Perilaku Adaptif Waria dalam Merepresentasikan Eksistensi Diri sebagai Gender Ketiga di Indonesia dalam Perspektif Antropologi
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Fenomena waria tidaklah asing lagi di telinga kita. Waria muncul
bukanlah baru-baru ini, namun sudah melekat di dalam budaya bangsa Indonesia
sendiri. Istilah waria pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1983 di wilayah
Jawa Timur, yang mana kata ini merupakan akronim dari wanita-pria.[1] Fenomena
waria sebenarnya memiliki keterkaitan erat dengan akar budaya Indonesia.
Sejarah budaya di Indonesia mencatat adanya beberapa seni pertunjukan yang
memang memakai waria sebagai unsur utama dalam pentasnya, sebut saja kesenian
ludruk dan gandrung yang berasal dari daerah Jawa. Terdapatnya peran waria
dalam panggung ludruk maupun gandrung dimungkinkan kontruksi sebagian agamawan
(Islam) yang dulu menolak tampilnya perempuan dalam pentas pertunjukan. Hal ini
kemudian disiasati dengan cara merias laki-laki sebagai perempuan, dengan
merubah gaya dan penampilan selayaknya perempuan, kekenesan, kekonyolan, dan
sekaligus banyolan-banyolan yang sengaja diperagakan oleh waria untuk menjadi
magnet dalam pertunjukan.[2]
Seiring perkembangan jaman, waria akhir-akhir ini tidak hanya kita
temui di pertunjukan kesenian saja yang sekedar bermain peran, namun mereka malahan
sengaja berekspresi di depan publik untuk menunjukkan eksistensi mereka agar
mereka dapat diakui keberadaannya sebagai bagian anggota masyarakat. Bahkan
dalam menjalankan aktivitas profesinya sehari-hari, lihat saja para pengamen,
Pekerja Seks Komersial (PSK), penjahit, fashion designer, kapster salon,
entertainer, tidak jarang sebagian dari mereka adalah para waria.
Namun, kehadiran waria masih menjadi masalah kontroversial bagi
kalangan tokoh agama, masyarakat, bahkan pemerintah yang dinilai sebagai
penyimpangan orientasi seksual dan menyalahi kodrat.
Sebenarnya, serangkaian konflik yang dialami kaum waria di berbagai
tempat di Indonesia, tidak lepas dari sebuah tatanan politik dan demokratisasi
yang semakin terbuka. Keberanian waria dalam berekspresi dan pada saat yang
sama terjadi tekanan massif yang dilakukan terhadap kaum waria, merupakan
sebuah konstruksi sosial politik terkini dari wajah keterbukaan di Indonesia.
Kita ketahui bahwa perbedaan etnis, perbedaan politis, dan
kehadiran waria bukan hal yang penting pada masa lalu. Tetapi kemudian
dihadirkan kembali pada masa kini dengan tingkat kompleksitas permasalahan yang
semakin tinggi.
Kaum waria di Indonesia sebenarnya telah mendapat jaminan perlindungan
dengan disahkannya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 5
ayat 3 yang menyebut: “...berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya”.[3]
Saat ini kaum waria oleh HAM ditempatkan sebagai kelompok minoritas
subkomisi perlindungan kelompok khusus. Tapi, walaupun telah ada dasar
hukumnya, waria di Indonesia masih mendapat perlakuan yang berbeda.
Peran menjadi seorang waria sebenarnya bukan sebuah kemauan dari diri
sendiri tetapi kondisi tertentu yang memang mengharuskan untuk menjadi waria.
Kondisi tersebut akhirnya memaksa seorang individu untuk menyesuaikan dirinya
untuk menjadi identitas sebagaimana waria.
Namun, masyarakat tidak melihat kepribadian asli waria tersebut, yang ada
masyarakat di Indonesia hanya mengejek bahkan melecehkan keberadaannya. Akhirnya, berbagai usaha untuk memperjuangkan
diakuinya eksistensi waria sebagai gender ketiga pun terus diagung-agungkan.
Sehingga muncul ide dari penulis untuk mengkaji faktor-faktor apa saja yang
menjadi alasan seseorang menjadi waria, bagaimana seseorang beradaptasi diri
menjadi identitas sebagai waria, dan bagaimana waria mengkomunikasikan
eksistensi dirinya untuk dapat diterima di masyarakat yang terangkum dalam
makalah yang berjudul “Perilaku
Adaptif Waria dalam Merepresentasikan Eksistensi Diri sebagai Gender
Ketiga di Indonesia dalam Perspektif
Antropologi”.
