Ketidaksinkronan Ketentuan Sanksi Pidana Pajak dan Sanksi Administrasi Pajak dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Pendahuluan
Kontribusi pajak terhadap pendapatan negara berdasarkan Informasi
APBN 2016 adalah sebesar 75% atau setara dengan Rp 1.360,2 triliun dari
total pendapatan negara Rp 1.822,5 triliun.[1]
Menurut Prof. Dr. Haula Rosdiana, M. Si. dan Dr. Edi Slamet Irianto, M. Si.
dalam Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia,
pajak sebagai komponen utama untuk mengisi kas negara memiliki fungsi sebagai
sumber penerimaan negara yang aman, murah, dan berkelanjutan.[2]
Melihat vitalnya peran pajak terhadap sumber penerimaan negara terhadap APBN
diperlukan upaya penegakan hukum pajak yang merupakan amanat konstitusi negara
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 A bahwa “Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
Undang-Undang”,[3]
maka diperlukan upaya penegakan hukum pajak (law enforcement).
Eddy Mangkuprawira dan Bustamar Ayza dalam Modul Hukum Pidana Pajak
dan Penyidikan Pajak[4]
mengatakan bahwa Undang-Undang Perpajakan telah memberikan kewenangan yang
besar kepada Pemerintah untuk melaksanakan penegakan Hukum Pajak dalam rangka
mengamankan/meningkatkan penerimaan pajak . Penegakan hukum pajak/tax law
(sebagai bagian dari kebijakan pajak/tax policy) merupakan satu kesatuan
dengan administrasi perpajakan/tax administration dalam menopang sistem
perpajakan.[5]
Penegakan hukum pajak sebagaimana Eddy Mangkuprawira katakan tidak lain adalah
sebagai upaya untuk mencapai voluntary tax payer compliance (VTPC) dalam
arti bahwa agar Wajib Pajak (WP) mematuhi kewajiban perpajakan atau
membayar/menyetor pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan undang-undang
perpajakan.[6]
Undang-Undang Perpajakan mengatur tentang ketentuan sanksi.
Ketentuan sanksi tersebut termuat dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
yang mengatur ketentuan hukum pajak formil. Ketentutan sanksi sebagaimana
dikatakan oleh Eddy Mangkuprawira memberikan wibawa pada hukum (yang bersifat
memaksa) sehingga tercipta VTPC. VTPC itu sendiri dapat tercapai ketika
terdapat kepercayaan (trust) oleh WP kepada aparat pajak atau
administrasi pajak dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selain itu VTPC
ditentukan oleh tiga hal, yaitu (1) probability of detection (setiap WP
merasa bahwa setiap kegiatan usaha WP diamati oleh DJP), (2) WP mengetahui
persis bahwa ketentuan pajak akan diterapkan, dan (3) sanksi ditegakkan. [7]
Hukum pajak formil dalam susunan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1994, Undang-Undang nomor 16 Tahun 2000, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (KUP) mengatur ketentuan sanksi dalam penegakan hukum
pajak meliputi sanksi administrasi dan sanksi pidana pajak.
Sanksi administrasi sebagaimana diatur di dalam UU KUP meliputi
sanksi administrasi berupa bunga terkait dengan penggunaan uang, sanksi
administrasi denda karena adanya pelanggaran berupa keterlambatan atau tidak
diisinya Surat Pemberitahuan (SPT), sanksi berupa kenaikan, dan sanksi berupa
imbalan bunga yang diberikan akibat kelalaian pihak administrasi pajak yang
tidak memberikan hak-hak Wajib Pajak. Sedangkan sanksi pidana pajak dapat berupa
kurungan dan/atau penjara, dan/atau denda pidana.
