Literature Review
Bab 11: Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Pemeriksaan Bukti
Permulaan dan Penyidikan Pajak[1]
A.
Kepatuhan,
Pelanggaran, dan Sanksi Perpajakan
Dalam sistem perpajakan yang menerapkan self assessment system,
sebagaimana dikatakan Prof. Dr. Gunadi, M. Sc., Ak., dalam Panduan
Komprehensif Ketentuan Umum Perpajakan (KUP)-Edisi Revisi 2016, tugas
utama administrasi pajak adalah meningkatkan kepatuhan agar penerimaan pajak
APBN tercapai.
Kepatuhan sukarela dalam self assessment system telah
dilengakapi dengan self-registration, self-voluntary correction, dan self-voluntary
disclosure. Kepatuhan dapat meningkat jika administrasi berhasil
menampilkan prospek kuat bahwa setiap ketidakpatuhan dapat terdeteksi dan efektif
dihukum.
Efektivitas administrasi merupakan faktor kunci. Sehingga
administrasi pajak menganut ultimum remidium, artinya tidak dimaksudkan
para pengemplang pajak untuk dipidanakan, tetapi diberikan kesempatan melalui
proses schicking (upaya damai) untuk menciptakan kepatuhan wajib pajak
sehingga kemudian dapat memaksimalkan penerimaan negara. Proses schicking
tersebut berkaitan erat dengan tujuan penerimaan negara sebagaimana dikatakan
Gunadi sebagai imbalan diabaikannya kepatuhan formal dan material (subtansial).
Kepatuhan formal merujuk pada kondisi ideal jika semua WP/PKP
memenuhi kewajiban formal sesuai ketentuan (seperti penyampaian SPT dengan
membayar pajak pada waktunya, menyelenggarakan pembukuan/catatan berdasarkan
itikad baik sesuai keadaan sebenarnya dan wajar dan melaksanakan kewajiban
perpajakn). Sedangkan kepatuhan material (substansial) merujuk pada materi
pengisian SPT secara benar, lengkap, dan jelas sesuai keadaan sebenarnya dan
ketentuan yang berlaku, pembukuan dan pencatatan dilakukan dengan itikad baik,
berdasarkan SAK kecuali diatur lain dalam ketentuan pajak, serta pembayaran
pajak telah semestinya dan pemenuhan kewajiban lainnya.
Hukum pajak lebih bersifat material
substansial (substance over form) bukan formal (form over
substance).
Allingham dan Sandmo dalam Gunadi menyebut bahwa penyebab patuh
tidak patuhnya wajib pajak dapat dilihat menggunakan pendekatan teori cost
and benefit. Teori cost and benefit menilai bahwa WP sebagai
individu yang rasional, dapat menghindar atau netral atas risiko, dan pencari
manfaat maksimal akan patuh pajak jika benefit melebihi cost
tidak patuh atau dengan kata lain jika pengeluaran untuk tidak patuh lebih
mahal dari beban patuh membayar pajak, WP cenderung patuh dan sebaliknya.
Selain itu, dikenal juga teori Laffer, bahwa semakin rendah tarif
maka WP akan semakin patuh sehingga penerimaan negara akan semakin tinggi.
Kemudian muncul teori deterrence effect sebagai reaksi teori
cost and benefit. Teori deterrence effect mengatakan bahwa saksi pajak
mendorong kepatuhan. Maka semakin tinggi sanksi, akan semakin tinggi kepatuhan.
Mohd Riza, Palil dan Ken Devos dalam Gunadi menyebut beberapa unsur
yang dapat memengaruhi kepatuhan, yakni: (a) probabilitas diperiksa/terdeteksi,
(b) besaran sanksi, (c) persepsi atas belanja pemerintah, (d) hambatan
finansial WP, (e) pengaruh asosiasi/grup/rekanan, (f) kompleksitas sistem
pajak, (g) ketersediaan informasi/data WP di kantor pajak, (h) sistem
potong-pungut, (i) tarif pajak, dan (j) tanggungjawab akuntan dan konsultan
pajak.
Sedangkan Kwik Kian G dalam Gunadi menyebutkan beberapa alasan yang
menyebabkan masyarakat Indonesia kurang patuh pajak adalah karena kurang
memahami mekanisme kerja negara dan bangsa yang mempunya pemerintah, pemerintah
dan aparatnya yang dibiayai dengan pajak kurang dirasa kehadiran dan
manfaatnya, kewajiban dan keharusan pemerintah memenuhi semua fasilitas sarana
prasarana dan infrastruktur umum,
membayar pajak sebagai beban warisan kolonial sehingga rakyat memahami usaha
tidak membayar pajak sebagai bentuk keinginan bebas dari beban penjajah, dan
pajak belum menjadi primadona tetapi masih sebagai pelengkap penerimaan migas.
Bernard P. Herber dalam Nurmantu dalam Gunadi membedakan tiga
kelompok ketidakpatuhan, yaitu penghindaran pajak (tax avoidance) legal
dengan memanfaatkan celah aturan (loopholes) dan anomali UU ,
penyelundupan pajak (tax evasion) secara ilegal, dan penunggak pajak (tax
delinquency).