2.
Rumusan Masalah
Keberadaan waria sebenarnya bukan suatu hal yang diharapkan bagi
masyarakat dan waria itu sendiri. Namun ketika suatu kondisi memaksa seseorang
untuk menjadi waria, tak bisa dipungkiri lagi. Para pelaku akan mencoba untuk
menyesuaikan diri untuk menjadi identitas diri sebagai waria dan siap dengan
segala reaksi dari pihak-pihak lain karena pada hakikatnya waria adalah bagian
dari anggota masyarakat yang rentan akan konflik. Lalu, dalam makalah ini
penulis merumuskan:
1.
Apa faktor-faktor yang
menjadi alasan seseorang menjadi waria?
2.
Bagaimana seseorang
beradaptasi diri menjadi identitas sebagai waria?
3.
Bagaimana waria
mengkomunikasikan eksistensi dirinya untuk dapat diterima di masyarakat?
3.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan
pengetahuan kepada masyarakat akan hakikat kehidupan waria dari perspektif
antropologi, sehingga diharapkan masyarakat bisa menerima kehadiran waria
sebagai bagian dari unsur masyarakat. Pada akhirnya, waria bisa nyaman dalam
menjalankan identitas dirinya sebagai waria sebagai gender ketiga.
BAB II
LANDASAN TEORI
1.
Deskripsi Kasus
Waria di Indonesia
Berdasarkan berita yang dimuat news.detik.com
(Kamis, 02/05/2007)[4], selama
ini kaum waria selalu mendapat perlakuan yang diskriminatif. Bahkan mereka
tidak diberi kesempatan untuk bekerja. Jadi mereka terpaksa turun ke jalan
dengan melayani kebutuhan seks pria hidung belang. Semua itu mereka lakukan
hanya untuk menyambung hidup karena mereka tidak diterima di sektor pekerjan
formal padahal waria banyak yang lulusan sarjana sehingga terpaksa mereka
terjun ke dunia informal seperti prostitusi.
Selama ini, kaum waria tidak pernah
dianggap ada. Padahal mereka adalah bagian dari komponen bangsa. Penyebabnya,
selama ini masyarakat memandang waria dari orientasi seksnya saja. Pemerintah
ataupun masyarakat tidak melihat potensi waria dalam sudut pandang kapabilitas
dan kemampuan dalam melakukan pekerjaan di sektor formal. Bagaimana mereka bisa
mengeksploitasi kemampuan mereka. Sedangkan kesempatan tidak mereka dapatkan.
Banyak waria berpendidikan dan berkemampuan tinggi. Tapi kemampuan itu hanya
bisa terpendam. Sebab kesempatan untuk uji diri mereka tidak ada.
Selain tidak diberi kesempatan
kelompok ini juga mengeluh perlakuan diskriminatif yang selama ini mereka
terima. Banyak waria yang mendapat intimidasi, baik oleh pimpinan maupun rekan
kerjanya. Misalnya yang terjadi di Ciputat. Waria bernama Bella selalu mendapat
tekanan dari teman-teman kerja dan atasannya. Bahkan Bella didesak untuk keluar
dari tempat kerjanya. Begitu pun dengan Budi alias Sinta, yang bekerja di
sebuah departemen store di daerah Bogor, Jawa Barat. Tekanan terhadap mereka
disebabkan keduanya berperilaku feminim. Akibatnya mereka dipaksa harus
berperilaku layaknya kaum pria pada umumnya. Kalau tidak mereka diminta keluar
dari pekerjaannya.
Ini bentuk diskriminasi. Padahal
pekerjaan yang dilakukan Bella maupun Sinta tidak masalah. Keduanya bekerja
dengan baik. Yang dipersoalkan pimpinan mereka hanya sebatas perilaku feminim
yang ditunjukan keduanya.
Dari kasus tersebut dapat disimpulkan
bahwa orientasi seksual yang berbeda belum bisa diterima oleh masyarakat
sebagai identitas sosial, sehingga menghambat penerimaan hak-hak seseorang.
