Analisis Tinjauan Kritis Perbandingan Perlakuan Pajak atas Sewa Rumah Kos dan Sewa Apartemen di Jakarta Kaitannya dengan Desentralisasi Fiskal
Lingkungan
perkotaan, khususnya Jakarta, masih menjadi daya tarik bagi kaum urban untuk
melakukan aktivitas berupa pekerjaan, bisnis, maupun aktivitas belajar yang
cukup menjanjikan. Sebagaimana dikutip dari Beritasatu.com[1],
terdapat sedikitnya 14,5 juta orang yang beraktivitas di Jakarta pada siang
hari. Adapun jumlah penduduk Jakarta sendiri pada tahun 2016 mencapai 10,2 juta
jiwa. Artinya, terdapat 4,3 juta orang yang merupakan penduduk penglaju setiap
harinya. Selain itu, berdasarkan catatan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
(Dukcapil) DKI Jakarta, dalam lima tahun terakhir (2012-2016), jumlah rata-rata
pendatang baru ke Jakarta mencapai 62.000 jiwa. Sedangkan pada 2016, jumlah
pendatang baru mencapai 68.763 jiwa. Oleh karena itu, pendatang baru pada tahun
2017 diprediksi akan mencapai di kisaran 62.000 hingga 68.000 jiwa. Tercatat, pada tahun 2013, populasi
penduduk di DKI Jakarta sebanyak 9,9 juta jiwa. Selama empat tahun, pada tahun
2016, populasi penduduk di DKI sudah mencapai 10,2 juta jiwa. Artinya, terdapat
penambahan populasi penduduk sekitar 300.000 jiwa dalam waktu empat tahun. Bila
dirata-ratakan, ada sekitar 75.000 pendatang baru yang kemudian menjadi warga
Jakarta setiap tahunnya.
Pertumbuhan
penduduk di Jakarta akan diikuti peningkatan permintaan kebutuhan terhadap
hunian sebagai tempat tinggal. Pasalnya, tempat tinggal merupakan kebutuhan
dasar setiap manusia. Sebagaimana
pemerintah menunjukkan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker)
Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian
Kebutuhan Hidup Layak. Permenaker
tersebut merujuk pada komponen penilaian untuk memenuhi kebutuhan hidup layak
untuk buruh, sehingga bisa ditentukan upah minimum kabupaten (UMK). Pada
komponen perumahan, ada item sewa kamar untuk 1 bulan. Pada penjelasan
Permenaker tersebut ditunjukkan bahwa kebutuhan perumahan/papan merupakan
kebutuhan primer bagi pekerja.
Peningkatan
permintaan terhadap hunian di Jakarta salah satunya terlihat dari tingginya
permintaan terhadap apartemen. Berdasarkan laporan dari Jakarta Properti Market Report[2],
selama kuartal II 2016 tercatat terdapat 4.777 unit baru apartemen di Jakarta
diserahterimakan kepada pembeli. Permintaan yang tinggi pun akan direspon oleh
penawaran yang juga tinggi. Menurut Laporan Industri Properti di Indonesia[3],
pada tahun 2016, pasokan unit apartemen baru di Jakarta meningkat sebesar 12,4
persen jika dibandingkan periode yang sama tahun 2015. Fenomena ini menunjukkan
bahwa pengembang masih optimis akan perkembangan properti di dalam negeri
(khususnya Jakarta).
Pertumbuhan
penduduk di Jakarta yang tinggi diikuti oleh penawaran usaha properti yang semakin bersaing dan berkembang.
Tidak hanya berupa hunian apartemen, melainkan juga usaha rumah kos yang
semakin menjamur di sekitaran area di mana sebagian besar penduduk DKI Jakarta
maupun penduduk pendatang beraktivitas. Berbagai macam tipe kos dari yang
eksklusif hingga sederhana semua bisa dipilih sesuai kebutuhan dan ketersediaan
dana.
Berdasarkan
penelusuran data melalui aplikasi Mamikos[4]
yang menyediakan pencarian info kos-kosan atau indekos dari berbagai wilayah di
Indonesia, diperoleh data sebanyak 3.575 kos-kosan yang ada di Jakarta dari
berbagai tipe yang ditawarkan. Penulis juga menemukan adanya unit kamar di
dalam apartemen yang ditawarkan untuk disewakan secara bulanan.
Jika
dibandingkan dengan apartemen, rumah kos menawarkan harga yang cenderung lebih
murah sehingga rumah kos lebih diminati sebagai hunian sementara bagi
masyarakat pendatang. Harga sewa kos-kosan beragam, dari mulai harga Rp 500
ribu per bulan hingga Rp 5 juta per bulannya. Selain menyediakan sewa kos untuk
harga per bulan, juga ditawarkan pilihan harga untuk sewa kos-kosan secara
harian, mingguan, bahkan tahunan. Sedangkan, untuk harga unit hunian apartemen,
tahun 2016
rata-rata harga apartemen di Indonesia khususnya di Jakarta untuk di wilayah Central Business District (CBD) dan
Jakarta Selatan rata-rata mencapai Rp 31,25 juta per meter persegi. Sedangkan,
rata-rata harga sewa apartemen di kawasan CBD
mencapai empat jutaan Rupiah per bulan, sementara untuk di wilayah non-CBD atau non-premium mencapai dua jutaan Rupiah per bulannya.[5]
Perkembangan
usaha rumah kos dinilai positif, pasalnya hal ini berpotensi menjadi sumber
pendapatan asli daerah dari sumber pajak daerah. Sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tahun 2010
tentang Pajak Hotel, pasal 1 angka 10, termasuk definisi hotel adalah rumah kos
dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh. Artinya, Pemerintah Daerah dapat
memungut pajak hotel dari wajib pajak rumah kos yang mengusahakan rumah kos
dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh pintu.
Pajak
rumah kos di DKI Jakarta merupakan kebijakan baru yang diimplementasikan sejak
1 Januari 2011. Bidang Pengendalian Pajak, Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta,
melaporkan bahwa hingga bulan Agustus 2012 saja tercatat 854 rumah kos yang
menjadi wajib pajak di DKI Jakarta. Jumlah rumah kos di Jakarta terbanyak di
Jakarta Barat dengan 284 unit. Disusul Jakarta Selatan 175 rumah kos, Jakarta
Pusat 162 rumah kos, Jakarta Timur 122 kos, dan Jakarta Utara dengan 111 rumah
kos. Pada periode yang sama, total penerimaan pajak atas rumah kos di DKI
Jakarta sebesar Rp 4,7 miliar atau rata-rata Rp 588 juta per bulan.[6]
Jika dibandingkan dengan data jumlah rumah kos pada aplikasi Mamikos, yang berdasarkan hasil
penelusuran diperoleh data sejumlah 3.575 kos-kosan tersedia hingga 18 Desember
2017, maka peningkatan ini seharusnya sebanding dengan penerimaan pajak atas
rumah kos di DKI Jakarta. Jika dilihat pertumbuhan penerimaan pajak hotel di
DKI Jakarta, selama kurun waktu 2012-2017[7]
memang cenderung meningkat setiap tahunnya, kecuali pada realisasi tahun 2015
yang menunjukkan penurunan. Adapun komponen trend
penerimaan pajak hotel di DKI Jakarta selama kurun waktu 2012-2017
disajikan dalam tabel 1.1 sebagai berikut:
Tabel 1.1. Data Rekapitulasi Penerimaan Pajak Hotel di
DKI Jakarta Dibandingkan dengan Total Penerimaan Pajak Daerah selama Periode
2012-2017
Tahun Anggaran
|
Penerimaan Pajak Hotel (dalam
satuan Rupiah)
|
Total Penerimaan Pajak Daerah 13
Jenis Pajak Daerah[8]
(dalam satuan Rupiah)
|
Persentase Pajak Hotel terhadap
Total Penerimaan Pajak Daerah
|
APBD 2017
|
2,80 Triliun
|
35,23 Triliun
|
7,95 %
|
APBD-P
2016
|
2,60 Triliun
|
33,10 Triliun
|
7,85 %
|
Realisasi
2015
|
1,27 Triliun
|
29,07 Triliun
|
4,37 %
|
Realisasi
2014
|
1,38 Triliun
|
27,05 Tiliun
|
5,10 %
|
Realisasi
2013
|
1,17 Triliun
|
23, 37 Triliun
|
5,006 %
|
Realisasi
2012
|
1,02 Triliun
|
17,72 Triliun
|
5,76 %
|
Sumber:
Bappeda Provinsi DKI Jakarta, Informasi
APBD 2017.
Walaupun
persentase pajak hotel terhadap total penerimaan pajak daerah di DKI Jakarta di
bawah 8 %, namun potensi penerimaan pajak daerah yang tinggi dari perkembangan
kegiatan pengusahaan rumah kos perlu direspon secara positif oleh Pemerintah
Daerah melalui pengaturan secara jelas melalui perundang-undangan sehingga menciptakan
kepastian hukum. Dasar hukum pemungutan pajak hotel atas rumah kos yang berlaku
saat ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya UU PDRD).
Di dalam pasal 32, ayat (1) menyebutkan:
“Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang
disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang[9] sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan
kemudahan dan kenyamanan termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.”
Namun,
tidak termasuk objek Pajak Hotel adalah jasa sewa apartemen, kondominium, dan
sejenisnya (UU PDRD Pasal 32 ayat (3) huruf b). Dalam ketentuan penjelasan,
pengecualian apartemen, kondominium, dan sejenisnya didasarkan atas izin
usahanya.
Pajak
Hotel merupakan jenis pajak daerah yang pengelolaannya dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Tingkat Dua (Kabupaten/Kota). Namun, sesuai pasal 2 ayat (5)
UU PDRD, menyatakan khusus untuk Daerah yang setingkat dengan daerah Provinsi,
tetapi tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, seperti DKI Jakarta,
jenis Pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk daerah
provinsi dan Pajak untuk daerah kabupaten/kota.
Pemungutan
Pajak Hotel diatur lebih lanjut oleh Peraturan Daerah. Berdasarkan Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak
Hotel, pasal 1 angka 10, termasuk definisi hotel adalah rumah kos dengan jumlah
kamar lebih dari sepuluh.
Penelitian
ini bertujuan untuk melakukan tinjauan kritis terhadap kebijakan pengenaan
pajak hotel atas rumah kos dengan melihat fakta adanya perluasan usaha rumah
kos yang dikembangkan dari perizinan bisnis apartemen. Analisis tersebut
dituangkan dalam makalah yang berjudul “Analisis Tinjauan Kritis Perbandingan
Perlakuan Pajak atas Sewa Rumah Kos dan Sewa Apartemen di Jakarta Kaitannya
dengan Desentralisasi Fiskal”.
