MAKALAH
KELOMPOK PERTEMUAN 2
SEMINAR
PERPAJAKAN
Materi :
Pajak Internasional
Tanggal : 13 September 2017
Dosen :
Dr. Ning Rahayu, M.Si.
Anggota
Kelompok:
Adinda Putri Selaras (1406621172)
Amanda Larasati (1406571640)
Avni Prasetia Putri (1406619496)
Filza
Rahmah (1406619483)
Ifti Khori Royhan (1406540824)
Muhammad Abdur Rozaq (1406540704)
Nastiti Tri Sandy (1406540761)
Riezka Yunita Handinie (1406575090)
FAKULTAS
ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM
STUDI ILMU ADMINISTRASI FISKAL
UNIVERSITAS
INDONESIA
DEPOK
SEPTEMBER
2017
BAB
1
GAMBARAN KASUS
1. Kasus 1
Tahun 2016, PT. Gema
Indonesia (PT. GI) Residen Indonesia, sebuah perusahaan yang bergerak dalam
bidang produksi kue-kue kaleng dan minuman melakukan kontrak pemakaian formula
pembuatan kue-kue kaleng dengan Morgen - GmbH (Residen Jerman). PT. GI membayar
imbalan sebesar Rp 300 juta. PT. GI
juga mengikat kontrak pemakaian
jasa teknik dengan Morgen - GmbH Jerman untuk mengaplikasikan formula pembuatan
kue selama 10 hari di Indonesia dengan fee Rp 100 juta.
2. Kasus
2
Tahun
2016, PT. GI membeli mesin-mesin pembuat minuman kaleng dari Ferrostaal - GmbH
(Residen Jerman) seharga Rp 3 M. Ferrosstaal – GmbH Jerman juga memberikan jasa
perakitan mesin agar mesin-mesin tersebut dapat digunakan yang dilakukan di
Indonesia selama 6,5 bulan dengan fee sebesar Rp 700 juta.
3. Kasus
3
Tahun
2016, PT. GI membangun showroom untuk mendisplay kue-kue kaleng dan minuman
hasil produksinya. Pembangunan showroom dilakukan oleh perusahaan konstruksi
domestik. PT. GI mengikat kontrak penggunaan jasa konsultan dengan Maksimoto
Corporation (Residen Jepang). Pemberian jasa konsultan tersebut berlangsung di
Indonesia selama pembangunan showroom tersebut berjalan, yakni selama 5 bulan
dengan fee sebesar Rp 850 juta.
4. Kasus
4
Tahun
2016, PT. GI mengikat kontrak dengan Mr. Jonathan Lim (guru, residen Singapura)
untuk mengajar pada Pusdiklat PT. GI. Kontrak selama satu tahun (1 Jan-31 Des
2016) dengan honor Rp 30 juta per bulan. Selama kontrak, ia semata-mata hanya
mengajar pada PT. GI.
BAB 2
PERMASALAHAN KASUS
1.
Bagaimana
aspek perpajakan internasional atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Morgen – GmbH Jerman atas transaksi tersebut?
2.
Bagaimana
aspek perpajakan internasional atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Ferrostaal – GmbH Jerman atas transaksi tersebut?
3.
Bagaimana aspek
perpajakan internasional atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Maksimoto Corporation - Jepang atas transaksi tersebut?
4.
Bagaimana
aspek perpajakan internasional atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Mr. Jonathan Lim - Singapura atas transaksi tersebut?
5.
BAB 3
PERATURAN TERKAIT DENGAN KASUS
Permasalahan
kasus yang dituliskan dalam Bab 2 akan dibahas dalam Bab 4 disertakan dengan
peraturan-peraturan yang terkait pada setiap permasalahan. Oleh karena itu,
dalam Bab 3 ini akan dituliskan peraturan-peraturan terkait dengan permasalahan
kasus yang dituliskan dalam Bab sebelumnya.
3.1 Peraturan Terkait dengan Transaksi Pembayaran
Fee atas Kontrak Pemakaian Formula dan Kontrak Pemakaian Jasa Teknik oleh PT. Gema
Indonesia (PT. GI) kepada Morgen – GmbH Jerman
1. Tax Treaty Indonesia-Jerman Art. 12 tentang
Royalti dan Imbalan Jasa Teknik
2. Tax Treaty Indonesia-Jerman Art. 15 tentang Dependent personal service, paragraf 2
3. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan stdd
UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 26
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 3
5. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor
243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT)
6. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-61/PJ/2009 tentang
Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda stdd.
PER-24/PJ/2010
7. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-62/PJ/2009 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda stdd.
PER-25/PJ/2010
8. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-214/PJ/2001 tentang Keterangan dan/atau Dokumen Lain yang Harus Dilampirkan
dalam Surat Pemberitahuan
3.2 Peraturan Terkait dengan Transaksi Pembelian
Mesin dan Pembayaran Fee atas Pemakaian Jasa Perakitan Mesin oleh PT. GI kepada
Ferrostaal GmbH – Jerman
1. Tax Treaty Indonesia-Jerman Art. 5 tentang
Permanent Establishment Par. 3
2. Tax Treaty Indonesia-Jerman Art. 7, tentang
Business Profit, Par. 1
3. Tax Treaty Indonesia-Jerman bagian Protokol
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 3
5. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan stdd
UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (1) huruf c point 2, Pasal 2 ayat (1a),
Pasal 26 ayat 4.
