Skip to main content

Ketidaksinkronan Ketentuan Sanksi Pidana Pajak dan Sanksi Administrasi Pajak dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan



Pendahuluan
 
Kontribusi pajak terhadap pendapatan negara berdasarkan Informasi APBN 2016 adalah sebesar 75% atau setara dengan Rp 1.360,2 triliun dari total pendapatan negara Rp 1.822,5 triliun.[1] Menurut Prof. Dr. Haula Rosdiana, M. Si. dan Dr. Edi Slamet Irianto, M. Si. dalam Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia, pajak sebagai komponen utama untuk mengisi kas negara memiliki fungsi sebagai sumber penerimaan negara yang aman, murah, dan berkelanjutan.[2] Melihat vitalnya peran pajak terhadap sumber penerimaan negara terhadap APBN diperlukan upaya penegakan hukum pajak yang merupakan amanat konstitusi negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 A bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”,[3] maka diperlukan upaya penegakan hukum pajak (law enforcement).
Eddy Mangkuprawira dan Bustamar Ayza dalam Modul Hukum Pidana Pajak dan Penyidikan Pajak[4] mengatakan bahwa Undang-Undang Perpajakan telah memberikan kewenangan yang besar kepada Pemerintah untuk melaksanakan penegakan Hukum Pajak dalam rangka mengamankan/meningkatkan penerimaan pajak . Penegakan hukum pajak/tax law (sebagai bagian dari kebijakan pajak/tax policy) merupakan satu kesatuan dengan administrasi perpajakan/tax administration dalam menopang sistem perpajakan.[5] Penegakan hukum pajak sebagaimana Eddy Mangkuprawira katakan tidak lain adalah sebagai upaya untuk mencapai voluntary tax payer compliance (VTPC) dalam arti bahwa agar Wajib Pajak (WP) mematuhi kewajiban perpajakan atau membayar/menyetor pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan.[6]
Undang-Undang Perpajakan mengatur tentang ketentuan sanksi. Ketentuan sanksi tersebut termuat dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur ketentuan hukum pajak formil. Ketentutan sanksi sebagaimana dikatakan oleh Eddy Mangkuprawira memberikan wibawa pada hukum (yang bersifat memaksa) sehingga tercipta VTPC. VTPC itu sendiri dapat tercapai ketika terdapat kepercayaan (trust) oleh WP kepada aparat pajak atau administrasi pajak dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selain itu VTPC ditentukan oleh tiga hal, yaitu (1) probability of detection (setiap WP merasa bahwa setiap kegiatan usaha WP diamati oleh DJP), (2) WP mengetahui persis bahwa ketentuan pajak akan diterapkan, dan (3) sanksi ditegakkan. [7]
Hukum pajak formil dalam susunan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang nomor 16 Tahun 2000, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengatur ketentuan sanksi dalam penegakan hukum pajak meliputi sanksi administrasi dan sanksi pidana pajak.
Sanksi administrasi sebagaimana diatur di dalam UU KUP meliputi sanksi administrasi berupa bunga terkait dengan penggunaan uang, sanksi administrasi denda karena adanya pelanggaran berupa keterlambatan atau tidak diisinya Surat Pemberitahuan (SPT), sanksi berupa kenaikan, dan sanksi berupa imbalan bunga yang diberikan akibat kelalaian pihak administrasi pajak yang tidak memberikan hak-hak Wajib Pajak. Sedangkan sanksi pidana pajak dapat berupa kurungan dan/atau penjara, dan/atau denda pidana.
Ketentuan sanksi dalam UU perpajakan mengindikasikan ketidaksinkronan antar muatan berupa pasal-pasal dalam UU KUP. Tulisan ini akan menampilkan ketidaksinkronan ketentuan-ketentuan berkaitan dengan sanksi administrasi dan sanksi pidana pajak dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pembahasan
Tindak pidana pajak merupakan suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara di mana pelakunya diancam dengan hukum pidana. Ketentuan yang mengatur tindak pidana pajak terdapat dalam hukum pidana pajak yang berisi peraturan-peraturan tentang perbuatan apa yang dapat diancam dengan hukuman, siapa-siapa yang dihukum dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan.[8]
Sumber hukum formil pidana pajak meliputi perundang-undangan perpajakan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Rochmat Soemitro dalam Eddy Mangkuprawira dan Bustamar Ayza berpendapat bahwa sesuai dengan adagium lex specialis derogat lex generalis maka yang diperlakukan adalah pasal-pasal pidana dari hukum pajak karena merupakan ketentuan khusus.[9]