Sementara Sylvani dalam Gunadi mengatakan bahwa administrasi pajak
yang efektif adalah yang mampu mencegah dan memberantas beberapa defisit utama
sistem pajak (key short falls), yaitu (a) WP tidak terdaftar (unregistered
taxpayer), (b) WP tidak menyampaikan SPT (stop filer), (c)
penghindar/penyelundup pajak (tax evader), dan (d) penunggak pajak (delinquent
taxpayer).
Adapun beberapa kegiatan yang berpotensi dapat mengatasi defisit
utama sistem pajak antara lain penetapan nilai ambang batas (threshold)
sebagai dasar menentukan kewajiban memiliki NPWP/menjadi PKP untuk mengatasi
defisit unregistered taxpayer, perluasan objek potong-pungut pajak
sebagai sarana efektif dan efisien untuk memungut pajak yang mencakup hampir
semua penghasilan potensial termasuk professional, hard-to-tax
groups, dan shadow economy sectors untuk mengatasi defisit stop
filer, untuk masyarakat berkepatuhan hukum rendah maka kepatuhan harus
dipaksakan melalui pengaturan per-UU-an (force regulated) sehingga
secara sistematik dapat mengatur sedemikian rupa agar peluang penghindaran
pajak dapat diminimalkan karena tidak ada pilihan selain patuh, dan peningkatan
kualitas penerbitan SKPKB/STP berdasarkan LHP/LHV dengan koreksi yang berdasar
dan beralasan legal-faktual kuat, tepat waktu, dan efektif sesuai kemampuan dan
ketersediaan dana.
Kinerja penerimaan pajak dapat diukur menggunakan indikator tax
ratio, yaitu perbandingan antara total penerimaan pajak dengan PDB. Tax
ratio yang rendah mengindikasikan tidak banyaknya PDB yang ditarik
Pemerintah dalam bentuk pajak sehingga sebagian besar masih ada di tangan
masyarakat untuk meningkatkan daya beli atau ekspansi usahanya. Kondisi
tersebut, dilihat dari sisi budget, berimplikasi terhadap cekaknya pennerimaan
pajak dan terbatasnya dana pemerintah untuk belanja barang dan pembangunan guna
mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, penyediaan barang publik
Pemerintah dan belanja pembangunan serta stimulus ekonomi serba terbatas
sehingga pertumbuhan tidak cukup menyediakan lapangan kerja dan tidak mampu mengurangi
tingkat kemiskinan.
Namun, dikatakan Gunadi, hingga tulisan tersebut dibuat, tax
ratio belum memadai. Hal tersebut disebabkan oleh belum didukungnya data
mikro individual subjek dan objek pajak detil dan lengkap tiap WP sehingga
belum dapat secara otomatis built in check and tracking. Akibatnya,
masih banyak WP yang belum melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan semestinya
(ketidakpatuhan baik berupa tax avoidance, tax evasion, maupun tax
delinquency).
Gunadi membedakan tingkat kadar tax avoidance dan tax
evasion. Tax avoidance memiliki tingkat kadar antara acceptable/tax
planning (upaya efisiensi beban tanpa gerakan atau migrasi WP, transaksi,
dana, atau kegiatan lain berdasar ketentuan) dan unacceptable. Adapun tax
planning ada yang ordinary (acceptable) dan agressive
(unacceptable). Sementara kadar tax evasion meliputi ada yang ringan
(omisi kurang serius-pelanggaran) seperti penyampaian SPT tidak lengkap dan
kejahatan berat atau lebih serius-kejahatan atau kecurangan seperti SPT dengan
lampiran, dokumen, atau keterangan palsu.
Konsekuensi tax evasion atau penggelapan ringan termasuk
pelanggaran administrasi akan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan
kejahatan berat sebagai kriminal/kecurangan akan dikenakan sanksi pidana
(finansial dan badan). Sedangkan sanksi terhadap tax avoidance baik acceptable
maupun unacceptable dikenakan sanksi administrasi.
Gunadi membedakan sanksi berupa kriminalisasi dan dekriminalisasi.
Kriminalisasi menunjukkan proses perubahan status suatu perbuatan yang semula
bukan pidana (pelanggaran administrasi) menjadi tindak pidana. Sedangkan
dekriminalisasi merupakan proses perubahan penetapan status suatu perbuatan
yang semula tindak pidana menjadi pelanggaran administrasi saja. Dalam keadaan
tertentu, hukum pidana dapat dijadikan sebagai hukum balas dendam secara
radikal (lex talionis) apalagi jika dibarengi dengan teori deterrence
(makin berat hukuman, kepatuhan akan semakin meningkat). Namun, teori deterrence
tersebut bertentangan dengan teori yield yang mendalihkan bahwa karena
pungutan pajak itu berkelanjutan yang tidak terputus oleh irisan waktu, maka
objek pajaknya hanya hasil, membiarkan sumbernya tetap utuh dan berfungsi
semestinya sehingga mampu mengalirkan objek pajak terus menerus yang dapat
dipajaki berulang-ulang selama mungkin. Dengan kata lain, pemajakan tidak boleh
menyengsarakan rakyat, mengganggu produksi dan distribusi barang dan jasa
kebutuhan masyarakat. Apaun justifikasi transformasi dekriminalisasi
sebagaimana menurut Konvensi PBB tentang antikorupsi dalam Gunadi, secara
implisit bertujuan untuk mencapai rehabilitative justice (perbaikan
perilaku hukum), restorative justice (pemulihan kerugian pada pendapatan
negara berupa pajak terhutang yang kurang atau tidak dibayar), dan corrective
justice (perbaikan perilaku terhukum).