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.010/2016
tentang Perubahan Kelima atas PMK Nomor 154/KMK.03/2010 tentang Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang
dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain Pasal 1 ayat
(1) huruf a.
7. PMK Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan
Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu
Bentuk Usaha Tetap
8. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-61/PJ/2009 tentang
Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda stdd.
PER-24/PJ/2010
9. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-62/PJ/2009 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda stdd.
PER-25/PJ/2010
10. Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan
Penyetoran Pajak
11. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 243/PMK.03/2014
tentang Surat Pemberitahuan (SPT)
12. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-214/PJ/2001 tentang Keterangan dan/atau Dokumen Lain yang Harus Dilampirkan
dalam Surat Pemberitahuan
3.3 Peraturan
Terkait dengan Transaksi Pembayaran Fee atas Pemakaian Jasa Konsultan Pembangunan
Showroom Produk oleh PT. GI kepada Maksimoto Corporation Jepang
1. Tax Treaty Indonesia dan Jepang Art. 5
Permanent Establishment, Art. Business Profit
2. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan stdd UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 26
3. PMK Nomor 243/PMK.03/2014 tentang
Surat Pemberitahuan (SPT)
4. PER-24/PJ/2010 tentang Perubahan Atas
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara
Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
5. Peraturan Dirjen Pajak No.
PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda stdd. PER-24/PJ/2010
6. Peraturan Dirjen Pajak No.
PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda stdd. PER-25/PJ/2010
7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-38/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Setoran Pajak
8. KEP-214/PJ/2001 tentang Keterangan
dan/atau Dokumen Lain yang Harus Dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan.
3.4 Peraturan
Terkait dengan Transaksi Pembayaran Fee atas Kontrak
Mengajar di Pusdiklat PT. GI kepada Mr. Jonathan Lim seorang guru
residen Singapura oleh PT. GI
1. Artikel 13 Treaty Indonesia-Singapura tentang
Independent Personal Services (IPS)
2. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan stdd
UU No. 36 Tahun 2008
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-20/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib
Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Perubahan
Data dan Pemindahan Wajib Pajak
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-16/PJ/2016 Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan
dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi
5. PMK Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat
Pemberitahuan (SPT)
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-03/PJ/2015 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik.
7. KEP-214/PJ/2001 tentang Keterangan dan/atau
Dokumen Lain yang Harus Dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1
Transaksi Pembayaran Fee atas Kontrak Pemakaian
Formula dan Kontrak Pemakaian Jasa Teknik oleh PT. Gema Indonesia (PT. GI)
kepada Morgen – GmbH Jerman
Berdasarkan
Tax Treaty Indonesia-Jerman, Art. 12, Paragraf 1, huruf a, dan Paragraf 2 huruf a, menunjukkan bahwa atas
kontrak pemakaian formula pembuatan kue-kue kaleng dari Morgen GmbH (residen
Jerman) oleh PT Gema Indonesia (residen Indonesia)
merupakan bentuk pemakaian/pemanfaatan royalti dalam bentuk secret formula.
Atas royalti tersebut, Indonesia memiliki hak pemajakan sesuai dengan UU
domestik Indonesia, tetapi berdasarkan Art. 12 par. 1, disebutkan apabila
penerima manfaat adalah beneficial owner atas royalti tersebut, dalam kasus ini
Morgen GmbH residen Jerman, maka pajak yang dikenakan tidak melebihi 15% dari
jumlah bruto dengan dasar pemajakan (tax base) atas royalti adalah nilai Rp 300
juta.
Kemudian
berdasarkan Tax Treaty Indonesia-Jerman, Art. 12, Par. 1, huruf c, menunjukkan
bahwa atas pemakaian jasa teknik dari Morgen GmbH oleh PT GI dikenakan pajak
tidak melebihi 7,5% dari jumlah bruto biaya yang dibayarkan oleh PT GI atas
pemakaian jasa teknis ketika penerima manfaat adalah beneficial owner atas hak
pemakaian jasa teknis
tersebut. Adapun bunyi dari Tax Treaty Indonesia-Jerman, Art. 12, Paragraf 1
dan 2 adalah sebagai berikut
1. Royalties and fees for technical services
arising in a Contracting State and paid to a resident of the other Contracting
State may be taxed in the Contracting State in which they arise and according
to the laws of that State, but if the recipient is the beneficial owner of the
royalties or of the fees for technical services the tax so charged shall not
exceed:
a. in the case of royalties as defined in
paragraph 2 sub- paragraph (a) 15% of the gross amount of such royalties;
b. in the case of royalties as defined in
paragraph 2 sub- paragraph (b) 10% of the gross amount of such royalties; and
c. in the case of fees for technical services
7.5% of the gross amount of such fees.
