d Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 243/PMK.03/2008 Tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan pasal 1 ayat (1) dan pasal 4
       Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan pasal 5 ayat (7) dan pasal 6
BAB 4

4           PEMBAHASAN

4.1         Penggabungan Usaha (Merger) Antara PTGT dan PTPK

Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1994 s.t.d.d UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pasal 10 ayat (3), dijelaskan bahwa nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
Pengecualian yang dimaksud diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 43/PMK.03/2008 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha (selanjutnya disebut dengan PMK 43/2008), sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Izin Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha (selanjutnya disebut dengan PER 28/2008) dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 29/PJ/2015 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha (selanjutnya disebut dengan SE 29/2015).
Berdasarkan PMK 43/2008 pasal 1 dijelaskan bahwa Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku, dimana merger dapat berupa penggabungan usaha atau peleburan usaha. Pada pasal yang sama, penggabungan usaha didefinisikan sebagai penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang lebih kecil. Dalam SE-29/PJ/2015 angka 2 juga dijelaskan bahwa apabila Wajib Pajak melakukan penggabungan usaha, Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta (surviving company) merupakan Wajib Pajak yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang lebih kecil dibandingkan dengan Wajib Pajak yang mengalihkan harta berdasarkan sisa kerugian fiskal dan komersial.
Dalam memanfaatkan penggabungan usaha berdasarkan nilai buku, Wajib Pajak wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dijelaskan dalam PMK 43/2008 pasal 2:
1)      mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha;
2)      melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait; dan
3)      memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test)
Persyaratan tujuan bisnis diatur lebih lanjut dalam PER 28/2008 pasal 5 sebagai berikut:
1)      tujuan utama dari merger dan pemekaran usaha adalah menciptakan sinergi usaha yang kuat dan memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk penghindaran pajak;
2)      kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta masih berlangsung sampai dengan tanggal efektif merger;
3)      kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta sebelum merger terjadi wajib dilanjutkan oleh Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta paling singkat 5 tahun setelah tanggal efektif merger;
4)      kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka merger tetap berlangsung paling singkat 5 tahun setelah tanggal efektif merger;
5)      kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka pemekaran usaha wajib berlangsung paling singkat 5 tahun setelah tanggal efektif pemekaran usaha; dan
6)      harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta setelah terjadinya merger atau pemekaran usaha tidak dipindahtangankan oleh Wajib Pajak yang menerima harta paling singkat 2 tahun setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha.
Dalam kasus ini, hasil audit laporan keuangan PTGT sebagai surviving company menyatakan bahwa PTGT mengalami kerugian, sedangkan PTPK sebagai transferor company mengalami keuntungan. Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai aturan perpajakan atas penggabungan usaha, dapat diketahui bahwa PTGT dan PTPK tidak dapat menggunakan nilai buku sebagai  dasar menentukan nilai perolehan atau pengalihan harta yang disebabkan oleh PTGT selaku surviving company merupakan pihak mengalami kerugian. Meskipun persyaratan merger dengan nilai buku telah dipenuhi oleh kedua perusahaan, seperti misalnya merger bertujuan untuk menciptakan sinergi usaha yang kuat dan memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk penghindaran pajak dan utang pajak kedua Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha telah dilunasi, namun PTGT dan PTPK tetap tidak dapat menggunakan merger dengan nilai buku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang menjadi dasar penilaian perolehan atau pengalihan harta dalam rangka penggabungan usaha yang dilakukan oleh PTGT dan PTPK adalah nilai pasar.
ASUMSI LAIN:
Apabila PTGT dan PTPK memenuhi syarat yang diatur dalam PMK 243/2008, maka penggabungan usaha yang dilakukan PTGT dan PTPK dapat melakukan merger dengan nilai buku. Langkah-langkah yang harus dilakukan sesuai dengan PER 28/2008 adalah sebagai berikut:
1)      PTGT selaku surviving company mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat PTGT berada, paling lama 31 Januari 2016.
2)      Format permohonan sesuai dengan lampiran I PER 28/2008
3)      Melampirkan surat pernyataan yang mengemukakan alasan dan tujuan melakukan merger dengan disertai bukti pendukung, diantaranya
a.       Fotokopi Merger Plan
b.      Fotokopi Pengumuman Merger Plan yang telah dimuat di dua media massa;
c.       Fotokopi Laporan Keuangan dari Wajib Pajak yang mengalihkan harta dan Wajib Pajak yang menerima harta, sebelum merger dan setelah merger, yang diaudit oleh Akuntan Publik;
d.      Bagan/Skema struktur organisasi sebelum dan setelah merger disertai komposisi kepemilikan pemegang saham;
e.       Proyeksi penghasilan dan Pajak Penghasilan yang terutang sebelum dan setelah merger;
f.       Surat penjelasan mengenai perincian penghitungan eliminasi perkiraan antar perusahaan (akun-akun resiprokal) yang dilakukan dalam rangka merger;
g.      Fotokopi Akte Pendirian dan Anggaran Dasar beserta perubahannya;
h.      Fotokopi Pernyataan Keputusan RUPS Luar Biasa terakhir untuk masing-masing badan usaha;
i.        Fotokopi Surat Persetujuan Penggabungan Usaha atau Surat Keputusan Izin Prinsip Penggabungan Usaha dari instansi terkait;
j.        Pendaftaran akta Merger dan Akta Perubahan Anggaran Dasar dalam Daftar Perusahaan;
k.      Surat Keterangan Pendaftaran Tanah yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya/Kabupaten dimana tanah dan/atau bangunan tersebut berada;
l.        Fotokopi Sertifikat tanah dan/atau bangunan yang telah dilegalisir oleh perusahaan yang bersangkutan dengan menunjukkan sertifikat aslinya;
m.    Fotokopi SPT Tahunan PPh badan tahun pajak terakhir;
n.      Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk masing-masing badan usaha yang menerima pengalihan harta dan yang melakukan pengalihan harta;
o.      Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) para pemegang saham dari masing-masing badan usaha;
p.      Data kompensasi kerugian PPh WP Badan beserta surat ketetapan pajak untuk 5 tahun terakhir untuk masing-masing Wajib Pajak yang menerima harta dan yang mengalihkan harta
4)      Melampirkan daftar isian dan surat pernyataan dalam rangka business purpose test sesuai dengan format dalam Lampiran III PER 28/2008
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak nantinya akan menerbitkan surat keputusan paling lama 1 bulan sejak diterimanya permohonan dari Wajib Pajak secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat, maka permohonan penggunaan nilai buku dalam rangka penggabungan usaha dinyatakan diterima.