Tidak tercapainya hak-hak itu membuat seseorang memilih jalan pintas yang
kadang dinilai sebagai bentuk penyimpangan sosial. Seperti misal ketika
seseorang laki-laki mengalami ketidaksesuaian
antara fisik dan identitas gendernya, mereka pun tidak dapat menjalankan fungsi
peran gendernya sebagai laki-laki sesuai dengan yang dikonstruksikan
masyarakat. Adanya ketidaksesuaian ini mengakibatkan laki-laki tersebut tidak
senang dengan fisiknya dan ingin mengubahnya. Untuk mendukung perubahan
tersebut maka seorang laki-laki akan beradaptasi dengan bertingkah laku seperti
yang dipersepsikan oleh dirinya dan mengidentifikasikan dirinya sebagai
perempuan dengan cara berdandan sebagai perempuan dan berperilaku feminim.
2.
Waria dan
Identitas Diri
Istilah waria merupakan akronim dari “wanita tapi pria”. Istilah
lain yang sering digunakan adalah banci yang kemudian bermetamorfosa menjadi
bencong. Ada lagi istilah wadam yang merupakan kependekan dari kata wanita
adam, namun istilah ini sudah tidak populer lagi.[5]
Waria adalah orang yang tidak memiliki ketidaksesuaian antara fisik
dan identitas gendernya. Mereka merasa bahwa jauh dalam dirinya, biasanya sejak
masa kanak-kanak, mereka adalah orang yang berjenis kelamin beda dengan dirinya
saat ini.[6]
Adanya ketidaksesuaian ini mengakibatkan waria tidak senang dengan alat
kelaminnya dan ingin mengubahnya. Untuk mendukung perubahan tersebut maka waria
akan bertingkah laku seperti perempuan dan mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan
dengan cara berdandan sebagai perempuan.[7]
Waria jika dilihat dari konteks sosiologi merupakan transgender.
Transgender didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang untuk berpenampilan
berkebalikan dari jenis kelaminnya atau berkebalikan dari fungsi gender yang
dikonstruksikan masyarakat. Transgender digunakan untuk menggambarkan keadaan
mental seseorang yang merasa dirinya tidak berada pada gender yang tepat, namun
tidak berusaha merubah jenis kelaminnya. Sementara dari konteks psikologis,
waria adalah seorang transeksual yang merasa dirinya tidak berada pada raga
yang tepat sehingga cenderung ingin mengubah perilakunya dengan jenis kelamin
yang berseberangan dengan kondisi lahiriahnya dan bahkan beberapa di antaranya
mengubah alat kelaminnya menjadi lawan jenisnya (the opposite gender).[8]
Ketika gangguan tersebut mulai terjadi pada masa kanak-kanak, hal
tersebut akan dihubungkan dengan banyaknya perilaku lintas gender, seperti
berpakaian seperti perempuan, dan melakukan permainan yang secara umum dianggap
sebagai permainan perempuan.[9]
Karena kondisi psikologisnya inilah maka waria berperilaku
transvestit atau cross dressing. Mereka menggunakan pakaian dari lawan
jenisnya dan menciptakan identitas baru sebagai seorang perempuan, dengan
mengubah nama panggilan misalnya.
Waria dapat dikatakan sebagai jenis kelamin ketiga yang memiliki sifat
antara pria dan wanita tetapi bukan penggabungan di antara keduanya. Waria
memiliki ketidaksesuaian secara fisik, psikis, dan seks, di mana secara fisik
waria berwujud sebagai laki-laki, sementara secara psikologis dia bertingkah
laku seperti perempuan dan memiliki perilaku penyimpangan seksual.
Secara psikiatrik waria dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:[10] (a) Kelompok
Transesksual: laki-laki yang mengalami ketidakserasian pada jenis biologis dan
kelamin mereka sehingga memiliki keinginan untuk menghilangkan dan mengganti
alat kelaminnya dan hidup sebagai lawan jenisnya. Sebagai langkah awal mereka
akan menghilangkan ciri khas laki-laki melalui operasi, misalnya pada payudara,
dagu, kelopak mata atau minimal mereka merasa perlu merias diri dan berpakaian
sebagai wanita. (b) Kelompok transvestit: yaitu laki-laki yang mendapat
kepuasan ketika memakai baju perempuan. Perilaku ini biasanya dilakukan pada
saat-saat tertentu saja terutama pada saat ingin berhubungan seksual. Kelompok
transvestit mendapatkan gairah seksual dengan mengenakan pakaian perempuan.
