Skip to main content

Analisis Tinjauan Kritis Perbandingan Perlakuan Pajak atas Sewa Rumah Kos dan Sewa Apartemen di Jakarta Kaitannya dengan Desentralisasi Fiskal



Lingkungan perkotaan, khususnya Jakarta, masih menjadi daya tarik bagi kaum urban untuk melakukan aktivitas berupa pekerjaan, bisnis, maupun aktivitas belajar yang cukup menjanjikan. Sebagaimana dikutip dari Beritasatu.com[1], terdapat sedikitnya 14,5 juta orang yang beraktivitas di Jakarta pada siang hari. Adapun jumlah penduduk Jakarta sendiri pada tahun 2016 mencapai 10,2 juta jiwa. Artinya, terdapat 4,3 juta orang yang merupakan penduduk penglaju setiap harinya. Selain itu, berdasarkan catatan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta, dalam lima tahun terakhir (2012-2016), jumlah rata-rata pendatang baru ke Jakarta mencapai 62.000 jiwa. Sedangkan pada 2016, jumlah pendatang baru mencapai 68.763 jiwa. Oleh karena itu, pendatang baru pada tahun 2017 diprediksi akan mencapai di kisaran 62.000 hingga 68.000 jiwa. Tercatat, pada tahun 2013, populasi penduduk di DKI Jakarta sebanyak 9,9 juta jiwa. Selama empat tahun, pada tahun 2016, populasi penduduk di DKI sudah mencapai 10,2 juta jiwa. Artinya, terdapat penambahan populasi penduduk sekitar 300.000 jiwa dalam waktu empat tahun. Bila dirata-ratakan, ada sekitar 75.000 pendatang baru yang kemudian menjadi warga Jakarta setiap tahunnya.
Pertumbuhan penduduk di Jakarta akan diikuti peningkatan permintaan kebutuhan terhadap hunian sebagai tempat tinggal. Pasalnya, tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Sebagaimana pemerintah menunjukkan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.  Permenaker tersebut merujuk pada komponen penilaian untuk memenuhi kebutuhan hidup layak untuk buruh, sehingga bisa ditentukan upah minimum kabupaten (UMK). Pada komponen perumahan, ada item sewa kamar untuk 1 bulan. Pada penjelasan Permenaker tersebut ditunjukkan bahwa kebutuhan perumahan/papan merupakan kebutuhan primer bagi pekerja.
Peningkatan permintaan terhadap hunian di Jakarta salah satunya terlihat dari tingginya permintaan terhadap apartemen. Berdasarkan laporan dari Jakarta Properti Market Report[2], selama kuartal II 2016 tercatat terdapat 4.777 unit baru apartemen di Jakarta diserahterimakan kepada pembeli. Permintaan yang tinggi pun akan direspon oleh penawaran yang juga tinggi. Menurut Laporan Industri Properti di Indonesia[3], pada tahun 2016, pasokan unit apartemen baru di Jakarta meningkat sebesar 12,4 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun 2015. Fenomena ini menunjukkan bahwa pengembang masih optimis akan perkembangan properti di dalam negeri (khususnya Jakarta).
Pertumbuhan penduduk di Jakarta yang tinggi diikuti oleh penawaran usaha  properti yang semakin bersaing dan berkembang. Tidak hanya berupa hunian apartemen, melainkan juga usaha rumah kos yang semakin menjamur di sekitaran area di mana sebagian besar penduduk DKI Jakarta maupun penduduk pendatang beraktivitas. Berbagai macam tipe kos dari yang eksklusif hingga sederhana semua bisa dipilih sesuai kebutuhan dan ketersediaan dana.
Berdasarkan penelusuran data melalui aplikasi Mamikos[4] yang menyediakan pencarian info kos-kosan atau indekos dari berbagai wilayah di Indonesia, diperoleh data sebanyak 3.575 kos-kosan yang ada di Jakarta dari berbagai tipe yang ditawarkan. Penulis juga menemukan adanya unit kamar di dalam apartemen yang ditawarkan untuk disewakan secara bulanan.
Jika dibandingkan dengan apartemen, rumah kos menawarkan harga yang cenderung lebih murah sehingga rumah kos lebih diminati sebagai hunian sementara bagi masyarakat pendatang. Harga sewa kos-kosan beragam, dari mulai harga Rp 500 ribu per bulan hingga Rp 5 juta per bulannya. Selain menyediakan sewa kos untuk harga per bulan, juga ditawarkan pilihan harga untuk sewa kos-kosan secara harian, mingguan, bahkan tahunan. Sedangkan, untuk harga unit hunian apartemen, tahun 2016 rata-rata harga apartemen di Indonesia khususnya di Jakarta untuk di wilayah Central Business District (CBD) dan Jakarta Selatan rata-rata mencapai Rp 31,25 juta per meter persegi. Sedangkan, rata-rata harga sewa apartemen di kawasan CBD mencapai empat jutaan Rupiah per bulan, sementara untuk di wilayah non-CBD atau non-premium mencapai dua jutaan Rupiah per bulannya.[5]
Perkembangan usaha rumah kos dinilai positif, pasalnya hal ini berpotensi menjadi sumber pendapatan asli daerah dari sumber pajak daerah. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel, pasal 1 angka 10, termasuk definisi hotel adalah rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh. Artinya, Pemerintah Daerah dapat memungut pajak hotel dari wajib pajak rumah kos yang mengusahakan rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh pintu.
Pajak rumah kos di DKI Jakarta merupakan kebijakan baru yang diimplementasikan sejak 1 Januari 2011. Bidang Pengendalian Pajak, Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, melaporkan bahwa hingga bulan Agustus 2012 saja tercatat 854 rumah kos yang menjadi wajib pajak di DKI Jakarta. Jumlah rumah kos di Jakarta terbanyak di Jakarta Barat dengan 284 unit. Disusul Jakarta Selatan 175 rumah kos, Jakarta Pusat 162 rumah kos, Jakarta Timur 122 kos, dan Jakarta Utara dengan 111 rumah kos. Pada periode yang sama, total penerimaan pajak atas rumah kos di DKI Jakarta sebesar Rp 4,7 miliar atau rata-rata Rp 588 juta per bulan.[6] Jika dibandingkan dengan data jumlah rumah kos pada aplikasi Mamikos, yang berdasarkan hasil penelusuran diperoleh data sejumlah 3.575 kos-kosan tersedia hingga 18 Desember 2017, maka peningkatan ini seharusnya sebanding dengan penerimaan pajak atas rumah kos di DKI Jakarta. Jika dilihat pertumbuhan penerimaan pajak hotel di DKI Jakarta, selama kurun waktu 2012-2017[7] memang cenderung meningkat setiap tahunnya, kecuali pada realisasi tahun 2015 yang menunjukkan penurunan. Adapun komponen trend penerimaan pajak hotel di DKI Jakarta selama kurun waktu 2012-2017 disajikan dalam tabel 1.1 sebagai berikut:
Tabel 1.1.  Data Rekapitulasi Penerimaan Pajak Hotel di DKI Jakarta Dibandingkan dengan Total Penerimaan Pajak Daerah selama Periode 2012-2017
Tahun Anggaran
Penerimaan Pajak Hotel (dalam satuan Rupiah)
Total Penerimaan Pajak Daerah 13 Jenis Pajak Daerah[8] (dalam satuan Rupiah)
Persentase Pajak Hotel terhadap Total Penerimaan Pajak Daerah
APBD 2017
2,80 Triliun
35,23 Triliun
7,95 %
APBD-P 2016
2,60 Triliun
33,10 Triliun
7,85 %
Realisasi 2015
1,27 Triliun
29,07 Triliun
4,37 %
Realisasi 2014
1,38 Triliun
27,05 Tiliun
5,10 %
Realisasi 2013
1,17 Triliun
23, 37 Triliun
5,006 %
Realisasi 2012
1,02 Triliun
17,72 Triliun
5,76 %
Sumber: Bappeda Provinsi DKI Jakarta, Informasi APBD 2017.
Walaupun persentase pajak hotel terhadap total penerimaan pajak daerah di DKI Jakarta di bawah 8 %, namun potensi penerimaan pajak daerah yang tinggi dari perkembangan kegiatan pengusahaan rumah kos perlu direspon secara positif oleh Pemerintah Daerah melalui pengaturan secara jelas melalui perundang-undangan sehingga menciptakan kepastian hukum. Dasar hukum pemungutan pajak hotel atas rumah kos yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya UU PDRD). Di dalam pasal 32, ayat (1) menyebutkan:
“Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang[9] sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.”
Namun, tidak termasuk objek Pajak Hotel adalah jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya (UU PDRD Pasal 32 ayat (3) huruf b). Dalam ketentuan penjelasan, pengecualian apartemen, kondominium, dan sejenisnya didasarkan atas izin usahanya.
Pajak Hotel merupakan jenis pajak daerah yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat Dua (Kabupaten/Kota). Namun, sesuai pasal 2 ayat (5) UU PDRD, menyatakan khusus untuk Daerah yang setingkat dengan daerah Provinsi, tetapi tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, seperti DKI Jakarta, jenis Pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk daerah provinsi dan Pajak untuk daerah kabupaten/kota.
Pemungutan Pajak Hotel diatur lebih lanjut oleh Peraturan Daerah. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel, pasal 1 angka 10, termasuk definisi hotel adalah rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan tinjauan kritis terhadap kebijakan pengenaan pajak hotel atas rumah kos dengan melihat fakta adanya perluasan usaha rumah kos yang dikembangkan dari perizinan bisnis apartemen. Analisis tersebut dituangkan dalam makalah yang berjudul “Analisis Tinjauan Kritis Perbandingan Perlakuan Pajak atas Sewa Rumah Kos dan Sewa Apartemen di Jakarta Kaitannya dengan Desentralisasi Fiskal”.

