Daftar
Isi
I.LATAR BELAKANG
Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok, Gubernur
petahana provinsi DKI Jakarta terkenal dengan karakter bicaranya yang
menimbulkan polemik dan cenderung kontroversial.
Hasil survei Periskop Data tentang kinerja pemimpin DKI Jakarta,
49,8 persen publik menyatakan gaya komunikasi Ahok tersebut kurang baik. Alasan
gaya komunikasi Ahok yang kurang baik tersebut karena dinilai sering berucap
kasar, diikuti sikap arogan, kurang ramah, dan emosional. Sementara hanya 21,4
persen publik yang menyatakan gaya komunikasi Ahok baik. Survei yang sama
menunjukkan 73,6 persen publik menganggap Ahok memiliki gaya komunikasi yang
tidak santun sebagai kepala daerah. Bahkan, 77,4 persen publik menginginkan
Ahok memperbaiki cara ia berkomunikasi. [1]
Gaya bicara Ahok yang dinilai tidak baik karena berkata kotor[2],
arogan[3], menghina
warganya[4],
bahkan menyinggung isu SARA (suku, agama, dan ras) [5] sangat
disayangkan karena tidak disadari oleh Ahok sebagai sebuah pelanggaran etika
sosial. Padahal gaya bicara Ahok tersebut dapat menjadi preseden yang buruk
bagi warganya mengingat status dia sebagai pejabat pemerintahan.
Tulisan ini menganalisis secara teoritis etika politik pejabat pemerintahan.
Penulis mengkaji gaya bicara Ahok berkaitan dengan status jabatannya sebagai gubernur
pemerintah provinsi DKI Jakarta. Sehingga diharapkan tulisan ini dapat menjelaskan
pentingnya memelihara perilaku etis dalam organisasi pemerintahan.
II.KONSEP DAN TEORI
2.1. Legitimasi Etis Kekuasaan
Franz Magnis Suseno, dalam Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral
Dasar Kenegaraan Modern, melihat bahwa inti permasalahan etika politik
adalah masalah legitimasi etis kekuasaan.[6]
Legitimasi etis merupakan pembenaran atau pengabsahan wewenang kekuasaan
politik berdasarkan norma-norma moral.[7]
2.2. Paradigma Legitimasi Kekuasaan
2.2.1. Pemikiran Thomas Aquinas
Thomas Aquinas mendasarkan legitimasi kekuasaan negara pada
kesesuaiannya dengan tuntutan-tuntutan normatif fundamental, yaitu pendasaran
segenap kekuasaan yang sah pada legitimasi etis berdasarkan kodrat dan martabat
manusia sebagai makhluk yang bebas. [8]
2.2.2. Pemikiran Niccolo Machiavelli
Niccolo Machiavelli menolak pertimbangan-pertimbangan tentang
legitimasi dan menggantikannya dengan teknik pragmatis penanganan kekuasaan.
Niccolo Machiavelli menggunakan pemikirannya tersebut karena dalam suatu
kondisi yang chaotis (kacau-balau). Atas ke-chaotic-an tersebut,
agar tujuan-tujuan terciptanya suatu negara dapat tercapai, sang pemimpin harus
dulu mengamankan kekuasaannya. Dalam pemikirannya, politik dan moral merupakan
dua bidang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Yang diperhitungkan
hanyalah sukses.[9]
Buku Machiavelli, Il Principe, dalam buku Kuasa dan Moral
oleh Franz Magnis-Suseno, dikatakan bahwa kekejaman, asal dipakai secara tepat,
merupakan sarana stabilisasi kekuasaan raja yang mutlak perlu. [10]
Franz Magnis Suseno mengkritisi pandangan Machiaveli, yang
mengabaikan dua hal yaitu: (1) bahwa kekuasaan yang hanya berdasarkan
kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya rapuh adanya, (2) stabilitas
kekuasaan tergantung dari apakah
kekuasaan dipandang sebagai sah atau tidak oleh masyarakat.[11]
2.3. Memahami Sumber Konflik Etis untuk Meningkatkan Perilaku Etis Pejabat Pemerintahan
Menurut Dennis F. Thompson, dalam Etika Politik Pejabat Negara,
konflik etis pejabat muncul dari dua ciri umum jabatan pemerintahan, yaitu
sifat representasional dan organisasional.[12]
Dalam penjelasannya, sifat representasional menunjukkan bahwa para
pejabat bertindak untuk masyarakat. Konflik etis yang dapat timbul dalam
sifat representasional tersebut adalah mengenai prinsip-prinsip tindakan.