2. Permasalahan
Melihat
peraturan mengenai pajak hotel yang berlaku saat ini, dinilai belum mampu
mengakomodir perkembangan dunia usaha rumah kos-kosan yang sudah semakin
meluas. Isu perpajakan akan muncul seiring dengan perkembangan bentuk-bentuk
usaha apartemen yang difungsikan layaknya rumah kos. Sehingga, kadangkala tidak
ada perbedaan antara apartemen yang disewakan secara harian, mingguan, bulanan
dengan rumah kos. Keduanya sama-sama menyediakan fasilitas tempat tinggal,
berupa menyerahkan jasa sewa kamar.
Pemajakan
apartemen dan rumah kos selalu dijawab dengan argumen bahwa Pajak Daerah parallel dengan pemungutan terhadap
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1983 j.o. diubah terakhir Perubahan Ketiga dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
(selanjutnya ditulis UU PPN), Pasal 4, ayat (1), huruf c, menyebutkan:
“Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan
atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean[10] yang dilakukan oleh pengusaha.”
Selanjutnya,
UU PPN, Pasal 4A ayat (3), huruf l, mengelompokkan jenis jasa perhotelan
sebagai jasa tertentu yang tidak dikenai PPN. Dalam penjelasannya, jasa perhotelan meliputi jasa penyewaan
kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen,
hostel, serta fasilitas terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang
menginap dan jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di
hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel. Walaupun jasa perhotelan
dikecualikan dari jasa kena PPN, namun dikenakan pajak daerah berupa pajak
hotel. Hal ini dibuat untuk menghindari adanya double taxation.
Kegiatan
menyewakan kamar apartemen, berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku,
tidak termasuk objek pajak hotel karena berdasarkan izin usahanya merupakan
apartemen (UU PDRD Pasal 32). Namun, definisi jasa perhotelan yang dikecualikan
sebagai penyerahan Jasa Kena Pajak yang tetuang di dalam UU PPN, yaitu “jasa
hotel meliputi jasa penyewaan kamar”. Kiranya, peraturan tersebut rentan
terjadi tax controvercy antara pelaku
usaha dengan fiskus (pemungut pajak daerah). Jika melihat prinsip pajak subtance over the form, sewa kamar
apartemen (khususnya sewa harian) adalah penyewaan kamar yang dapat dikategorikan
sebagai jasa hotel. Namun, hal ini sangat kuat dibantah oleh Wajib Pajak bahwa
berdasarkan izin usahanya adalah izin usaha apartemen, sehingga dikecualikan
dari pajak hotel. Permasalahan ini terinspirasi dari pemaparan salah satu
pegawai di Badan Pajak dan Retribusi Daerah DKI Jakarta dalam paparan
presentasinya pada Jumat, 24 November 2017, Mata Kuliah Laboratorium
Perpajakan, mengemukakan bahwa diwacanakan akan mengenakan pajak hotel atas
apartemen.
Apartemen
tidak dipungut pajak hotel karena dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sedangkan rumah kos dikenakan pajak hotel dan dikecualikan dari objek PPN. Hal
ini merupakan upaya Pemerintah Pusat memberikan local taxing power kepada Pemerintah Daerah untuk menggali potensi
pajak daerah untuk mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga
penyelenggaraan otonomi daerah dapat berjalan efektif diikuti dengan
desentralisasi fiskal.
Walaupun
karakteristik PPN dan Pajak Daerah dapat dikatakan parallel. Namun, apakah dapat dikatakan netral ketika PPN
memperkenankan adanya pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran untuk
menghitung besaran pajak terhutang bagi Pengusaha Kena Pajak, sedangkan dalam
ketentuan Pajak Hotel tidak diatur mekanisme pengkreditan dalam menghitung
besaran nilai pajak hotel terutang bagi pengusaha rumah kos. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 j.o. Perubahan Keempat dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan (yang selanjutnya disebut UU PPh), Pasal 9, ayat
(1) huruf h, hanya menyebutkan bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh
dikurangkan Pajak Penghasilan. Artinya, karena tidak disebutkan Pajak Daerah
dalam pasal tersebut sebagai biaya yang dikecualikan sebagai pengurang, maka
Pajak Daerah yang dibayarkan oleh Pengusaha Rumah Kos boleh dikurangkan dari
Penghasilan Kena Pajak untuk menghitung PPh Badan. Namun, mengingat
penghitungan pajak penghasilan untuk kegiatan usaha rumah kos dikenakan PPh
final, sebagaimana disebutkan dalam UU PPh Pasal 4 ayat (2) huruf d, bahwa
penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate,
dan persewaan tanah dan bangunan dikenakan pajak bersifat final, maka
berpotensi menimbulkan isu ketidaknetralan. Ketidaknetralan tersebut muncul
sebagai akibat adanya distorsi. Apabila Pengusaha Rumah kos tidak diberikan
fasilitas berupa mekanisme pengkreditan, sebagaimana pengenaan PPN pada
pengusaha apartemen, maka berdampak memicu upaya penghindaran pajak dari para
pengusaha rumah kos, baik dalam bentuk membuat skema sedemikian rupa sehingga
pengusaha rumah kos dapat dikecualikan dari pengenaan pajak hotel atau
pengusaha rumah kos akan beralih investasi ke usaha apartemen. Alhasil, Pemerintah
Daerah akan kehilangan potensi penerimaan pajak daerah dari usaha rumah kos.
Berdasarkan
rumusan masalah tersebut, peneliti bermasksud melakukan tinjauan kritis
terhadap kebijakan pengenaan pajak hotel atas rumah kos dengan melihat fakta
adanya perluasan usaha rumah kos yang dikembangkan dari perizinan bisnis
apartemen. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:
1) Bagaimana
analisis tinjauan kritis perbandingan perlakuan pajak atas sewa rumah kos dan
sewa apartemen di Jakarta kaitannya dengan desentralisasi fiskal?
3. Teori
3.1. Indirect Consumption-Based Taxation
Ben
Terra[11]
mencontohkan pajak penjualan sebagai general
indirect consumption-based taxation, yaitu pajak tidak langsung atas
konsumsi yang bersifat umum.
Dari
definisi tersebut, terdapat tiga unsur yang merupakan legal character dari indirect
consumption-based taxation, yaitu general,
indirect, dan on consumption.
a. General
Pajak
penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum. Artinya, pajak
penjualan dikenakan terhadap semua barang. Pajak penjualan ditujukan pada semua
private expenditure. Sebagai
konsekuensinya, maka tidak boleh ada diskriminasi atau pembedaan antara barang
dan jasa, karena keduanya merupakan pengeluaran.
b. Indirect
Pajak
penjualan merupakan pajak tidak langsung, karena itu beban pajaknya dapat
dialihkan, baik dalam bentuk forward
shifting (dibebankan kepada konsumen)
maupun backward shifting (dibebankan
kepada penjual dengan cara mengurangi keuntungan dan/atau melakukan efisiensi).
c. On Consumption
Pajak
penjualan merupakan pajak atas konsumsi, tanpa membedakan apakah konsumsi
tersebut digunakan/habis sekaligus ataupun digunakan/habis secara
bertahap/berangsur-angsur. Karena itu, semua barang seharusnya menjadi objek pajak
penjualan, tanpa membedakan apakah barang tersebut merupakan barang bergerak
maupun barang tidak bergerak.
Karena pajak penjualan merupakan
pajak yang dikenakan terhadap semua konsumsi barang dan jasa, maka terdapat dua
sistem pemungutan yang dapat diterapkan. Menurut Terra, kedua sistem tersebut
yaitu single-stage levies dan multiple-stage levies.[12]
a. Single Stage Levies
Sistem
single stage levies merupakan
pengenaan pajak penjualan yang hanya dikenakan sekali (single). Terdapat tiga alternatif untuk menerapkan sistem
pemungutan single ini, yaitu: (1) a manufacturer’s tax: pajak dikenakan
atas penjualan oleh produsen pada jalur produksi, pada produk terakhir atau
pada semua penjualan barang-barang yang dibuat dalam pabrik; (2) a wholesale tax: pajak dikenakan atas
penjualan kepada penjual-penjual eceran atau konsumen oleh produsen, pedagang
besar, grosiran, penyalur, importir; (3) a
retail stage: pajak dikenakan atas penjualan terakhir secara eceran kepada
konsumen. Terra menjelaskan bahwa yang dimaksud retail sales tax bukan hanya mencakup penjual eceran, tetapi semua
transaksi yang berhubungan langsung dengan pembeli akhir. Jadi, bisa saja pajak
ini dikenakan pada pabrikan atau penyalur, jika mereka menjual langsung pada konsumen.
b. Multi-stage levies
Sistem
multi-stage levies merupakan
pengenaan pajak penjualan atas suatu barang atau jasa yang dikenakan pada
beberapa tingkat dari produksi dan distribusi. Terra mengemukakan, terdapat dua
cara dalam sistem pemungutan multi-stage
levies, yaitu: (1) cummulative
cascade system: pajak yang dipungut pada tingkat peredaran barang pada
jalur produksi dan distribusi tanpa adanya penyesuaian (adjustment) terhadap pajak yang telah dibayar pada jalur
sebelumnya. Pajak ini dipungut pada tiap kali ada pemindahan barang pada jalur
berikutnya. Karena tidak ada kredit pajak, maka beban pajak menjadi berlipat
ganda (kumulatif) melebihi tarif yang sebenarnya berlaku untuk peredaran barang
tersebut; (2) non-cummulative system
(value added): pajak dipungut beberapa kali pada semua mata rantai jalur
produksi dan distribusi, namun hanya pada pertambahan nilainya saja.
Haula
Rosdiana menyatakan bahwa pada dasarnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan
pajak penjualan yang dipungut atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua
jalur produksi dan distribusi. Yang dimaksud dengan nilai tambah adalah semua
faktor produksi yang timbul di setiap jalur peredaran suatu barang seperti
bunga, sewa, upah kerja, termasuk semua biaya untuk mendapatkan laba.[13]
Smith menjelaskan, pertambahan nilai tersebut timbul karena dipakainya faktor
produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan,
menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada
para konsumen, juga semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba
termasuk bunga modal, sewa, penyusutan dan upah kerja. Jika perusahaan
mengurangkan pengeluaran modalnya, maka yang tersisa hanyalah nilai output barang konsumen saja.[14]
Sehingga
karakteristik PPN sama dengan pajak penjualan, yaitu pajak yang dikenakan atas
konsumsi (on consumption).