2.      Permasalahan

Melihat peraturan mengenai pajak hotel yang berlaku saat ini, dinilai belum mampu mengakomodir perkembangan dunia usaha rumah kos-kosan yang sudah semakin meluas. Isu perpajakan akan muncul seiring dengan perkembangan bentuk-bentuk usaha apartemen yang difungsikan layaknya rumah kos. Sehingga, kadangkala tidak ada perbedaan antara apartemen yang disewakan secara harian, mingguan, bulanan dengan rumah kos. Keduanya sama-sama menyediakan fasilitas tempat tinggal, berupa menyerahkan jasa sewa kamar.
Pemajakan apartemen dan rumah kos selalu dijawab dengan argumen bahwa Pajak Daerah parallel dengan pemungutan terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 j.o. diubah terakhir Perubahan Ketiga dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (selanjutnya ditulis UU PPN), Pasal 4, ayat (1), huruf c, menyebutkan:
“Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean[10] yang dilakukan oleh pengusaha.”
Selanjutnya, UU PPN, Pasal 4A ayat (3), huruf l, mengelompokkan jenis jasa perhotelan sebagai jasa tertentu yang tidak dikenai PPN. Dalam penjelasannya, jasa perhotelan meliputi jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap dan jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel. Walaupun jasa perhotelan dikecualikan dari jasa kena PPN, namun dikenakan pajak daerah berupa pajak hotel. Hal ini dibuat untuk menghindari adanya double taxation.
Kegiatan menyewakan kamar apartemen, berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, tidak termasuk objek pajak hotel karena berdasarkan izin usahanya merupakan apartemen (UU PDRD Pasal 32). Namun, definisi jasa perhotelan yang dikecualikan sebagai penyerahan Jasa Kena Pajak yang tetuang di dalam UU PPN, yaitu “jasa hotel meliputi jasa penyewaan kamar”. Kiranya, peraturan tersebut rentan terjadi tax controvercy antara pelaku usaha dengan fiskus (pemungut pajak daerah). Jika melihat prinsip pajak subtance over the form, sewa kamar apartemen (khususnya sewa harian) adalah penyewaan kamar yang dapat dikategorikan sebagai jasa hotel. Namun, hal ini sangat kuat dibantah oleh Wajib Pajak bahwa berdasarkan izin usahanya adalah izin usaha apartemen, sehingga dikecualikan dari pajak hotel. Permasalahan ini terinspirasi dari pemaparan salah satu pegawai di Badan Pajak dan Retribusi Daerah DKI Jakarta dalam paparan presentasinya pada Jumat, 24 November 2017, Mata Kuliah Laboratorium Perpajakan, mengemukakan bahwa diwacanakan akan mengenakan pajak hotel atas apartemen.
Apartemen tidak dipungut pajak hotel karena dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sedangkan rumah kos dikenakan pajak hotel dan dikecualikan dari objek PPN. Hal ini merupakan upaya Pemerintah Pusat memberikan local taxing power kepada Pemerintah Daerah untuk menggali potensi pajak daerah untuk mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga penyelenggaraan otonomi daerah dapat berjalan efektif diikuti dengan desentralisasi fiskal.
Walaupun karakteristik PPN dan Pajak Daerah dapat dikatakan parallel. Namun, apakah dapat dikatakan netral ketika PPN memperkenankan adanya pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran untuk menghitung besaran pajak terhutang bagi Pengusaha Kena Pajak, sedangkan dalam ketentuan Pajak Hotel tidak diatur mekanisme pengkreditan dalam menghitung besaran nilai pajak hotel terutang bagi pengusaha rumah kos. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 j.o. Perubahan Keempat dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (yang selanjutnya disebut UU PPh), Pasal 9, ayat (1) huruf h, hanya menyebutkan bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan Pajak Penghasilan. Artinya, karena tidak disebutkan Pajak Daerah dalam pasal tersebut sebagai biaya yang dikecualikan sebagai pengurang, maka Pajak Daerah yang dibayarkan oleh Pengusaha Rumah Kos boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak untuk menghitung PPh Badan. Namun, mengingat penghitungan pajak penghasilan untuk kegiatan usaha rumah kos dikenakan PPh final, sebagaimana disebutkan dalam UU PPh Pasal 4 ayat (2) huruf d, bahwa penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan dikenakan pajak bersifat final, maka berpotensi menimbulkan isu ketidaknetralan. Ketidaknetralan tersebut muncul sebagai akibat adanya distorsi. Apabila Pengusaha Rumah kos tidak diberikan fasilitas berupa mekanisme pengkreditan, sebagaimana pengenaan PPN pada pengusaha apartemen, maka berdampak memicu upaya penghindaran pajak dari para pengusaha rumah kos, baik dalam bentuk membuat skema sedemikian rupa sehingga pengusaha rumah kos dapat dikecualikan dari pengenaan pajak hotel atau pengusaha rumah kos akan beralih investasi ke usaha apartemen. Alhasil, Pemerintah Daerah akan kehilangan potensi penerimaan pajak daerah dari usaha rumah kos.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, peneliti bermasksud melakukan tinjauan kritis terhadap kebijakan pengenaan pajak hotel atas rumah kos dengan melihat fakta adanya perluasan usaha rumah kos yang dikembangkan dari perizinan bisnis apartemen. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:
1)      Bagaimana analisis tinjauan kritis perbandingan perlakuan pajak atas sewa rumah kos dan sewa apartemen di Jakarta kaitannya dengan desentralisasi fiskal?

3.      Teori

3.1. Indirect Consumption-Based Taxation

Ben Terra[11] mencontohkan pajak penjualan sebagai general indirect consumption-based taxation, yaitu pajak tidak langsung atas konsumsi yang bersifat umum.
Dari definisi tersebut, terdapat tiga unsur yang merupakan legal character dari indirect consumption-based taxation, yaitu general, indirect, dan on consumption.
a.       General
Pajak penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum. Artinya, pajak penjualan dikenakan terhadap semua barang. Pajak penjualan ditujukan pada semua private expenditure. Sebagai konsekuensinya, maka tidak boleh ada diskriminasi atau pembedaan antara barang dan jasa, karena keduanya merupakan pengeluaran.
b.      Indirect
Pajak penjualan merupakan pajak tidak langsung, karena itu beban pajaknya dapat dialihkan, baik dalam bentuk forward shifting (dibebankan kepada konsumen) maupun backward shifting (dibebankan kepada penjual dengan cara mengurangi keuntungan dan/atau melakukan efisiensi).
c.       On Consumption
Pajak penjualan merupakan pajak atas konsumsi, tanpa membedakan apakah konsumsi tersebut digunakan/habis sekaligus ataupun digunakan/habis secara bertahap/berangsur-angsur. Karena itu, semua barang seharusnya menjadi objek pajak penjualan, tanpa membedakan apakah barang tersebut merupakan barang bergerak maupun barang tidak bergerak.
            Karena pajak penjualan merupakan pajak yang dikenakan terhadap semua konsumsi barang dan jasa, maka terdapat dua sistem pemungutan yang dapat diterapkan. Menurut Terra, kedua sistem tersebut yaitu single-stage levies dan multiple-stage levies.[12]
a.       Single Stage Levies
Sistem single stage levies merupakan pengenaan pajak penjualan yang hanya dikenakan sekali (single). Terdapat tiga alternatif untuk menerapkan sistem pemungutan single ini, yaitu: (1) a manufacturer’s tax: pajak dikenakan atas penjualan oleh produsen pada jalur produksi, pada produk terakhir atau pada semua penjualan barang-barang yang dibuat dalam pabrik; (2) a wholesale tax: pajak dikenakan atas penjualan kepada penjual-penjual eceran atau konsumen oleh produsen, pedagang besar, grosiran, penyalur, importir; (3) a retail stage: pajak dikenakan atas penjualan terakhir secara eceran kepada konsumen. Terra menjelaskan bahwa yang dimaksud retail sales tax bukan hanya mencakup penjual eceran, tetapi semua transaksi yang berhubungan langsung dengan pembeli akhir. Jadi, bisa saja pajak ini dikenakan pada pabrikan atau penyalur, jika mereka menjual langsung pada konsumen.
b.      Multi-stage levies
Sistem multi-stage levies merupakan pengenaan pajak penjualan atas suatu barang atau jasa yang dikenakan pada beberapa tingkat dari produksi dan distribusi. Terra mengemukakan, terdapat dua cara dalam sistem pemungutan multi-stage levies, yaitu: (1) cummulative cascade system: pajak yang dipungut pada tingkat peredaran barang pada jalur produksi dan distribusi tanpa adanya penyesuaian (adjustment) terhadap pajak yang telah dibayar pada jalur sebelumnya. Pajak ini dipungut pada tiap kali ada pemindahan barang pada jalur berikutnya. Karena tidak ada kredit pajak, maka beban pajak menjadi berlipat ganda (kumulatif) melebihi tarif yang sebenarnya berlaku untuk peredaran barang tersebut; (2) non-cummulative system (value added): pajak dipungut beberapa kali pada semua mata rantai jalur produksi dan distribusi, namun hanya pada pertambahan nilainya saja.
Haula Rosdiana menyatakan bahwa pada dasarnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak penjualan yang dipungut atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi. Yang dimaksud dengan nilai tambah adalah semua faktor produksi yang timbul di setiap jalur peredaran suatu barang seperti bunga, sewa, upah kerja, termasuk semua biaya untuk mendapatkan laba.[13] Smith menjelaskan, pertambahan nilai tersebut timbul karena dipakainya faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen, juga semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa, penyusutan dan upah kerja. Jika perusahaan mengurangkan pengeluaran modalnya, maka yang tersisa hanyalah nilai output barang konsumen saja.[14]
Sehingga karakteristik PPN sama dengan pajak penjualan, yaitu pajak yang dikenakan atas konsumsi (on consumption).

3.2. Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization)

James Edwin Kee (2013:3) mendefinisikan desentralisasi fiskal merupakan penyerahan kewenangan (devolusi) mengenai fungsi atau urusan tertentu yang disertai dengan penyerahan kewenangan administratif dan keleluasaan pengelolaan pendapatan fiskal oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
“Fiscal decentralization is the devolution by the central government to local governments (states, regions, municipalities) of specific functions with the administrative authority and fiscal revenue to perform those functions (Kee, 2013:3). [15]
Adapun ruang lingkup devolusi (devolution) menurut Stacey White (2011:2) dalam Government Decentralization in The 21st Century (A Literature Review)[16] merupakan proses penyerahan kewenangan mengenai urusan pengambilan keputusan, keuangan, dan pengelolaan administrasi oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah quasi-autonomous. Sehingga, devolusi disebut sebagai bentuk sempurna dari desentralisasi. Dalam arti bahwa devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang paling luas.
Kee menekankan bahwa penyerahan fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat ke daerah harus diikuti dengan penyerahan kapasitas fiskal untuk menggali pendanaan (keuangan) untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi tersebut.