Dari segi orientasi seksual, kelompok transvestit adalah heteroseksual yang
biasanya menikah. (c) Kelompok homoseksual penderita transvetisme: kelompok
homoseksual yang mendapatkan kepuasan atau gairah seksual dengan mengenakan
pakaian perempuan. Beberapa di antara mereka mengenakan pakaian perempuan untuk
mendapatkan pasangan homoseksual dan bukan karena memiliki keinginan ingin
menjadi transeksual. (d) Kelompok opportunies: laki-laki dalam kelompok ini
tidak memiliki kelainan seksual, namuin mereka mengenakan pakaian perempuan
untuk mencari nafkah, biasanya adalah seorang entertainer seperti Aming dan
Tata Dado.
BAB III
PEMBAHASAN
1.
Bentuk Adaptasi
Identitas Diri Waria sebagai Representasi Eksistensi Diri sebagai Gender Ketiga
Waria sebagai bagian dari unsur
anggota masyarakat keberadaannya yang minoritas berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 5 ayat 3 yang menyebut: “...berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”.[11]
Dalam pasal tersebut kaum waria
digolongkan dalam hal berkenaan dengan kekhususannya.
Mengacu pada peraturan
perundang-undangan tersebut maka banyak kalangan waria mencoba
merepresentasikan eksistensi dirinya berkenaan dengan kekhususannya sebagai
gender ketiga untuk dapat dipenuhi hak-haknya dengan perlakuan yang sama di
dalam pemenuhan kebutuhan dirinya seperti mendapat posisi dalam pekerjaan
formal sebagaimana laki-laki dan perempuan.
Bentuk representasi waria sebagai
gender ketiga dapat diamati dari adaptasi dirinya melalui pola berpakaian dan penggunaan
fashion sehari-hari. [12]
Waria merasa dirinya adalah perempuan
yang dirinya terperangkap dalam tubuh laki-laki. Keyakinan bahwa mereka adalah
perempuan namun ada dalam raga yang salah pada akhirnya menghasilkan suatu pola
berpakaian yang secara utuh mengadaptasi wujud perempuan yang mereka temui
sehari-hari. Hal ini adalah upaya untuk mengkomunikasikan sosok perempuan yang
ada dalam diri mereka, yang mereka yakini sebagai gender asli mereka, itulah
sebabnya mereka mengganti celana yang umumnya digunakan laki-laki menjadi rok.
Mereka juga tidak ragu untuk mengenakan bra dan make-up yang lengkap.
Namun, kadangkala meski merasa dirinya
adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki, ada waria yang merasa
kurang nyaman untuk sepenuhnya berpakaian seperti perempuan. Biasanya mereka
cenderung risih memakai rok dan lebih
memilih menggunakan celana jeans. Hal ini biasanya terjadi karena beberapa
faktor yaitu antara lain baru memutuskan untuk melakukan cross dressing
sehingga cenderung masih risih untuk secara total berpenampilan perempuan
(feminin). Faktor lain yang juga tidak kalah penting adalah lingkungan.
Biasanya waria yang belum meninggalkan lingkungan aslinya dan masih berada di
dekat keluarganya lebih canggung untuk total berpenampilan perempuan.
Ada juga yang meski merasa dirinya
adalah perempuan, namun banyak waria yang sadar bahwa mereka bukanlah
perempuan. Hal ini memacu untuk tampil melebihi perempuan itu sendiri. Salah
satu penyebabnya adalah waria merasa bahwa perempuan adalah saingan mereka
dalam mendapatkan perhatian laki-laki, sehingga mereka berusaha untuk tampil
melebihi perempuan agar dapat menarik perhatian dari laki-laki.
Kekhasan pola pakaian waria biasanya
terlihat ketika mereka tampil dalam acara-acara khusus. Seperti kebanyakan
perempuan, waria juga senang berdandan, tampil, dan diperhatikan. Bedanya
adalah biasanya waria memiliki rasa haus yang lebih besar untuk menjadi pusat
perhatian dibandingkan perempuan. Tidak heran jika kemudian waria sering tampil
lebih glamor atau dalam istilah mereka sendiri ‘extravaganza’, misalnya
menggunakan kain berekor, tampil seperti Miss Universe dalam penampilan
sehari-hari. Selain agar dapat lebih banyak menarik perhatian orang, pola
berpakaian yang heboh ini sebenarnya dilakukan untuk menutupi karakter diri
laki-laki yang tentunya tak dapat dipungkiri akan melekat di dalam diri mereka.