2. The term "royalties" as used in
this Article means payments of any kind received as a consideration:
a. for the use of, or the right to use, any
copyright of literary, artistic or scientific work (including cinematographic
films and films or tapes for radio or television broadcasting), any patent,
trade mark, design or model, plan, secret formula or process; or
b. for the use of, or the right to use,
industrial, commercial, or scientific equipment, or for information concerning
industrial, commercial or scientific experience.
Imbalan jasa teknik
seharusnya digolongkan sebagai active income, tetapi khusus dalam Tax Treaty
Indonesia-Jerman, ketentuan mengenai pemajakan atas imbalan jasa teknik diatur
bersamaan dengan ketentuan royalti dalam Article 12. Sehingga berdasarkan
ketentuan dalam Article 12, Indonesia mempunyai hak pemajakan atas imbalan jasa
teknik tersebut tanpa melihat apakah Morgen GmbH Jerman memiliki BUT di
Indonesia atau tidak. Dalam hal ini, penghasilan atas imbalan jasa teknik
tersebut dianggap sebagai passive income. Perlakuan pajak atas pemanfaatan
royalti (secret formula) dan pemakaian jasa teknis di Indonesia diatur dalam
PPh Pasal 26 dengan menggunakan tarif yang mengacu pada Tax Treaty
Indonesia-Jerman, karena GmbH Jerman merupakan Wajib Pajak Luar Negeri.
Pemotongan pajak atas
penghasilan dari pemanfaatan royalti (secret formula) dan pemakaian jasa teknis
yang diterima oleh Morgen GmbH ini dilakukan oleh PT GI selaku pembayar fee
atas penghasilan dari pemanfaatan royalti (secret formula) dan pemakaian jasa
teknis tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) PER 61/PJ/2009 jo. PER
24/PJ/2010. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa Pemotong/Pemungut Pajak harus
melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam P3B, dalam hal:
1) Penerima
penghasilan bukan Subjek Pajak dalam negeri Indonesia,
2) Persyaratan
administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi;
dan
3) Tidak
terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.
Morgen GmbH bukan merupakan
SPDN Indonesia. Persyaratan administratif juga sudah dipenuhi yakni Morgen GmbH
sudah menyampaikan SKD ke PT GI dengan (sesuai Pasal 4 (3) PER 61/PJ/2009 jo.
PER 24/PJ/2010)
1) menggunakan
formulir yang telah ditetapkan dalam Lampiran II atau Lampiran III Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini;
2) telah
diisi oleh WPLN dengan lengkap;
3) telah
ditandatangani oleh WPLN;
4) telah
disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara mitra P3B, dan
5) disampaikan
sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk masa pajak
terutangnya pajak.
Dokumen SKD yang dimaksud
adalah formulir Form DGT. Morgen GmbH menggunakan Form DGT 1 karena tidak termasuk
dalam cakupan WPLN yang menggunakan Form DGT 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 (2) PER 61/PJ/2009 jo. PER 24/PJ/2010.
Selain itu, Morgen GmbH
memenuhi persyaratan yang ketiga yakni tidak terjadi penyalahgunaan P3B yakni
(Pasal 4 (2) huruf g poin 2 PER 62/PJ/2009 jo. PER 25/PJ/2010):
1) pendirian
perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak
ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
2) kegiatan
usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk
menjalankan transaksi; dan
3) perusahaan
mempunyai pegawai yang memadai; dan
4) mempunyai
kegiatan atau usaha aktif; dan
5) penghasilan
yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
6) tidak
menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk
memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti: bunga, royalti,
atau imbalan lainnya.
Oleh karena itu, Morgen GmbH
dipotong PPh Pasal 26 dengan tarif mengikuti P3B Indonesia-Jerman sebesar
paling tinggi 15% untuk pemakaian formula dan 7,5% untuk pemakaian jasa teknis
oleh PT GI. Selanjutnya, PT GI membuat Bukti pemotongan sesuai dengan ketentuan
dan tata cara yang berlaku.
PT GI wajib menyampaikan
fotokopi SKD yang diterima dari Morgen GmbH sebagai lampiran SPT Masa PPh Pasal
26. Pengajuan SPT Masa mengikuti ketentuan dalam PMK 243/PMK.03/2014. Pasal 4
ayat (1) dan ayat (3) PMK tersebut menyatakan bahwa atas SPT Masa PPh memuat:
1) jenis
pajak;
2) nama
Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
3) Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
4) tanda
tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
5) jumlah
objek pajak, jumlah pajak yang terutang, dan/atau jumlah pajak dibayar;
6) tanggal
pembayaran atau penyetoran; dan
7) data
lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
Keterangan dan/atau dokumen
lain disesuaikan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-214/PJ/2001
tentang Keterangan dan/atau Dokumen Lain yang Harus Dilampirkan dalam Surat
Pemberitahuan. Batas waktu penyampaian SPT Masa PPh 26 tersebut adalah 20 hari setelah masa pajak
berakhir, sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 3.