Pasal 38 UU KUP menyebut 2 jenis pelanggaran kewajiban perpajakan,
yaitu administrasi perpajakan dan pidana di bidang perpajakan. Perbedaan
keduanya adalah, bahwa pelanggaran administrasi diselesaikan secara administrasi,
sedangkan pelanggaran pidana melalui penuntutan dan sanksi pidana. Adapun
sanksi administrasi ditujukan pada perbuatannya, sedangkan sanksi pidana pada
pelakunya maka terdapat pidana fisik selain denda.
Tindak pidana pajak terbagi menjadi alpha dan sengaja. Pelanggaran
(pidana alpha atau khilaf, lalai, tidak hati-hati, dan tidak peduli kewajiban
yang bukan dengan kesengajaan) pertama kali didekriminalisasi dari tindak
pidana ke pelanggaran administrasi. Namun, jika pelanggaran administratif tersebut
dilakukan dengan sengaja, statusnya berubah menjadi pelanggaran berat atau tindak
pidana kejahatan. Jika tindak pidana tersebut terbukti maka pelaku atau peserta
pelaku dapat dikenai hukuman berlipat seperti utang pajak, denda pidana, dan
kenaikan. Sehingga, Waluyo dalam Gunadi mengategorikan pelanggaran termasuk
bentuk kejahatan ringan.
Robintan Sulaiman menyitir dari John E. Conklin dalam Gunadi menyebut bahwa kejahatan sebagai
tindakan ilegal, diancam sanksi pidana, dilakukan individu atau badan dalam
usaha atau pekerjaannya guna memperoleh uang, properti, kekayaan, atau menghindari
suatu pembayaran atau beban, kerugian uang atau kekayaan, atau manfaat
ekonomis.
Adapun unsur tindak pidana perpajakan sebagaimana diutarakan
Gunadi, meliputi: a) perbuatan seperti tidak mendaftarkan diri atau tidak
menyampaikan SPT, b) kesalahan berupa alpha atau sengaja, dan c) akibat
perbuatannya dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Gunadi mengutarakan faktor-faktor yang mendorong meningkatnya
pelanggaran perpajakan antara lain akibat: a) persaingan sistem perpajakan
antar negara dalam menarik arus investasi dan bisnis global, b) disparitas
sistem perpajakan antar subjek atau objek (global, schedular, tarif progressif,
final) dan mismatch pengaturan perpajakan baik dalam lingkup nasional maupun
global, c) kemajuan metode dan cara serta modus operandi berbisnis dan lemahnya
basis data otomatis untuk mendeteksi gejaan pelanggaran, d) makin banyak WP
terdaftar dan objek pajak serta transaksi kena pajak di luar jangkauan
pengawasan kantor pajak, e) pemanfaatan banyaknya jumlah dan variasi P3B serta
perjanjian internasional dan advance ruling agreement untuk mengefisienkan
beban pajak dan meningkatkan daya saing perusahaan, f) kurangnya kuantitas dan
kualitas penyidik pajak serta hambatan pelimpahan dan penuntutan serta tidak
mudahnya pembuktian tindak pidana perpajakan di pengadilan, g) belum
kondusifnya penegakan hukum pidana perpajakan.
Selain merugikan pendapatan negara, tindak pidana pajak berdampak
pada keuangan negara karena dapat mengurangi penerimaan sehingga anggaran
menjadi tidak berimbang atau bahkan defisit. Selain itu, dampak ekonomi berupa
adanya pengusaha yang jujur dan yang melakukan tindak pidana pajak menimbulkan
distorsi kegiatan produksi dan distribusi karena perbedaan beban pajak. Dampak
psikologis juga dapat terjadi karena kegagalan mencegah dan memberantas tindak
pidana pajak dapat menimbulkan moral hazard berupa meluasnya pelanggaran
atau kejahatan pajak.
Gunadi menjelaskan teori determinan pemungutan pajak dengan
menyitir Harley Hinrichs, bahwa pembangunan ekonomi dapat mengubah struktur
ekonomi, memperluas dan menggeser konsentrai basis permajakan dari sektor
informal tidak terorganisir ke sektor pasar formal terorganisir yang terakses
oleh instrumen mobilisasi penerimaan.