2.
Faktor-Faktor yang Mendorong Seseorang Menjatuhkan Pilihan
Menjadi Waria
Faktor penyebab munculnya perubahan perilaku dari laki-laki menjadi
waria dapat ditinjau dari beberapa perspektif. Misal bisa kita amati dalam bentuk adaptasi mereka melalui
perubahan pola berpakaian waria, dari pola pakaian laki-laki menjadi perempuan
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mengadaptasi persepsi waria bahwa dirinya
tidak pada sosok tubuh yang tepat. Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa
terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi pola perilaku manusia, yaitu faktor
personal dan faktor situasional.[13]
1.
Faktor personal meliputi faktor biologis dan sosiopsikologis.
a.
Faktor biologis biasanya merupakan faktor terbesar
yang membawa perubahan dalam diri laki-laki yang memutuskan untuk melakukan cross
dressing. Sebagian waria merasa bahwa mereka berada pada sosok tubuh yang
salah biasanya dimulai sejak usia dini (usia SD). Perilaku ini ditandai
biasanya pada cara berbicara yang cenderung feminin. Selain itu pola bermainnya
pun berbeda dengan anak laki-laki kebanyakan. Biasanya mereka lebih cenderung
suka bermain dengan anak perempuan ketimbang bermain dengan anak laki-laki.
Ketika memasuki usia remaja, biasanya orientasi seksual mereka mulai terlihat
di mana mereka bukan menyukai lawan jenis, melainkan sesama jenis. Dan ketika
berhubungan dengan pasangan waria cenderung memperlakukan dan berharap
diperlakukan sebagai perempuan dan bukan sebagai pasangan laki-laki.
Wilson yang dikutip oleh Jalaluddin
Rakhmat berpendapat bahwa perilaku sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang
sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia, yang disebut epigenetic
rules.[14]
Meskipun banyak pendapat yang menolak sosiobiologis sebagai determinisme
biologis dalam kehidupan sosial, namun tak dapat dipungkiri kenyataan bahwa
struktur biologis manusia yang meliputi genetika, sistem syaraf, dan sistem
hormonal sangat mempengaruhi perilaku manusia.
b.
Faktor sosiopsikologis adalah kondisi di mana kondisi
sosial atau lingkungan pergaulan menjadi faktor pendukung terjadinya perilaku cross
dressing sebagai bentuk adaptasi waria dalam menempatkan posisi gendernya. Pola
asuh anak dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya perilaku cross
dressing ketika si anak tumbuh dewasa. Ada kalanya jenis anak yang
dilahirkan tidak sesuai dengan keinginan orang tua, misal orang tua
mengharapkan anak perempuan, namun yang mereka dapatkan anak laki-laki.Tidak
jarang kekecewaan ini membuat orang tua memperlakukan anaknya tidak sesuai dengan
jenis kelamin anak tersebut. Anak diperlakukan seperti perempuan oleh
keluarganya, bahkan dipakaikan baju perempuan, sehingga sejak kecil ia merasa
bahwa dirinya adalah perempuan. Biasanya anak yang dibesarkan dengan pola asuh
yang salah seperti ini, biasanya lebih mudah diterima oleh keluarganya ketika
ia memutuskan untuk melakukan cross dressing di usia dewasanya.
Ada pula yang mengalamai kekerasan
seksual ketika masih kecil sehingga akhirnya trauma ini mempengaruhi orientasi
seksual mereka.
2.
Faktor situasional adalah faktor kondisi
sosial-ekonomi. Hal ini dijumpai terutama pada kelompok pekerja seni. Di
Indonesia sendiri sosok laki-laki yang berpakaian perempuan memang akrab dengan
dunia hiburan karena dianggap lucu dan sangat menghibur. Profesi penari,
pertunjukan teater/seni peran, dan alih vokal/lip sync adalah beberapa
profesi yang menjanjikan dan membuat beberapa laki-laki kemudian memutuskan
untuk berperilaku cross dressing. Perilaku cross dressing dalam kelompok
ini biasanya tidak terkait dengan orientasi seksual mereka, karena tidak semua
pelaku cross dressing pada kelompok ini adalah homoseksual.
3.
Solusi Terhadap Permasalahan Waria di Indonesia
Ketika kasus waria dalam berita yang dimuat news.detik.com
(Kamis, 02/05/2007) terkait waria asal Ciputat bernama Bella dan waria
asal Bogor bernama Sinta yang terancam keluar dari tempat kerjanya hanya karena
sebatas perilaku feminim yang ditunjukkannya, merupakan salah satu bentuk
diskriminasi.