3.3. Pajak Daerah

3.3.1. Karakteristik Pajak Daerah

Secara prinsip, menurut Richard M. Bird, pajak daerah dapat dijelaskan sebagai pajak yang memenuhi lima kondisi yang berbeda yaitu (1) Pemerintah daerah dapat memutuskan apakah akan memungut atau tidak, (2) Pemerintah daerah juga dapat menentukan dasar yang tepat untuk dikenakan pajak, (3) Pemerintah dapat memutuskan berapa persen pajak yang dikenakan, (4) Pemerintah mengelola pajak (menilai, mengumpulkan, dan memaksa), (5) Pemerintah mengelola pendapatan yang diperoleh.[17]

3.3.2. Kriteria Pajak Daerah

Menurut Nick Devas, terdapat 5 kriteria untuk menilai kelayakan pajak daerah, meliputi indikator hasil yang memadai (yield), keadilan (quity), efisiensi ekonomi (economic efficiency), kemampuan untuk diimplementasikan (ability to implement), dan kecocokan atau kelayakan atau baik tidaknya sebagai pajak daerah (suitability as a local revenue source).[18]

3.3.2.1. Yield:

Indikator hasil (yield) digunakan untuk menilai bahwa hasil pajak harus memadai dalam kaitannya dengan fungsi yang seharusnya dibiayai; stabil dan dapat diprediksi; elastis terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk, dan peningkatan ekspektasi masyarkat; serta proporsi imbal hasil pajak yang digunakan untuk menutup biaya pemungutan pajak sebaiknya diminimalkan.

3.3.2.2. Equity

Indikator keadilan (equity) digunakan untuk menilai bahwa penentuan dasar pemajakan untuk menghitung pajak terhutang harus jelas dan tidak sewenang-wenang. Dasar pemajakan harus mencerminkan keadilan horizontal (kondisi yang sama akan dikenakan beban pajak yang sama) dan keadilan vertikal (sumber ekonomi yang lebih besar harus memberikan kontribusi lebih banyak daripada mereka yang kurang), dan adil secara geografis (tidak menunjukkan perbedaan yang kentara antar daerah dalam mengenakan beban pajak).

3.3.2.3. Economic Efficiency

Indikator economic efficiency digunakan untuk menilai bahwa pajak harus mendorong alokasi sumber daya yang efisien dalam perekonomian, menghindarkan pilihan konsumen dan produsen yang distortif atau menghindarkan pilihan yang dapat mengurangi minat seseorang untuk bekerja atau menabung, dan meminimalkan kelebihan beban pajak. Lebih lanjut, dalam “The Encyclopedia Americana”[19], prinsip economic efficiency dimasukkan dalam satu asas yaitu the administrative principles, yang di dalamnya juga termasuk asas certainty sebagai satu-kesatuan sebagai criteria of administration and compliance (kriteria kemudahan administrasi dan kepatuhan). Asas certainty (kepastian) menyatakan bahwa:
“The laws and regulations must be comprehensible to the taxpayer, they must be unambiguous and certain, both to the taxpayer and to the tax administrator.”[20]
Asas kepastian antara lain mencakup kepastian mengenai siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terhutang itu harus dibayar. Kepastian prosedur mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan juga harus jelas, meliputi prosedur pembayaran dan pelaporan serta pelaksanaan hak-hak perpajakannya. Sommerfold[21] menegaskan bahwa untuk meningkatkan kepastian hukum perlu disediakan petunjuk pemungutan pajak yang terperinci, advanced rulings, maupun interpretasi hukum lainnya. Terkait dengan asas kepastian hukum, Haula Rosdiana mengusulkan, agar tidak terjadi policy gap, maka dalam mendesain kebijakan sistem perpajakan, hendaknya pertimbangan dilakukan secara komprehensif, bukan hanya memerhatikan aspek makro, tetapi juga mikronya. Lebih lanjut, Haula Rosdiana mengungkapkan bahwa kebijakan harus bisa diejawantahkan dalam peraturan pelaksana yang lebih selaras dengan asas ease of administration.[22]

3.3.2.4. Ability to Implement

Indikator ability to implement digunakan untuk menilai bahwa pajak sebaiknya dapat diterapkan secara efektif. Dalam arti penerapan pajak daerah dapat diterima secara politis dan sesuai kapasitasnya secara administratif.

3.3.2.5. Suitability as a local revenue source

Indikator suitability as a local revenue source digunakan untuk menilai bahwa hal ini mengharuskan kejelasan ke wilayah mana pembayaran pajak harus dilakukan, dan bahwa pendapatan pajak yang diterima sama dengan pajak yang terakhir kali dibayarkan oleh wajib pajak; pajak tidak dapat dengan mudah dihindari dengan menggeser objek pajak dari satu wilayah ke wilayah lainnya; pajak daerah seharusnya tidak terlalu memperkuat perbedaan potensi ekonomi antar daerah; dan pajak daerah seharusnya tidak menimbulkan tegangan yang tidak semestinya pada kapasitas administratif daerah yang terbatas.

4.      Pembahasan

4.1. Memahami Substansi Pajak atas Sewa Apartemen dan Rumah Kos

Ketentuan perundang-undangan perpajakan di Indonesia secara eksplisit mengarakterisasi apartemen dan rumah kos secara berbeda. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 32, ayat (3) huruf b UU PDRD yang menyebutkan bahwa  tidak termasuk objek Pajak Hotel adalah jasa sewa apartemen.
Objek pajak hotel itu sendiri, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel, pasal 1 angka 10, termasuk definisi hotel adalah rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh.
Untuk dapat memahami perlakuan pajak atas pemanfaatan apartemen dan rumah kos, peneliti menggunakan teori consumption-based taxation. Sebagaimana teori tersebut diadopsi dari Ben Terra yang mencontohkannya dengan pajak penjualan.
Pajak penjualan dapat digunakan untuk menjelaskan transaksi yang dilakukan oleh Pemilik Rumah Kos dan Pemilik Apartemen (yang selanjutnya disebut Pengusaha) yang menyewakan kamar kepada pelanggan (yang selanjutnya disebut Penyewa). Sehingga, dapat dikatakan bahwa Pengusaha menjual jasa, berupa jasa sewa kamar. Atas penjualan jasa tersebut maka penyewa akan menerima manfaat berupa hak untuk menggunakan fasilitas kamar tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Penyewa melakukan kegiatan untuk mengurangi nilai guna suatu barang atau yang disebut sebagai kegiatan konsumsi. Sedangkan, Pengusaha akan melakukan kegiatan menambah nilai guna suatu barang atau yang disebut kegiatan produksi. Pengusaha akan mengeluarkan berbagai macam cost, seperti membeli tanah apabila Pengusaha belum memiliki tanah untuk dibangun kamar yang nantinya akan disewakan, membeli material-material untuk untuk membangun kamar-kamar, menyewa kamar untuk kemudian disewakan kembali (seperti sewa apartemen untuk disewakan kembali), membeli accesoris kamar (seperti cat, instalasi listrik, almari, meja, tempat tidur, kursi), biaya tenaga kerja, biaya administrasi (seperti perizinan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), izin usaha, administrasi perpajakan).
Karena pajak penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum dan ditujukan pada semua private expenditure, maka masuk akal ketika penyerahan jasa berupa sewa-menyewa kamar dikenakan pajak penjualan. Pajak penjualan merupakan pajak tidak langsung, karena itu beban pajak dalam hal kegiatan sewa rumah kos dan/atau sewa apartemen  dibebankan kepada konsumen atau pihak yang menyewa (forward shifting).
Dalam konteks peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, pajak penjualan dikenal dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Artinya, sistem pemungutan pajak penjualan yang diterapkan di Indonesia menggunakan sistem multi-stage levies non-cummulative system (value added). Pajak dipungut beberapa kali pada semua mata rantai jalur produksi dan distribusi, namun hanya pada pertambahan nilainya saja. Dalam hal ini, Pengusaha dipungut PPN atas pembelian barang-barang yang digunakan untuk menambah nilai guna produknya. Konsekuensi logis dari multi-stage levies adalah timbulnya cascading effect berupa pemajakan ganda. Oleh karena itu, untuk menghitung PPN terhutang bagi Wajib Pajak diberlakukan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan (input) terhadap Pajak Keluaran (output). Pajak Masukan muncul ketika Pengusaha harus menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan pelayanan jasanya kepada para konsumen. Sedangkan Pajak Keluaran muncul ketika Pengusaha menyerahkan jasa kena pajak kepada konsumen.

4.2. Pajak Hotel atas Sewa Rumah Kos dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Dasar konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945),  membagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang (Pasal 18 ayat (1) UUD 1945). Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2) UUD 1945). Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945). Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang (Pasal 18 ayat (7) UUD 1945).
Menimbang sesuai dengan pasal 18 ayat (7) UUD 1945, maka dibentuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU Pemerintahan Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraaan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem NKRI. Selain itu, demi terselenggaranya pemerintahan daerah yang efektif dan efisien perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengatur ketentuan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (UU Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 5 ayat (4)).
Asas desentralisasi sebagaimana didefinisikan menurut ketentuan umum pasal 1 UU Pemerintahan Daerah adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom berdasarkan asas otonomi.
Asas otonomi itu sendiri diartikan sebagai prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem NKRI.
Asas dekonsentrasi menurut Ketentuan Umum Undang-Undang Pemerintahan Daerah didefiniskan sebagai pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggungjawab urusan pemerintahan umum. Instansi vertikal adalah perangkat kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian yang mengurus urusan pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka dekonsentrasi.
Tugas pembantuan menurut Ketentuan Umum Undang-Undang Pemerintahan Daerah adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi.
Daerah otonom didefinisikan merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia berdasarkan asas desentralisasi memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah. Pemerintah daerah diberikan hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah. Sehingga urusan tertentu yang telah diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah kemudian sepenuhnya menjadi urusan rumah tangga daerah yang bersangkutan dan tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Pembagian fungsi antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut membawa konsekuensi keuangan berupa hubungan keuangan pusat dan daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang (Pasal 18A ayat (2) UUD 1945).
Prinsip umum hubungan keuangan pemerintah pusat dengan daerah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 pasal 279. Pemerintah pusat memiliki hubungan dengan daerah untuk membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan kepada Daerah. Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah tersebut, meliputi: (a) Pemberian sumber penerimaan Daerah berupa pajak daerah dan retribusi daerah; (b) Pemberian dana bersumber dari perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; (c) Pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus untuk Pemerintahan Daerah tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang; dan (d) pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat, dan insentif (fiskal).
Pemberian sumber penerimaan Daerah berupa pajak Daerah salah satunya adalah tercermin dalam ketentuan UU PPN yang mengecualikan jasa hotel dari jasa yang dikenai PPN yang dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah berupa pajak hotel.
Jasa hotel tersebut diperluas oleh Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel, pasal 1 angka 10, termasuk definisi hotel adalah rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh.
Penyerahan wewenang pemajakan atas penyerahan jasa hotel sebagai Pajak Daerah merupakan bentuk penyerahan kewenangan administratif dan keleluasaan pengelolaan pendapatan fiskal oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Hal tersebut merupakan wujud desentralisasi fiskal. Pemerintah pusat menyerahkan kewenangan (mendevolusikan) fungsi atau urusan pemerintahan sehingga pemerintah daerah dapat menyelenggarakan pengambilan keputusan, diberikan sumber keuangan, dan kewenangan dalam pengelolaan administrasi kepada pemerintah daerah quasi-autonomous.
Penyerahan fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat ke daerah yang diikuti dengan penyerahan kapasitas fiskal untuk menggali pendanaan (keuangan) untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi tersebut melalui kebijakan desentralisasi fiskal (fiscal decentralization) mendukung Pemerintah Daerah untuk dapat menghimpun pajak daerah dan retribusi daerah, khususnya pajak hotel atas kegiatan usaha sewa rumah kos yang memenuhi ketentuan jumlah kamar lebih dari sepuluh pintu.