Sebagai tambahan, dalam hal pekerja Mogen
GmBH yang melakukan pekerjaan jasa teknik di Indonesia merupakan warga negara
Indonesia, maka Indonesia sebagai domicile
country berhak untuk memungut pajak atas Global Income dari pekerja tersebut dengan instrumen PPh Orang Pribadi apabila ketika dilakukan
perhitungan Global Income diakhir
tahun berada diatas batas Penghasilan tidak kena pajak. Selanjutnya WPOP
tersebut melaporkan surat
pemberitahuan orang pribadi. dan dapat mengkreditkan pajak penghasilan atas
penkerjaan jasa teknik yang dipunggut oleh Jerman sebagai souce country dengan batas pengkreditan ketentuan pengkreditan
berdasarkan ketentuan UU PPh pasal 24.
Sebaliknya, jika pekerja bukan merupakan
warga negara Indonesia, dengan melihat
ketentuan art. 15 Dependent personal service paragraf 2 dalam treaty
Indonesia-Jerman, Indonesia sama sekali tidak memilikki hak pemajakan atas
penghasilan jasa teknik tersebut.
4.2 Transaksi Pembelian Mesin dan Pembayaran
Fee atas Pemakaian Jasa Perakitan Mesin oleh PT. GI kepada Ferrostaal GmbH –
Jerman
Pada transaksi pertama, yaitu
pembelian mesin oleh PT Gema Indonesia (residen Indonesia) dari Ferrostaal GmbH
(residen Jerman) merupakan bentuk transaksi oleh Wajib Pajak yang berkaitan
dengan kegiatan di bidang impor sebagaimana dimaksud dalam UU PPh Pasal 22 ayat
(1) huruf b, menyebutkan:
“Badan-badan
tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.”
Pengertian
impor itu sendiri diatur dalam Susunan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
1983 sebagaimana telah diubah terakhir perubahan ketiga dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, selanjutnya ditulis UU PPN dan PPnBM Pasal 1,
angka 9, menyebutkan:
“Impor
adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean”.
Adapun yang
dimaksud dengan Daerah Pabean, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1, angka 1,
menyebutkan:
“Daerah
Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan,
dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Ekslusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang
mengatur mengenai kepabean.”
Berdasarkan
UU PPh Pasal 22 ayat (1) huruf b, atas pembelian mesin-mesin pembuat minuman
kaleng dari Ferrostaal GmbH, Jerman, PT GI akan dikenakan PPh Pasal 22 atas
kegiatan di bidang impor. Pajak tersebut akan dipungut oleh badan-badan
tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, yaitu Bank Devisa dan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai karena atas impor barang, sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.010/2016 tentang Perubahan Kelima
atas PMK Nomor 154/KMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang
Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain Pasal 1 ayat (1) huruf a.
Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.010/2016, Pasal 2 ayat (1) huruf a,
besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan atas pemungutan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas impor mesin-mesin pembuat minuman
kaleng yang mana dapat dikategorikan sebagai jenis perlengkapan mesin, pabrik
sebagaimana tertuang dalam Lampiran 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dalam PMK Nomor 16/PMK.010/2016, maka dikenakan tarif sebesar 10% dari Nilai
Impor. Selanjutnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Nilai impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 adalah nilai berupa uang
yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan
pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
Sehingga
perhitungan PPh 22 atas impor mesin-mesin pembuat minuman adalah sebagai
berikut (dengan asumsi):
Harga Beli Rp 3 M merupakan Cost Insurance Freight (CIF), dalam
artian harga barang sampai pelabuhan tujuan dan kondisi di mana penjual atau
eksportir menanggung semua biaya pengapalan sampai ke pelabuhan tujuan dan eksportir
wajib menutup asuransinya. Karena menggunakan CIF maka langsung dapat dihitung bea masuk dan pajaknya.
CIF (Cost+Insurance+Freight)
|
Rp
|
3.000.000.000
|
BM*
|
(20%)
|
600.000.000
|
Nilai Impor
|
|
3.600.000.000
|
PPh 22
|
(10%)
|
360.000.000
|
Keterangan:
*) menggunakan asumsi dikarenakan oleh begitu kompleksnya dalam menentukan
karakteristik barang yang diimpor secara spesifik yang harus mengacu pada Harmonyzed System (HS) sesuai Buku Tarif
Bea Masuk Indonesia (BTBMI), sedangkan mesin yang diimpor tidak memuat
informasi spesifik karakteristik mesin yang diimpor
Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 242/PMK.03/2014 tentang
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak menyebutkan saat terutang dan
pelunasan/pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang terutang dan dilunasi
bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk
ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat
penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) (Pasal 2 ayat 9).
PPh Pasal 22
atas impor barang disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat
Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP) (Pasal 11 ayat 3 huruf b dan Pasal 13
ayat 1 dan 2). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus
disetor ke Bank Devisa, atau Bank Persepsi, atau Bendahara DJBC, dalam jangka
waktu 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak (Pasal 2 ayat 10).
Peraturan
Menteri Keuangan RI Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT)
mengatur ketentuan bahwa pelaporan SPT PPh 22
dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat (Pasal 8
ayat 1) paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir (Pasal 10
ayat 5). Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal
22 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya (Pasal 12
ayat 1 dan 2).