Bentuk perilaku waria yang mengekspresikan dirinya
dengan mengenakan pakaian feminin sebagaimana perempuan secara terbuka di
tempat-tempat umum menunjukkan bahwa fenomena komunitas
waria memang ada dengan alasan berbagai faktor. Seharusnya hal tersebut bisa
dipahami oleh masyarakat bahwa pilihannya untuk feminin menjadi waria bukan
semata-mata keinginan dari dalam diri mereka, tetapi kondisi alamiah berupa
struktur biologis yang membentuk mereka menjadi seperti itu. Setidak-tidaknya
pemerintah harus ada solusi dan jalan keluarnya. Jangan hanya yang dilaksanakan
oleh stigma dan penekanan.
Padahal kelompok waria hanya ingin kejelasan hukum. Karena bila berhadapan dengan
hukum, yang mereka hadapi selalu diskriminasi. Mereka, para aparat, melakukan penekanan untuk
kaum waria ini, mereka menganggap waria orang yang memang tidak berguna dan tidak perlu diurus. Harapan mereka kalau bisa pemerintah bagaimanapun caranya harus ada undang-undang khusus atau
apa yang bisa melindungi mereka agar mereka bisa beraktivitas sebagaimana
mereka adalah bagian dari warga negara Indonesia.
Pemerintah sebagai regulator dalam perumus kebijakan, seharusnya
bisa memberikan kepastian hukum kepada identitas diri para waria dengan
menjamin adanya pengakuan dan perlindungan dalam butir-butir peraturan
perundang-undangan. Misal saja dimudahkan dalam mendapatkan KTP (Kartu Tanda
Penduduk) sesuai dengan identitas dirinya sebagai waria. Ketika status mereka
mendapat kepastian hukum maka tidak segan-segan lowongan pekerjaan formal pun
akan menerima status waria menjadi bagiannya termasuk juga masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Waria adalah orang yang tidak memiliki ketidaksesuaian antara fisik
dan identitas gendernya. Waria
merasa dirinya adalah perempuan yang dirinya terperangkap dalam tubuh
laki-laki. Adanya ketidaksesuaian tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor yang meliputi faktor biologis, sosiopsikologis, dan situasional sehingga
mengakibatkan waria tidak senang dengan alat kelaminnya dan ingin mengubahnya. Keyakinan bahwa mereka adalah perempuan
namun ada dalam raga yang salah pada akhirnya menghasilkan suatu pola
berpakaian yang secara utuh mengadaptasi wujud perempuan yang mereka temui
sehari-hari sebagai wujud representasi eksistensi identitas dirinya di
lingkungan sosial.
2.
Saran
Bentuk perilaku waria yang mengekspresikan dirinya
dengan mengenakan pakaian feminin sebagaimana perempuan secara terbuka di
tempat-tempat umum menunjukkan bahwa fenomena komunitas
waria memang ada dengan alasan berbagai faktor. Seharusnya hal tersebut bisa
dipahami oleh masyarakat bahwa pilihannya untuk feminin menjadi waria bukan
semata-mata keinginan dari dalam diri mereka, tetapi kondisi alamiah berupa
struktur biologis yang membentuk mereka menjadi seperti itu. Setidak-tidaknya
pemerintah harus ada solusi dan jalan keluarnya. Jangan hanya yang dilaksanakan
oleh stigma dan penekanan.
Pemerintah sebagai regulator dalam perumus kebijakan, seharusnya
bisa memberikan kepastian hukum kepada identitas diri para waria dengan
menjamin adanya pengakuan dan perlindungan dalam butir-butir peraturan
perundang-undangan. Misal saja dimudahkan dalam mendapatkan KTP (Kartu Tanda
Penduduk) sesuai dengan identitas dirinya sebagai waria. Ketika status mereka
mendapat kepastian hukum maka tidak segan-segan lowongan pekerjaan formal pun
akan menerima status waria menjadi bagiannya termasuk juga masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anoegrajakti, Novi. Tandak Ludruk: Ambiguitas dan Panggung
Identitas dalam Srintil (ed) Menggugat Maskulinitas dan Feminitas. 2003.