3.2. Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization)
James
Edwin Kee (2013:3) mendefinisikan desentralisasi fiskal merupakan penyerahan
kewenangan (devolusi) mengenai fungsi atau urusan tertentu yang disertai dengan
penyerahan kewenangan administratif dan keleluasaan pengelolaan pendapatan
fiskal oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
“Fiscal
decentralization is the devolution by the central government to local
governments (states, regions, municipalities) of specific functions with the
administrative authority and fiscal revenue to perform those functions (Kee,
2013:3). [15]
Adapun
ruang lingkup devolusi
(devolution) menurut Stacey White (2011:2) dalam Government
Decentralization in The 21st Century (A Literature Review)[16] merupakan proses penyerahan
kewenangan mengenai urusan pengambilan keputusan, keuangan, dan
pengelolaan administrasi oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah quasi-autonomous.
Sehingga, devolusi disebut sebagai bentuk sempurna dari desentralisasi. Dalam
arti bahwa devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang paling luas.
Kee
menekankan bahwa penyerahan fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat ke
daerah harus diikuti dengan penyerahan kapasitas fiskal untuk menggali
pendanaan (keuangan) untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi tersebut.
3.3. Pajak Daerah
3.3.1. Karakteristik Pajak Daerah
Secara prinsip, menurut Richard
M. Bird, pajak
daerah dapat dijelaskan sebagai pajak yang memenuhi lima kondisi yang berbeda
yaitu (1) Pemerintah daerah dapat memutuskan apakah akan memungut atau tidak,
(2) Pemerintah daerah juga dapat menentukan dasar yang tepat untuk dikenakan
pajak, (3) Pemerintah dapat memutuskan berapa persen pajak yang dikenakan, (4)
Pemerintah mengelola pajak (menilai, mengumpulkan, dan memaksa), (5) Pemerintah
mengelola pendapatan yang diperoleh.[17]
3.3.2. Kriteria Pajak Daerah
Menurut
Nick Devas, terdapat 5 kriteria untuk menilai kelayakan pajak daerah, meliputi
indikator hasil yang memadai (yield), keadilan (quity), efisiensi
ekonomi (economic efficiency), kemampuan untuk diimplementasikan (ability
to implement), dan kecocokan atau kelayakan atau baik tidaknya sebagai
pajak daerah (suitability as a local revenue source).[18]
3.3.2.1. Yield:
Indikator
hasil (yield) digunakan untuk menilai bahwa hasil pajak harus memadai
dalam kaitannya dengan fungsi yang seharusnya dibiayai; stabil dan dapat
diprediksi; elastis terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk, dan peningkatan
ekspektasi masyarkat; serta proporsi imbal hasil pajak yang digunakan untuk
menutup biaya pemungutan pajak sebaiknya diminimalkan.
3.3.2.2. Equity
Indikator
keadilan (equity) digunakan untuk menilai bahwa penentuan dasar
pemajakan untuk menghitung pajak terhutang harus jelas dan tidak
sewenang-wenang. Dasar pemajakan harus mencerminkan keadilan horizontal
(kondisi yang sama akan dikenakan beban pajak yang sama) dan keadilan vertikal
(sumber ekonomi yang lebih besar harus memberikan kontribusi lebih banyak
daripada mereka yang kurang), dan adil secara geografis (tidak menunjukkan
perbedaan yang kentara antar daerah dalam mengenakan beban pajak).
3.3.2.3. Economic Efficiency
Indikator
economic efficiency digunakan untuk menilai bahwa pajak harus mendorong
alokasi sumber daya yang efisien dalam perekonomian, menghindarkan pilihan
konsumen dan produsen yang distortif atau menghindarkan pilihan yang dapat
mengurangi minat seseorang untuk bekerja atau menabung, dan meminimalkan
kelebihan beban pajak. Lebih lanjut, dalam “The Encyclopedia Americana”[19],
prinsip economic efficiency
dimasukkan dalam satu asas yaitu the
administrative principles, yang di dalamnya juga termasuk asas certainty sebagai satu-kesatuan sebagai criteria of administration and compliance (kriteria
kemudahan administrasi dan kepatuhan). Asas certainty
(kepastian) menyatakan bahwa:
“The laws and
regulations must be comprehensible to the taxpayer, they must be unambiguous
and certain, both to the taxpayer and to the tax administrator.”[20]
Asas
kepastian antara lain mencakup kepastian mengenai siapa-siapa yang harus
dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, serta
besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang
terhutang itu harus dibayar. Kepastian prosedur mengenai pemenuhan kewajiban
perpajakan juga harus jelas, meliputi prosedur pembayaran dan pelaporan serta
pelaksanaan hak-hak perpajakannya. Sommerfold[21]
menegaskan bahwa untuk meningkatkan kepastian hukum perlu disediakan petunjuk
pemungutan pajak yang terperinci, advanced
rulings, maupun interpretasi hukum lainnya. Terkait dengan asas kepastian
hukum, Haula Rosdiana mengusulkan, agar tidak terjadi policy gap, maka dalam mendesain kebijakan sistem perpajakan,
hendaknya pertimbangan dilakukan secara komprehensif, bukan hanya memerhatikan
aspek makro, tetapi juga mikronya. Lebih lanjut, Haula Rosdiana mengungkapkan
bahwa kebijakan harus bisa diejawantahkan dalam peraturan pelaksana yang lebih
selaras dengan asas ease of
administration.[22]
3.3.2.4. Ability to Implement
Indikator
ability to implement digunakan untuk menilai bahwa pajak sebaiknya dapat
diterapkan secara efektif. Dalam arti penerapan pajak daerah dapat diterima
secara politis dan sesuai kapasitasnya secara administratif.
3.3.2.5. Suitability as a local revenue source
Indikator
suitability as a local revenue source digunakan untuk menilai bahwa hal
ini mengharuskan kejelasan ke wilayah mana pembayaran pajak harus dilakukan,
dan bahwa pendapatan pajak yang diterima sama dengan pajak yang terakhir kali
dibayarkan oleh wajib pajak; pajak tidak dapat dengan mudah dihindari dengan
menggeser objek pajak dari satu wilayah ke wilayah lainnya; pajak daerah seharusnya
tidak terlalu memperkuat perbedaan potensi ekonomi antar daerah; dan pajak
daerah seharusnya tidak menimbulkan tegangan yang tidak semestinya pada
kapasitas administratif daerah yang terbatas.
4. Pembahasan
4.1. Memahami Substansi Pajak atas Sewa Apartemen dan Rumah Kos
Ketentuan
perundang-undangan perpajakan di Indonesia secara eksplisit mengarakterisasi
apartemen dan rumah kos secara berbeda. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 32, ayat (3) huruf b UU PDRD
yang menyebutkan bahwa tidak termasuk
objek Pajak Hotel adalah jasa sewa apartemen.
Objek
pajak hotel itu sendiri, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel, pasal 1
angka 10, termasuk definisi hotel adalah rumah kos dengan jumlah kamar lebih
dari sepuluh.
Untuk
dapat memahami perlakuan pajak atas pemanfaatan apartemen dan rumah kos,
peneliti menggunakan teori consumption-based
taxation. Sebagaimana teori tersebut diadopsi dari Ben Terra yang
mencontohkannya dengan pajak penjualan.
Pajak
penjualan dapat digunakan untuk menjelaskan transaksi yang dilakukan oleh
Pemilik Rumah Kos dan Pemilik Apartemen (yang selanjutnya disebut Pengusaha)
yang menyewakan kamar kepada pelanggan (yang selanjutnya disebut Penyewa).
Sehingga, dapat dikatakan bahwa Pengusaha menjual jasa, berupa jasa sewa kamar.
Atas penjualan jasa tersebut maka penyewa akan menerima manfaat berupa hak
untuk menggunakan fasilitas kamar tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
Penyewa melakukan kegiatan untuk mengurangi nilai guna suatu barang atau yang
disebut sebagai kegiatan konsumsi. Sedangkan, Pengusaha akan melakukan kegiatan
menambah nilai guna suatu barang atau yang disebut kegiatan produksi. Pengusaha
akan mengeluarkan berbagai macam cost, seperti
membeli tanah apabila Pengusaha belum memiliki tanah untuk dibangun kamar yang
nantinya akan disewakan, membeli material-material untuk untuk membangun
kamar-kamar, menyewa kamar untuk kemudian disewakan kembali (seperti sewa
apartemen untuk disewakan kembali), membeli accesoris
kamar (seperti cat, instalasi listrik, almari, meja, tempat tidur, kursi),
biaya tenaga kerja, biaya administrasi (seperti perizinan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB), izin usaha, administrasi perpajakan).
Karena
pajak penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum dan ditujukan
pada semua private expenditure, maka
masuk akal ketika penyerahan jasa berupa sewa-menyewa kamar dikenakan pajak
penjualan. Pajak penjualan merupakan pajak tidak langsung, karena itu beban
pajak dalam hal kegiatan sewa rumah kos dan/atau sewa apartemen dibebankan kepada konsumen atau pihak yang
menyewa (forward shifting).
Dalam
konteks peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, pajak penjualan
dikenal dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Artinya, sistem pemungutan pajak
penjualan yang diterapkan di Indonesia menggunakan sistem multi-stage levies non-cummulative system (value added). Pajak
dipungut beberapa kali pada semua mata rantai jalur produksi dan distribusi,
namun hanya pada pertambahan nilainya saja. Dalam hal ini, Pengusaha dipungut
PPN atas pembelian barang-barang yang digunakan untuk menambah nilai guna
produknya. Konsekuensi logis dari multi-stage
levies adalah timbulnya cascading
effect berupa pemajakan ganda. Oleh karena itu, untuk menghitung PPN
terhutang bagi Wajib Pajak diberlakukan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan (input) terhadap Pajak Keluaran (output). Pajak Masukan muncul ketika
Pengusaha harus menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan
pelayanan jasanya kepada para konsumen. Sedangkan Pajak Keluaran muncul ketika
Pengusaha menyerahkan jasa kena pajak kepada konsumen.
4.2. Pajak Hotel atas Sewa Rumah Kos dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Dasar
konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), membagi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) terdiri atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang (Pasal 18 ayat (1) UUD
1945). Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
(Pasal 18 ayat (2) UUD 1945). Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintahan Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945). Susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang (Pasal 18 ayat
(7) UUD 1945).
Menimbang
sesuai dengan pasal 18 ayat (7) UUD 1945, maka dibentuk Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU Pemerintahan
Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraaan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan
daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
dan kekhasan suatu daerah dalam sistem NKRI. Selain itu, demi terselenggaranya
pemerintahan daerah yang efektif dan efisien perlu ditingkatkan dengan lebih
memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan
antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan
persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 menggantikan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Pemerintahan Daerah
mengatur ketentuan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (UU Nomor
23 Tahun 2014 Pasal 5 ayat (4)).
Asas
desentralisasi sebagaimana didefinisikan menurut ketentuan umum pasal 1 UU
Pemerintahan Daerah adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat
kepada Daerah Otonom berdasarkan asas otonomi.
Asas
otonomi itu sendiri diartikan sebagai prinsip dasar penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah berdasarkan otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem NKRI.