4.3. Analisis Kegiatan Sewa Rumah Kos untuk Dikenakan Pajak Daerah

Ketika kegiatan sewa-menyewa rumah kos dikategorikan sebagai kegiatan penyerahan jasa tertentu yang dikategorikan dalam pajak hotel sehingga dikecualikan dari pengenaan pajak PPN, yang perlu dilihat adalah menganalisis karakteristik transaksi tersebut untuk dapat dikelompokkan sebagai pajak daerah. Sebagaimana menurut Richard M. Bird, bahwa pajak daerah dapat dijelaskan sebagai pajak yang memenuhi lima kondisi yang berbeda yaitu (1) Pemerintah daerah dapat memutuskan apakah akan memungut atau tidak, (2) Pemerintah daerah juga dapat menentukan dasar yang tepat untuk dikenakan pajak, (3) Pemerintah dapat memutuskan berapa persen pajak yang dikenakan, (4) Pemerintah mengelola pajak (menilai, mengumpulkan, dan memaksa), (5) Pemerintah mengelola pendapatan yang diperoleh
Berdasarkan karakteristik pajak daerah menurut Bird, UU PPN pasal 4A ayat (3) huruf l yang mengecualikan penyerahan jasa hotel dari pengenaan PPN dimaksudkan untuk mengarakterisasi penyerahan jasa hotel sebagai pajak daerah. Pemerintah Daerah kemudian diberikan kewenangan untuk memutuskan apa-apa saja yang dikategorikan sebagai jasa hotel. Kemudian, melalui Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel, pasal 1 angka 10, Pemerintah daerah secara eksplisit memutuskan definisi hotel adalah termasuk rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh. Pemerintah Daerah juga diberikan kewenangan untuk memutuskan dasar pengenaan pajak dan persentase pajak yang dikenakan. Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada Hotel dan tarif pajak hotel ditetapkan sebesar 10%  (Pasal 6 dan 7 Perda DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2010). Kewenangan menetapkan dasar pengenaan pajak dan tarif pajak sebenarnya tidak secara murni ditentukan oleh oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat melalui UU PDRD telah menentukan dasar pengenaan pajak hotel dan memberikan batasan bahwa tarif pajak hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (UU PDRD Pasal 34 dan 35). Artinya, Pemerintah Daerah dalam menetapkan dasar pengenaan pajak dan tarif pajak hotel dibatasi oleh peraturan yang lebih tinggi yang diatur oleh Pemerintah Pusat. Walaupun Pemerintah memberikan batasan-batasan tertentu, namun pengumpulan dan pengelolaan pendapatan pajak hotel dilakukan sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, pendapatan pajak hotel atas rumah kos sepenuhnya menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Dalam implementasi di lapangan, kelima karakteristik pajak daerah menurut Bird tidak selalu terpenuhi semua karakteristik tersebut pada setiap jenis pajak daerah. Walaupun dalam pemungutan pajak hotel tidak terpenuhi karakteristik bahwa Pemerintah Daerah dapat memutuskan dasar pengenaan pajak dan tarif, namun pajak tersebut tetap dapat dikategorikan sebagai pajak daerah.
Serupa dengan hasil riset Richard M. Bird, pada kenyataanya, beberapa pajak daerah memiliki satu atau dua karakteristik saja dari lima kondisi yang sudah disebutkan sebelumnya. Artinya, tidak semua kondisi selalu ada dalam setiap bentuk pajak daerah yang dipungut. Misalnya di Argentina, meskipun terdapat pengalihan beberapa pajak pusat ke provinsi, tingkat persentase pengenaan pajak dan dasar pengenaan pajaknya ditentukan oleh pemerintah pusat yang juga menilai dan memungut pajak yang dialihkan ke provinsi tersebut.[23]
Kelayakan sewa jasa rumah kos untuk dikenakan pajak daerah dapat dinilai menggunakan indikator-indikator yang peneliti adopsi dari Nick Devas. Indikator-indikator tersebut yaitu indikator hasil yang memadai (yield), keadilan (quity), efisiensi ekonomi (economic efficiency), kemampuan untuk diimplementasikan (ability to implement), dan kecocokan atau kelayakan atau baik tidaknya sebagai pajak daerah (suitability as a local revenue source)

4.3.1. Penilaian Menggunakan Indikator Yield:

Potensi PAD Jakarta dari sektor Sumber Daya Alam kecil, oleh karena itu, penerimaan pajak daerah didorong untuk diekstensifikasi dan digali seoptimal mungkin. Sebagai pusat Ibukota Negara Indonesia, Jakarta identik dengan kota metropolitan. Hal ini sangat potensial bagi Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta untuk menggali potensi penerimaan pajak daerah dari sektor jasa, salah satunya adalah pendapatan pajak hotel. Potensi ini sangat relevan dengan tingginya jumlah orang yang beraktivitas di Jakarta, yang mana pada tahun 2016 tercatat sejumlah 14,5 juta orang yang beraktivitas di Jakarta pada siang hari. Selain itu, penambahan populasi penduduk sekitar 300.000 jiwa dalam waktu empat tahun (2012-2016) yang apabila dirata-ratakan, ada sekitar 75.000 pendatang baru menjadi warga Jakarta setiap tahunnya.
Apabila diilustrasikan dalam angka, dengan asumsi setiap tahun terdapat 75.000 pendatang baru ke Jakarta, maka kebutuhan tempat tinggal baru adalah sebanding dengan jumlah penambahan kuantitas, yaitu 75.000 unit. Apabila diasumsikan setiap pendatang baru akan menyewa rumah kos sebagai tempat tinggal untuk selama setahun, dengan harga sewa rumah kos per bulan adalah Rp 800.000,-, maka potensi penerimaan pajak hotel yang dapat dipungut dari kegiatan usaha rumah kos tersebut adalah Rp 6.000.000.000 per bulan ({10% x Rp 800.000,-} x 75.000}). Apabila dihitung dalam setahun, maka potensi penerimaan pajak hotel adalah Rp 72.000.000.000,-. Potensi tersebut lebih besar dari penerimaan pajak atas rumah kos di DKI Jakarta pada periode Agustus 2012 yang hanya sebesar Rp 4,7 miliar atau rata-rata Rp 588 juta per bulan.
Potensi peningkatan penerimaan PAD dari sektor pajak ini dipandang optimis mengingat sifat pengenaan pajak hotel atas sewa rumah kos tersebut bersifat stabil dan dapat diprediksi karena menggunakan penetapan tarif yang bersifat advalorem, yaitu dengan cara menetapkan tarif pajak sebesar angka persentase tertentu dari nilai objek pajak. Tarif yang bersifat advalorem tersebut cenderung bersifat elastis terhadap inflasi karena pendapatan pajak daerah yang bersumber dari pajak hotel tersebut yang tarifnya ditetapkan 10% akan secara otomatis mengalami kenaikan sebanding dengan kenaikan nilai sewa rumah kos yang harus dibayar oleh pelanggan. Sehingga apabila suatu ketika nilai sewa rumah kos adalah sebesar Rp 800.000 misalnya, maka besarnya pajak yang akan diterima Pemerintah Daerah adalah sebesar Rp 80.000. Apabila sewa tersebut meningkat menjadi Rp 1.000.000 maka nilai pajak yang akan diterima oleh Pemerintah Daerah juga akan meningkat menjadi Rp 100.000. Sehingga pendapatan dari sektor pajak daerah ini cukup besar dan memadai karena bersifat elastis terhadap inflasi. Selain itu, pertambahan jumlah penduduk di DKI Jakarta cenderung akan diikuti dengan peningkatan permintaan hunian. Permintaan yang tinggi akan diikuti oleh Pengusaha rumah kos untuk menambah unit kamar. Pemerintah Daerah akan diuntungkan dengan penambahan basis pemajakan baru dari setiap tambahan unit. Sehingga pertambahan jumlah penduduk cenderung akan diikuti bertambahnya jumlah wajib pajak ataupun objek pajak. Hal ini akan membawa implikasi positif pada semakin meningkatnya pendapatan dari pajak hotel.