4.2         Implikasi Perpajakan Terkait Dengan Penggabungan Usaha (Merger) Antara PTGT dan PTPK

4.2.1        Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Berdasarkan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya disebut dengan UU PPN) pasal 1A ayat (2) huruf d, yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena pajak adalah pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.
Selain itu merger dengan menggunakan nilai pasar tidak dikenakan PPN dengan syarat harus dipastikan bahwa kedua entitas yang melakukan penggabungan usaha berbentuk Persroan Terbatas (PT) dan di dalam akta merger harus ada keterangan yang menyatakan bahwa merger dilakukan dalam kerangka Perseroan Terbatas sesuai dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Maka pengalihan BKP atas kegiatan merger yang dilakukan oleh PTGT dan PTPK tidak dikenakan PPN, sebab kedua perusahaan yang melakukan merger merupakan PKP dan merger dilakukan dalam kerangka Perseroan Terbatas.

4.2.2        Bea Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Pada saat melakukan penggabungan usaha, aktiva tetap berupa tanah dan bangunan milik PTPK (transferor company) dialihkan kepada PTGT (surviving company). Atas pengalihan tersebut, muncul BPHTB yang wajib dibayarkan oleh PTGT sebagai pemilik baru tanah dan bangunan tersebut. BPHTB diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya disebut dengan UU PDRD). Pengaturan lebih lanjut mengenai BPHTB dilakukan melalui peraturan daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan menentukan besarnya NPOPTKP dan menentukan tarif BPHTB namun tetap mengacu pada UU PDRD.
Pada kasus ini, diasumsikan tanah dan bangunan milik PTPK berlokasi di DKI Jakarta, sehingga peraturan daerah yang digunakan sebagai dasar penentuan BPHTB terutang adalah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Perda tersebut menetapkan besarnya NPOPTKP adalah sebesar 80 juta rupiah dengan tarif sebesar 5% sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5 ayat (7) dan pasal 6.
Dari penjelasan di atas, perhitungan besarnya BPHTB terutang yang wajib dibayarkan oleh PTGT adalah sebagai berikut:
5% x (Rp 25.000.000.000 - Rp 80.000.000) = Rp 1.246.000.000
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pasal 8 ayat (1) huruf k, BPHTB atas penggabungan uasaha  terutang sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta penggabungan. BPHTB yang terutang harus dilunasi pada saat perelohan hak atas bagunan sebagaimana yang dimaksud ayat 1 sesuai Pasal 8 ayat (2). Pada saat pembayaran BPHTB, PTGT wajib membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pasal 10 ayat (1).
Apabila dalam kasus penggabungan usaha antara PTKP dan PTGT menggunakan metode nilai buku, maka dalam menentukan besarnya BPHTB yang harus dibayar akan mendapatkan fasilitas berupa pengurangan 50% sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 103 Tahun 2011 Pasal 2 ayat (2) huruf b angka (5).
Perhitungan BPHTB yang terutang apabila mendapatkan pengurangan sebesar 50% sebagai berikut:
5% x (Rp 25.000.000.000 - Rp 80.000.000) x 50% = 623.000.000