Sementara sifat organisasional menjelaskan bahwa para pejabat bertindak dengan
orang lain. Konflik etis yang dapat timbul dari sifat organisasional tersebut
tidak lain adalah konflik antara prinsip-prinsip tanggungjawab. Dalam jabatan
pemerintahan, pejabat negara bertindak berdasarkan dua macam prinsip tersebut,
prinsip tindakan dan tanggungjawab.
III.PROFIL OBJEK KAJIAN
Ahok adalah
politikus asal Belitung. Ahok yang memiliki nama lengkap Ir. Basuki Tjahaja
Purnama, MM adalah Gubernur DKI Jakarta periode 2014-2016. Sejak 14 November
2014, Ahok secara legal menjalankan kekuasaan eksekutif, sebagai Gubernur untuk
pemerintahan DKI Jakarta. Jabatan Gubernur Ahok menggantikan Joko Widodo yang
terpilih sebagai Presiden RI pada Pemilu 2014. Ahok yang sebelumnya menduduki
jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta bersama pasangan Gubernur Joko Widodo
terpilih pada Pemilu tahun 2012.[13]
Tulisan ini menekankan status Ahok sebagai pejabat pemerintahan DKI Jakarta.
IV.ANALISIS
Penulis menganalis gaya bicara Ahok sebagai pejabat pemerintahan menggunakan
pendekatan teori etika politik.
4.1. Analisis Gaya Bicara Ahok yang Dibenarkan Menurut Pemikiran Legitimasi Kekuasaan oleh Niccolo Machiavelli
Niccolo Machiavelli menolak pertimbangan-pertimbangan tentang
legitimasi dan menggantikannya dengan teknik pragmatis penanganan kekuasaan.
Niccolo Machiavelli menggunakan pemikirannya tersebut karena dalam suatu
kondisi yang chaotis (kacau-balau).
Pemikiran Niccolo Machiavelli itulah yang penulis nilai sebagai
cara pandang Ahok dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya sebagai Gubernur
DKI Jakarta. Gaya bicara Ahok yang kasar, arogan, dan emosional merupakan
bentuk kekesalan dirinya kepada kondisi yang chaotis dalam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia saat ini, yang mana di tengah-tengah masyarakat yang
begitu miskin, sementara oknum pejabat melakukan praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN).[14]
Alasan Ahok tersebut memang benar faktanya. Bersumber dari berita
okezonenews[15],
data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 menunjukkan sebanyak 28,51 juta
atau 11,13 persen penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin. Padahal
berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
mencatat selama periode Januari 2004-Desember 2015 Indonesia memiliki tingkat
transaksi yang tinggi. Total periode tersebut diketahui bahwa total nilai
transaksi keuangan tunai untuk perorangan adalah sebesar Rp
103.072.090.119.764.000,- dan total nilai transaksi keuangan tunai untuk
korporasi adalah sebesar Rp 2.084.470.051.936.590.000,-. Dengan nilai kekayaan
yang terkandung di perut bumi Indonesia dan jumlah perputaran uang yang begitu
banyak tersebut, masyarakat Indonesia seharusnya sudah berada pada titik
kesejahteraan, pelayanan umum, maupun infrastruktur. Namun, dikatakan Mantan
Ketua PPATK, Muhammad Yusuf, kekayaan tersebut digerogoti oleh para koruptor,
terlihat dari tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi. Laporan hasil Indeks
Korupsi dan Transparansi Internasional pada tahun 2015, Indonesia menempati
urutan ke-88 dari 176 negara yang disurvei. Sejalan dengan hasil analisis PPATK
periode 2011-2016 yang disampaikan ke penyidik didominasi oleh dugaan tindak
pidana korupsi tahun 2011 sampai Januari 2016 sebesar 957 hasil analisis. Data
BPK menyebutkan, total kerugian negara semester I 2015 sebesar 2,3 triliun.
Setidaknya data KPK menyebutkan ada 56 Kepala Daerah yang terjerat kasus hukum
tindak pidana korupsi.
Masyarakat sudah menyadari fakta ke-chaotic-an tersebut, begitu
pun Ahok. Ahok sebagai pemegang kekuasaan sebenarnya merindukan suatu negara
yang sehat, kuat, dan tidak korup. Atas ke-chaotic-an tersebut, agar
tujuan-tujuan terciptanya suatu negara yang sehat, kuat, dan tidak korup dapat
tercapai, kemudian Ahok menunjukkan ketegasannya dalam menyelenggarakan
pemerintahan dengan caranya yang terlihat dalam gaya bicaranya,
cenderung berucap kasar, arogan, dan emosional.