4.3.2. Penilaian Menggunakan Indikator Equity

Pengenaan pajak daerah pada sewa rumah kos dilihat menurut indikator keadilan (equity) dapat dijelaskan bahwa setidaknya dasar pemajakan untuk menghitung pajak terhutang sudah diatur secara jelas dan tidak sewenang-wenang, menggunakan dasar pengenaan pajak hotel berupa jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima pengusaha rumah kos. Sehingga hal ini dapat mencerminkan adanya keadilan horizontal (kondisi yang sama akan dikenakan beban pajak yang sama). Namun, penerapan tarif tunggal (flat rate) tidak menunjukkan terjadinya keadilan vertikal karena tidak mengindahkan bahwa yang memiliki sumber ekonomi yang lebih besar harus memberikan kontribusi lebih banyak daripada mereka yang kurang. Sebagaimana harga sewa rumah kos yang beragam. Berdasarkan hasil pencarian informasi melalui aplikasi Mamikos, diperoleh informasi harga sewa kos-kosan ditawarkan dari mulai harga Rp 500.000 hingga Rp 50.000.000. Setiap harga yang ditawarkan menyesuaikan fasilitas yang diberikan oleh pihak Pemilik Rumah Kos. Tercapainya keadilan vertikal dalam pemungutan pajak hotel atas rumah kos cenderung sulit karena tidak mudah untuk dapat membedakan subjek pajak berdasarkan kepemilikan sumber ekonomi karena pemajakan ini berdasarkan atas konsumsi (on consumption) oleh penyewa. Kalau pun akan diterapkan pemungutan pajak hotel dengan mengadopsi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), rumah kos mewah akan dikenakan tarif pajak hotel lebih tinggi, kiranya pengadopsian tersebut kurang tepat karena tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok setiap manusia. Sehingga, kemudian dapat dikritisi, karena sifat pajak hotel identik dengan PPN, maka dapat digunakan ekualisasi antara PPN dan Pajak Hotel atas rumah kos, ketika di dalam UU PPN diatur ketentuan jenis barang tertentu yang tidak dikenai PPN, yang salah satunya adalah barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak (UU PPN Pasal 4A ayat 2 huruf b), maka peraturan ini pun juga seharusnya paralel dengan jasa sewa rumah kos untuk tidak dikenakan pajak hotel. Walaupun ketentuan pemungutan pajak hotel atas rumah kos memberikan treshold, bahwa yang dikenakan pajak hotel atas rumah kos hanya pemilik rumah kos yang memiliki kamar lebih dari 10 (sepuluh) pintu, namun, ketentuan ini tidak mengakomodir sama sekali substansi maksud “pengecualian barang kebutuhan pokok” bagi konsumen sebagaimana dimaksud dalam UU PPN. Penerapan treshhold yang berlaku pada pemungutan pajak hotel atas rumah kos tersebut sebenarnya untuk menciptakan keadilan vertikal untuk menghitung penghasilan yang dapat dipajaki bagi Pemilik Rumah Kos. Dalam penetapan pasal tersebut, peneliti menilai terdapat inkonsistensi maksud penyisipan pasal dalam peraturan daerah, yang mana substansi utama Perda DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang pajak hotel adalah mengatur tentang pajak atas konsumsi, namun dimasukkan unsur pajak lain berupa Pajak Penghasilan yang termuat dalam penetapan treshhold. Apabila basic-nya adalah konsumsi, seharusnya tidak terdapat treshhold sebagaimana legal character pajak penjualan adalah general dan on consumption. Sedangkan penetapan tarif pajak hotel yang ditetapkan paling tinggi sebesar 10% setidaknya dapat dikatakan sebagai upaya menciptakan keadilan secara geografis (tidak menunjukkan perbedaan yang kentara antar daerah dalam mengenakan beban pajak) walaupun tarif pajak hotel ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang mungkin dapat berbeda-beda antar daerah namun perbedaan tarif yang kentara tersebut tidak akan mempengaruhi basis pemajakan karena sifat objek pajak yang inelastis terhadap perubahan tarif dan pemerintah daerah juga tetap diuntungkan karena sifat barang yang immobile sehingga tetap memperoleh pendapatan pajak dari kegiatan sewa menyewa rumah kos tersebut. Ciri barang inelastis adalah kebutuhan pokok. Salah satu kebutuhan pokok yaitu tempat tinggal yang dapat dipenuhi dengan menyewa rumah kos.