Pembangunan ekonomi memperluas objek dan kapasitas pemajakan
melalui kapabilitas multiplier effect. Transformasi sektor informal (hard-to-tax)
menjadi sektor formal (feasible-to-tax) dan merupakan prasyarat
mobilisasi sumber dana negara berkembang.
Gunadi juga menyitir dari Jeffrey G. Williamson, bahwa di negara
berkembang dengan kondisi tingkat ketidakpatuhan tinggi, instrumen pemungutan
paling efektif dan efisien adalah witholding system. Semakin maju ekonomi negara dan sejahtera
rakyat tax ratio akan meningkat dan lebih tinggi dari negara berkembang.
Hal ini terjadi karena: a) income dan wealth perkapita warga
negara maju lebih banyak dan merata ketimbang negara miskin, b) secara
psikologis di negara maju yang kaya lebih peduli akan kepentingan umum, c) bagi
yang kaya, karena hidup sudah berkecukupan, masa tua dan anak cucu terjamin,
timbul kesadaran atas berbagai kewajiban pada negara termasuk pajak, d) warga
negara mau hampir semuanya sudah selesai dengan urusan pribadi maka tergerak
sifat filantropis dan kepedulian sosialnya, e) keberhasilan pembangunan ekonomi
memperluas taxable capacity. Adapun unsur-unsur yang dianggap dapat
mempengaruhi realisasi penerimaan temasuk: a) peraturan perundang-undangan, b)
jumlah WP dan tingkat kepatuhan, c) objek pajak dan cakupannya, d) kelembagaan
(termasuk personel), dan e) lingkungan (hukum, ekonomi, sosial budaya,
nasional-regional-global).
The 1966 Carter Commission Report (Kanada-dalam Rohalgy)
dalam Gunadi mengelompokkan 4 jenis ketentuan pencegahan penghindaran pajak,
yaitu: a) snipper approach (pemberlakuan ketentuan khusus beberapa
transaksi yang mendapat perlakuan khusus perpajakan), b) shotgun method
(pemberlakuan ketentuan umum penghindaran secara meluas dalam area tertentu),
c) administrative approach (tanggungjawab pengendalian penghindaran
tergantung pada diskresi administrator), d) arm’s length approach
(transaksi kepada pihak dengan hubungan istimewa harus sama/sebanding dengan
transaksi independen).
UU domestik pajak biasanya memuat ketentuan umum luas pencegah
penghindaran unacceptable tax avoidance-shortgun approach). Tujuannya
mencegah penyalahgunaan keringanan pajak pada sektor ekonomi tertentu dan
umumnya meliputi setiap kemungkinan tax contingency. Selain itu, banyak
juga diterapkan doktrin purposive penyalahgunaan UU atau hak (abuse of law
right) dalam mencegah penghindaran pajak serius.
Untuk mengatrol kepatuhan pajak, terdapat 3 pendekatan: a) enforcement,
b) excellent service, dan c) kombinasi services dan stringent
selective enforcement with reserve punishment.
UU pajak mengenal sanksi administrasi (denda, bunga, dan kenaikan)
dan sanksi pidana (kurungan, penjara, dan denda). Adapun menurut Cochran &
Malone dalam Gunadi menjelaskan prinsip-prinsip dasar pemberian hukuman pidana
adalah: a) retribution (pembalasan), b) deterrence (cegah), c) incapacitation
(penahanan, pengasingan, atau pencabutan kemerdekaan terpidana dari pergaulan
masyarakat sehingga tidak lagi jadi ancaman atau membahayakan orang lain, dan
d) rehabilitation (pemasyarakatan melalui tindakan koreksi dan layanan).
B.
Beberapa Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
B.1. Pelanggaran
Administrasi, Pelanggaran Hukum, dan Perbuatan Melawan Hukum
Gunadi mengatakan bahwa perbuatan melanggar hukum dapat
dipersamakan dengan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan hukum. Munir
fuady mengutip dari Tb Irman dalam Gunadi menyebut bahwa melawan hukum adalah perbuatan
melawan undang-undang yang berlaku, melanggar hak orang lain yang dijamin
hukum, perbuatan bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan
dengan kesusilaan, atau bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan
masyarakat yang baik.
UU Pajak, dalam penjelasan pasal 38 UU KUP mengklasifikasi
pelanggaran kewajiban pajak pada tindakan administrasi dan tindak pidana perpajakan. Tanpa
menyebutkan perbedaannya, hanya menyebutkan sanksi administrasi dikenakan pada
pelanggaran administrasi dan sanksi
pidana pada tindakan pidana.
B.2. Beberapa
Pelaku Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan Regulasi Pengatur
UUKUP tidak merumuskan definisi tindak pidana di bidang perpajakan.