Tindakan-tindakan Ahok yang dinilai jahat pun tidak disalahkan
menurut pemikiran legitimasi kekuasaan menurut Machiavelli karena akan
dimaafkan oleh masyarakat, asal saja Ahok mencapai sukses dalam program-program
pemerintahannya. Selaras dengan pandangan Machiavelli, bahwa kekejaman, asal
dipakai secara tepat, merupakan sarana stabilisasi kekuasaan pemimpin yang
mutlak perlu. Ahok mengadopsi itu untuk menciptakan kestabilan kekuasaannya
dalam menyelenggarakan program-program pemerintahannya. Sehingga, terlihat
jelas bahwa Ahok abai terhadap persoalan legitimasi moral kekuasaan.
4.2. Ketidaksesuaian Gaya Bicara Ahok dengan Legitimasi Etis Norma-Norma Moral
Legitimasi Ahok sebagai pejabat pemerintahan memberikan kewenangan
Ahok untuk berkuasa. Sehingga segala bentuk tindakan Ahok yang berkaitan dengan
kekuasaannya adalah bentuk tindakan politis. Oleh karena itu, sebagai tindakan
politis, Franz Magnis-Suseno menyebut bahwa segala tindakan Ahok pun akan
menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya
dan ditentukan kembali oleh tindak tanduknya.[16]
Tanda kewibawaan Ahok sebagai penguasa yang paling meyakinkan seharusnya
adalah keselarasan sempurna. Sebagaimana Franz Magnis-Suseno menyebutkan bahwa
keselarasan sempurna yaitu tidak adanya keresahan dalam masyarakat di wilayah
kekuasaannya.[17]
Namun, gaya bicara Ahok yang arogan,
kasar, emosional, dan tidak santun, nyatanya menimbulkan keresahan bagi
warganya. Bentuk kritik, ketidakpuasan, dan perlawanan terhadap Ahok sebagai
tanda masyarakat resah dan keadaan yang belum selaras dapat terlihat dari kasus
Ibu Yusri Isnaeni dan aksi bela islam.
Selaras dengan pendapat Franz Magnis-Suseno, gaya bicara Ahok dalam
pemerintahannya tidak mencerminkan hakikat kekuasaan itu sendiri yang
seharusnya dijalankan secara halus.[18] Cara
Ahok memberitahukan kepada masyarakat dengan cara memaki, berkata kasar,
emosional, dan marah-marah jelas tidak mencerminkan budi penguasa yang luhur.
Gaya bicara Ahok yang kasar yang dibenarkan menurut pemikiran
filsafat politik Machiavelli perlu dikritisi. Sebagaimana Franz Magnis Suseno mengkritisi
pandangan Machiaveli bahwa kekuasaan yang hanya berdasarkan kebrutalan dan
kelicikan dengan sendirinya rapuh adanya. Pengusiran Ahok oleh warga Rawa
Belong dari pemukiman mereka[19]
merupakan bukti kerapuhan kekuasaan Ahok akibat arogansi gaya bicaranya.
Isu SARA yang menyinggung surat Al Maidah 51 dan penghinaan
terhadap Ibu Yusri Isnaeni merupakan wujud kelengahan Ahok yang telah
mencederai kekuasaannya sendiri. Ahok lalai terhadap legitimasi etis dalam
kekuasaannya. Tindakan Ahok tersebut tidak menunjukkan cara Ahok memperlakukan
warganya sesuai martabatnya. Sebagaimana Thomas Aquinas uraikan dalam
pemikirannya bahwa legitimasi kekuasaan negara seharusnya sesuai dengan
tuntutan-tuntutan normatif fundamental berupa hukum kodrat. Hukum kodrat menuntut
agar manusia hidup sesuai dengan martabatnya.
Konsekuensi tindakan Ahok tersebut adalah menurunnya kepercayaan
publik terhadap kekuasaannya sehingga stabilitas kekuasaanya pun terganggu.
Terlihat dari hasil survei Median Survei Nasional pada September dan November
2016, elektabilitas calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, pasangan
Ahok-Djarot menunjukkan tren penurunan tajam sebesar 34,2 persen. Sehingga
angka elektabilitas Ahok-Djarot hanya 26,6 persen.[20]
4.3. Analisis Memahami Sumber Konflik Etis Gaya Bicara Ahok untuk Meningkatkan Perilaku Etis Pejabat Pemerintahan
Penulis mengadopsi teori konflik etis dari pemikiran Dennis F.