4.3.3. Penilaian Menggunakan Indikator  Economic Efficiency

            Isu yang berkembang di usaha sewa rumah kos adalah adanya persepsi kesamaan karakter antara sewa apartemen dalam implementasi di lapangan dengan sewa kamar atau ruangan sebagaimana dimaksud dalam Perda DKI Jakarta tentang Pajak Hotel. Berdasarkan Perda DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel, pasal 3 ayat (1),  menyebutkan:
“Objek pajak hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga, hiburan dan persewaan ruangan di hotel yang disewakan oleh pihak hotel.”
Selanjutnya, pasal 3 ayat (2), menyatakan:
“Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel.”
Definisi hotel dan apartemen itu sendiri tidak dijelaskan. Ini yang kemudian menyebabkan timbul perbedaan interpretasi dalam mendefinisikan objek pajak hotel karena UU PDRD itu sendiri membedakan karakteristik hotel dan apartemen.
Untuk dapat memahami karakteristik keduanya, peneliti meminjam peristilahan secara umum dari hotel dan apartemen. Pengertian hotel itu sendiri sebagaimana didefinisikan oleh Peter Jones dan Andrew Lockwood dalam The Management of Hotel Operations[24] adalah operasi yang menyediakan akomodasi dan layanan tambahan untuk orang-orang yang jauh dari rumah. Definisi ini mencakup semua orang yang menghabiskan waktu jauh dari rumah untuk alasan apapun. Dalam definisinya, memasukkan definisi konsep hotel secara tradisional, yang meliputi motel, holiday camp, kondominium, hostel, rumah sakit dan penjara. Hal ini dimaksudkan bahwa pelayanan hotel sebagaimana dimaksud Peter dan Andrew tidak terbatas hanya pada layanan hotel untuk sektor komersil, melainkan juga yang non-profit.
Sedangkan pengertian apartemen itu sendiri menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, apartemen dipersamakan dengan rumah susun. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Pasal 1, menyebutkan:
“Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.”
Akmal dalam bukunya berjudul Menata Apartemen,[25] mengelompokkan apartemen berdasarkan tipe pengelolaannya. Terdapat tiga jenis apartemen, yaitu serviced apartment, apartemen milik sendiri, dan apartemen sewa.
Serviced Apartment merupakan apartemen yang dikelola secara menyeluruh oleh manajemen tertentu. Biasanya menyerupai cara pengelolaan sebuah hotel, yaitu penghuni mendapatkan pelayanan menyerupai hotel bintang lima, misalnya unit berperabotan lengkap, house keeping, layanan kamar, laundry, business center.
Apartemen milik sendiri merupakan apartemen yang dijual dan dapat dibeli oleh pihak individu. Mirip dengan apartemen sewa, apartemen ini juga tetap memiliki pengelola yang mengurus fasilitas umum penghuninya.
Apartemen sewa merupakan apartemen yang disewa oleh individu tanpa pelayanan khusus. Meskipun demikian tetap ada manajemen yang mengatur segala sesuatu berdasarkan kebutuhan bersama seperti sampah, pemeliharaan bangunan, lift, koridor, dan fasilitas umum lainnya.
Trend yang berkembang sekarang mengenai business properti adalah membeli apartemen untuk tujuan investasi. Misal seseorang berinvestasi sebesar Rp 700 juta untuk membeli apartemen yang untuk tujuan disewakan sehingga pemilik apartemen akan memperoleh passive income setiap bulannya dari menyewakan apartemen tersebut. Perkembangan sewa apartemen ini selaras dengan pengelompokkan apartemen menurut kepemilikan oleh Joseph de Chiara[26]. Joseph mengelompokkan apartemen menjadi tiga, apartemen sewa, apartemen kondominium, dan apartemen koperasi.
Apartemen sewa terdapat pemilik dan penghuni. Pemilik membangun dan membiayai operasi serta perawatan bangunan, sedangkan penghuni membayar uang sewa selama jangka waktu tertentu.
Apartemen kondominium, penghuni membeli dan mengelola unit yang menjadi haknya, tidak ada batasan bagi penghuni untuk menjual kembali atau menyewakan unit miliknya. Penghuni biasanya membayar uang pengelolaan ruang bersama yang dikelola oleh pemilik gedung.
            Apartemen koperasi merupakan apartemen yang dimiliki oleh koperasi. Penghuni memiliki saham di dalamnya sesuai dengan unit yang ditempatinya. Apabila penghuni pindah, ia dapat menjual sahamnya kepada koperasi atau calon penghuni baru dengan persetujuan koperasi. Biaya operasional dan pemeliharaan ditanggung koperasi.
Berdasarkan definisi hotel dan apartemen menurut Peter & Andrew, Akmal, Joseph dan muatan dalam UU Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, semuanya mengelompokkan apartemen sebagai bagian dari pelayanan hotel. Dari definisi tersebut, secara umum memang tidak ada perbedaan antara apartemen dan hotel. Namun, Undang-Undang Pajak Daerah bersikukuh membedakan karakter keduanya. Oleh karena itu, regulasi yang mengatur pajak hotel, perlu mendefinisikan secara jelas konteks apartemen dan hotel untuk tujuan implementasi pemungutan pajak hotel tersebut.
Dalam pasal 32 ayat (3) huruf b UU PDRD, untuk mengetahui bahwa aktivitas usaha disebut sebagai apartemen, kondominium, dan sejenisnya didasarkan atas izin usahanya sehingga seharusnya secara eksplisit dapat diketahui kewajibannya. Apabila izin usahanya adalah apartemen maka kegiatan sewa-menyewa kamar tersebut dikenakan pajak pusat berupa PPN. Namun apabila sesuai izin usaha adalah jasa hotel maka dikenakan pajak daerah berupa pajak hotel.
Dalam implementasi di lapangan, praktik izin usaha apartemen yang beraktivitas layaknya hotel banyak ditemui. Sebagaimana berdasarkan hasil pengamatan peneliti, ditemukan sebuah website beralamatkan URL www.sewa-apartemen.net. Berdasarkan informasi yang dimuat di dalamnya menerangkan bahwa situs tersebut berisi informasi sewa apartemen di JABODETABEK, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Batam, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Beberapa apartemen disewakan secara harian. Seperti misal, beberapa unit kamar di Apartemen Kalibata City disewakan secara harian dengan tarif weekday mulai  Rp 300.000 per hari dan tarif weekend Rp 350.000 per hari untuk kamar jenis Residence Studio. Sedangkan untuk jenis kamar 3 BR Green Palace ditawarkan dengan tarif weekday Rp 750.000 per hari dan tarif weekend Rp 800.000 per hari.
Ketidakjelasan peraturan perpajakan, secara tidak langsung akan merugikan pengusaha properti. Misal, dalam hal, suatu perusahaan sesuai izin usaha yang dibuktikan dengan akta pendirian usaha, merupakan usaha apartemen, namun karena fiskus (pemungut pajak daerah) menggunakan prinsip subtance over the form, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan daerah, jika wajib pajak tidak mendaftarkan kegiatan usaha hotel dalam tempo waktu maksimal 15 hari setelah beroperasinya usaha hotel sebagaima tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 133 Tahun 2012 tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata, maka secara jabatan terutang pajak sejak usaha mulai beroperasi berikut sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan (dua puluh empat bulan) dihitung sejak saat terhutangnya pajak (Pasal 97 ayat (2) UU PDRD).
            Misal, diasumsikan pemilik apartemen memiliki 3 unit kamar. Ia menyewakan kamarnya tersebut secara harian. Dalam sebulan diasumsikan masing-masing kamar terdapat 30 transaksi sewa dengan harga sewa per hari masing-masing Rp 850.000,-. Maka dalam sebulan pemilik apartemen tersebut akan memungut PPN atas penyerahan jasa sewa kamarnya sebesar Rp 7.650.000,- setiap bulannya sebagai Pajak Keluaran ({10% x Rp 850.000,-} x 3 unit x 30 hari). Apabila, oleh Pemerintah Daerah, kegiatan menyewakan kamar apartemen oleh Pengusaha tersebut dianggap sebagai kegiatan jasa hotel, maka secara jabatan terutang pajak daerah sejak usaha mulai beroperasi berikut sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan (dua puluh empat bulan) dihitung sejak saat terhutangnya pajak. Oleh karena itu, total Pajak Daerah terhutang atas kegiatan sewa apartemen yang dianggap sebagai kegiatan jasa hotel untuk masa bulan tertentu adalah Rp 11.322.000,- (Rp 7.650.000 + {2% x 24 x Rp 7.650.000}). Tentu, resiko ini tidak ingin terjadi bagi pemilik apartemen yang menyewakan kamarnya sebagai investasi untuk untuk mengumpulkan passive income. Jika dihitung total cash-flow yang dikeluarkan untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya adalah Rp 18.972.000 yang dihitung dari penjumlahan Rp 7.650.000 (dikeluarkan untuk setor PPN) ditambah Rp 11.322.000 (dikeluarkan untuk pelunasan kewajiban perpajakan daerah karena ketidakjelasan peraturan perpajakan daerah dalam mendefinisikan kegiatan usaha hotel dan apartemen).
Tingginya cost of taxation dari ketidakjelasan dan ketidaknetralan peraturan perpajakan mendorong adanya usaha dari Wajib Pajak untuk melakukan penghindaran perpajakan.
Walaupun substansi PPN dan pajak hotel sama, namun isu apartemen yang melakukan aktivitas layaknya hotel bisa jadi merupakan upaya strategi manajemen pajak daerah. Upaya manajemen pajak tersebut dilakukan karena adanya loophole (celah) di regulasi. Ketika PPN memperkenankan adanya pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran untuk menghitung besaran pajak terhutang bagi Pengusaha Kena Pajak, sedangkan dalam ketentuan Pajak Hotel tidak diatur mekanisme pengkreditan dalam menghitung besaran nilai pajak hotel terutang bagi pengusaha rumah kos. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 j.o. Perubahan Keempat dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (yang selanjutnya disebut UU PPh), Pasal 9, ayat (1) huruf h, hanya menyebutkan bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan Pajak Penghasilan. Artinya, karena tidak disebutkan Pajak Daerah dalam pasal tersebut sebagai biaya yang dikecualikan sebagai pengurang, maka Pajak Daerah yang dibayarkan oleh Pengusaha Rumah Kos boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak untuk menghitung PPh Badan. Namun, mengingat penghitungan pajak penghasilan untuk kegiatan usaha rumah kos dikenakan PPh final, sebagaimana disebutkan dalam UU PPh Pasal 4 ayat (2) huruf d, bahwa penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan dikenakan pajak bersifat final, maka berpotensi menimbulkan isu ketidaknetralan. Ketidaknetralan tersebut muncul sebagai akibat adanya distorsi. Apabila Pengusaha Rumah kos tidak diberikan fasilitas berupa mekanisme pengkreditan, sebagaimana pengenaan PPN pada pengusaha apartemen, maka berdampak memicu upaya penghindaran pajak dari para pengusaha rumah kos, baik dalam bentuk membuat skema sedemikian rupa sehingga pengusaha rumah kos dapat dikecualikan dari pengenaan pajak hotel atau pengusaha rumah kos akan beralih investasi ke usaha apartemen. Alhasil, Pemerintah Daerah akan kehilangan potensi penerimaan pajak daerah dari kegiatan usaha rumah kos.
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel, rentan dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Rumah Kos untuk melakukan penghindaran pajak. Pasalnya, rumah kos yang berkewajiban untuk memungut Pajak Hotel adalah rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh. Ketentuan tersebut memberikan loopholes kepada para pengusaha rumah kos untuk mengelola usahanya sedemikian rupa sehingga dapat dikenakan pajak serendah mungkin, bahkan dikecualikan sebagai objek pajak hotel.
Bentuk-bentuk penghindaran pajak tersebut dapat meliputi:
(1)   Mengusahakan bisnis rumah kos dengan jumlah kamar kurang dari sepuluh pintu;
Menyewakan harta tidak bergerak merupakan alternatif investasi yang cukup potensial di areal perkotaan untuk dapat menghasilan passive income. Salah satunya adalah usaha sewa rumah kos. Walaupun bukan sumber penghasilan utama, aspek pajak terkait usaha rumah kos tetap dapat diminimalkan dengan cara mendirikan unit kamar kos kurang dari sepuluh pintu, sehingga secara otomatis pemilik rumah kos terhindar dari kewajiban untuk memungut dan melaporkan kewajiban perpajakan atas pajak hotel rumah kos setiap bulannya. Tentu hal ini dapat menghemat biaya administrasi yang seharusnya dikeluarkan untuk mengurus kewajiban perpajakan tersebut.
(2)   Memetakan tempat usaha rumah kos di wilayah berbeda dengan masing-masing wilayah didirikan usaha rumah kos dengan jumlah kamar kurang dari sepuluh pintu.
Karena pajak hotel atas rumah kos merupakan pajak daerah yang ketentuannya diatur melalui Peraturan Daerah, maka setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing yang tidak dapat diintervensi oleh daerah lainnya. Oleh karena itu, kaitannya dengan penghindaran pajak hotel atas rumah kos, mungkin saja dilakukan dengan cara mendirikan 9 unit kamar kos di Jakarta Selatan, 9 unit kamar kos lagi di Depok, 9 unit kamar kos di Surabaya. Skema ini sangat mungkin untuk diimplementasikan dalam rangka manajemen pajak daerah sehingga tetap dikecualikan dari pengenaan pajak hotel atas rumah kos tanpa menyalahi ketentuan perundang-undangan perpajakan.
(3)   Membeli beberapa unit apartemen untuk disewakan kembali.
Sewa apartemen merupakan objek pajak yang dikecualikan dari pengenaan pajak hotel. Oleh karena itu, salah satu upaya manajemen pajak daerah yaitu dengan cara menginvestasikan dana untuk membeli beberapa unit apartemen untuk kemudian disewakan kembali.
Indikator economic efficiency bermaksud menilai bahwa pajak harus mendorong alokasi sumber daya yang efisien dalam perekonomian, menghindarkan pilihan konsumen dan produsen yang distortif atau menghindarkan pilihan yang dapat mengurangi minat seseorang untuk bekerja atau menabung, dan meminimalkan kelebihan beban pajak. Oleh karena itu, dalam rangka meminimalkan risiko dan potential loss dari perkembangan usaha apartemen, hotel, dan rumah kos, maka dalam rangka mendorong peningkatan kepatuhan wajib pajak hotel untuk mendorong peningkatan pendapatan pajak daerah, maka  perlu memperhatikan the administrative principles, yang di dalamnya juga termasuk asas certainty sebagai satu-kesatuan sebagai criteria of administration and compliance (kriteria kemudahan administrasi dan kepatuhan).
Asas kepastian sebagaimana dimaksud antara lain mencakup kepastian mengenai siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terhutang itu harus dibayar. Kepastian prosedur mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan juga harus jelas, meliputi prosedur pembayaran dan pelaporan serta pelaksanaan hak-hak perpajakannya. Lebih lanjut, sebagaimana Sommerfold menegaskan bahwa untuk meningkatkan kepastian hukum perlu disediakan petunjuk pemungutan pajak yang terperinci, advanced rulings, maupun interpretasi hukum lainnya. Terkait dengan asas kepastian hukum, Haula Rosdiana juga mengusulkan, agar tidak terjadi policy gap, maka dalam mendesain kebijakan sistem perpajakan, hendaknya pertimbangan dilakukan secara komprehensif, bukan hanya memerhatikan aspek makro, tetapi juga mikronya. Lebih lanjut, Haula Rosdiana mengungkapkan bahwa kebijakan harus bisa diejawantahkan dalam peraturan pelaksana yang lebih selaras dengan asas ease of administration.

4.3.4. Penilaian Menggunakan Indikator Ability to Implement

Indikator ability to implement digunakan untuk menilai bahwa pajak sebaiknya dapat diterapkan secara efektif. Dalam arti penerapan pajak daerah dapat diterima secara politis dan sesuai kapasitasnya secara administratif.
Pengenaan pajak hotel atas rumah kos dilihat menurut indikator ability to implement telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir merupakan Perubahan Ketiga dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM pasal 4A ayat (3) huruf l  yang menetapkan jasa hotel sebagai jenis jasa tertentu yang tidak dikenai PPN.  Hal ini diperjelas di bagian penjelasan yang  menyatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah berupa pajak hotel. Ketentuan tersebut dipertegas dalam Perda DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel.
Peraturan tersebut menunjukkan upaya yang dinilai cukup efektif untuk mengimplementasikan pengenaan pajak hotel atas sewa rumah kos untuk dapat diterima secara politis.
Melihat kapasitas Pemerintah Daerah secara administratif hal ini akan mudah untuk dapat menentukan objek pajak hotel atas sewa rumah kos mengingat pajak hotel yang terhutang dipungut di wilayah daerah tempat rumah kos berlokasi. Namun, potensi dispute dalam pemungutan pajak hotel atas sewa rumah kos sangat potensial terjadi mengingat perkembangan usaha sewa apartemen yang memiliki substansi kegiatan usaha sama dengan usaha rumah kos juga mulai menjamur sehingga pengusaha rumah kos juga menuntut adanya perlakuan yang sama. Oleh karena itu, kiranya perlu Perda DKI Jakarta tentang pajak hotel diperluas lagi dengan memberikan penekanan terhadap kegiatan sewa apartemen secara harian atau bulanan yang diusahakan layaknya rumah kos maka termasuk objek pajak hotel. Tentu hal ini sangat bernilai politis yang menyangkut konflik kepentingan Pemerintah Pusat dan Pemerindah Daerah. Pemerintah Daerah menuntut adanya local taxing power untuk penyelenggaraan otonomi pemerintahan daerah dengan memintakan diserahkannya kewenangan memungut pajak hotel dari kegiatan usaha sewa apartemen harian. Namun rupanya negosiasi antara legislatif Pusat dengan Eksekutif Daerah cenderung alot, membutuhkan budget yang besar, dan rentan disalahgunakan oleh oknum-oknum berkepentingan. Namun yang perlu diperhatikan dalam hal ini, seharusnya negosiasi politis tersebut diutamakan kepada substansi dalam upaya meminimalkan ketimpangan antara pengusaha rumah kos dan pengusaha persewaan apartemen, sehingga pemungutan pajak hotel atas rumah kos dapat efektif dan efisien.