4.2.3        Pajak Penghasilan atas Tanah dan Bangunan (PPhTB)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 s.t.d.d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan (selanjutnya disebut PP 71/2008) pasal 1 ayat (2) dan pasal 2 ayat (1), badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah, wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan. Masih pada peraturan yang sama pasal 4 dan pasal 8, dijelaskan bahwa atas pajak penghasilan yang terutang bersifat final dengan tarif 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Dalam kasus ini, PTPK mengalihkan tanah dan bangunan kepada PTGT senilai Rp 25 Miliar. Atas penghasilan yang diterima PTPK dikenakan PPh final sesuai dengan PP 71/2008 sebesar 5% dengan perhitungan sebagai berikut:
5% x Rp 25.000.000.000 = Rp 1.250.000.000
Penyetoran dan pelaporan PPhTB diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 635/KMK.04/1994 s.t.t.d Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 243/PMK.03/2008 Tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. Pada pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa PPhTB terutang wajib dibayarkan oleh PTPK menggunakan SSP sebelum akta,  0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bag, pembangunan untuk kepentingan umumkeputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang. Pelaporan wajib dilakukan oleh PTPK menggunakan Surat Pemberitahuan Masa paling lama tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau diterimanya pembayaran berdasarkan pasal 4 peraturan yang sama.
Hingga saat ini, tepatnya pada tahun 2016 melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah adan/atau bangunan beserta perubahannya. Pemerintah telah menerapkan tarif pajak yang baru atas PPhTB sebagaimana yang tertuang di Pasal 2 ayat (1) Pasal PP Nomor 34 Tahun 2016. perubahan yang pertama adalah tarif PPhTB 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan. kedua adalah  1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan. Terakhir adalah

4.2.4        Pengalihan Investasi Saham

Dalam kegiatan merger, aktiva dan pasiva perseroan yang menggabungkan diri beralih sepenuhnya kepada perseroan yang menerima penggabungan. Oleh karena itu, pada saat melakukan penggabungan usaha, investasi saham perusahaan dalam dan luar negeri milik PTPK (transferor company) dialihkan kepada PTGT (surviving company). Pada dasarnya pengambilalihan saham adalah kegiatan jual beli saham (Teahastuti, 2000:15). Maka dari itu atas pengalihan investasi saham, terhadap PTPK dikenakan Pajak Penghasilan, sebagai berikut:
       Apabila perusahaan yang diambilalih bukan perusahaan go public atau tidak masuk dalam listed Bursa Efek, maka pengenaan tarifnya dikenakan berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17, yaitu sebesar 25%. Pajak Penghasilan dikenakan atas kenaikan dari selisih antara nilai yang tercatat pada surviving company dan nilai buku pada transferor company. Kenaikan tersebut digabungkan dengan penghasilan lainnya dan dikurangi dengan pengurang penghasilan kena pajak kemudian dikalikan tarif 25% sehingga didapatkan Pajak Penghasilan terutang. Dalam kasus ini, tidak ada kenaikan (capital gain) sehingga tidak ada Pajak Penghasilan yang dikenakan pada PTPK.
       Apabila perusahaan yang diambilalih merupakan perusahaan go public, berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 j.o PP No. 41 Tahun 1994 yang telah diubah dengan PP No. 14 Tahun 1997 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek Pasal 1 ayat (2), maka bagi saham biasa tarif pajak penghasilannya sebesar 0,1% dari nilai bruto penjualan dan bersifat final. Maka dari itu besarnya Pajak Penghasilan adalah

0,1% x Rp 3.000.000.000  = Rp 300.000.000

Untuk saham luar negeri, tidak ada peraturan khusus yang mengatur perpajakannya. Sehingga, saham luar negeri tersebut diperlakukan sama seperti perusahaan dalam negeri yang tidak masuk dalam listed Bursa Efek.