Undang-Undang Perpajakan yang mangatur ketentuan hukum pidana pajak adalah UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) meliputi pasal 38, pasal 39, pasal 39A, pasal 40, pasal 41, pasal 41A, pasal 41B, pasal 41C, dan pasal 43.
Objek Tindak Pidana Pajak Pusat yang dikelola DJP dalam ketentuan peraturan UU KUP adalah:
1.      Sehubungan dengan pendaftaran dan penggunaan identitas perpajakan, dengan sengaja tidak mendaftarkan diri (Pasal 39 ayat (1) huruf a UU KUP), atau dengan sengaja menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)/Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NP-PKP) (Pasal 39 ayat (1) huruf b).
2.      Sehubungan dengan kewajiban penyampaian SPT karena kealpaan, tidak menyampaikan SPT, atau menyampaikan SPT, yang isinya tidak benar (Pasal 38 UU KUP), atau dengan sengaja, tidak menyampaikan SPT (pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP), atau menyampaikan SPT, yang isinya tidak benar tidak lengkap (Pasal 39 ayat (1) huruf d UU KUP).
3.      Menolak untuk dilakukan pemeriksaan (Pasal 39 ayat (1) huruf e UU KUP).
4.      Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya (Pasal 39 ayat (1) huruf f UU KUP).
5.      Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, dokumen lainnya (Pasal 39 ayat (1) huruf g UU KUP).
6.      Tidak menyimpan buku, catatan atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia (Pasal 39 ayat (1) huruf h UU KUP).
7.      Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut (Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP).
8.      Pihak lain yang wajib memberi keterangan atau bukti, dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberikan keterangan atau bukti yang tidak benar (pasal 41A UU KUP).
UU Perpajakan, dalam pembahasan tulisan ini adalah UU KUP sebagai instrumen penegakan hukum pajak (law enforcement), susunan materi di dalamnya terdapat beberapa hal yang tidak sinkron antar materi dalam pasal-pasal, khususnya yang mengatur ketentuan terkait dengan ketentuan sanksi pidana pajak. Penulis dalam hal ini menunjukkan ketidaksinkronan antar pasal yang mengatur ketentuan sanksi pidana pajak dengan sanksi administrasi. Beberapa pasal yang tidak sinkron tersebut meliputi, inkonsistensi antara Pasal 7 ayat (1) UU KUP dengan Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP, Pasal 9 ayat (2a) UU KUP dengan Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP, Pasal 13 ayat (1) huruf d UU KUP dengan pasal 39 ayat (1) huruf g UU KUP.
Pasal 7 (1) dan Pasal 39 (1) huruf c UU KUP
Sanksi Administrasi
Pasal 7 (1) UU KUP
Sanksi Pidana
Pasal 39 (1) huruf c UU KUP
Pasal 7 ayat (1) Apabila Surat Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa:
-          Denda sebesar Rp 500.000 untuk SPT Masa PPN,
-          Denda sebesar Rp 100.000 untuk SPT Masa lainnya,
-          Denda sebesar Rp 1.000.000 untuk SPT Tahunan PPh WP Badan,
-          Denda sebesar Rp 100.000 untuk SPT Tahunan PPh WP OP.
Pasal 39 (1) Setiap orang yang dengan sengaja: c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Ketentuan penerapan sanksi pajak bagi WP yang tidak menyampaikan SPT-nya yang diatur dalam muatan materi KUP Pasal 7 (1) dan Pasal 39 (1) huruf c UU KUP, diatur secara tumpang tindih sehingga menunjukkan ketidakjelasan apakah WP hanya akan dikenakan sesuai ketentuan sanksi administrasi, dikenakan sanksi pidana pajak, atau akumulatif dari keduanya. Sedangkan, penerapan bentuk sanksi denda administrasi dan denda pidana tidak menunjukkan proporsi yang sama. Apabila penerapan sanksi bersifat alternatif dari keduanya, akan sulit menentukan bentuk pelanggaran WP apakah termasuk tindak pidana pajak atau bukan. Walaupun bentuk tindak pidana pajak Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP terdapat pernyataan unsur kesengajaan, namun di pasal 7 (1) UU KUP tidak terdapat ketentuan yang jelas yang menunjukkan ketentuan karena alpha, sengaja, pengulangan (residivis), atau percobaan.
Pasal 9 (2a) dan Pasal 39 (1) huruf i UU KUP
Sanksi Administrasi
Pasal 9 (2a) UU KUP
Sanksi Pidana
Pasal 39 (1) huruf i UU KUP
Pasal 9 ayat (2a) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.