Thompson, bahwa konflik etis yang dihadapi Ahok sebagai pejabat pemerintahan dapat
muncul dari dua ciri umum jabatan pemerintahan, yaitu sifat representasional
dan organisasional.
Kasus Ibu Yusri Isnaeni dan aksi bela islam 4 November dan 2
Desember merupakan konflik etis yang muncul berkaitan dengan sifat
representasional Ahok sebagai pejabat pemerintahan yang bertindak untuk
melayani warganya. Konflik etis tersebut dipicu oleh prinsip-prinsip tindakan
Ahok dalam bertindak untuk warganya yang dinilai tidak sesuai dengan
nilai-nilai moral.
Kejadian Ahok berbicara kotor, yang menyebut kata tidak pantas
yaitu “taik” saat menantang DPRD DKI yang saat itu masih melayangkan hak angket
kepadanya untuk memanggil langsung dirinya, dalam wawancara live dengan
presenter Aiman Witjaksono dari Kompas TV pada Selasa malam, 17 Maret 2015 dan sebutan
“maling” yang diucapkan Ahok ketika Ibu Yusri Isnaeni meminta keterangan soal
Kartu Jakarta Pintar (KJP) milik anaknya
yang dipotong 10 persen saat mencairkan dana KJP merupakan bukti nyata ketidaksantunan
dan kearoganan Ahok. Gaya bicara Ahok tersebut jelas ber-preseden buruk
terhadap warganya. Tuduhan “maling” oleh Ahok telah mencederai hati Ibu Yusri
Isnaeni sebagai bentuk penghinaan martabat dirinya.
Dalam jabatan pemerintahan, gaya bicara Ahok tidak bertindak berdasarkan
prinsip representasional. Ahok sebagai pejabat pemerintahan yang diharapkan
dapat mempromosikan nilai-nilai umum yang dianut masyarakatnya dan juga
nilai-nilai khusus yang melekat dalam tugas dan jabatannya, dia abaikan
sehingga berakibat pada terjadinya konflik etis.
V.SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Penilaian terhadap gaya bicara Ahok menurut kajian teoritis penulis
dengan menggunakan pendekatan etika politik pejabat pemerintah tergantung pada
paradigma yang digunakan.
Gaya bicara Ahok yang kasar, arogan, dan emosional bukan merupakan
pelanggaran etika politik. Ini dibenarkan menurut pemikiran Niccolo Machiavelli
yang menolak legitimasi etis atau moral kekuasaan. Berbeda dengan pemikiran
Thomas Aquinas yang seharusnya kekuasaan Ahok dijalankan sesuai dengan
tuntutan-tuntutan normatif fundamental. Oleh karena itu, menurut pemikiran
Thomas Aquinas, Ahok telah melanggar norma-norma moral etika politik. Dalam
jabatan pemerintahannya, gaya bicara Ahok tidak mengimplementasikan prinsip ciri
umum pejabat pemerintahan sehingga berakibat pada terjadinya konflik etis.
5.2. Saran
Ahok sebagai pejabat pemerintahan seharunya menyadari bahwa segala
tindakannya akan menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan yang menentukan
kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindak tanduknya. Sehingga dalam
hal tindakan politis, tetap harus mengindahkan prinsip-prinsip ciri umum
pejabat pemerintahan, yaitu representasional dan organisasional agar tidak terjadi konflik etis. Dengan
demikian, pejabat pemerintahan diharapkan dapat mempromosikan nilai-nilai umum
yang dianut masyarakatnya dan juga nilai-nilai khusus yang melekat dalam tugas
dan jabatannya.
Daftar Pustaka
Buku
Suseno, Franz
Magnis. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1987.
__________________.
Kuasa dan Moral. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Thompson,
Dennis F. Etika Politik Pejabat Negara, edisi ke-1. Trans. Benyamin
Molan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000. Trans. Political Ethics and
Public Office, 1987.
Internet
Aco, Hasanudin.
“Suka Berkata Kasar, Hasil Survei Sebut Gaya Komunikasi Ahok Kurang Baik”. Tribunnews.com
(2015), 16 Juni 2015 <https://m.tribunnews.com/metropolitan/2015/06/16/suka-berkata-kasar-hasil-survei-sebut-gaya-komunikasi-ahok-kurang-baik>.