Asas
dekonsentrasi menurut Ketentuan Umum Undang-Undang Pemerintahan Daerah
didefiniskan sebagai pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat,
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan
bupati/wali kota sebagai penanggungjawab urusan pemerintahan umum. Instansi
vertikal adalah perangkat kementerian dan/atau lembaga pemerintah
nonkementerian yang mengurus urusan pemerintahan yang tidak diserahkan kepada
daerah otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka dekonsentrasi.
Tugas
pembantuan menurut Ketentuan Umum Undang-Undang Pemerintahan Daerah adalah
penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan
sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari
pemerintah daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan
sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi.
Daerah
otonom didefinisikan merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
Penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Indonesia berdasarkan asas desentralisasi memberikan
kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah. Pemerintah daerah diberikan hak
dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah. Sehingga urusan tertentu yang
telah diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah kemudian
sepenuhnya menjadi urusan rumah tangga daerah yang bersangkutan dan tidak lagi
menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Pembagian
fungsi antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut membawa
konsekuensi keuangan berupa hubungan keuangan pusat dan daerah. Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara
adil dan selaras berdasarkan undang-undang (Pasal 18A ayat (2) UUD 1945).
Prinsip
umum hubungan keuangan pemerintah pusat dengan daerah diatur dalam UU Nomor 23
Tahun 2014 pasal 279. Pemerintah pusat memiliki hubungan dengan daerah untuk
membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau
ditugaskan kepada Daerah. Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah tersebut, meliputi: (a) Pemberian
sumber penerimaan Daerah berupa pajak daerah dan retribusi daerah; (b)
Pemberian dana bersumber dari perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah; (c) Pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus untuk Pemerintahan
Daerah tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang; dan (d) pemberian pinjaman
dan/atau hibah, dana darurat, dan insentif (fiskal).
Pemberian
sumber penerimaan Daerah berupa pajak Daerah salah satunya adalah tercermin
dalam ketentuan UU PPN yang mengecualikan jasa hotel dari jasa yang
dikenai PPN yang dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak
berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah berupa pajak
hotel.
Jasa
hotel tersebut diperluas oleh Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel, pasal 1 angka 10, termasuk
definisi hotel adalah rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh.
Penyerahan
wewenang pemajakan atas penyerahan jasa hotel sebagai Pajak Daerah merupakan
bentuk penyerahan kewenangan administratif dan keleluasaan pengelolaan pendapatan
fiskal oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Hal
tersebut merupakan wujud desentralisasi fiskal. Pemerintah pusat menyerahkan
kewenangan (mendevolusikan) fungsi atau urusan pemerintahan sehingga pemerintah
daerah dapat menyelenggarakan pengambilan keputusan, diberikan sumber
keuangan, dan kewenangan dalam pengelolaan administrasi kepada pemerintah
daerah quasi-autonomous.
Penyerahan
fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat ke daerah yang diikuti dengan
penyerahan kapasitas fiskal untuk menggali pendanaan (keuangan) untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi tersebut melalui kebijakan desentralisasi fiskal
(fiscal decentralization) mendukung Pemerintah Daerah untuk dapat
menghimpun pajak daerah dan retribusi daerah, khususnya pajak hotel atas
kegiatan usaha sewa rumah kos yang memenuhi ketentuan jumlah kamar lebih dari
sepuluh pintu.
4.3. Analisis Kegiatan Sewa Rumah Kos untuk Dikenakan Pajak Daerah
Ketika kegiatan sewa-menyewa rumah
kos dikategorikan sebagai kegiatan penyerahan jasa tertentu yang dikategorikan
dalam pajak hotel sehingga dikecualikan dari pengenaan pajak PPN, yang perlu
dilihat adalah menganalisis karakteristik transaksi tersebut untuk dapat
dikelompokkan sebagai pajak daerah. Sebagaimana menurut Richard
M. Bird, bahwa pajak
daerah dapat dijelaskan sebagai pajak yang memenuhi lima kondisi yang berbeda
yaitu (1) Pemerintah daerah dapat memutuskan apakah akan memungut atau tidak,
(2) Pemerintah daerah juga dapat menentukan dasar yang tepat untuk dikenakan
pajak, (3) Pemerintah dapat memutuskan berapa persen pajak yang dikenakan, (4)
Pemerintah mengelola pajak (menilai, mengumpulkan, dan memaksa), (5) Pemerintah
mengelola pendapatan yang diperoleh
Berdasarkan karakteristik pajak
daerah menurut Bird, UU PPN pasal 4A ayat (3) huruf l yang mengecualikan
penyerahan jasa hotel dari pengenaan PPN dimaksudkan untuk mengarakterisasi
penyerahan jasa hotel sebagai pajak daerah. Pemerintah Daerah kemudian
diberikan kewenangan untuk memutuskan apa-apa saja yang dikategorikan sebagai
jasa hotel. Kemudian, melalui Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor
11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel, pasal 1 angka 10, Pemerintah daerah secara eksplisit
memutuskan definisi hotel adalah termasuk rumah kos dengan
jumlah kamar lebih dari sepuluh. Pemerintah Daerah juga diberikan kewenangan
untuk memutuskan dasar pengenaan pajak dan persentase pajak yang dikenakan.
Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar kepada Hotel dan tarif pajak hotel ditetapkan sebesar 10% (Pasal 6 dan 7 Perda DKI Jakarta Nomor 11
Tahun 2010). Kewenangan menetapkan dasar pengenaan pajak dan tarif pajak
sebenarnya tidak secara murni ditentukan oleh oleh Pemerintah Daerah.
Pemerintah Pusat melalui UU PDRD telah menentukan dasar pengenaan pajak hotel
dan memberikan batasan bahwa tarif pajak hotel ditetapkan paling tinggi sebesar
10% (UU PDRD Pasal 34 dan 35). Artinya, Pemerintah Daerah dalam menetapkan
dasar pengenaan pajak dan tarif pajak hotel dibatasi oleh peraturan yang lebih
tinggi yang diatur oleh Pemerintah Pusat. Walaupun Pemerintah memberikan
batasan-batasan tertentu, namun pengumpulan dan pengelolaan pendapatan pajak
hotel dilakukan sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, pendapatan
pajak hotel atas rumah kos sepenuhnya menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah
Provinsi DKI Jakarta.
Dalam
implementasi di lapangan, kelima karakteristik pajak daerah menurut Bird tidak
selalu terpenuhi semua karakteristik tersebut pada setiap jenis pajak daerah.
Walaupun dalam pemungutan pajak hotel tidak terpenuhi karakteristik bahwa
Pemerintah Daerah dapat memutuskan dasar pengenaan pajak dan tarif, namun pajak
tersebut tetap dapat dikategorikan sebagai pajak daerah.
Serupa dengan hasil riset Richard M.
Bird, pada kenyataanya, beberapa pajak daerah memiliki satu atau dua
karakteristik saja dari lima kondisi yang sudah disebutkan sebelumnya. Artinya,
tidak semua kondisi selalu ada dalam setiap bentuk pajak daerah yang dipungut.
Misalnya di Argentina, meskipun terdapat pengalihan beberapa pajak pusat ke
provinsi, tingkat persentase pengenaan pajak dan dasar pengenaan pajaknya
ditentukan oleh pemerintah pusat yang juga menilai dan memungut pajak yang
dialihkan ke provinsi tersebut.[23]
Kelayakan sewa jasa rumah kos untuk
dikenakan pajak daerah dapat dinilai menggunakan indikator-indikator yang
peneliti adopsi dari Nick Devas. Indikator-indikator tersebut yaitu indikator
hasil yang memadai (yield), keadilan (quity), efisiensi ekonomi (economic
efficiency), kemampuan untuk diimplementasikan (ability to implement),
dan kecocokan atau kelayakan atau baik tidaknya sebagai pajak daerah (suitability
as a local revenue source)
4.3.1. Penilaian Menggunakan Indikator Yield:
Potensi
PAD Jakarta dari sektor Sumber Daya Alam kecil, oleh karena itu, penerimaan
pajak daerah didorong untuk diekstensifikasi dan digali seoptimal mungkin.
Sebagai pusat Ibukota Negara Indonesia, Jakarta identik dengan kota
metropolitan. Hal ini sangat potensial bagi Pemerintah Daerah Provinsi DKI
Jakarta untuk menggali potensi penerimaan pajak daerah dari sektor jasa, salah
satunya adalah pendapatan pajak hotel. Potensi ini sangat relevan dengan
tingginya jumlah orang yang beraktivitas di Jakarta, yang mana pada tahun 2016
tercatat sejumlah 14,5 juta orang yang beraktivitas di Jakarta pada siang hari.
Selain itu, penambahan populasi penduduk sekitar 300.000 jiwa dalam waktu empat
tahun (2012-2016) yang apabila dirata-ratakan, ada sekitar 75.000 pendatang
baru menjadi warga Jakarta setiap tahunnya.
Apabila
diilustrasikan dalam angka, dengan asumsi setiap tahun terdapat 75.000
pendatang baru ke Jakarta, maka kebutuhan tempat tinggal baru adalah sebanding
dengan jumlah penambahan kuantitas, yaitu 75.000 unit. Apabila diasumsikan
setiap pendatang baru akan menyewa rumah kos sebagai tempat tinggal untuk
selama setahun, dengan harga sewa rumah kos per bulan adalah Rp 800.000,-, maka
potensi penerimaan pajak hotel yang dapat dipungut dari kegiatan usaha rumah
kos tersebut adalah Rp 6.000.000.000 per bulan ({10% x Rp 800.000,-} x
75.000}). Apabila dihitung dalam setahun, maka potensi penerimaan pajak hotel
adalah Rp 72.000.000.000,-. Potensi tersebut lebih besar dari penerimaan
pajak atas rumah kos di DKI Jakarta pada periode Agustus 2012 yang hanya
sebesar Rp 4,7 miliar atau rata-rata Rp 588 juta per bulan.
Potensi
peningkatan penerimaan PAD dari sektor pajak ini dipandang optimis mengingat
sifat pengenaan pajak hotel atas sewa rumah kos tersebut bersifat stabil dan
dapat diprediksi karena menggunakan penetapan tarif yang bersifat advalorem,
yaitu dengan cara menetapkan tarif pajak sebesar angka persentase tertentu dari
nilai objek pajak. Tarif yang bersifat advalorem tersebut cenderung
bersifat elastis terhadap inflasi karena pendapatan pajak daerah yang bersumber
dari pajak hotel tersebut yang tarifnya ditetapkan 10% akan secara otomatis
mengalami kenaikan sebanding dengan kenaikan nilai sewa rumah kos yang harus
dibayar oleh pelanggan. Sehingga apabila suatu ketika nilai sewa rumah kos
adalah sebesar Rp 800.000 misalnya, maka besarnya pajak yang akan diterima
Pemerintah Daerah adalah sebesar Rp 80.000. Apabila sewa tersebut meningkat
menjadi Rp 1.000.000 maka nilai pajak yang akan diterima oleh Pemerintah Daerah
juga akan meningkat menjadi Rp 100.000. Sehingga pendapatan dari sektor pajak
daerah ini cukup besar dan memadai karena bersifat elastis terhadap inflasi.