4.3.5. Penilaian Menggunakan Indikator  Suitability as a local revenue source

Indikator suitability as a local revenue source digunakan untuk menilai bahwa hal ini mengharuskan kejelasan ke wilayah mana pembayaran pajak harus dilakukan, dan bahwa pendapatan pajak yang diterima sama dengan pajak yang terakhir kali dibayarkan oleh wajib pajak; pajak tidak dapat dengan mudah dihindari dengan menggeser objek pajak dari satu wilayah ke wilayah lainnya; pajak daerah seharusnya tidak terlalu memperkuat perbedaan potensi ekonomi antar daerah; dan pajak daerah seharusnya tidak menimbulkan tegangan yang tidak semestinya pada kapasitas administratif daerah yang terbatas.
Keberadaan fisik usaha rumah kos berlokasi yang dapat diamati setidaknya Pemerintah Daerah dapat mengawasi kegiatan usaha wajib pajak hotel dan/atau rumah kos. Lagipula, pengenaan pajak hotel pada pemilik rumah kos menunjukkan kejelasan ke wilayah mana pembayaran pajak harus dilakukan. Pajak hotel yang terhutang dipungut di wilayah daerah tempat rumah kos berlokasi oleh Pemerintah Daerahnya. Karakter objek pajak rumah kos yang immobile dan permintaan terhadap rumah kos yang inelastis terhadap kenaikan harga rumah kos, maka pajak ini tidak dapat dengan mudah dihindari dengan menggeser objek pajak dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Pajak hotel atas rumah kos yang merupakan usaha perluasan basis objek pajak hotel, merupakan upaya pemerintah DKI Jakarta memaksimalkan potensi pendapatan pajak daerah dari kegiatan usaha di sektor jasa yang ada di daerahnya sebagai kawasan metropolitan. Pajak hotel juga tidak terlalu memperkuat perbedaan potensi ekonomi antar daerah karena setiap daerah dapat menggali potensi penerimaan pajak daerah dari sektor jasa hotel atas rumah kos. Hal ini relevan dengan tempat tinggal sebagai kebutuhan dasar setiap manusia. Sehingga potensi ini tidak akan pernah surut seiring dengan peningkatan pertumbuhan populasi penduduk.


5.      Simpulan dan Saran

5.1. Simpulan

Jakarta sebagai kota metropolitan berpeluang besar untuk menggali potensi pajak daerah dari sektor jasa yaitu pajak hotel atas rumah kos. Pajak hotel atas rumah kos merupakan bentuk perluasan desentralisasi fiskal dengan memberikan local taxing power kepada Pemerintah Daerah untuk menggali potensi penerimaan pajak daerah sesuai dengan karakteristik khas dari masing-masing daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). PAD kemudian digunakan sebagai sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai asas otonomi daerah.
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 tahun 2010 tentang Pajak Hotel, yang mengatur ketentuan pelaksanaan pemungutan pajak hotel, dalam implementasinya berpotensi dispute. Peraturan Daerah tersebut rupanya belum mengakomodir perkembangan kegiatan usaha perhotelan, seperti kegiatan sewa apartemen harian yang sesuai tujuan komersial memiliki persamaan dengan karakter hotel dan sewa rumah kos. Padahal sewa apartemen itu sendiri dikecualikan dari pajak hotel. Berdasarkan hasil analisis tinjauan kritis perbandingan perlakuan pajak atas sewa rumah kos dan sewa apartemen di Jakarta kaitannya dengan desentralisasi fiskal, diperoleh simpulan sebagai berikut:

Tabel 5.1. Perbandingan Perlakuan Pajak atas Sewa Rumah Kos dan Sewa Apartemen di Jakarta Kaitannya dengan Desentralisasi Fiskal
Jenis Perbedaan
Apartemen
Hotel dan/atau Rumah Kos
Isu Perpajakan
Definisi
Apartemen dipersamakan dengan rumah susun, yaitu bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Operasi yang menyediakan akomodasi dan layanan tambahan untuk orang-orang yang jauh dari rumah.
Tidak didefinisikan secara eksplisit kegiatan sewa apartemen dan rumah kos dalam konteks pemungutan pajak hotel, sehingga rentan terjadi konflik antara Wajib Pajak Rumah Kos, Pemilik Apartemen, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Pusat.
Core Business
(1)   Serviced Apartment merupakan apartemen yang dikelola secara menyeluruh oleh manajemen tertentu. Biasanya menyerupai cara pengelolaan sebuah hotel, yaitu penghuni mendapatkan pelayanan menyerupai hotel bintang lima, misalnya unit berperabotan lengkap, house keeping, layanan kamar, laundry, business center.
(2)   Apartemen milik sendiri merupakan apartemen yang dijual dan dapat dibeli oleh pihak individu. Mirip dengan apartemen sewa, apartemen ini juga tetap memiliki pengelola yang mengurus fasilitas umum penghuninya.
(3)   Apartemen sewa merupakan apartemen yang disewa oleh individu tanpa pelayanan khusus. Meskipun demikian tetap ada manajemen yang mengatur segala sesuatu berdasarkan kebutuhan bersama seperti sampah, pemeliharaan bangunan, lift, koridor, dan fasilitas umum lainnya.
(4)   Apartemen sewa terdapat pemilik dan penghuni. Pemilik membangun dan membiayai operasi serta perawatan  bangunan, sedangkan penghuni membayar uang sewa selama jangka waktu tertentu.
(5)   Apartemen kondominium, penghuni membeli dan mengelola unit yang menjadi haknya, tidak ada batasan bagi penghuni untuk menjual kembali atau menyewakan unit miliknya. Penghuni biasanya membayar uang pengelolaan ruang bersama yang dikelola oleh pemilik gedung.
(6)   Apartemen koperasi merupakan apartemen yang dimiliki oleh koperasi. Penghuni memiliki saham di dalamnya sesuai dengan unit yang ditempatinya. Apabila penghuni pindah, ia dapat menjual sahamnya kepada koperasi atau calon penghuni baru dengan persetujuan koperasi. Biaya operasional dan pemeliharaan ditanggung koperasi.
Hotel secara tradisional, yang meliputi motel, holiday camp, kondominium, hostel, rumah sakit dan penjara.
Tidak terbatas hanya pada layanan hotel untuk sektor komersil, melainkan juga yang non-profit.

Hotel di dalamnya termasuk kondominium atau apartemen, sehingga dalam praktik, khususnya dalam rangka pemungutan pajak hotel, sulit dibedakan antara hotel, rumah kos, dan apartemen.
Ketentuan Perpajakan Terkait
UU PPN
UU PDRD
Local Taxing Power dalam rangka Desentralisasi Fiskal
Jenis Pajak (berdasarkan lembaga pemungutnya)
PPN - Pajak Pusat
Pajak Hotel - Pajak Daerah
Konflik kepentingan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memajaki kegiatan sewa apartemen harian sebagai pajak hotel (pajak daerah).
Dasar Pemajakan
Nilai Penggantian
Jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada Hotel
-
Menghitung Pajak Terhutang Bagi Pengusaha Kena Pajak
Mekanisme Pajak Keluaran dikurangi Pajak Masukan (PK-PM). Apabila PM tidak dapat dikreditkan dapat dibiayakan dalam menghitung penghasilan kena pajak.
Tidak ada ketentuan mekanisme pengkreditan Pajak Hotel. Namun, pajak hotel dapat dijadikan sebagai pengurang PPh Badan. Walaupun demikian, penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan dikenakan PPh Final.
Isu Ketidaknetralan sehingga memicu upaya penghindaran pajak daerah.

5.2. Saran

            Berdasarkan simpulan tersebut, kemudian peneliti merekomendasikan beberapa hal, meliputi:



a.       Dalam rangka pelaksanaan Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 tahun 2010 tentan Pajak Hotel, maka perlu mendefinisikan di dalam ketentuan umum, pengertian hotel, apartemen, dan rumah kos sesuai konteks dalam rangka pemungutan pajak hotel. Sehingga diharapkan definisi yang eksplisit tertuang dalam pasal-pasal, maupun pasal penjelasan, dapat memberikan kepastian hukum bagi stakeholders terkait, yang meliputi Wajib Pajak Rumah Kos, Pengusaha Apartemen, dan Pemerintah Daerah;
b.      Dalam rangka mengimplementasikan Perda DKI Jakarta tentang pajak hotel maka kiranya perlu diperluas lagi terkait basis pemajakan melihat adanya perkembangan kegiatan sewa apartemen secara harian atau bulanan yang diusahakan layaknya rumah kos. Sehingga perlu kegiatan sewa harian apartemen dikategorikan sebagai objek pajak hotel. Walaupun hal ini sangat bernilai politis yang menyangkut konflik kepentingan Pemerintah Pusat dan Pemerindah Daerah dan kemungkinan proses negosiasi antara legislatif Pusat dengan Eksekutif Daerah yang cenderung alot, membutuhkan budget yang besar, dan rentan disalahgunakan oleh oknum-oknum berkepentingan. Namun yang perlu diperhatikan dalam hal ini bahwa tujuan perluasan tersebut adalah sebagai upaya meminimalkan ketimpangan antara pengusaha rumah kos dan pengusaha persewaan apartemen karena adanya isu ketidaknetralan dalam hal perlakuan kebijakan PPN dan Pajak Daerah, khususnya dalam mekanisme pengkreditan pajak untuk menghitung besaran pajak terhutang. Dengan demikian, melalui perluasan objek pajak hotel untuk mengenakan pajak hotel atas sewa apartemen harian diharapkan dapat mengimplementasikan pemungutan pajak hotel atas rumah kos secara efektif dan efisien.