Ketentuan sanksi dalam UU perpajakan mengindikasikan
ketidaksinkronan antar muatan berupa pasal-pasal dalam UU KUP. Tulisan ini akan
menampilkan ketidaksinkronan ketentuan-ketentuan berkaitan dengan sanksi
administrasi dan sanksi pidana pajak dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
Pembahasan
Tindak pidana pajak merupakan suatu perbuatan yang melanggar
peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara di
mana pelakunya diancam dengan hukum pidana. Ketentuan yang mengatur tindak
pidana pajak terdapat dalam hukum pidana pajak yang berisi peraturan-peraturan
tentang perbuatan apa yang dapat diancam dengan hukuman, siapa-siapa yang
dihukum dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan.[8]
Sumber hukum formil pidana pajak meliputi perundang-undangan
perpajakan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Rochmat Soemitro dalam Eddy
Mangkuprawira dan Bustamar Ayza berpendapat bahwa sesuai dengan adagium lex
specialis derogat lex generalis maka yang diperlakukan adalah pasal-pasal
pidana dari hukum pajak karena merupakan ketentuan khusus.[9]
Undang-Undang Perpajakan yang mangatur ketentuan hukum pidana pajak
adalah UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor
28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) meliputi
pasal 38, pasal 39, pasal 39A, pasal 40, pasal 41, pasal 41A, pasal 41B, pasal
41C, dan pasal 43.
Objek Tindak Pidana Pajak Pusat yang dikelola DJP dalam ketentuan
peraturan UU KUP adalah:
1.
Sehubungan
dengan pendaftaran dan penggunaan identitas perpajakan, dengan sengaja tidak
mendaftarkan diri (Pasal 39 ayat (1) huruf a UU KUP), atau dengan sengaja
menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)/Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak
(NP-PKP) (Pasal 39 ayat (1) huruf b).
2.
Sehubungan
dengan kewajiban penyampaian SPT karena kealpaan, tidak menyampaikan SPT, atau
menyampaikan SPT, yang isinya tidak benar (Pasal 38 UU KUP), atau dengan
sengaja, tidak menyampaikan SPT (pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP), atau
menyampaikan SPT, yang isinya tidak benar tidak lengkap (Pasal 39 ayat (1)
huruf d UU KUP).
3.
Menolak untuk
dilakukan pemeriksaan (Pasal 39 ayat (1) huruf e UU KUP).
4.
Memperlihatkan
pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah
benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya (Pasal 39 ayat (1)
huruf f UU KUP).
5.
Tidak
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak
meminjamkan buku, catatan, dokumen lainnya (Pasal 39 ayat (1) huruf g UU KUP).
6.
Tidak menyimpan
buku, catatan atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia
(Pasal 39 ayat (1) huruf h UU KUP).
7.
Tidak
menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut (Pasal 39 ayat (1) huruf i
UU KUP).
8.
Pihak lain yang
wajib memberi keterangan atau bukti, dengan sengaja tidak memberi keterangan
atau bukti, atau memberikan keterangan atau bukti yang tidak benar (pasal 41A
UU KUP).
UU Perpajakan, dalam pembahasan tulisan ini adalah UU KUP sebagai
instrumen penegakan hukum pajak (law enforcement), susunan materi di
dalamnya terdapat beberapa hal yang tidak sinkron antar materi dalam
pasal-pasal, khususnya yang mengatur ketentuan terkait dengan ketentuan sanksi
pidana pajak. Penulis dalam hal ini menunjukkan ketidaksinkronan antar pasal
yang mengatur ketentuan sanksi pidana pajak dengan sanksi administrasi.
Beberapa pasal yang tidak sinkron tersebut meliputi, inkonsistensi antara Pasal
7 ayat (1) UU KUP dengan Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP, Pasal 9 ayat (2a) UU
KUP dengan Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP, Pasal 13 ayat (1) huruf d UU KUP
dengan pasal 39 ayat (1) huruf g UU KUP.