Selain itu, pertambahan jumlah penduduk di DKI Jakarta cenderung akan diikuti
dengan peningkatan permintaan hunian. Permintaan yang tinggi akan diikuti oleh
Pengusaha rumah kos untuk menambah unit kamar. Pemerintah Daerah akan
diuntungkan dengan penambahan basis pemajakan baru dari setiap tambahan unit. Sehingga
pertambahan jumlah penduduk cenderung akan diikuti bertambahnya jumlah wajib
pajak ataupun objek pajak. Hal ini akan membawa implikasi positif pada semakin
meningkatnya pendapatan dari pajak hotel.
4.3.2. Penilaian Menggunakan Indikator Equity
Pengenaan
pajak daerah pada sewa rumah kos dilihat menurut indikator keadilan (equity)
dapat dijelaskan bahwa setidaknya dasar pemajakan untuk menghitung pajak
terhutang sudah diatur secara jelas dan tidak sewenang-wenang, menggunakan
dasar pengenaan pajak hotel berupa jumlah pembayaran yang diterima atau yang
seharusnya diterima pengusaha rumah kos. Sehingga hal ini dapat mencerminkan
adanya keadilan horizontal (kondisi yang sama akan dikenakan beban pajak yang
sama). Namun, penerapan tarif tunggal (flat rate) tidak menunjukkan
terjadinya keadilan vertikal karena tidak mengindahkan bahwa yang memiliki
sumber ekonomi yang lebih besar harus memberikan kontribusi lebih banyak
daripada mereka yang kurang. Sebagaimana harga sewa rumah kos yang beragam. Berdasarkan
hasil pencarian informasi melalui aplikasi Mamikos,
diperoleh informasi harga sewa kos-kosan ditawarkan dari mulai harga Rp
500.000 hingga Rp 50.000.000. Setiap harga yang ditawarkan menyesuaikan
fasilitas yang diberikan oleh pihak Pemilik Rumah Kos. Tercapainya keadilan
vertikal dalam pemungutan pajak hotel atas rumah kos cenderung sulit karena tidak
mudah untuk dapat membedakan subjek pajak berdasarkan kepemilikan sumber
ekonomi karena pemajakan ini berdasarkan atas konsumsi (on consumption)
oleh penyewa. Kalau pun akan diterapkan pemungutan pajak hotel dengan
mengadopsi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), rumah kos mewah akan
dikenakan tarif pajak hotel lebih tinggi, kiranya pengadopsian tersebut kurang
tepat karena tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok setiap manusia. Sehingga,
kemudian dapat dikritisi, karena sifat pajak hotel identik dengan PPN, maka
dapat digunakan ekualisasi antara PPN dan Pajak Hotel atas rumah kos, ketika di
dalam UU PPN diatur ketentuan jenis barang tertentu yang tidak dikenai PPN,
yang salah satunya adalah barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh
rakyat banyak (UU PPN Pasal 4A ayat 2 huruf b), maka peraturan ini pun juga
seharusnya paralel dengan jasa sewa rumah kos untuk tidak dikenakan pajak
hotel. Walaupun ketentuan pemungutan pajak hotel atas rumah kos memberikan treshold, bahwa yang dikenakan pajak
hotel atas rumah kos hanya pemilik rumah kos yang memiliki kamar lebih dari 10
(sepuluh) pintu, namun, ketentuan ini tidak mengakomodir sama sekali substansi maksud
“pengecualian barang kebutuhan pokok” bagi konsumen sebagaimana dimaksud dalam
UU PPN. Penerapan treshhold yang
berlaku pada pemungutan pajak hotel atas rumah kos tersebut sebenarnya untuk
menciptakan keadilan vertikal untuk menghitung penghasilan yang dapat dipajaki
bagi Pemilik Rumah Kos. Dalam penetapan pasal tersebut, peneliti menilai
terdapat inkonsistensi maksud penyisipan pasal dalam peraturan daerah, yang
mana substansi utama Perda DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang pajak hotel
adalah mengatur tentang pajak atas konsumsi, namun dimasukkan unsur pajak lain
berupa Pajak Penghasilan yang termuat dalam penetapan treshhold. Apabila basic-nya
adalah konsumsi, seharusnya tidak terdapat treshhold
sebagaimana legal character pajak
penjualan adalah general dan on consumption. Sedangkan penetapan
tarif pajak hotel yang ditetapkan paling tinggi sebesar 10% setidaknya dapat
dikatakan sebagai upaya menciptakan keadilan secara geografis (tidak
menunjukkan perbedaan yang kentara antar daerah dalam mengenakan beban pajak)
walaupun tarif pajak hotel ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang mungkin
dapat berbeda-beda antar daerah namun perbedaan tarif yang kentara tersebut tidak
akan mempengaruhi basis pemajakan karena sifat objek pajak yang inelastis
terhadap perubahan tarif dan pemerintah daerah juga tetap diuntungkan karena
sifat barang yang immobile sehingga
tetap memperoleh pendapatan pajak dari kegiatan sewa menyewa rumah kos tersebut.
Ciri barang inelastis adalah kebutuhan pokok. Salah satu kebutuhan pokok yaitu
tempat tinggal yang dapat dipenuhi dengan menyewa rumah kos.
4.3.3. Penilaian Menggunakan Indikator Economic Efficiency
Isu yang berkembang di usaha sewa
rumah kos adalah adanya persepsi kesamaan karakter antara sewa apartemen dalam
implementasi di lapangan dengan sewa kamar atau ruangan sebagaimana dimaksud
dalam Perda DKI Jakarta tentang Pajak Hotel. Berdasarkan Perda DKI Jakarta
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel, pasal 3 ayat (1), menyebutkan:
“Objek pajak hotel adalah pelayanan yang
disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai
kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk
fasilitas olahraga, hiburan dan persewaan ruangan di hotel yang disewakan oleh
pihak hotel.”
Selanjutnya,
pasal 3 ayat (2), menyatakan:
“Jasa penunjang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi,
pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang
disediakan atau dikelola hotel.”
Definisi
hotel dan apartemen itu sendiri tidak dijelaskan. Ini yang kemudian menyebabkan
timbul perbedaan interpretasi dalam mendefinisikan objek pajak hotel karena UU
PDRD itu sendiri membedakan karakteristik hotel dan apartemen.
Untuk
dapat memahami karakteristik keduanya, peneliti meminjam peristilahan secara
umum dari hotel dan apartemen. Pengertian hotel itu sendiri sebagaimana
didefinisikan oleh Peter Jones dan Andrew Lockwood dalam The Management of Hotel Operations[24] adalah operasi yang menyediakan
akomodasi dan layanan tambahan untuk orang-orang yang jauh dari rumah. Definisi
ini mencakup semua orang yang menghabiskan waktu jauh dari rumah untuk alasan
apapun. Dalam definisinya, memasukkan definisi konsep hotel secara tradisional,
yang meliputi motel, holiday camp,
kondominium, hostel, rumah sakit dan penjara. Hal ini dimaksudkan bahwa
pelayanan hotel sebagaimana dimaksud Peter dan Andrew tidak terbatas hanya pada
layanan hotel untuk sektor komersil, melainkan juga yang non-profit.
Sedangkan
pengertian apartemen itu sendiri menurut peraturan perundang-undangan di
Indonesia, apartemen dipersamakan dengan rumah susun. Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Pasal 1,
menyebutkan:
“Rumah susun adalah bangunan gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam
bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal
maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki
dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi
dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.”
Akmal
dalam bukunya berjudul Menata Apartemen,[25]
mengelompokkan apartemen berdasarkan tipe pengelolaannya. Terdapat tiga jenis apartemen,
yaitu serviced apartment, apartemen
milik sendiri, dan apartemen sewa.
Serviced Apartment
merupakan apartemen yang dikelola secara menyeluruh oleh manajemen tertentu.
Biasanya menyerupai cara pengelolaan sebuah hotel, yaitu penghuni mendapatkan pelayanan
menyerupai hotel bintang lima, misalnya unit berperabotan lengkap, house keeping, layanan kamar, laundry, business center.
Apartemen
milik sendiri merupakan apartemen yang dijual dan dapat dibeli oleh pihak
individu. Mirip dengan apartemen sewa, apartemen ini juga tetap memiliki
pengelola yang mengurus fasilitas umum penghuninya.
Apartemen
sewa merupakan apartemen yang disewa oleh individu tanpa pelayanan khusus.
Meskipun demikian tetap ada manajemen yang mengatur segala sesuatu berdasarkan
kebutuhan bersama seperti sampah, pemeliharaan bangunan, lift, koridor, dan fasilitas umum lainnya.
Trend yang
berkembang sekarang mengenai business properti
adalah membeli apartemen untuk tujuan investasi. Misal seseorang berinvestasi
sebesar Rp 700 juta untuk membeli apartemen yang untuk tujuan disewakan
sehingga pemilik apartemen akan memperoleh passive
income setiap bulannya dari menyewakan apartemen tersebut. Perkembangan
sewa apartemen ini selaras dengan pengelompokkan apartemen menurut kepemilikan
oleh Joseph de Chiara[26].
Joseph mengelompokkan apartemen menjadi tiga, apartemen sewa, apartemen
kondominium, dan apartemen koperasi.
Apartemen
sewa terdapat pemilik dan penghuni. Pemilik membangun dan membiayai operasi
serta perawatan bangunan, sedangkan penghuni membayar uang sewa selama jangka
waktu tertentu.
Apartemen
kondominium, penghuni membeli dan mengelola unit yang menjadi haknya, tidak ada
batasan bagi penghuni untuk menjual kembali atau menyewakan unit miliknya.
Penghuni biasanya membayar uang pengelolaan ruang bersama yang dikelola oleh
pemilik gedung.
Apartemen koperasi merupakan
apartemen yang dimiliki oleh koperasi. Penghuni memiliki saham di dalamnya
sesuai dengan unit yang ditempatinya. Apabila penghuni pindah, ia dapat menjual
sahamnya kepada koperasi atau calon penghuni baru dengan persetujuan koperasi.
Biaya operasional dan pemeliharaan ditanggung koperasi.
Berdasarkan
definisi hotel dan apartemen menurut Peter & Andrew, Akmal, Joseph dan
muatan dalam UU Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, semuanya
mengelompokkan apartemen sebagai bagian dari pelayanan hotel. Dari definisi
tersebut, secara umum memang tidak ada perbedaan antara apartemen dan hotel.