Tertuang dalam Pasal 38 UUKUP tindak pidana pajak merupakan perbuatan atau
tindakan pelanggaran hukum berupa kewajiban (perintah dan larangan) perpajakan
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan baik karena alpha
maupun sengaja dalam berbagai jenis dan bentuknya sehingga dapat menimbulkan
atau tanpa memperhatikan kerugian pada pendapatan negara dan diancam dengan
sanksi pidana. Gunadi mengatakan bahwa tindak pidana dapat dipersamakan dengan
delik dan banyak diterjemahkan sebagai perbuatan pidana, peristiwa pidana atau
tindak pidana. Adapun tindak pidana di bidang perpajakan menyangkut perbuatan
pidana tentang pajak dan hal-hal terkait oleh WP, pegawai, pejabat, dan pihak
terkait. Hal ini menunjukkan bahwa tindak pidana pajak sama dengan pidana
lainnya di Indonesia, sebagai pengikut civil law regime, prinsip bahwa badan hukum tidak
pernah dapat melakukan perbuatan yang bisa dihukum karena hukum pidana selalu
ditujukkan pada individu (Brotodihardjo,1971). Pasal 59 KUHP mengakui bahwa
pelaku tindak pidana adalah manusia, dengan berbagai sebutan hukum seperti
seorang, setiap orang, seseorang, barang siapa, mereka, warga negara, wajib
pajak, penannggung pajak, pejabat, tenaga ahli, nahkoda, penumpang, dan lainnya
(Zainal Abidin Farid, 2007, hukum pidana 1).
B.3. Tindak
Pidana Perpajakan Wajib Pajak
Konsekuensi self assessment system yang
mewajibkan penghitungan pajak terhutang pada WP memerlukan instrumen pengawasan
yang dapat dipercaya. Untuk itu, pembukuan transaksi perpajakan selama masa
pajak harus dilakukan berdasar itikad baik menurut praktik yang berterima umum
kecuali ditentukan lain oleh UU Pajak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan
menjadi amat penting peranannya. Menurut UU KUP, yang termasuk tindak pidana
perpajakan, meliputi pidana
penghilangan/perusakan kertas segel (pasal 30 jo pasal 32 PMK-17/PMK.03/2013),
pidana alpha (pasal 38), pidana sengaja (pasal 39 (1)), pidana residivis (pasal 39 (2)), pidana percobaan (pasal
39 (3)), pidana formal penerbitan/penggunaan faktur dan/atau bukti potput dan
setoran pajak tidak benar (pasal 39 A). Menurut UU PPSP (Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa), yang termasuk tindak pidana pajak, meliputi pidana pelanggaran
hukum barang sitaan pasal 23 (1) (pasal 41A), pidana penghalang pelaksanaan tugas juru sita
(pasal 41A (3)). Menurut UU PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), yang termasuk tindak
pidana pajak, meliputi pidana kealpaan (pasal 24 ), pidana sengaja (2 pasal
25(1)), pidana residivis (pasal 25(3)). Menurut UUBM (Bea Masuk), yang termasuk
tindak pidana pajak adalah pidana pemalsuan (pasal 13(a)) dan pidana sengaja
(pasal 13(b) dan (c) da pasal 14). Menurut UUPDRD (Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah), yang termasuk tindak pidana pajak adalah pidana alpa (pasal 174(1)), pidana
sengaja (pasal 174(2)).
B.4. Tindak
Pidana Perpajakan Pegawai Pajak
Menurut UU KUP, yang termasuk tindak
pidana pajak oleh pegawai pajak adalah Pidana pemerasan dan pengancaman (pasal
36A(3)), pidana korupsi (pasal 36A(4)), pidana pelanggaran kerahasiaan (pasal
41), dan pidana penyalahgunaan data dan informasi perpajakan (pasal 41C (4)).
Sedangkan menurut UU PDRD, yang termasuk tindak pidana pajak oleh pegawai pajak
adalah pidana pelanggaran kerahasiaan (Pasal 177(1)).
B.5. Tindak
Pidana Perpajakan Pihak Pemberi Keterangan
Pidana tidak memberi keterangan dalam pemeriksaan, penyidikan dan
penagihan (Pasal 41A UU KUP) dan pidana tidak memberi keterangan/informasi
perpajakan (Pasal 41C UU KUP) merupakan tindak pidana perpajakan pihak pemberi
keteranga.
B.6. Tindak Pidana Perpajakan Pihak Wakil, Kuasa Prgawai WP, Atau
Pihak Lain Terkait
UUKUP mengategorikan yang termasuk tindak
pidana perpajakan pihak wakil, kuasa prgawai wp, atau pihak lain terkait adalah
pidana pesertaan (Pasal 43). Sedangkan UU PPSP mengelompokkannya sebagai
berikut pidana pelanggaran kewajiban para pihak terkait barang sitaan yang
dikecualikan dari pelelangan (pasal 41A(2)) dan pidana penghalang pelaksanaan
tugas juru sita (pasal 41A(3)). Menurut UU PBB yaitu pidana kesengajaan bukan WP (pasal 25(2)).
C.
Ketentuan Pidana Dalam UU Perpajakan
C.1. Hukum
Pajak dan Pidana Perpajakan
Brotodihardjo (1971) menyebutkan hukum fiskal sebagai keseluruhan
peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang
dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. Dengan deduksi
pengertian tersebut, maka hukum pajak merupakan keseluruhan peraturan
kewenangan pemerintah untuk mengambil sebagian kekayaan atau uang masyarakat.