Pasal 7 (1) dan Pasal 39 (1) huruf c UU KUP
|
|
Sanksi Administrasi
Pasal 7 (1) UU KUP
|
Sanksi Pidana
Pasal 39 (1) huruf c UU KUP
|
Pasal 7 ayat (1) Apabila Surat Pemberitahuan (SPT) tidak
disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa:
-
Denda sebesar
Rp 500.000 untuk SPT Masa PPN,
-
Denda sebesar
Rp 100.000 untuk SPT Masa lainnya,
-
Denda sebesar
Rp 1.000.000 untuk SPT Tahunan PPh WP Badan,
-
Denda sebesar
Rp 100.000 untuk SPT Tahunan PPh WP OP.
|
Pasal 39 (1) Setiap orang yang dengan sengaja: c. tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
Ketentuan penerapan sanksi pajak bagi WP yang tidak menyampaikan
SPT-nya yang diatur dalam muatan materi KUP Pasal 7 (1) dan Pasal 39 (1)
huruf c UU KUP, diatur secara tumpang tindih sehingga menunjukkan
ketidakjelasan apakah WP hanya akan dikenakan sesuai ketentuan sanksi
administrasi, dikenakan sanksi pidana pajak, atau akumulatif dari keduanya.
Sedangkan, penerapan bentuk sanksi denda administrasi dan denda pidana tidak
menunjukkan proporsi yang sama. Apabila penerapan sanksi bersifat alternatif
dari keduanya, akan sulit menentukan bentuk pelanggaran WP apakah termasuk
tindak pidana pajak atau bukan. Walaupun bentuk tindak pidana pajak Pasal 39
ayat (1) huruf c UU KUP terdapat pernyataan unsur kesengajaan, namun di pasal 7
(1) UU KUP tidak terdapat ketentuan yang jelas yang menunjukkan ketentuan
karena alpha, sengaja, pengulangan (residivis), atau percobaan.
Pasal
9 (2a) dan Pasal 39 (1) huruf i UU KUP
|
|
Sanksi
Administrasi
Pasal
9 (2a) UU KUP
|
Sanksi
Pidana
Pasal
39 (1) huruf i UU KUP
|
Pasal 9 ayat (2a)
Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran
pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan
yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.
|
Pasal 39 ayat
(1) Setiap orang yang dengan sengaja i. tidak menyetorkan pajak
yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6
bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
Pasal
13 (1) huruf d dan Pasal 39 (1) huruf g UU KUP
|
|
Sanksi
Administrasi
Pasal
13 (1) huruf d UU KUP
|
Sanksi
Pidana
Pasal
39 (1) huruf g UU KUP
|
Pasal 13 ayat
(1) Dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur
Jenderal Pajak (DJP) dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
dalam hal-hal sebagai berikut:
d. apabila
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 28* atau pasal 29** tidak
dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.
*Pasal 28 (1)
Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
**Pasal 29
(1) DJP berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan WP dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
Pasal 39 ayat
(1) Setiap orang yang dengan sengaja g. tidak menyelenggarakan pembukuan
atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan
buku, catatan, atau dokumen lain sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6
bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
Pasal 9 (2a) dan Pasal 39 (1) huruf i UU KUP menimbulkan kerancuan dalam menentukan konsekuensi hukum atas
perbuatan WP yang dalam pembayaran atau penyetoran pajaknya apakah karena
terlambat atau apakah karena sengaja tidak dilakukan pembayaran atau
penyetoran. Sementara Pasal 13 (1) huruf d dan Pasal 39 (1) huruf g UU KUP
menimbulkan kerancuan dalam menentukan konsekuensi hukum atas perbuatan WP tidak
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan
atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain apakah karena
terlambat atau apakah karena sengaja tidak dilakukan.
Pasal 9 (2a) UU KUP dan Pasal 13 ayat (1) huruf d UU KUP hanya
menyatakan unsur keterlambatan dan waktu sebagai dasar dikenakannya sanksi
administrasi. Namun, administrasi pajak sulit membedakan antara WP yang
benar-benar dalam penyampaiannya atau pembuatannya terlambat karena tidak
disengaja (lalai) atau yang memang
keterlambatan tersebut ada unsur kesengajaan sebagai bentuk usaha itikad
tidak baik dengan sengaja tidak membayarkan atau menyetorkannya. Pasal-pasal
yang tidak sinkron tersebut rentan dimanfaatkan oleh WP untuk menghindari
kewajiban pajaknya baik melalui tax evasion maupun tax avoidance.
UU KUP dalam menegakkan hukum pajak beberapa pasal menganut prinsip
ultimum remidium. Artinya tidak memaksudkan para pengempalang pajak
untuk dipidanakan tetapi diberikan kesempatan berupa upaya damai agar tercipta VTPC.