Batubara,
Herianto. “Ini Video Utuh Ahok Pidato Singgung Surat Al Maidah 51 yang Jadi
Polemik”, DetikNews (2016), 7 Oktober 2016 <https://m.detik.com/news/berita/d-3315258/ini-video-utuh-ahok-pidato-singgung-surat-al-maidah-51-yang-jadi-polemik>.
Dariyanto,
Erwin. “Median: Elektabilitas Ahok-Djarot Turun Tajam, Agus dan Anies Naik”, detikNews
(2016), 1 Desember 2016 <https://m.detik.com/news/berita/d-3359699/median-elektabilitas-ahok-djarot-turun-tajam-agus-dan-anies-naik>.
Pratama, Wira.
“Video Ahok Bilang “Taik” di Live Kompas TV”, Youtube, (2015), 18 Maret 2015
<https://m.youtube.com/watch?v=iy-vr63H3oc>.
Primadyastuti,
Nastiti dan Ovan Zaihnudin. “Basuki Tjahaja Purnama”, merdeka.com, last
update 1 Oktober 2016 <https://m.merdeka.com/profil/indonesia/b/basuki-tjahaja-purnama/&ei=BoN2H-GN&lc=id-ID&s=1&m=301&host=>.
Putra, Donatus
Fernanda. “Ahok Beberkan Alasan Sering Berkata Kasar”, CNN Indonesia
(2015), 20 Maret 2015 <https://m.cnnindonesia.com/nasional/20150320131150-20-40573/ahok-beberkan-alasan-sering-berkata-kasar/>.
Setiawan, Aries
dan Fajar Ginanjar Mukti. “Ini Penyebab Ahok bicara Kotor Saat Wawancara Live
di TV”, VIVA.co.id (2015), 20 Maret 2015 <https://m.news.viva.co.id/news/read/603717-ini-penyebab-ahok-bicara-kotor-saat-wawancara-live-di-tv>.
Qodar,
Nafiysul. “Alasan Ahok Sebut Ibu Muda Ini Maling Saat Ditanya KJP”, LIPUTAN6
(2015), 17 Desember 2015 <https://m.liputan6.com/news/read/2392264/alasan-ahok-sebut-ibu-muda-ini-maling-saat-ditanya-kjp>.
Virdhani,
Marieska Harya. “Mantan Ketua PPATK: Angka Korupsi di Indonesia Masih Tinggi”, OKEZONENEWS
(2016), 27 Oktober 2016 <https://m.okezone.com/read/2016/10/27/337/1525982/mantan-ketua-ppatk-angka-korupsi-di-indonesia-masih-tinggi>.
Yuanita,
“Diusir Warga Rawa Belong, Ahok Kabur Naik Mikrolet”, sindonews.com
(2016), 2 November 2016 <https://metro.sindonews.com/read/1152179/171/diusir-warga-rawa-belong-ahok-kabur-naik-mikrolet-1478081695>.
[1]
Paparan Direktur Eksekutif Periskop Data, Muhammad Yusuf Kosim dalam diskusi
bertajuk “Membedah Kinerja Pemimpin DKI Jakarta di Tengah Polemik
gubernur-DPRD” di Jakarta, Selasa (16/6/2015), dalam Hasanudin Aco, “Suka
Berkata Kasar, Hasil Survei Sebut Gaya Komunikasi Ahok Kurang Baik”. Tribunnews.com
(2015), 16 Juni 2015 <https://m.tribunnews.com/metropolitan/2015/06/16/suka-berkata-kasar-hasil-survei-sebut-gaya-komunikasi-ahok-kurang-baik>,
diakses pada tanggal 11 Desember 2016 12.05 WIB. Survei Periskop Data dilakukan
pada 1 sampai 7 Juni 2015 di 5 Kabupaten/Kota di Jakarta, dengan 500 responden
yang diambil acak dengan syarat berusia 17 tahun atau lebih atau sudah menikah.
Metode yang digunakan adalah Multistage Random Sampling. Survei
dilakukan dengan cara wawancara tatap muka, dengan klaim margin error
sekitar 4,4 persen pada tingkat kepercayaan (level of confident) 95 persen.
[2]
Lihat video pada Wira Pratama, “Video Ahok Bilang “Taik” di Live Kompas TV”,
Youtube, (2015), 18 Maret 2015 <https://m.youtube.com/watch?v=iy-vr63H3oc>.