Beberapa alasan dalam UU KUP dengan ketentuan pidana antara lain
dimaksutkan agar: mencapai kecukupan penerimaan, sebagai terapi pencegahan
penghindaran pajak, mencapai dan memelihara ekualitas perpajakan.
C.2. Teori Keadilan Restoratif
Kerusakan atau konflik yang timbul karena tindak pidana dipandang
sebagai suatu konflik yang terjadi dalam hubungan antar warga masyarakat yang
harus diselesaikan dengan cara pemulihan oleh semua pihak secara bersama-sama.
Lingkaran penyelesaian dalam teori keadilan restoratif berpusat pada reaksi
korban untuk memberikan penggantian agar keseimbangan semula terpulihkan. Tipid
merusak atau mengganggu hubungan antar warga sehingga harus dipulihkan kembali
agar terjadi keharmonisan lagi. Sehingga konflik diupayakan diganti dengan
upaya perdamaian yang melibatkan pelaku, korban, dan berbagai pihak yang terkait.
C.3. Penghapusan
Hukuman dan Perlindungan Hukum
Penghapusan hukuman dapat berasal dari diri pelaku sendiri atau
dari luar. Penghapusan dari diri pelaku misalnya karena kurang sempurna
akalnya, atau karena sakit berubah akalnya, sehingga tidak bisa dihukum.
Penghapusan dari luar umumnya karena penyebab diluar kendali pelaku.
Pasal 13 (4) UU KUP memberikan jaminan kepastian hukum dan jumlah
pajak dalam SPT menjadi berkekuatan hukum tetap, sudah rampung tidak dapat
diganggu gugat lagi.
C.4. Peniadaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penuntutan
Perbuatan alpa tidak benar mengisi SPT dan/atau lampiran yang
dilakukan WP walau sudah diperiksa dan diterbitkan SKPKB, dapat diungkapkan
dalam laporan tersendiri. Atas kuasa pasal 8 (3) UU KUP pengungkapan atas
kesadaran sendiri dengan membayar kekurangan pajak ditambah sanksi denda 150%
membebaskan WP dari tindakan penyidikan tipid, jika pembetulan sudah
mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Jika seandainya telah dilakukan rikbuper,
dan itu meyangkut tindakan alpa pertama kali, atas kuasa pasal 13A UU KUP maka
tipid alpa tersebut tidak akan iproses ke penyididkan melainkan diterbitkan
SKPKB dengan kenaikan 200%.
Pasal 140(2)(a) KUHAP menyatakan bahwa penuntut umum memutuskan
untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti, atatu
peristiwa tersebut ternyata bukan tipid atau perkara ditutup demi hukum.
C.5. Potensi Sanksi dan Perlindungan Hukum Pegawai Pajak
Kombinasi pasal 50 dan 51 KUHP dengan pasal 36A(5) UU KUP,
memberikan persyaratan pemeriksa dan penyidik pajak serta pegawai pajak tidak
dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.
D.
Kebijakan Pemidanaan dalam Perpajakan
D.1. Kebijakan
Ultimum Remedium Pemidanaan Pajak
Pasal 13A UU KUP memosisikan pemidanaan sebagai ultimum remedium,
artinya dalam sistem pajak prinsipnya, pemidanaan sebagai upaya terakhir untuk
melindungi kepentingan umum melalui pengamanan penerimaan negara, karena pada
dasarnya kebijakan pajak di Indonesia mengutamakan penerimaan agar tercapai
keseimbangan hubungan antara negara dan masyarakat.
D.2. Teori
Penegakan Hukum, Rechtshandhaving, Tahapan dan Status Pemidanaan
Ufran dalam Gunadi menyebut penegakan hukum sebagai serangkaian
proses penjabaran nilai, ide, dan cita abstrak menjadi sasaran hukum. Penegakan
hukum (rechtshandhaving) merupakan sarana mencapai tujuan hukum, maka
sudah seharusnya semua energi dikerahkan agar hukum mampu bekerja mewujudkan
nilai moral hukum.
D.3. Beberapa
Prinsip Pemidanaan Pajak
Dalam rangka membangun negara hukum dengan prinsip rule of law,
dan sebagai bagian dari pemidanaan pada umumnya pemidanaan pajak juga menganut
beberapa prinsip pemidanaan sebagai berikut: praduga tak bersalah, keseimbangan
dan persamaan di muka hukum, legalitas dan oportunitas, pembatasan penahanan,
ganti rugi dan rehabilitasi, diferensiasi fungsional, saling koordinasi dan
pengawasan tersistem, peradilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa yang
sederhana cepat murah dan independen, ultimum remedium dan ultima
ratio, peradilan terbuka untuk umum, imparsialitas dan impersonalitas.