Perlakuan pajak untuk transaksi
kedua, yaitu pembayaran fee atas pemakaian jasa perakitan
mesin oleh PT. GI kepada Ferrostaal GmbH – Jerman didasarkan pada Tax Treaty
Indonesia - Jerman. Berdasarkan
Tax Treaty Indonesia - Jerman Article 5 tentang Permanent Establishment (PE) /
Bentuk Usaha Tetap (BUT) Paragraph 3 sebagai berikut.
“A building site or construction or
installation project constitutes a permanent establishment only if it lasts
more than six months.”
Pernyataan
tersebut menunjukkan bahwa suatu aktivitas konstruksi atau proyek instalasi
dapat menimbulkan adanya PE/BUT apabila aktivitas dilakukan lebih dari 6 bulan.
Pemberian jasa perakitan mesin oleh Ferrosstaal GmbH dilakukan dalam waktu 6,5
bulan sehingga sudah memenuhi time test lebih dari 6 bulan untuk dapat dianggap
adanya BUT di Indonesia.
Jasa
perakitan yang dilakukan oleh Ferrostaal GmbH – Jerman ini dapat digolongkan
sebagai kegiatan proyek instalasi berdasarkan bagian Protokol Tax Treaty
Indonesia – Jerman nomor 2 huruf a, sebagai berikut.
“2. With reference to Article 7
(a) In the
determination of the profits of a building site or construction, assembly or
installation project there shall be attributed to that permanent establishment
in the Contracting State in which the permanent establishment is situated only
the profits resulting from the activities of the permanent establishment as
such. If machinery or equipment is delivered from the head office or another
permanent establishment of the enterprise or a third person in connection with
those activities or independently therefrom there shall not be attributed to
the profits of the building
site or construction, assembly or
installation project the value of such deliveries.”
Walaupun di
bagian batang tubuh Tax Treaty Indonesia – Jerman Article 5 tentang PE kurang
dijelaskan mengenai assembly / perakitan, namun pada bagian protokol Treaty
disebutkan assembly berdampingan dengan installation project. Sehingga jasa
perakitan / assembly yang diberikan oleh Ferrostaal GmbH – Jerman dapat
digolongkan sebagai installation project / proyek instalasi dan dapat mengacu
kepada Article 5 Treaty tentang PE paragraph 3.
Interpretasi
ini juga didasarkan pada OECD Model Tax Convention: Revised Proposals
Concerning the Interpretation and Application of Article 5 (Permanent
Establishment) 19 October 2012 to 31 January 2013 halaman 52 mengenai paragraph
3 poin 17 sebagai berikut,
“17. The
term “building site or construction or installation project” includes not only
the construction of buildings but also the construction of roads, bridges or
canals, the renovation (involving more than mere maintenance or redecoration)
of buildings, roads, bridges or canals, the laying of pipe-lines and excavating
and dredging. Additionally, the term “installation project” is not restricted
to an installation related to a construction project; it also includes the installation of new equipment, such
as a complex machine, in an existing building or outdoors. On-site planning and
supervision of the erection of a building are covered by paragraph 3. States
wishing to modify the text of the paragraph to provide expressly for that
result are free to do so in their bilateral conventions.”
Selanjutnya,
mengacu pada Article 7 tentang Business Profit / Laba Usaha Paragraph 1, Negara
Sumber (dalam hal ini Indonesia) memiliki hak pemajakan atas pemberian jasa
perakitan sesuai dengan Undang-Undang (UU) Domestik Indonesia yang berlaku,
yaitu UU Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 ayat (1) huruf c poin 2 terkait
dengan imbalan sehubungan dengan jasa selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal
21 sehingga dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 2%.
Hal ini
sesuai dengan UU PPh Pasal 2 ayat (1a) yang mengatur ketentuan bahwa
Ferrosstaal GmbH dianggap memiliki BUT di Indonesia, maka kewajiban perpajakan
bagi BUT tersebut diperlakukan sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri. Oleh
karena itu, BUT Ferrosstaal GmbH di Indonesia juga harus memperhitungkan laba
usaha BUT tersebut dan melaporkan SPT PPh Badan. Bagi BUT Ferrosstaal GmbH di
Indonesia atas Bukti Potong PPh Pasal 23 yang diterimanya dapat dijadikan
sebagai kredit pajak dalam SPT PPh Badan BUT tersebut.
Kemudian
mengenai penghasilan BUT Ferrostaal GmbH Jerman atas penjualan mesin senilai Rp
3 M tidak termasuk pendapatan yang didapatkan dari adanya BUT di Indonesia.
Ketentuan ini merujuk kepada bagian Protokol Tax Treaty Indonesia Jerman nomor
2 huruf a yang telah dilampirkan pada bagian sebelumnya, yang menyatakan bahwa
dalam menentukan laba dari proyek pembangunan gedung, konstruksi, dan proyek
instalasi di negara di mana BUT berada (Indonesia), yang dianggap sebagai laba
BUT hanyalah laba yang berasal dari aktivitas proyek instalasi tersebut.
BUT
Ferrosstaal GmbH di Indonesia juga dapat dikenakan pajak tambahan berupa Branch
Profit Tax (BPT) sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat 4 UU PPh tentang BPT.