Namun, Undang-Undang Pajak Daerah bersikukuh membedakan karakter keduanya. Oleh
karena itu, regulasi yang mengatur pajak hotel, perlu mendefinisikan secara
jelas konteks apartemen dan hotel untuk tujuan implementasi pemungutan pajak
hotel tersebut.
Dalam
pasal 32 ayat (3) huruf b UU PDRD, untuk mengetahui bahwa aktivitas usaha
disebut sebagai apartemen, kondominium, dan sejenisnya didasarkan atas izin
usahanya sehingga seharusnya secara eksplisit dapat diketahui kewajibannya.
Apabila izin usahanya adalah apartemen maka kegiatan sewa-menyewa kamar
tersebut dikenakan pajak pusat berupa PPN. Namun apabila sesuai izin usaha
adalah jasa hotel maka dikenakan pajak daerah berupa pajak hotel.
Dalam
implementasi di lapangan, praktik izin usaha apartemen yang beraktivitas
layaknya hotel banyak ditemui. Sebagaimana berdasarkan hasil pengamatan
peneliti, ditemukan sebuah website beralamatkan URL www.sewa-apartemen.net. Berdasarkan informasi
yang dimuat di dalamnya menerangkan bahwa situs tersebut berisi informasi sewa
apartemen di JABODETABEK, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Batam, dan kota-kota
besar lainnya di Indonesia. Beberapa apartemen disewakan secara harian. Seperti
misal, beberapa unit kamar di Apartemen Kalibata City disewakan secara harian dengan
tarif weekday mulai Rp 300.000 per hari dan tarif weekend Rp 350.000 per hari untuk kamar
jenis Residence Studio. Sedangkan untuk jenis kamar 3 BR Green Palace
ditawarkan dengan tarif weekday Rp
750.000 per hari dan tarif weekend Rp
800.000 per hari.
Ketidakjelasan
peraturan perpajakan, secara tidak langsung akan merugikan pengusaha properti.
Misal, dalam hal, suatu perusahaan sesuai izin usaha yang dibuktikan dengan
akta pendirian usaha, merupakan usaha apartemen, namun karena fiskus (pemungut
pajak daerah) menggunakan prinsip subtance
over the form, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan
daerah, jika wajib pajak tidak mendaftarkan kegiatan usaha hotel dalam tempo
waktu maksimal 15 hari setelah beroperasinya usaha hotel sebagaima tertuang
dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 133 Tahun 2012 tentang Pendaftaran
Usaha Pariwisata, maka secara jabatan terutang pajak sejak usaha mulai
beroperasi berikut sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka
waktu paling lama 24 bulan (dua puluh empat bulan) dihitung sejak saat
terhutangnya pajak (Pasal 97 ayat (2) UU PDRD).
Misal, diasumsikan pemilik apartemen
memiliki 3 unit kamar. Ia menyewakan kamarnya tersebut secara harian. Dalam
sebulan diasumsikan masing-masing kamar terdapat 30 transaksi sewa dengan harga
sewa per hari masing-masing Rp 850.000,-. Maka dalam sebulan pemilik apartemen
tersebut akan memungut PPN atas penyerahan jasa sewa kamarnya sebesar Rp 7.650.000,-
setiap bulannya sebagai Pajak Keluaran ({10% x Rp 850.000,-} x 3 unit x 30 hari).
Apabila, oleh Pemerintah Daerah, kegiatan menyewakan kamar apartemen oleh
Pengusaha tersebut dianggap sebagai kegiatan jasa hotel, maka secara jabatan
terutang pajak daerah sejak usaha mulai beroperasi berikut sanksi administratif
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang
atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan (dua puluh empat
bulan) dihitung sejak saat terhutangnya pajak. Oleh karena itu, total Pajak
Daerah terhutang atas kegiatan sewa apartemen yang dianggap sebagai kegiatan
jasa hotel untuk masa bulan tertentu adalah Rp 11.322.000,- (Rp 7.650.000 + {2%
x 24 x Rp 7.650.000}). Tentu, resiko ini tidak ingin terjadi bagi pemilik
apartemen yang menyewakan kamarnya sebagai investasi untuk untuk mengumpulkan passive income. Jika dihitung total cash-flow yang dikeluarkan untuk
pemenuhan kewajiban perpajakannya adalah Rp 18.972.000 yang dihitung dari
penjumlahan Rp 7.650.000 (dikeluarkan untuk setor PPN) ditambah Rp 11.322.000
(dikeluarkan untuk pelunasan kewajiban perpajakan daerah karena ketidakjelasan
peraturan perpajakan daerah dalam mendefinisikan kegiatan usaha hotel dan
apartemen).
Tingginya
cost of taxation dari ketidakjelasan
dan ketidaknetralan peraturan perpajakan mendorong adanya usaha dari Wajib
Pajak untuk melakukan penghindaran perpajakan.
Walaupun
substansi PPN dan pajak hotel sama, namun isu apartemen yang melakukan
aktivitas layaknya hotel bisa jadi merupakan upaya strategi manajemen pajak
daerah. Upaya manajemen pajak tersebut dilakukan karena adanya loophole (celah) di regulasi. Ketika PPN
memperkenankan adanya pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran untuk
menghitung besaran pajak terhutang bagi Pengusaha Kena Pajak, sedangkan dalam
ketentuan Pajak Hotel tidak diatur mekanisme pengkreditan dalam menghitung
besaran nilai pajak hotel terutang bagi pengusaha rumah kos. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 j.o. Perubahan Keempat dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan (yang selanjutnya disebut UU PPh), Pasal 9, ayat
(1) huruf h, hanya menyebutkan bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh
dikurangkan Pajak Penghasilan. Artinya, karena tidak disebutkan Pajak Daerah
dalam pasal tersebut sebagai biaya yang dikecualikan sebagai pengurang, maka
Pajak Daerah yang dibayarkan oleh Pengusaha Rumah Kos boleh dikurangkan dari
Penghasilan Kena Pajak untuk menghitung PPh Badan. Namun, mengingat
penghitungan pajak penghasilan untuk kegiatan usaha rumah kos dikenakan PPh
final, sebagaimana disebutkan dalam UU PPh Pasal 4 ayat (2) huruf d, bahwa
penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate,
dan persewaan tanah dan bangunan dikenakan pajak bersifat final, maka
berpotensi menimbulkan isu ketidaknetralan. Ketidaknetralan tersebut muncul
sebagai akibat adanya distorsi. Apabila Pengusaha Rumah kos tidak diberikan
fasilitas berupa mekanisme pengkreditan, sebagaimana pengenaan PPN pada
pengusaha apartemen, maka berdampak memicu upaya penghindaran pajak dari para
pengusaha rumah kos, baik dalam bentuk membuat skema sedemikian rupa sehingga
pengusaha rumah kos dapat dikecualikan dari pengenaan pajak hotel atau pengusaha
rumah kos akan beralih investasi ke usaha apartemen. Alhasil, Pemerintah Daerah
akan kehilangan potensi penerimaan pajak daerah dari kegiatan usaha rumah kos.
Peraturan
Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel, rentan dimanfaatkan
oleh Wajib Pajak Rumah Kos untuk melakukan penghindaran pajak. Pasalnya, rumah
kos yang berkewajiban untuk memungut Pajak Hotel adalah rumah kos dengan jumlah
kamar lebih dari sepuluh. Ketentuan tersebut memberikan loopholes kepada para pengusaha rumah kos untuk mengelola usahanya
sedemikian rupa sehingga dapat dikenakan pajak serendah mungkin, bahkan
dikecualikan sebagai objek pajak hotel.
Bentuk-bentuk
penghindaran pajak tersebut dapat meliputi:
(1) Mengusahakan
bisnis rumah kos dengan jumlah kamar kurang dari sepuluh pintu;
Menyewakan
harta tidak bergerak merupakan alternatif investasi yang cukup potensial di
areal perkotaan untuk dapat menghasilan passive
income. Salah satunya adalah usaha sewa rumah kos. Walaupun bukan sumber
penghasilan utama, aspek pajak terkait usaha rumah kos tetap dapat diminimalkan
dengan cara mendirikan unit kamar kos kurang dari sepuluh pintu, sehingga
secara otomatis pemilik rumah kos terhindar dari kewajiban untuk memungut dan melaporkan
kewajiban perpajakan atas pajak hotel rumah kos setiap bulannya. Tentu hal ini
dapat menghemat biaya administrasi yang seharusnya dikeluarkan untuk mengurus
kewajiban perpajakan tersebut.
(2) Memetakan
tempat usaha rumah kos di wilayah berbeda dengan masing-masing wilayah
didirikan usaha rumah kos dengan jumlah kamar kurang dari sepuluh pintu.
Karena
pajak hotel atas rumah kos merupakan pajak daerah yang ketentuannya diatur
melalui Peraturan Daerah, maka setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur
daerahnya masing-masing yang tidak dapat diintervensi oleh daerah lainnya. Oleh
karena itu, kaitannya dengan penghindaran pajak hotel atas rumah kos, mungkin
saja dilakukan dengan cara mendirikan 9 unit kamar kos di Jakarta Selatan, 9
unit kamar kos lagi di Depok, 9 unit kamar kos di Surabaya. Skema ini sangat
mungkin untuk diimplementasikan dalam rangka manajemen pajak daerah sehingga
tetap dikecualikan dari pengenaan pajak hotel atas rumah kos tanpa menyalahi
ketentuan perundang-undangan perpajakan.
(3) Membeli
beberapa unit apartemen untuk disewakan kembali.
Sewa
apartemen merupakan objek pajak yang dikecualikan dari pengenaan pajak hotel.
Oleh karena itu, salah satu upaya manajemen pajak daerah yaitu dengan cara
menginvestasikan dana untuk membeli beberapa unit apartemen untuk kemudian
disewakan kembali.
Indikator
economic efficiency bermaksud menilai bahwa pajak harus mendorong
alokasi sumber daya yang efisien dalam perekonomian, menghindarkan pilihan
konsumen dan produsen yang distortif atau menghindarkan pilihan yang dapat
mengurangi minat seseorang untuk bekerja atau menabung, dan meminimalkan
kelebihan beban pajak. Oleh karena itu, dalam rangka meminimalkan risiko dan potential loss dari perkembangan usaha
apartemen, hotel, dan rumah kos, maka dalam rangka mendorong peningkatan
kepatuhan wajib pajak hotel untuk mendorong peningkatan pendapatan pajak
daerah, maka perlu memperhatikan the administrative principles, yang di
dalamnya juga termasuk asas certainty sebagai
satu-kesatuan sebagai criteria of
administration and compliance (kriteria kemudahan administrasi dan
kepatuhan).