[3]Aries
Setiawan dan Fajar Ginanjar Mukti, “Ini Penyebab Ahok bicara Kotor Saat
Wawancara Live di TV”, VIVA.co.id (2015), 20 Maret 2015 <https://m.news.viva.co.id/news/read/603717-ini-penyebab-ahok-bicara-kotor-saat-wawancara-live-di-tv>,
diakses pada tanggal 11 Desember 2016, 12:45 WIB.
[4]
Nafiysul Qodar, “Alasan Ahok Sebut Ibu Muda Ini Maling Saat Ditanya KJP”, LIPUTAN6
(2015), 17 Desember 2015 <https://m.liputan6.com/news/read/2392264/alasan-ahok-sebut-ibu-muda-ini-maling-saat-ditanya-kjp>,
diakses pada tanggal 11 Desember 2016 pukul 14:08 WIB.
[5]
Herianto Batubara, “Ini Video Utuh Ahok Pidato Singgung Surat Al Maidah 51 yang
Jadi Polemik”, DetikNews (2016), 7 Oktober 2016 <https://m.detik.com/news/berita/d-3315258/ini-video-utuh-ahok-pidato-singgung-surat-al-maidah-51-yang-jadi-polemik>,
diakses pada tanggal 11 Desember 2016, 15:12 WIB.
[6] Franz
Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia, (1987). Hal. 30.
[7]
Franz Magnis-Suseno 1987, 60.
[8]
Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, (2000). Hal. 4-7.
[9]
Franz Magnis-Suseno 2000, 7-9.
[10]
Franz Magnis-Suseno 2000, 8.
[11]
Franz Magnis-Suseno 2000, 9.
[12]
Dennis F. Thompson, Etika Politik Pejabat Negara, edisi ke-1. Trans.
Benyamin Molan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000. Trans. Political
Ethics and Public Office, 1987.Hal. xxi.
[13]
Nastiti Primadyastuti dan Ovan Zaihnudin, “Basuki Tjahaja Purnama”, merdeka.com,
last update 1 Oktober 2016 <https://m.merdeka.com/profil/indonesia/b/basuki-tjahaja-purnama/&ei=BoN2H-GN&lc=id-ID&s=1&m=301&host=>,
diakses pada tanggal 13 Desember 2016, 17.35 WIB.
[14]
Donatus Fernanda Putra, “Ahok Beberkan Alasan Sering Berkata Kasar”, CNN
Indonesia (2015), 20 Maret 2015 <https://m.cnnindonesia.com/nasional/20150320131150-20-40573/ahok-beberkan-alasan-sering-berkata-kasar/>,
diakses pada tanggal 12 Desember 2016, 12:52 WIB.
[15]
Marieska Harya Virdhani, “Mantan Ketua PPATK: Angka Korupsi di Indonesia Masih
Tinggi”, OKEZONENEWS (2016), 27 Oktober 2016 <https://m.okezone.com/read/2016/10/27/337/1525982/mantan-ketua-ppatk-angka-korupsi-di-indonesia-masih-tinggi>,
diakses pada tanggal 12 Desember 2016, 13:13 WIB.
[16]
Franz Magnis-Suseno 1987, 20.
[17]
Franz Magnis-Suseno 1987, 35.
[18]
Franz Magnis-suseno, 1987, 37.
[19]
Yuanita, “Diusir Warga Rawa Belong, Ahok Kabur Naik Mikrolet”, sindonews.com
(2016), 2 November 2016 <https://metro.sindonews.com/read/1152179/171/diusir-warga-rawa-belong-ahok-kabur-naik-mikrolet-1478081695>,
diakses pada tanggal 13 Desember 2016, 08.44 WIB.
[20]
Survei dilakukan pada 16-26 November 2016 dengan mewawancarai 500 responden
yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta. Sampel dipilih secara random dengan
teknik Multistage Random Sampling dan proporsional atas populasi
kotamadya dan gender. Margin of error sebesar plus minus
4,4 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sumber: Erwin Dariyanto, “Median:
Elektabilitas Ahok-Djarot Turun Tajam, Agus dan Anies Naik”, detikNews
(2016), 1 Desember 2016 <https://m.detik.com/news/berita/d-3359699/median-elektabilitas-ahok-djarot-turun-tajam-agus-dan-anies-naik>, diakses pada tanggal 13 Desember 2016, 09.20 WIB.
Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185
Comments
Post a Comment
Your comments help me improving my papers; therefore, I'm going to be glad receiving your advice. Thanks for visiting my blog.