Ketentuan tersebut mengatur ketentuan bahwa apabila imbalan tersebut didistribusikan
kembali oleh BUT Ferrosstaal GmbH kepada Head Office Ferrosstaal GmbH (di
Jerman) maka akan dikenakan Branch Profit Tax (BPT) sebesar 20%. Namun, BPT
dikecualikan apabila penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 257/PMK.03/2008, yaitu sebagai berikut:
a. Penanaman kembali
dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi pajak
penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan
dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.
b. Perusahaan baru yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a,
harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling
lama satu tahun sejak perusahaan tersebut didirikan.
c. Penanaman kembali
dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun pajak berikutnya
dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut.
d. Tidak melakukan pengalihan
kembali atas penanaman tersebut, paling singkat dalam jangka waktu 2 tahun
sesudah perusahaan baru tersebut berproduksi komersial.
Pemotongan
pajak atas penghasilan perakitan mesin ini dilakukan oleh PT GI selaku pembayar
fee sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER
61/PJ/2009 jo. PER 24/PJ/2010. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa
Pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B),
dalam hal:
1) Penerima penghasilan bukan
Subjek Pajak dalam negeri Indonesia,
2) Persyaratan administratif
untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
3) Tidak terjadi
penyalahgunaan P3B oleh Wajib Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.
BUT
Ferrosstaal GmbH bukan merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia.
Persyaratan administratif juga sudah dipenuhi yakni BUT Ferrosstaal GmbH sudah
menyampaikan Surat Keterangan Domisili (SKD) ke PT GI dengan (sesuai Pasal 4
(3) PER 61/PJ/2009 jo. PER 24/PJ/2010):
1) menggunakan formulir yang
telah ditetapkan dalam Lampiran II atau Lampiran III Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini;
2) telah diisi oleh WPLN
dengan lengkap;
3) telah ditandatangani oleh
WPLN;
4) telah disahkan oleh
pejabat pajak yang berwenang di negara mitra P3B, dan
5) disampaikan sebelum
berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk masa pajak
terutangnya pajak.
Dokumen SKD
yang dimaksud adalah formulir Form DGT. BUT Ferrosstaal GmbH menggunakan Form
DGT 1 karena tidak termasuk dalam cakupan WPLN yang menggunakan Form DGT 2
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (2) PER 61/PJ/2009 jo. PER 24/PJ/2010.
Selain itu,
BUT Ferrosstaal GmbH memenuhi persyaratan yang ketiga yakni tidak terjadi
penyalahgunaan P3B yakni (sesuai Pasal 4 (2) huruf g poin 2 PER 62/PJ/2009 jo.
PER 25/PJ/2010):
1) pendirian perusahaan di
negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk
pemanfaatan P3B; dan
2) kegiatan usaha dikelola
oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan
transaksi; dan
3) perusahaan mempunyai
pegawai yang memadai; dan
4) mempunyai kegiatan atau
usaha aktif; dan
5) penghasilan yang bersumber
dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
6) tidak menggunakan lebih
dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban
kepada pihak lain dalam bentuk, seperti: bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
Oleh karena
itu, BUT Ferrosstaal GmbH dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 2% oleh PT GI.
Selanjutnya, PT GI membuat Bukti pemotongan sesuai dengan ketentuan dan tata
cara yang berlaku.
PT GI wajib
menyampaikan fotokopi SKD yang diterima dari BUT Ferrosstaal GmbH sebagai
lampiran SPT Masa PPh Pasal 23. Pengajuan SPT Masa mengikuti ketentuan dalam
PMK 243/PMK.03/2014. Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) PMK tersebut menyatakan
bahwa atas SPT Masa PPh memuat:
1) jenis pajak;
2) nama Wajib Pajak dan Nomor
Pokok Wajib Pajak;
3) Masa Pajak, Bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
4) tanda tangan Wajib Pajak
atau kuasa Wajib Pajak.
5) jumlah objek pajak, jumlah
pajak yang terutang, dan/atau jumlah pajak dibayar;
6) tanggal pembayaran atau
penyetoran; dan
7) data lainnya yang terkait
dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
Batas waktu penyampaian SPT Masa PPh 23 tersebut
adalah 20 hari setelah masa pajak berakhir, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 3.
Keterangan dan/atau dokumen lain disesuaikan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP-214/PJ/2001 tentang Keterangan dan/atau Dokumen Lain yang Harus
Dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan.
4.3 Transaksi
Pembayaran Fee atas Pemakaian Jasa Konsultan Pembangunan Showroom Produk oleh
PT. GI kepada Maksimoto Corporation Jepang
Berdasarkan Tax Treaty Indonesia-Jepang pada Article 5
mengenai Permanent Establishment/Bentuk Usaha Tetap paragraph 5 yang berbunyi “an enterprise of a contracting state shall
be deemed to have a permanent establishment in the other contracting state if
it furnishes in that other contracting state consultancy services, or
supervisory services in connection with a building, construction or
installation project through employees or other personnel – other than an agent
of an independent status to whom the provisions of paragraph 8 apply – provided
that such activities continue (for the same project or two or more connected
projects)for a period or periods aggregating more than six months within any
taxable year. However, if the furnishing of such services is effected under an
aggrement between the goverments of the contracting states regarding economic
or technical cooperation, that enterprise shall, notwithstanding any provisions
of this article, not be deemed to have a permanent establishment in that other
contracting state.” menunjukkan bahwa suatu aktivitas pemberian jasa
konsultan dari negara luar (dalam kasus ini Maksimoto Corporation-Jepang) dapat
dianggap memiliki BUT di Indonesia apabila aktivitas pemberian jasa konsultasi
tersebut dilakukan lebih dari 6 bulan dalam satu tahun pajak.