D.4. Teori
Pembuktian Tindak Pidana Pajak dan Kerugian Pada Pendapatan Negara
Hukum pembuktian dalam hukum acara merupakan suatu kegiatan yang
amat penting, penentu secara terang-benderang tentang suatu kebenaran faktual
berdasar bukti-bukti untuk meyakinkan hakim. Pembuktian merupakan serangkaian
proses kegiatan untuk meyakinkan haim tentang kebenaran dalil-dalil dalam suatu
persengketaan, sedangkan membuktikan sebagai usaha untuk menyatakan kebenaran
atas suatu peristiwa, tindakan atau perbuatan sehingga dapat diterima akal atas
kesungguhan terjadinya, alasan, dan kebenarannya.
D.5. Penerbitan
SKP dan Penagihan
SKP dapat diterbitkan dari adanya tindakan pemeriksaan, yang
menunjukan jumlah pajak yang terutang semestinya. Jika ternyata terbukti bersalah, maka untuk
menagih pokok pajak terutang yang tidak/atau kurang dibayae ditagih dengan
SKPKB ditambah sanksi bunga maksimal selama 24 bulan.
D.6. Pemidanaan
Transaksi Antar Pihak dengan Hubungan Istimewa, dan Perbuatan Lain yang Diatur
Tersendiri
Pada dasarnya transaksi antar grup perusahaan sebetulnya hanya
paper transaction terjadi reinvoicing tanpa diikuti dengan penyerahan barang.
Penyerahan barang sebenarnya terjadi dengan perusahaan independen di negara
lain oleh jalur distribusi terakhir.
D.7. Tindak
Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindakan korupsi adalah tindakan yang melawan hukum dalam melakukan
peruatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Tindak pidana pencucian uang
yaitu keadaan yang dianggap menyamarkan atau menyembunyikan asal ususl
harta kekayaan dari tipid pajak dengan berbagai cara agar sulit ditelusuri
aparat penegak hukum sehingga dapat memanfaatkannya dalam berbagai kegiatan
baik legal maupun ilegal.
D.8. Daluwarsa
Penyidikan dan Penuntutan
Dalam UU
KUP terdapat tiga ketentuan daluwarsa, yaitu hak penerbitan SKPKB adalah 5
tahun setelah saat terutangnya pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak; hak
penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak,
daluwarsa setelah lampau 5 tahun sejak penerbitan STP, SKPKB, SKPKBT, SK
pembetulan, SK keberatan, putusan banding dan PK; tipid pajak tidak dapat
dituntut setelah lampau waktu 10 tahun sejak saat terutangnya pajak,
berakhirnya masa pajak/bagian tahun pajak/tahun pajak yang bersangkutan.
E.
Penyelidikan dan Pemeriksaan Bukti Permulaan
E.1. Pengertian
dan Ruang Lingkup Rikbuper
Pemeriksaan Bukti Permulaan (rikbuper) merupakan pemeriksaan untuk
mendapatkan bukti permulaan adanya dugaan telah terjadi tindak pidana pajak.
Ruang lingkup rikbuper ditentukan berdasarkan analisis IDLP yang
meliputi dugaan tipid pajak dengan modus operandiya, jenis pajak, masa pajak,
bagian tahun pajak, atau tahun pajak.
E.2. Pelanggaran
Pengisian dan Penyampaian SPT
Walaupun telah diminta untuk mengisis SPT dengan benar, lengkap,
dan jelas, ada saja WP ynag mengisi SPTtidak benar atau tidak lengkap, hal ini
disebabkan kelalaian ataupun disengaja. Jika tidak dilakukan pembetulan maka
akan terjadi pelanggaran administrasi atau pelanggaran hukum.
E.3. Standar
Pemeriksaan
Standar umum: merupakan standar kompetensi pribadi dan berkaitan
dengan persyaratan PPNS pemeriksa rikbuper dan mutu pekerjaannya. Standar
pelaksanaan: merupakan ukuran mutu minimal pelaksana rikbuper. Standar
pelaporan: laporan rikbuper harus disusun secara ringkas dan jelas, memuat
ruang lingkup sesuai dengan tujuan pemeriksaan bukti permulaan, memuat simpulan
pemeriksaan bukti permulaan yang didukung temuan yang kuat mengenai ada atau
tidaknya bukti permulaan, dan memuat pengungkapan informasi lain yang terkait.
E.4. Kewajiban
dan Wewenang Pemeriksa Bukti Permulaan
Kewajiban pemeriksa buper terbuka antara lain: membantu wp secara
tertulis, menunjukan tanda pengenal dan SK rikbuper, jika ada penggatntian tim
rikbuper menunjukan surat perubahan, mengembalikan pinjaman
buku/catatan/dokumen jika tidak dilanjutkan ke penyidika, merahasiakan data dan
informasi, mengamankan bukti dari rikbuper untuk penyidikan, dan membuat
laporan kejadian.
Kewenangan pemeriksa buper terbka termasuk: meminjam atau memeriksa
buku/catatan/dokumen dalam waktu 7 hari, memasuki/memeriksa tempat/ruang/barang
penyimpanan buku/catatan/dokumen, menyegel tempat atau dokumen, meminta bantuan
kelancaran rikbuper wp, meminta bantuan/tenaga ruangan khusus, meminta
keterangan lisan/tertulis, meminta keterangan/bukti pihak terkait, dan tindakan
lainnya.