Pasal-pasal tersebut meliputi pasal 13A, pasal 44B, pasal 15 ayat (3),
pasal 8 ayat (3) UU KUP. Pasal-pasal tersebut juga menerapkan prinsip schikking
yang mengadopsi dari teori rechtshandhaving (tindakan preventive
setara dengan tindakan represif). Kesempatan berupa upaya damai bagi para
pelaku tindak pidana pajak dianut juga teori restorative justice
(memberi hak WP yang beritikad baik secara sukarela menyampaikan kesalahannya).
Dianutnya teori restorative justice tidak lain adalah untuk kepentingan
penerimaan negara dalam rangka meningkatkan revenue productivity.
Penutup
Ketentuan sanksi
dalam UU KUP merupakan bentuk wibawa hukum pajak dalam menyelenggarakan law
enforcement. Ketentuan sanksi dalam rangka law enforcement bertujuan
untuk meningkatkan VTPC sehingga ketentuan sanksi harus diatur secara
sinkron antar instrumen hukum pajak yang berlaku, khususnya sinkron antar
muatan materi dalam pasal-pasal di UU KUP. Namun ketentuan sanksi yang diatur
dalam UU KUP antar pasal tidak menunjukkan kesinkronan. Beberapa pasal yang
tidak sinkron tersebut meliputi, inkonsistensi antara Pasal 7 ayat (1) UU KUP
dengan Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP, Pasal 9 ayat (2a) UU KUP dengan Pasal
39 ayat (1) huruf i UU KUP, Pasal 13 ayat (1) huruf d UU KUP dengan pasal 39 ayat
(1) huruf g UU KUP. Ketidaksinkronan antar pasal tersebut menimbulkan kerancuan
dalam menentukan konsekuensi yang jelas (apakah sanksi administrasi atau sanksi
pidana pajak) atas suatu perbuatan hukum WP yang tidak sesuai dengan UU
Perpajakan.
Daftar Pustaka
Direktorat
Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran Republik Indonesia, Informasi
APBN 2016 Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Memperkuat Pondasi
Pembangunan yang Berkualitas.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sekretariat Jenderal Republik Indonesia, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah.
Mangkuprawira,
Eddy dan Bustamat Ayza, “Modul Hukum Pidana Pajak dan Penyidikan Pajak”,
Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu
Administrasi Program Studi Ilmu Administrasi Pajak, (2010).
Republik
Indonesia, Undang-Undang Pajak Lengkap Tahun 2014: Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang nomor 16 Tahun 2000, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Jakarta: Mitra Wacana Media
(2014).
Rosdiana,
Haula, dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan
Implementasi di Indonesia, Cetakan ke-2, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
(2013).
[1]
Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran Republik Indonesia,
Informasi APBN 2016 Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Memperkuat Pondasi
Pembangunan yang Berkualitas.
[2]
Dr. Haula Rosdiana, M. Si. dan Dr. Edi Slamet Irianto, M. Si.,
Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia,
Cetakan ke-2, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, (2013), halaman 45.
[3]
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sekretariat Jenderal Republik Indonesia, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah.
[4]
Eddy Mangkuprawira dan Bustamat Ayza, “Modul Hukum Pidana Pajak dan Penyidikan
Pajak”, Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen
Ilmu Administrasi Program Studi Ilmu Administrasi Pajak, (2010), halaman 2.
[5]
Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, (2013), halaman 83-84.
[6]
Eddy Mangkuprawira dan Bustamat Ayza, “Modul Hukum Pidana Pajak dan Penyidikan
Pajak”, (2010), halaman 2.
[7]
Eddy Mangkuprawira dalam penyampaian materi perkuliahan Investigasi dan
Penyidikan Pajak, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia pada Kamis,
9 Februari 2017.
[8]
Eddy Mangkuprawira dan Bustamar Ayza, (2010), halaman 14.
[9]
Eddy Mangkuprawira dan Bustamar Ayza, (2010), halaman 16.
Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185
Comments
Post a Comment
Your comments help me improving my papers; therefore, I'm going to be glad receiving your advice. Thanks for visiting my blog.