Dalam kasus ini, Maksimoto Corporation-Jepang hanya
memberikan jasa konsultasi di Indonesia selama 5 bulan, sehingga Maksimoto
Corp-Jepang ini dianggap tidak memiliki BUT di Indonesia.
Ketika tidak terdapat BUT di Indonesia, maka digunakan Article 7 mengenai Business
Profit/Laba Usaha paragraph 1 yang berbunyi “
the profits of an enterprise of a contracting state shall be taxable only in
that contracting state unless the enterprise carries on business in the other
contracting state through a permanent establishment situated therein. If the
enterprise ccarries on business as aforesaid, thhe profits of the enterprise
may be taxed in that other contracting state butonly so much of them as is
attributable to that permanent establishment”. Pada Article 7 paragraph 1,
apabila tidak terbentuk BUT, Indonesia tidak memiliki hak pemajakan. Maka atas pendapatan fee sebesar Rp 850 juta
yang diterima Maksimoto Corporation – Jepang hanya dapat dipajaki berdasarkan
UU Domestik Jepang.
Artinya, sesuai aturan Tax Treaty Jepang-Indonesia,
Indonesia tidak memperoleh hak pemajakan. Namun PT GI tetap harus melaporkan
SPT Masa PPh Pasal 26 atas pembayaran fee jasa konsultan kepada Maksimoto
Corporation - Jepang dengan jumlah nol. SPT Masa dilampiri dengan Form DGT 1
berdasarkan PMK Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) juga
tetap dibuat SPT Masa PPh Pasal 26 dengan nilai 0. Batas waktu penyampaian SPT
Masa PPh 26 tersebut adalah 20 hari setelah masa pajak berakhir.
Dalam hal ini untuk dapat menggunakan ketentuan dalam
Tax Treaty, harus melampirkan Dokumen SKD yang dimaksud adalah formulir Form
DGT. Maksimoto Corp Jepang menggunakan Form DGT 1 karena tidak termasuk dalam
cakupan WPLN yang menggunakan Form DGT 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (2)
PER 61/PJ/2009 jo. PER 24/PJ/2010.
Keterangan dan/atau dokumen lain disesuaikan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-214/PJ/2001 tentang Keterangan
dan/atau Dokumen Lain yang Harus Dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan.
3.5 Transaksi
Pembayaran Fee atas Kontrak Mengajar di Pusdiklat PT.
GI kepada Mr. Jonathan Lim seorang guru residen Singapura oleh PT. GI
Dalam rangka penentuan alokasi hak pemajakan
atas penghasilan yang diperoleh Mr. Lim, digunakan P3B Indonesia-Singapura
khususnya Artikel 13 yang mengatur mengenai independent
personal services. Artikel independent
personal services dianggap lebih tepat digunakan untuk menentukan alokasi
hak pemajakan yang diperoleh Mr. Lim daripada artikel 19 mengenai teachers and researchers. Hal ini
dikarenakan pada paragraf 1 artikel 19 disebutkan bahwa subjek yang dimaksud
adalah subjek yang diundang oleh universitas, sekolah, maupun institusi
pendidikan lainnya. Sedangkan Mr. Lim sendiri melakukan jasanya di pusdiklat PT
GI yang bukan merupakan institusi pendidikan. Hal tersebut juga ditekankan pada
paragraf 2 artikel 19 yaitu artikel yang dimaksud tidak dapat diterapkan untuk
kegiatan pengajaran atau penelitian yang dilakukan hanya untuk keuntungan
pribadi maupun pihak yang spesifik saja. Oleh karena itu, yang paling sesuai
dengan kondisi Mr. Lim tersebut ialah artikel 13 mengenai independent personal services.
Paragraf 1 artikel 13 tersebut menyatakan
bahwa penghasilan yang diperoleh resident
dari suatu negara berkaitan dengan jasa professional atau aktivitas lainnya
yang bersifat independen, hanya dapat dikenakan pajak di negara asal resident tersebut kecuali dia hadir di
negara lain untuk satu atau beberapa periode dengan lama keseluruhan lebih dari
90 hari dalam jangka waktu dua belas bulan. Jasa professional yang dimaksud
meliputi beberapa bidang mulai dari keilmuan, kesusasteraan, seni, termasuk
juga pendidikan sebagaimana yang dilakukan oleh Mr. Lim. Berdasarkan ketentuan
tersebut, Indonesia berhak memajaki penghasilan yang diperoleh Mr. Lim.