4.2.5        Perlakuan Atas Adanya Penurunan Piutang

1)      Kemungkinan selisih sebesar Rp 500 juta adalah utang dari PTPK kepada PTGT, sehingga PTGT hanya mencatat sebesar Rp 4 Miliar. Dalam kasus ini, kemungkinan yang pertama adalah transferor company berhutang kepada surviving company , maka dari itu PTGT tidak mencatat utang tersebut dengan alasan PTPK sudah menjadi bagian dari PTGT sehingga tidak perlu untuk dicatat lagi karena jika dicatat akan sama saja dengan berhutang pada diri sendiri.
2)      Piutang PTPK sebesar Rp 500 juta tereliminasi seolah-olah telah dilakukan write off (penghapusan) atas piutangnya. Diasumsikan bahwa piutang sebesar tersebut yang dihapus adalah utang PTGT kepada PTPK. Perlakuan atas dihapuskannya piutang ini dapat terjadi dalam dua hal, yaitu apabila PTGT dan PTPK merger berdasarkan nilai pasar dan apabila seandainya PTGT dan PTPK merger berdasarkan nilai buku.
       Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 207/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 Tentang Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, persyaratan atas penentuan piutang yang tidak dapat ditagih ini adalah:
a.       telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial
b.      Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c.       Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut:
1.      telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
2.      terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut;
3.      telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
4.      adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
PTPK berhak untuk mengajukan permohonan penghapusan piutang tak tertagih sebagai pengurang penghasilan bruto ini karena telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam PMK dan penghapusan atas piutang ini memiliki alasan kuat yaitu kondisi PTGT yang mengalami kerugian sehingga tidak memungkinkan untuk membayarkan utangnya.
       Berdasarkan bagian materi angka 13 dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2015 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 Tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha, Kompensasi timbal-baiik (offset) utang piutang dalam hal terjadi kompensasi timbal-balik (offset) utang piutang di antara para Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka merger, maka:
a.       penghapusan utang bagi pihak debitur bukan merupakan penghasilan;
b.      penghapusan piutang bagi pihak kreditur bukan merupakan biaya.
Maka dalam hal apabila merger antara PTGT dan PTPK menggunakan nilai buku, PTGT dan PTPK dapat langsung menganggap “impas” utang-piutang senilai tersebut seakan-akan kewajiban tersebut telah dilunasi.
 


Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185

Comments

Popular posts from this blog

Kenapa angka India menjadi angka Arab?

Kebanyakan dari kita mungkin mengira angka Arab seperti angka-angka yang tercantum di dalam Al-Qur’an. Namun pada kenyataannya angka Arab bukanlah seperti yang selama ini kita asumsikan. Angka Arab itu sendiri sebenarnya angka yang sekarang menjadi angka internasional yaitu 1, 2, 3, 4, 5, ...dst. Lalu, angka yang kita kenal sebagai angka Arab yang ada di Al Qur’an itu angka apa? Fakta yang lucu. Ketika masyarakat umum dunia menyebutnya angka Arab, tapi orang Arab sendiri justru menyebutnya sebagai angka Hindi. Angka Arab yang sebenarnya adalah angka India yaitu ١ , ٢ , ٣ , ٤ , ٥ , ٦ , ٧ , ٨ , ٩ ,١٠ . Hal ini bisa dilihat dari sejarah perkembangan evolusi tulisan angka Arab dan Hindi itu sendiri. Kenyataannya angka-angka yang kita pakai saat ini adalah keturunan dari angka India. Dan sistem angka Hindu-Arab dikembangkan oleh matematikawan India. Angka India kemudian diadopsi oleh matematikawan Persia di India, dan diteruskan lebih lanjut kepada orang-orang Arab di sebelah barat. ...

Go-Jek Indonesia dan Tantangan Lingkungan dalam Perspektif Teori Organisasi

Organisasi bisnis jasa online , dewasa ini sedang banyak dikembangkan di Indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya penawaran fasilitas-fasilitas yang berdalih memberikan kemudahan dalam memenuhi setiap kebutuhan dan aktivitas masyarakat yang dikemas secara online dalam sebuah software aplikasi. Sebagaimana dapat kita amati, kemunculan berbagai bentuk layanan belanja online seperti Tokopedia , Bukalapak , Lazada , OLX , Grab-Bike , dan Go-Jek. Terkait hal bisnis jasa online , dalam tulisan ini akan dibahas mengenai layanan Go-Jek Indonesia. Go-Jek merupakan startup lokal di bidang digital. Selain Go-Jek, terdapat juga Grab-Bike yang merupakan startup asal Malaysia. Khususnya Go-Jek, ini sangat cermat dalam melihat kondisi lingkungan, yang terkait kemacetan yang terjadi di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Ide diciptakannya layanan Go-Jek muncul dari lingkungan eksternal organisasi Go-Jek, yaitu masyarakat (yang kemudian menjadi target sebagai customer Go-Jek) dan kemace...

Tanya Jawab Seputar Manusia dan Masyarakat Indonesia

1.       Soal: Setiap sukubangsa/etnis di Indonesia, memiliki budaya yang mendasari terbangunnya kearifan lokal untuk kelangsungan hidup mereka saat beradaptasi dengan lingkungan alamnya, baik dalam mengelola sumberdaya alam, mitigasi bencana dan berbagai kehidupan sosial. Sebut dan jelaskan langkah-langkah yang konstruktif harus dilakukan pemerintah dalam membangun kemitraan dengan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan budaya! Pembahasan: Kearifan lokal merupakan prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat. [1] Kearifan lokal juga berkaitan dengan strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. [2] Hidup yang berdampingan dengan alam mengharuskan kita mampu beradaptasi den...