Pasal 39 ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Pasal 13 (1) huruf d dan Pasal 39 (1) huruf g UU KUP
Sanksi Administrasi
Pasal 13 (1) huruf d UU KUP
Sanksi Pidana
Pasal 39 (1) huruf g UU KUP
Pasal 13 ayat (1) Dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak (DJP) dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 28* atau pasal 29** tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.

*Pasal 28 (1) Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
**Pasal 29 (1) DJP berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan WP dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal 39 ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Pasal 9 (2a) dan Pasal 39 (1) huruf i UU KUP menimbulkan kerancuan dalam menentukan konsekuensi hukum atas perbuatan WP yang dalam pembayaran atau penyetoran pajaknya apakah karena terlambat atau apakah karena sengaja tidak dilakukan pembayaran atau penyetoran. Sementara Pasal 13 (1) huruf d dan Pasal 39 (1) huruf g UU KUP menimbulkan kerancuan dalam menentukan konsekuensi hukum atas perbuatan WP tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain apakah karena terlambat atau apakah karena sengaja tidak dilakukan.
Pasal 9 (2a) UU KUP dan Pasal 13 ayat (1) huruf d UU KUP hanya menyatakan unsur keterlambatan dan waktu sebagai dasar dikenakannya sanksi administrasi. Namun, administrasi pajak sulit membedakan antara WP yang benar-benar dalam penyampaiannya atau pembuatannya terlambat karena tidak disengaja (lalai) atau yang memang  keterlambatan tersebut ada unsur kesengajaan sebagai bentuk usaha itikad tidak baik dengan sengaja tidak membayarkan atau menyetorkannya. Pasal-pasal yang tidak sinkron tersebut rentan dimanfaatkan oleh WP untuk menghindari kewajiban pajaknya baik melalui tax evasion maupun tax avoidance.
UU KUP dalam menegakkan hukum pajak beberapa pasal menganut prinsip ultimum remidium. Artinya tidak memaksudkan para pengempalang pajak untuk dipidanakan tetapi diberikan kesempatan berupa upaya damai agar tercipta VTPC. Pasal-pasal tersebut meliputi pasal 13A, pasal 44B, pasal 15 ayat (3), pasal 8 ayat (3) UU KUP. Pasal-pasal tersebut juga menerapkan prinsip schikking yang mengadopsi dari teori rechtshandhaving (tindakan preventive setara dengan tindakan represif). Kesempatan berupa upaya damai bagi para pelaku tindak pidana pajak dianut juga teori restorative justice (memberi hak WP yang beritikad baik secara sukarela menyampaikan kesalahannya). Dianutnya teori restorative justice tidak lain adalah untuk kepentingan penerimaan negara dalam rangka meningkatkan revenue productivity.
Penutup
            Ketentuan sanksi dalam UU KUP merupakan bentuk wibawa hukum pajak dalam menyelenggarakan law enforcement. Ketentuan sanksi dalam rangka law enforcement bertujuan untuk meningkatkan VTPC sehingga ketentuan sanksi harus diatur secara sinkron antar instrumen hukum pajak yang berlaku, khususnya sinkron antar muatan materi dalam pasal-pasal di UU KUP. Namun ketentuan sanksi yang diatur dalam UU KUP antar pasal tidak menunjukkan kesinkronan. Beberapa pasal yang tidak sinkron tersebut meliputi, inkonsistensi antara Pasal 7 ayat (1) UU KUP dengan Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP, Pasal 9 ayat (2a) UU KUP dengan Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP, Pasal 13 ayat (1) huruf d UU KUP dengan pasal 39 ayat (1) huruf g UU KUP. Ketidaksinkronan antar pasal tersebut menimbulkan kerancuan dalam menentukan konsekuensi yang jelas (apakah sanksi administrasi atau sanksi pidana pajak) atas suatu perbuatan hukum WP yang tidak sesuai dengan UU Perpajakan.
Daftar Pustaka
Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran Republik Indonesia, Informasi APBN 2016 Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Memperkuat Pondasi Pembangunan yang Berkualitas.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sekretariat Jenderal Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah.
Mangkuprawira, Eddy dan Bustamat Ayza, “Modul Hukum Pidana Pajak dan Penyidikan Pajak”, Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Administrasi Program Studi Ilmu Administrasi Pajak, (2010).
Republik Indonesia, Undang-Undang Pajak Lengkap Tahun 2014: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang nomor 16 Tahun 2000, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Jakarta: Mitra Wacana Media (2014).
Rosdiana, Haula, dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia, Cetakan ke-2, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, (2013).