Depok: Kajian Perempuan Desantara. Hal 18. Dikutip dari Puspitasari, Hesti dan
Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan Sosial. 2005. Malang: Penerbitan
Universitas Muhammadiyah. Hal. 37.
Davidson, G. C., Neale, J. M., & Kring. A. M. Abnormal
Pscyology. New York: John Willey and Sons, Inc. 2006. Hal 14.
Kurniawati, M. “Latar Belakang Kehidupan Laki-laki yang Menjadi
Waria”. Skripsi Sarjana Strata 1 (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas
Psikologi Universitas Surabaya. 2003. Hal 69.
n.n, “Emansipasi Waria, Gay dan Lesbi:Teraniaya Karena Orientasi
Seks Beda” , Online (Jakarta, Kamis, 03/05/2007) (http://news.detik.com/read/2007/05/03/093723/775636/159/teraniaya-karena-orientasi-seks-beda) diakses tanggal 16 Desember 2014, pukul 2.44 WIB.
Perroto, R. S., & Culkin, J. Exploring Abnormal Psycology.
New York: Harpercollins College Publisher. 1993. Hal 78.
Puspitosari, Hesti dan Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan
Sosial. 2005. Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Hal 10.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. 2002. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. Hal 63
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 5 ayat 3.
http://bambangpriantono.multiply.com/style-custom/bambangpriantono/31/custom.css, judul artikel Indonesia, Dangerously Beautiful, diakses tanggal
14 Desember 2014 pukul 15.57 WIB.
http://www.psikologi.tarumanegara.ac.id/s2/wp-content/uploads/2010/09/07-latar-belakang-kehidupan-laki-laki-yang-menjadi-waria-sebuah-kegagalan-dalam-proses-pendidikan-pembentukan-identitas-gender-meike-kurniawati.pdf diakses tanggal
14 Desember 2014, pukul 13.11 WIB.
[1] http://bambangpriantono.multiply.com/Indonesia,
Dangerously
Beautiful!!!!/ Kata Bahasa Indonesia Hari Ini: “Waria”. Diakses tanggal 14
Desember 2014, pukul 11.09 WIB.
[2] Anoegrajakti, Novi. Tandak Ludruk:
Ambiguitas dan Panggung Identitas dalam Srintil (ed) Menggugat Maskulinitas dan
Feminitas. 2003. Depok: Kajian Perempuan Desantara. Hal 18. Dikutip dari
Puspitasari, Hesti dan Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan Sosial.
2005. Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Hal. 37.
[3] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Pasal 5 ayat 3.
[4] n.n, “Emansipasi Waria, Gay dan Lesbi:Teraniaya Karena Orientasi Seks Beda” , Online (Jakarta, Kamis, 03/05/2007) (http://news.detik.com/read/2007/05/03/093723/775636/159/teraniaya-karena-orientasi-seks-beda) diakses tanggal 16 Desember 2014, pukul 2.44 WIB.
[5] http://bambangpriantono.multiply.com/style-custom/bambangpriantono/31/custom.css, judul artikel Indonesia, Dangerously
Beautiful, diakses tanggal 14 Desember 2014 pukul 15.57 WIB.
[6] Perroto, R. S., & Culkin, J. Exploring
Abnormal Psycology. New York: Harpercollins College Publisher. 1993. Hal
78.
[7] Kurniawati, M. “Latar Belakang Kehidupan
Laki-laki yang Menjadi Waria”. Skripsi Sarjana Strata 1 (tidak diterbitkan).
Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. 2003. Hal 69.
[8] Puspitosari, Hesti dan Pujileksono, Sugeng. Waria
dan Tekanan Sosial. 2005. Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Hal
10.
[9] Davidson, G. C., Neale, J. M., & Kring.
A. M. Abnormal Pscyology. New York: John Willey and Sons, Inc. 2006. Hal
14.
[11] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Pasal 5 ayat 3.
[12] B., A’malia. “Fashion dan Identitas Diri
Waria: Studi Etnografi Simbol-Simbol Komunikasi Non Verbal dalam Fashion
sebagai Pembentuk Identitas Diri di Kalangan Waria di Kota Yogyakarta” diajukan
guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Jurusan Komunikasi (belum diterbitkan). Surakarta: FISIP Universitas
Sebelas Maret. 2010. Hal 102-104.
[13] Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi.
2002. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 63
[14] Ibid
Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185
Comments
Post a Comment
Your comments help me improving my papers; therefore, I'm going to be glad receiving your advice. Thanks for visiting my blog.