Daftar Pustaka

Buku
Akmal, Imelda. 2007. Menata Apartemen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Anonim. 1988. The New Encyclopedia Britannica, ”Taxation”,  Volume 28, London: Encyclopedia Britannica, Inc., halaman 411.
Anonim. 1938. The Encyclopedia Americana. New York: Americana Corporation, halaman 291.
Chiara, Joseph De dan John Callendar. 1983. Time Saver Standards for Building Types. Singapore: McGraw Hill Book Companies Inc.
Devas, Nick, Financing Local Government in Indonesia - Monograph in International Studies Southeast Asia Series, No. 84. Ohio University, (1989), halaman 58-59.
Jones, Peter dan Andrew Lockwood. 2004. The Management of Hotel Operations. London: Thomson.
Richard M. Bird, Subnational Taxation in Developing Countries : A Review of The Literature, Policy Research Working Paper 5450. The World Bank: Poverty Reduction and Economic Management Network Economic Policy and Debt Department, (October 2010), halaman 6.
Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. 2013. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Smith, Dan Throop, James B Webber, dan Carol M Cerf. 1973. What You Should Know About the VAT. Illinois: Down Jones-Irwin Inc.
Sommerfold, Ray M.  1982. An Introduction to Taxation. London: Harcourt Brace Javanovich Inc., halaman 1/17.
Terra, Ben. 1988. Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in The European Community. Deventer-Boston: Kluwer Law and Taxation Publishers.
Internet
Anonim. Online: https://mamikos.com/kost/kost-jakarta-murah, diakses pada 18 Desember 2017, 03.42 WIB.
Anonim. Online: http://poskotanews.com/2012/09/19/rumah-kos-tumbuh-tidak-terkendali/, diakses 18 Desember 2017, 08.00 WIB.
Anonim. Viva News (2016) Sepanjang Kuartal III Sewa Apartemen di Jakarta Turun. (online) (Diakses 17 Desember 2017, 16.57 WIB)
Colliers Internasional. (2016). Jakarta Properti Market Report. (online), diakses 17 Desember 2017, 16.32 WIB.
Kee, James Edwin. 2013. “Fiscal Decentralization: Theory as Reform”, paper diakses dari www.gwu.edu tanggal 20 Desember 2017, 14.19 WIB.
Laporan Industri Properti di Indonesia, https://www.lamudi.co.id/laporan-2017, diakses pada tanggal 17 Desember 2017, 16.29 WIB.
Lenny Tristia Tambun, “Pendatang Membanjir, Jakarta Mendekati Titik Kritis”. Beritasatu.com dipublikasikan pada 3 Juli 2017, 18.02 WIB. Online: http://www.beritasatu.com/megapolitan/439572-pendatang-membanjir-jakarta-mendekati-titik-kritis.html, diakses pada tanggal 17 Desember 2017, 15.33 WIB.
White, Stacey. Government Decentralization in The 21st Century (A Literature Review). Washington DC: The Center for Strategic & International Studies (CSIS), Program on Crisis, Conflict, and Cooperation, (December 2011), page 2. Sumber online web: www.csis.org, diakses pada tanggal 20 Desember 2017, 14.40 WIB.
apbd.jakarta.go.id


[1] Lenny Tristia Tambun, “Pendatang Membanjir, Jakarta Mendekati Titik Kritis”. Beritasatu.com dipublikasikan pada 3 Juli 2017, 18.02 WIB. Online: http://www.beritasatu.com/megapolitan/439572-pendatang-membanjir-jakarta-mendekati-titik-kritis.html, diakses pada tanggal 17 Desember 2017, 15.33 WIB.
[2] Colliers Internasional, (2016). Jakarta Properti Market Report. (online), diakses 17 Desember 2017, 16.32 WIB.
[3] Laporan Industri Properti di Indonesia, https://www.lamudi.co.id/laporan-2017, diakses pada tanggal 17 Desember 2017, 16.29 WIB.
[4] https://mamikos.com/kost/kost-jakarta-murah, diakses pada 18 Desember 2017, 03.42 WIB.
[5] Viva News (2016) Sepanjang Kuartal III Sewa Apartemen di Jakarta Turun. (online) (Diakses 17 Desember 2017, 16.57 WIB)
[7] apbd.jakarta.go.id
[8] PKB, BBNKB, PBBKB, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, BPHTB, PBB-P2, Pajak Rokok
[9] Jasa penunjang sebagaimana dimaksud adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola Hotel (UU PDRD, pasal 32 ayat (2)).
[10] Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabean (UU PPN, Pasal 1, angka (1)).
[11] Ben Terra. 1988. Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in The European Community. Deventer-Boston: Kluwer Law and Taxation Publishers, halaman 7.
[12] Ben Terra, Op. Cit, halaman 21-23.
[13] Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto. 2013. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo, halaman  222.
[14] Smith, Dan Throop, James B Webber, dan Carol M Cerf. 1973. What You Should Know About the VAT. Illinois: Down Jones-Irwin Inc., halaman 430.
[15] James Edwin Kee, (2013), “Fiscal Decentralization: Theory as Reform”, paper diakses dari www.gwu.edu tanggal 20 Mei 2017, 14.19 WIB.
[16] Stacey White, Government Decentralization in The 21st Century (A Literature Review). Washington DC: The Center for Strategic & International Studies (CSIS), Program on Crisis, Conflict, and Cooperation, (December 2011), page 2. Sumber online web: www.csis.org.
[17] Richard M. Bird, Subnational Taxation in Developing Countries : A Review of The Literature, Policy Research Working Paper 5450. The World Bank: Poverty Reduction and Economic Management Network Economic Policy and Debt Department, (October 2010), halaman 6.
[18] Nick Devas, Financing Local Government in Indonesia - Monograph in International Studies Southeast Asia Series, No. 84. Ohio University, (1989), halaman 58-59.
[19] Anonim. 1938. The Encyclopedia Americana. New York: Americana Corporation, halaman 291.
[20] Anonim. 1988. The New Encyclopedia Britannica, ”Taxation”,  Volume 28, London: Encyclopedia Britannica, Inc., halaman 411.
[21] Ray M. Sommerfold. 1982. An Introduction to Taxation. London: Harcourt Brace Javanovich Inc., halaman 1/17.
[22] Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Op. Cit, halaman 241.
[23] Richard M. Bird (2010, 7).

[24] Jones, Peter dan Andrew Lockwood. 2004. The Management of Hotel Operations. London: Thomson.


[25] Akmal, Imelda. 2007. Menata Apartemen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[26] Chiara, Joseph De dan John Callendar. 1983. Time Saver Standards for Building Types. Singapore: McGraw Hill Book Companies Inc.



Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185

Comments

Popular posts from this blog

Kenapa angka India menjadi angka Arab?

Kebanyakan dari kita mungkin mengira angka Arab seperti angka-angka yang tercantum di dalam Al-Qur’an. Namun pada kenyataannya angka Arab bukanlah seperti yang selama ini kita asumsikan. Angka Arab itu sendiri sebenarnya angka yang sekarang menjadi angka internasional yaitu 1, 2, 3, 4, 5, ...dst. Lalu, angka yang kita kenal sebagai angka Arab yang ada di Al Qur’an itu angka apa? Fakta yang lucu. Ketika masyarakat umum dunia menyebutnya angka Arab, tapi orang Arab sendiri justru menyebutnya sebagai angka Hindi. Angka Arab yang sebenarnya adalah angka India yaitu ١ , ٢ , ٣ , ٤ , ٥ , ٦ , ٧ , ٨ , ٩ ,١٠ . Hal ini bisa dilihat dari sejarah perkembangan evolusi tulisan angka Arab dan Hindi itu sendiri. Kenyataannya angka-angka yang kita pakai saat ini adalah keturunan dari angka India. Dan sistem angka Hindu-Arab dikembangkan oleh matematikawan India. Angka India kemudian diadopsi oleh matematikawan Persia di India, dan diteruskan lebih lanjut kepada orang-orang Arab di sebelah barat. ...

Go-Jek Indonesia dan Tantangan Lingkungan dalam Perspektif Teori Organisasi

Organisasi bisnis jasa online , dewasa ini sedang banyak dikembangkan di Indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya penawaran fasilitas-fasilitas yang berdalih memberikan kemudahan dalam memenuhi setiap kebutuhan dan aktivitas masyarakat yang dikemas secara online dalam sebuah software aplikasi. Sebagaimana dapat kita amati, kemunculan berbagai bentuk layanan belanja online seperti Tokopedia , Bukalapak , Lazada , OLX , Grab-Bike , dan Go-Jek. Terkait hal bisnis jasa online , dalam tulisan ini akan dibahas mengenai layanan Go-Jek Indonesia. Go-Jek merupakan startup lokal di bidang digital. Selain Go-Jek, terdapat juga Grab-Bike yang merupakan startup asal Malaysia. Khususnya Go-Jek, ini sangat cermat dalam melihat kondisi lingkungan, yang terkait kemacetan yang terjadi di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Ide diciptakannya layanan Go-Jek muncul dari lingkungan eksternal organisasi Go-Jek, yaitu masyarakat (yang kemudian menjadi target sebagai customer Go-Jek) dan kemace...

Tanya Jawab Seputar Manusia dan Masyarakat Indonesia

1.       Soal: Setiap sukubangsa/etnis di Indonesia, memiliki budaya yang mendasari terbangunnya kearifan lokal untuk kelangsungan hidup mereka saat beradaptasi dengan lingkungan alamnya, baik dalam mengelola sumberdaya alam, mitigasi bencana dan berbagai kehidupan sosial. Sebut dan jelaskan langkah-langkah yang konstruktif harus dilakukan pemerintah dalam membangun kemitraan dengan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan budaya! Pembahasan: Kearifan lokal merupakan prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat. [1] Kearifan lokal juga berkaitan dengan strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. [2] Hidup yang berdampingan dengan alam mengharuskan kita mampu beradaptasi den...