Asas
kepastian sebagaimana dimaksud antara lain mencakup kepastian mengenai
siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan sebagai
objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana
jumlah pajak yang terhutang itu harus dibayar. Kepastian prosedur mengenai
pemenuhan kewajiban perpajakan juga harus jelas, meliputi prosedur pembayaran
dan pelaporan serta pelaksanaan hak-hak perpajakannya. Lebih lanjut,
sebagaimana Sommerfold menegaskan bahwa untuk meningkatkan kepastian hukum perlu
disediakan petunjuk pemungutan pajak yang terperinci, advanced rulings, maupun interpretasi hukum lainnya. Terkait dengan
asas kepastian hukum, Haula Rosdiana juga mengusulkan, agar tidak terjadi policy gap, maka dalam mendesain
kebijakan sistem perpajakan, hendaknya pertimbangan dilakukan secara
komprehensif, bukan hanya memerhatikan aspek makro, tetapi juga mikronya. Lebih
lanjut, Haula Rosdiana mengungkapkan bahwa kebijakan harus bisa diejawantahkan
dalam peraturan pelaksana yang lebih selaras dengan asas ease of administration.
4.3.4. Penilaian Menggunakan Indikator Ability to Implement
Indikator
ability to implement digunakan untuk menilai bahwa pajak sebaiknya dapat
diterapkan secara efektif. Dalam arti penerapan pajak daerah dapat diterima
secara politis dan sesuai kapasitasnya secara administratif.
Pengenaan
pajak hotel atas rumah kos dilihat menurut indikator ability to implement
telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir merupakan Perubahan Ketiga dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM pasal 4A ayat (3) huruf l yang menetapkan
jasa hotel sebagai jenis jasa tertentu yang tidak dikenai PPN. Hal ini diperjelas di bagian penjelasan
yang menyatakan bahwa ketentuan ini
dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah
merupakan objek pengenaan Pajak Daerah berupa pajak hotel. Ketentuan tersebut
dipertegas dalam Perda DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel.
Peraturan
tersebut menunjukkan upaya yang dinilai cukup efektif untuk mengimplementasikan
pengenaan pajak hotel atas sewa rumah kos untuk dapat diterima secara politis.
Melihat
kapasitas Pemerintah Daerah secara administratif hal ini akan mudah untuk dapat
menentukan objek pajak hotel atas sewa rumah kos mengingat pajak hotel yang
terhutang dipungut di wilayah daerah tempat rumah kos berlokasi. Namun, potensi
dispute dalam pemungutan pajak hotel
atas sewa rumah kos sangat potensial terjadi mengingat perkembangan usaha sewa
apartemen yang memiliki substansi kegiatan usaha sama dengan usaha rumah kos
juga mulai menjamur sehingga pengusaha rumah kos juga menuntut adanya perlakuan
yang sama. Oleh karena itu, kiranya perlu Perda DKI Jakarta tentang pajak hotel
diperluas lagi dengan memberikan penekanan terhadap kegiatan sewa apartemen
secara harian atau bulanan yang diusahakan layaknya rumah kos maka termasuk
objek pajak hotel. Tentu hal ini sangat bernilai politis yang menyangkut
konflik kepentingan Pemerintah Pusat dan Pemerindah Daerah. Pemerintah Daerah
menuntut adanya local taxing power untuk
penyelenggaraan otonomi pemerintahan daerah dengan memintakan diserahkannya
kewenangan memungut pajak hotel dari kegiatan usaha sewa apartemen harian.
Namun rupanya negosiasi antara legislatif Pusat dengan Eksekutif Daerah
cenderung alot, membutuhkan budget yang
besar, dan rentan disalahgunakan oleh oknum-oknum berkepentingan. Namun yang
perlu diperhatikan dalam hal ini, seharusnya negosiasi politis tersebut
diutamakan kepada substansi dalam upaya meminimalkan ketimpangan antara
pengusaha rumah kos dan pengusaha persewaan apartemen, sehingga pemungutan
pajak hotel atas rumah kos dapat efektif dan efisien.
4.3.5. Penilaian Menggunakan Indikator Suitability as a local revenue source
Indikator
suitability as a local revenue source digunakan untuk menilai bahwa hal
ini mengharuskan kejelasan ke wilayah mana pembayaran pajak harus dilakukan,
dan bahwa pendapatan pajak yang diterima sama dengan pajak yang terakhir kali
dibayarkan oleh wajib pajak; pajak tidak dapat dengan mudah dihindari dengan
menggeser objek pajak dari satu wilayah ke wilayah lainnya; pajak daerah
seharusnya tidak terlalu memperkuat perbedaan potensi ekonomi antar daerah; dan
pajak daerah seharusnya tidak menimbulkan tegangan yang tidak semestinya pada
kapasitas administratif daerah yang terbatas.
Keberadaan
fisik usaha rumah kos berlokasi yang dapat diamati setidaknya Pemerintah Daerah
dapat mengawasi kegiatan usaha wajib pajak hotel dan/atau rumah kos. Lagipula,
pengenaan pajak hotel pada pemilik rumah kos menunjukkan kejelasan ke wilayah
mana pembayaran pajak harus dilakukan. Pajak hotel yang terhutang dipungut di
wilayah daerah tempat rumah kos berlokasi oleh Pemerintah Daerahnya. Karakter
objek pajak rumah kos yang immobile dan
permintaan terhadap rumah kos yang inelastis
terhadap kenaikan harga rumah kos, maka pajak ini tidak dapat dengan mudah
dihindari dengan menggeser objek pajak dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Pajak
hotel atas rumah kos yang merupakan usaha perluasan basis objek pajak hotel,
merupakan upaya pemerintah DKI Jakarta memaksimalkan potensi pendapatan pajak
daerah dari kegiatan usaha di sektor jasa yang ada di daerahnya sebagai kawasan
metropolitan. Pajak hotel juga tidak terlalu memperkuat perbedaan potensi ekonomi
antar daerah karena setiap daerah dapat menggali potensi penerimaan pajak
daerah dari sektor jasa hotel atas rumah kos. Hal ini relevan dengan tempat
tinggal sebagai kebutuhan dasar setiap manusia. Sehingga potensi ini tidak akan
pernah surut seiring dengan peningkatan pertumbuhan populasi penduduk.
5. Simpulan dan Saran
5.1. Simpulan
Jakarta sebagai kota metropolitan
berpeluang besar untuk menggali potensi pajak daerah dari sektor jasa yaitu
pajak hotel atas rumah kos. Pajak hotel atas rumah kos merupakan bentuk
perluasan desentralisasi fiskal dengan memberikan local taxing power kepada Pemerintah Daerah untuk menggali potensi
penerimaan pajak daerah sesuai dengan karakteristik khas dari masing-masing
daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). PAD kemudian digunakan
sebagai sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
sesuai asas otonomi daerah.
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta
Nomor 11 tahun 2010 tentang Pajak Hotel, yang mengatur ketentuan pelaksanaan
pemungutan pajak hotel, dalam implementasinya berpotensi dispute. Peraturan Daerah tersebut rupanya belum mengakomodir perkembangan
kegiatan usaha perhotelan, seperti kegiatan sewa apartemen harian yang sesuai
tujuan komersial memiliki persamaan dengan karakter hotel dan sewa rumah kos.
Padahal sewa apartemen itu sendiri dikecualikan dari pajak hotel. Berdasarkan
hasil analisis tinjauan kritis perbandingan perlakuan pajak atas sewa rumah kos
dan sewa apartemen di Jakarta kaitannya dengan desentralisasi fiskal, diperoleh
simpulan sebagai berikut:
Tabel 5.1. Perbandingan Perlakuan Pajak
atas Sewa Rumah Kos dan Sewa Apartemen di Jakarta Kaitannya dengan
Desentralisasi Fiskal
Jenis Perbedaan
|
Apartemen
|
Hotel dan/atau Rumah Kos
|
Isu Perpajakan
|
Definisi
|
Apartemen
dipersamakan dengan rumah susun, yaitu bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal
dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan
secara terpisah, terutama untuk tempat
hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama.
|
Operasi yang menyediakan akomodasi dan layanan
tambahan untuk orang-orang yang jauh
dari rumah.
|
Tidak
didefinisikan secara eksplisit kegiatan sewa apartemen dan rumah kos dalam
konteks pemungutan pajak hotel, sehingga rentan terjadi konflik antara Wajib
Pajak Rumah Kos, Pemilik Apartemen, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Pusat.
|
Core Business
|
(1) Serviced Apartment merupakan
apartemen yang dikelola secara menyeluruh oleh manajemen tertentu. Biasanya menyerupai cara pengelolaan sebuah hotel,
yaitu penghuni mendapatkan pelayanan menyerupai hotel bintang lima, misalnya
unit berperabotan lengkap, house
keeping, layanan kamar, laundry,
business center.
(2) Apartemen
milik sendiri merupakan apartemen yang
dijual dan dapat dibeli oleh pihak individu. Mirip dengan apartemen sewa,
apartemen ini juga tetap memiliki pengelola yang mengurus fasilitas umum
penghuninya.
(3) Apartemen sewa
merupakan apartemen yang disewa oleh
individu tanpa pelayanan khusus. Meskipun demikian tetap ada manajemen
yang mengatur segala sesuatu berdasarkan kebutuhan bersama seperti sampah,
pemeliharaan bangunan, lift, koridor,
dan fasilitas umum lainnya.
(4) Apartemen sewa terdapat pemilik dan penghuni. Pemilik
membangun dan membiayai operasi serta perawatan bangunan, sedangkan penghuni membayar uang
sewa selama jangka waktu tertentu.
(5) Apartemen kondominium, penghuni
membeli dan mengelola unit yang menjadi haknya, tidak ada batasan bagi
penghuni untuk menjual kembali atau menyewakan unit miliknya. Penghuni
biasanya membayar uang pengelolaan ruang bersama yang dikelola oleh pemilik
gedung.
(6) Apartemen
koperasi merupakan apartemen yang dimiliki oleh koperasi. Penghuni memiliki saham di dalamnya
sesuai dengan unit yang ditempatinya. Apabila penghuni pindah, ia dapat
menjual sahamnya kepada koperasi atau calon penghuni baru dengan persetujuan
koperasi. Biaya operasional dan pemeliharaan ditanggung koperasi.
|
Hotel secara tradisional, yang meliputi
motel, holiday camp, kondominium, hostel, rumah sakit dan
penjara.