E.5. Hak dan
Kewajiban Wajib Pajak
Hak WP dalam rikbuper termasuk: meminta pemeriksa memberitahukan
secara tertulis, meminta diperlihatkan tanda pengenal pemeriksa pajak, meminta
penjelasan tentang alasan dan tujuan rikbuper, dan lainnya.
Kewajiban WP antara lain: memperlihatkan/dan atau meminjamkan buku,
catatan, dokumen; memeberikan kesempatan untuk memasuki ruangan dan
memeriksanya; memberikan keterangan lisan atau tertulis, dan lain sebagainya.
E.6. Prosedur
Pelaksanaan Rikbuper
Pemeriksa harus dilengkapi dengan kartu tanda pengenal rikbuper;
tim pemeriksa buper wajib meminjam dan mengamankan berkas-berkas yang
diperlukan dalam rikbuper yang ada di KPP tempat WP terdaftar; penyegelan
dilakukan apabila wp tidak memeberi kesempatan memasuki tempat atau ruangan
yang diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan
E.7. Tindak
Lanjut Rikbuper
Apabila rikbuper ditindaklanjuti dengan tindakan penyidikan maka
bahan bukti yang belum dikembalikan harus disimpan pemeriksa untuk kepentingan
penyidikan. Tindak lanjut lap rikbuper dapat berupa penyidikan jika terdapat
cukup bukti awal telah terjadi tipid pajak.
F.
Penyidikan Pajak
E.F.1. Topografi
Penyidikan
Pertama, serangkaian kegiatan menunjukan bahwa sebagai suatu
proses, penyidikan terdiri dari beberapa kegiatan, seperti persiapan,
pelaksanaan, dan penyelesaian. Kedua, dilakukan oleh penyidik PPNS dilingkungan
DJP. Ketiga, mencari serta megumpulkan bukti Keempat,dengan bukti itu membuat
terang tipid pajak. Kelima, serta menemukan tersangkanya.
E.F.2. Penyidikan
Sebagai Kompetensi Absolut PPNS DJP
Pasal 44(1) menyatakan bahwa penyidik tipid pajak hanya dapat
dilakukan oleh PPNS tertentu dilingkungan DJP
yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tipid pajak.
E.F.3. Tugas
dan Wewenang Penyidik (Pasal 44 UU KUP)
Tugas penyidik adalah mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta
menemukan tersangkanya. Wewenang penyidik pajak: menerima,mencari,
mengumpulkan, dan meneliti keterangan laporan agar jelas; meneliti dan mencari
keterangan tentang op/badan tentang perbuatan tindakan pajak; meminta
keterangan atau bahan bukti dari OP/badan; memeriksa buku, catatan, dokumen
berkenaan dengan tindak pidana pajak; melakukan penggeledahan untuk menemukan
bahan bukti; meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka peyidikan; memanggil
orang sebagai saksi; menghentikan penyidikan.
E.F.4. Proses
Penyidikan
a.
Penyidikan
tindak pidana perpajakan dilakukan oleh penyidik pajak berdasarkan Surat
Perintah Penyidikan.
b.
Penyidik pajak
memberitahukan secara tertulis saat dimulainya penyidikan kepada jaksa melalui
kepolisian.
c.
Penggeledahan
dan atau penyitaan.
d.
Pemanggilan
tersangka atau saksi.
e.
Penyidik
memberitahukan hak mendapatkan bantuan hukum.
f.
Penyidik
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka peyidikan.
g.
Hasil
pemeriksaan tersangka, saksi, dituangkan dalam berita acara.
h.
Penyidik
meminta bantuan kejaksaan agung untuk melakukan pencegahan.
i.
Penyidik
meminta bantuan kepolisian agar dilakukan penangkapan.
j.
Laporan
kemajuan pelaksanaan penyidikan kepada kepolisian NKRI.
k.
Ketika proses
penyidikan selesai, penyidik pajak membuat berita acara pendapat dalam rangka
penyusunan, menyerahkan berkas perkara dan barang bukti kepada penuntut umum
melalui penyidik kepolisian NKRI.
E.F.5. Penghentian
Penyidikan
Pasal 44A UU KUP menyebutkan bahwa penyidikan
dapat dihentikan jika: tidak ditemukan cukup bukti; peristiwa tersebut bukan
tindak pidana pajak; daluwarsa (10 tahun); tersangka meninggal dunia.
Kemudian pasal 44B UU KUP menyebutkan
bahwa untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan,
Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan,
sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan. Adapun
penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dilakukan
setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau
yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi
berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
[1] Prof.
Dr. Gunadi, M. Sc., Ak., Panduan Komprehensif Ketentuan Umum Perpajakan
(KUP)-Edisi Revisi 2016 Dilengkapi materi tentang Pengampunan Pajak Tax
Amnesty. Jakarta: MUC Consulting Group, (Desember 2017).
Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185
Comments
Post a Comment
Your comments help me improving my papers; therefore, I'm going to be glad receiving your advice. Thanks for visiting my blog.