Pemungutan pajak atas penghasilan tersebut
mengikuti ketentuan domestik (UU PPh) yang berlaku Indonesia. Hal ini dikarenakan
Mr. Lim memenuhi persyaratan untuk menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN)
Indonesia sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (3) UU PPh, yakni:
1) Bertempat
tinggal di Indonesia
2) Berada
di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan
3) Dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia
4) Mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Dengan demikian, penghasilan Mr. Lim dipotong
PPh Pasal 21 oleh PT GI. Sebagai SPDN yang telah memenuhi syarat objektif
pengenaan pajak penghasilan, Mr. Lim juga harus melaksanakan kewajiban
perpajakan sebagaimana Wajib Pajak Dalam Negeri Lainnya. Kewajiban tersebut
adalah mendaftarkan diri dan membuat NPWP, menghitung besaran pajak yang
terutang, memperhitungkan pajak yang telah dipotong oleh pihak lain, menyetor pajak
terutang, serta melaporkan pajak yang sudah dibayar.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
PER-20/PJ/2013, Mr. Lim wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Mr. Lim.
Sehingga, atas pendaftaran tersebut Mr. Lim dapat memperoleh NPWP. Pasal 3 ayat
(1) peraturan tersebut menyebutkan bahwa jangka waktu pendaftaran adalah paling
lama akhir bulan berikutnya setelah penghasilan Mr. Lim tersebut pada suatu
bulan yang disetahunkan telah melebihi penghasilan tidak kena pajak.
Permohonan pendaftaran NPWP dapat dilakukan
oleh Mr. Lim secara elektronik dengan mengisi Formulir Pendaftaran Wajib Pajak
pada Aplikasi e-Registration yang
tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak. Apabila Mr. Lim tidak dapat
mengajukan permohonan secara elektronik, maka permohonan pendaftaran dilakukan
dengan menyampaikan permohonan tertulis baik secara langsung, melalui pos,
maupun melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir. Dalam permohonan tersebut,
Mr. Lim harus menyertakan fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau
Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP).
Setelah itu, Mr. Lim berkewajiban untuk
menghitung besaran pajak terutang dan memperhitungkan pajak yang sudah dipotong
oleh pihak lain. Karena dalam hal ini Mr. Lim hanya memperoleh penghasilan dari
PT GI, seharusnya seluruh penghasilan Mr. Lim sudah dipotong PPh Pasal 21
sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) PER 16/PJ/2016. Sehingga, pajak yang
masih harus dibayar di akhir periode adalah Rp 0, karena sudah dialokasikan
melalui pengkreditan PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh PT GI.
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh PT GI
dilakukan dengan menyesuaikan status Mr. Lim apakah pegawai tetap, pegawai
tidak tetap, atau bukan pegawai. Karena akan terdapat perbedaan dalam penentuan
penghasilan kena pajak (PKP) berdasarkan status tersebut sebagaimana diatur
dalam Pasal 10 ayat (2) PER-16/PJ/2010. PKP bagi pegawai tetap dasarnya adalah
penghasilan neto, pegawai tidak tetap adalah penghasilan bruto, sedangkan bukan
pegawai adalah sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto. Meskipun demikian,
apapun status kepegawaian Mr. Lim, ia tetap memperoleh allowance berupa PTKP sesuai dengan jumlah tanggungan yang
dimiliki.
Dalam hal ini, sebagai pemotong, PT GI juga
berkewajiban untuk menyetorkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan
kalender, membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21, serta
memberikan Bukti Pemotongan apabila Mr. Lim merupakan pegawai tetap paling lama
satu bulan setelah tahun kalender berakhir. Sedangkan apabila Mr. Lim merupakan
bukan pegawai tetap bukti potong diberikan setiap kali PT GI melakukan
pemotongan. Penyetoran PPh yang sudah dipotong dilakukan paling lama 10
(sepuluh) hari setelah masa pajak berakhir dan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal
21 paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir.
Selanjutnya, Mr. Lim berkewajiban untuk
mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan
menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat
Mr. Lim terdaftar sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) PMK Nomor
243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan.
Penyampaian SPT dapat dilakukan secara
langsung, melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau dengan cara lain
yakni:
a.
perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti
pengiriman surat; atau
b.
saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi informasi. sebagaimana diatur dalam
PER-03/PJ/2015 tentang Penyampaian SPT secara Elektronik, saluran tertentu
sebagaimana dimaksud meliputi:
1)
laman Direktorat Jenderal Pajak;
2)
laman Penyalur SPT Elektronik;
3)
saluran suara digital yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak untuk WP tertentu;
4)
jaringan komunikasi data yang terhubung khusus antara
Direktorat Jenderal pajak dengan WP; atau
5)
saluran lain yang ditetapkan oleh DJP.
Batas waktu bagi Mr. Lim untuk menyampaikan
SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi adalah paling lama 3 (tiga) bulan
setelah akhir Tahun Pajak. Penyampaian SPT oleh Mr. Lim dalam hal ini juga
harus melampirkan dokumen-dokumen tertentu sebagaimana diatur dalam
KEP-214/PJ/2001 tentang Keterangan dan/atau Dokumen Lain yang Harus Dilampirkan
dalam Surat Pemberitahuan.
Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185
Comments
Post a Comment
Your comments help me improving my papers; therefore, I'm going to be glad receiving your advice. Thanks for visiting my blog.