Tidak terbatas
hanya pada layanan hotel untuk sektor komersil, melainkan juga yang
non-profit.
|
Hotel di
dalamnya termasuk kondominium atau apartemen, sehingga dalam praktik,
khususnya dalam rangka pemungutan pajak hotel, sulit dibedakan antara hotel,
rumah kos, dan apartemen.
|
Ketentuan Perpajakan Terkait
|
UU PPN
|
UU PDRD
|
Local Taxing Power dalam rangka
Desentralisasi Fiskal
|
Jenis Pajak (berdasarkan lembaga pemungutnya)
|
PPN - Pajak
Pusat
|
Pajak Hotel -
Pajak Daerah
|
Konflik
kepentingan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memajaki kegiatan
sewa apartemen harian sebagai pajak hotel (pajak daerah).
|
Dasar Pemajakan
|
Nilai
Penggantian
|
Jumlah
pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada Hotel
|
-
|
Menghitung Pajak Terhutang Bagi Pengusaha Kena
Pajak
|
Mekanisme
Pajak Keluaran dikurangi Pajak Masukan (PK-PM). Apabila PM tidak dapat
dikreditkan dapat dibiayakan dalam menghitung penghasilan kena pajak.
|
Tidak ada
ketentuan mekanisme pengkreditan Pajak Hotel. Namun, pajak hotel dapat
dijadikan sebagai pengurang PPh Badan. Walaupun demikian, penghasilan atas
sewa tanah dan atau bangunan dikenakan PPh Final.
|
Isu
Ketidaknetralan sehingga memicu upaya penghindaran pajak daerah.
|
5.2. Saran
Berdasarkan simpulan tersebut,
kemudian peneliti merekomendasikan beberapa hal, meliputi:
a. Dalam
rangka pelaksanaan Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 tahun 2010 tentan Pajak
Hotel, maka perlu mendefinisikan di dalam ketentuan umum, pengertian hotel,
apartemen, dan rumah kos sesuai konteks dalam rangka pemungutan pajak hotel.
Sehingga diharapkan definisi yang eksplisit tertuang dalam pasal-pasal, maupun
pasal penjelasan, dapat memberikan kepastian hukum bagi stakeholders terkait, yang meliputi Wajib Pajak Rumah Kos,
Pengusaha Apartemen, dan Pemerintah Daerah;
b. Dalam
rangka mengimplementasikan Perda DKI Jakarta tentang pajak hotel maka kiranya
perlu diperluas lagi terkait basis pemajakan melihat adanya perkembangan
kegiatan sewa apartemen secara harian atau bulanan yang diusahakan layaknya
rumah kos. Sehingga perlu kegiatan sewa harian apartemen dikategorikan sebagai objek
pajak hotel. Walaupun hal ini sangat bernilai politis yang menyangkut konflik
kepentingan Pemerintah Pusat dan Pemerindah Daerah dan kemungkinan proses
negosiasi antara legislatif Pusat dengan Eksekutif Daerah yang cenderung alot,
membutuhkan budget yang besar, dan
rentan disalahgunakan oleh oknum-oknum berkepentingan. Namun yang perlu
diperhatikan dalam hal ini bahwa tujuan perluasan tersebut adalah sebagai upaya
meminimalkan ketimpangan antara pengusaha rumah kos dan pengusaha persewaan
apartemen karena adanya isu ketidaknetralan dalam hal perlakuan kebijakan PPN
dan Pajak Daerah, khususnya dalam mekanisme pengkreditan pajak untuk menghitung
besaran pajak terhutang. Dengan demikian, melalui perluasan objek pajak hotel
untuk mengenakan pajak hotel atas sewa apartemen harian diharapkan dapat
mengimplementasikan pemungutan pajak hotel atas rumah kos secara efektif dan
efisien.
Daftar Pustaka
Buku
Akmal,
Imelda. 2007. Menata Apartemen. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Anonim.
1988. The New Encyclopedia Britannica,
”Taxation”, Volume 28, London:
Encyclopedia Britannica, Inc., halaman 411.
Anonim.
1938. The Encyclopedia Americana. New
York: Americana Corporation, halaman 291.
Chiara,
Joseph De dan John Callendar. 1983. Time
Saver Standards for Building Types. Singapore: McGraw Hill Book Companies
Inc.
Devas,
Nick, Financing Local Government in Indonesia - Monograph in
International Studies Southeast Asia Series, No. 84. Ohio University, (1989),
halaman 58-59.
Jones,
Peter dan Andrew Lockwood. 2004. The Management
of Hotel Operations. London: Thomson.
Richard
M. Bird, Subnational Taxation in Developing Countries : A Review of The
Literature, Policy Research Working Paper 5450. The World Bank: Poverty
Reduction and Economic Management Network Economic Policy and Debt Department,
(October 2010), halaman 6.
Rosdiana,
Haula dan Edi Slamet Irianto. 2013. Pengantar
Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo.
Smith,
Dan Throop, James B Webber, dan Carol M Cerf. 1973. What You Should Know About the VAT. Illinois: Down Jones-Irwin Inc.
Sommerfold,
Ray M. 1982. An Introduction to Taxation. London: Harcourt Brace Javanovich
Inc., halaman 1/17.
Terra,
Ben. 1988. Sales Taxation: The Case of
Value Added Tax in The European Community. Deventer-Boston: Kluwer Law and
Taxation Publishers.
Internet
Anonim.
Online: https://mamikos.com/kost/kost-jakarta-murah, diakses pada
18 Desember 2017, 03.42 WIB.
Anonim.
Online: http://poskotanews.com/2012/09/19/rumah-kos-tumbuh-tidak-terkendali/, diakses 18
Desember 2017, 08.00 WIB.
Anonim.
Viva News (2016) Sepanjang Kuartal III Sewa Apartemen di Jakarta Turun. (online)
(Diakses 17 Desember 2017, 16.57 WIB)
Colliers
Internasional. (2016). Jakarta Properti Market Report. (online),
diakses 17 Desember 2017, 16.32 WIB.
Kee,
James Edwin. 2013. “Fiscal Decentralization: Theory as Reform”, paper
diakses dari www.gwu.edu tanggal 20
Desember 2017, 14.19 WIB.
Laporan
Industri Properti di Indonesia, https://www.lamudi.co.id/laporan-2017, diakses pada
tanggal 17 Desember 2017, 16.29 WIB.
Lenny
Tristia Tambun, “Pendatang Membanjir, Jakarta Mendekati Titik Kritis”.
Beritasatu.com dipublikasikan pada 3 Juli 2017, 18.02 WIB. Online: http://www.beritasatu.com/megapolitan/439572-pendatang-membanjir-jakarta-mendekati-titik-kritis.html, diakses pada
tanggal 17 Desember 2017, 15.33 WIB.
White,
Stacey. Government Decentralization in The 21st Century (A Literature
Review). Washington DC: The Center for Strategic & International
Studies (CSIS), Program on Crisis, Conflict, and Cooperation, (December 2011),
page 2. Sumber online web: www.csis.org, diakses pada tanggal 20 Desember 2017,
14.40 WIB.
apbd.jakarta.go.id
[1] Lenny Tristia Tambun, “Pendatang
Membanjir, Jakarta Mendekati Titik Kritis”. Beritasatu.com dipublikasikan pada
3 Juli 2017, 18.02 WIB. Online: http://www.beritasatu.com/megapolitan/439572-pendatang-membanjir-jakarta-mendekati-titik-kritis.html, diakses pada tanggal 17
Desember 2017, 15.33 WIB.
[2] Colliers Internasional, (2016). Jakarta
Properti Market Report.
(online), diakses 17 Desember 2017, 16.32 WIB.
[3] Laporan Industri Properti di
Indonesia, https://www.lamudi.co.id/laporan-2017, diakses pada tanggal 17
Desember 2017, 16.29 WIB.
[5] Viva News (2016) Sepanjang
Kuartal III Sewa Apartemen di Jakarta Turun.
(online) (Diakses 17 Desember 2017, 16.57 WIB)
[6] http://poskotanews.com/2012/09/19/rumah-kos-tumbuh-tidak-terkendali/, diakses 18 Desember 2017, 08.00
WIB.
[7] apbd.jakarta.go.id
[8] PKB, BBNKB, PBBKB, Pajak
Pemanfaatan Air Bawah Tanah, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak
Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, BPHTB, PBB-P2, Pajak Rokok
[9] Jasa penunjang sebagaimana
dimaksud adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi,
pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang
disediakan atau dikelola Hotel (UU PDRD, pasal 32 ayat (2)).
[10] Daerah Pabean adalah wilayah
Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di
atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas
kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabean
(UU PPN, Pasal 1, angka (1)).
[11] Ben Terra. 1988. Sales Taxation: The Case of Value Added Tax
in The European Community. Deventer-Boston: Kluwer Law and Taxation Publishers,
halaman 7.
[12] Ben Terra, Op. Cit, halaman
21-23.
[13] Haula Rosdiana dan Edi Slamet
Irianto. 2013. Pengantar Ilmu Pajak:
Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo,
halaman 222.
[14] Smith, Dan Throop, James B
Webber, dan Carol M Cerf. 1973. What You
Should Know About the VAT. Illinois: Down Jones-Irwin Inc., halaman 430.
[15] James Edwin Kee, (2013), “Fiscal
Decentralization: Theory as Reform”, paper diakses dari www.gwu.edu
tanggal 20 Mei 2017, 14.19 WIB.
[16] Stacey White, Government
Decentralization in The 21st Century (A Literature Review). Washington DC:
The Center for Strategic & International Studies (CSIS), Program on Crisis,
Conflict, and Cooperation, (December 2011), page 2. Sumber online web: www.csis.org.
[17] Richard M. Bird, Subnational
Taxation in Developing Countries : A Review of The Literature, Policy
Research Working Paper 5450. The World Bank: Poverty Reduction and Economic
Management Network Economic Policy and Debt Department, (October 2010), halaman
6.
[18] Nick Devas, Financing Local
Government in Indonesia - Monograph in International Studies Southeast Asia
Series, No. 84. Ohio University, (1989), halaman 58-59.
[19] Anonim. 1938. The Encyclopedia Americana. New York:
Americana Corporation, halaman 291.
[20] Anonim. 1988. The New Encyclopedia Britannica,
”Taxation”, Volume 28, London:
Encyclopedia Britannica, Inc., halaman 411.
[21] Ray M. Sommerfold. 1982. An Introduction to Taxation. London:
Harcourt Brace Javanovich Inc., halaman 1/17.
[22] Haula Rosdiana dan Edi Slamet
Irianto, Op. Cit, halaman 241.
[23] Richard M. Bird (2010, 7).
[24] Jones, Peter dan Andrew Lockwood. 2004. The Management of Hotel Operations. London: Thomson.
[25] Akmal, Imelda. 2007. Menata Apartemen. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
[26] Chiara, Joseph De dan John
Callendar. 1983. Time Saver Standards for
Building Types. Singapore: McGraw Hill Book Companies Inc.
Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185
Comments
Post a Comment
Your comments help me improving my papers; therefore, I'm going to be glad receiving your advice. Thanks for visiting my blog.