[1] Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran Republik Indonesia, Informasi APBN 2016 Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Memperkuat Pondasi Pembangunan yang Berkualitas.
[2] Dr. Haula Rosdiana, M. Si. dan Dr. Edi Slamet Irianto, M. Si., Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia, Cetakan ke-2, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, (2013), halaman 45.
[3] Majelis Permusyawaratan Rakyat Sekretariat Jenderal Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah.
[4] Eddy Mangkuprawira dan Bustamat Ayza, “Modul Hukum Pidana Pajak dan Penyidikan Pajak”, Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Administrasi Program Studi Ilmu Administrasi Pajak, (2010), halaman 2.
[5] Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, (2013), halaman 83-84.
[6] Eddy Mangkuprawira dan Bustamat Ayza, “Modul Hukum Pidana Pajak dan Penyidikan Pajak”, (2010), halaman 2.
[7] Eddy Mangkuprawira dalam penyampaian materi perkuliahan Investigasi dan Penyidikan Pajak, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia pada Kamis, 9 Februari 2017.
[8] Eddy Mangkuprawira dan Bustamar Ayza, (2010), halaman 14.
[9] Eddy Mangkuprawira dan Bustamar Ayza, (2010), halaman 16.

Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185

Comments

Popular posts from this blog

Kenapa angka India menjadi angka Arab?

Kebanyakan dari kita mungkin mengira angka Arab seperti angka-angka yang tercantum di dalam Al-Qur’an. Namun pada kenyataannya angka Arab bukanlah seperti yang selama ini kita asumsikan. Angka Arab itu sendiri sebenarnya angka yang sekarang menjadi angka internasional yaitu 1, 2, 3, 4, 5, ...dst. Lalu, angka yang kita kenal sebagai angka Arab yang ada di Al Qur’an itu angka apa? Fakta yang lucu. Ketika masyarakat umum dunia menyebutnya angka Arab, tapi orang Arab sendiri justru menyebutnya sebagai angka Hindi. Angka Arab yang sebenarnya adalah angka India yaitu ١ , ٢ , ٣ , ٤ , ٥ , ٦ , ٧ , ٨ , ٩ ,١٠ . Hal ini bisa dilihat dari sejarah perkembangan evolusi tulisan angka Arab dan Hindi itu sendiri. Kenyataannya angka-angka yang kita pakai saat ini adalah keturunan dari angka India. Dan sistem angka Hindu-Arab dikembangkan oleh matematikawan India. Angka India kemudian diadopsi oleh matematikawan Persia di India, dan diteruskan lebih lanjut kepada orang-orang Arab di sebelah barat. ...

Go-Jek Indonesia dan Tantangan Lingkungan dalam Perspektif Teori Organisasi

Organisasi bisnis jasa online , dewasa ini sedang banyak dikembangkan di Indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya penawaran fasilitas-fasilitas yang berdalih memberikan kemudahan dalam memenuhi setiap kebutuhan dan aktivitas masyarakat yang dikemas secara online dalam sebuah software aplikasi. Sebagaimana dapat kita amati, kemunculan berbagai bentuk layanan belanja online seperti Tokopedia , Bukalapak , Lazada , OLX , Grab-Bike , dan Go-Jek. Terkait hal bisnis jasa online , dalam tulisan ini akan dibahas mengenai layanan Go-Jek Indonesia. Go-Jek merupakan startup lokal di bidang digital. Selain Go-Jek, terdapat juga Grab-Bike yang merupakan startup asal Malaysia. Khususnya Go-Jek, ini sangat cermat dalam melihat kondisi lingkungan, yang terkait kemacetan yang terjadi di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Ide diciptakannya layanan Go-Jek muncul dari lingkungan eksternal organisasi Go-Jek, yaitu masyarakat (yang kemudian menjadi target sebagai customer Go-Jek) dan kemace...

Tanya Jawab Seputar Manusia dan Masyarakat Indonesia

1.       Soal: Setiap sukubangsa/etnis di Indonesia, memiliki budaya yang mendasari terbangunnya kearifan lokal untuk kelangsungan hidup mereka saat beradaptasi dengan lingkungan alamnya, baik dalam mengelola sumberdaya alam, mitigasi bencana dan berbagai kehidupan sosial. Sebut dan jelaskan langkah-langkah yang konstruktif harus dilakukan pemerintah dalam membangun kemitraan dengan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan budaya! Pembahasan: Kearifan lokal merupakan prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat. [1] Kearifan lokal juga berkaitan dengan strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. [2] Hidup yang berdampingan dengan alam mengharuskan kita mampu beradaptasi den...