Skip to main content

Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia



Judul               :“Negeri Para Mafioso:Hukum di Sarang Koruptor”
Pengarang       :Denny Indrayana
Data Publikasi :Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, Cetakan Kedua, September 2008

Judul               :“Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi A:Bangsa, Negara, dan Pancasila”
Penyusun         :R. Ismala Dewi, Slamet Soemiarno, Agnes Sri Poerbasari, dan Eko. A. Meinarno.
Data Publikasi :Universitas Indonesia Depok, 2013

Korupsi kian marak terjadi di Indonesia. Anehnya, tindak pidana korupsi menjerat kepada kalangan-kalangan elit, pejabat publik seperti pejabat pemerintah pusat dan daerah, pengadilan, DPR, dan pihak swasta yang terkait dengan institusi-institusi tersebut dan pola korupsi berubah dari waktu ke waktu. Walaupun korupsi sempat marak di era Orde Baru kekuasaan Soeharto, namun rupanya korupsi yang terjadi sekarang ini lebih parah. Korupsi saat ini cenderung memakan dana APBN yang notabene dialokasikan untuk rakyat. Berbeda dengan era orde baru yang notabene memakan dana-dana non-budgeter. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa kalangan elit yang sesungguhnya memiliki keahlian, integritas, pengalaman, serta tak kalah pentingnya adalah kepercayaan publik melakukan tindakan tercela yakni korupsi? Bagaimana kedudukan hukum konstitusi tindak pidana korupsi dalam mengawal kasus-kasus korupsi di kalangan pejabat publik? Di manakah wujud pengamalan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman dalam bertingkah laku menjalankan hak dan kewajiban warga negara?
Sebagaimana dikutip oleh Denny Indrayana bahwa dasar hukum tindak pidana korupsi di Indonesia diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat 2 undang-undang tersebut mengatakan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Hal yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana korupsi itu dilakukukan bila keadaan negara dalam bahaya, bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter (Denny Indrayana, 2008:104).
Dari pasal tersebut, dapat dimaknai bahwa hukum konstitusi negara di Indonesia melegalkan hukuman mati bagi para koruptor sebagaimana yang tersurat di dalam undang-undang yang secara tegas dan sah mengaturnya. Namun, penerapan hukum mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi masih berat diterapkan di Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM. Sehingga perlu dipertimbangkan kembali. Selain hakim masih berat hati untuk memutuskan hukuman mati bagi tersangka koruptor, terbukti sampai saat ini, belum ada koruptor di Indonesia yang dijatuhi hukuman mati, para aktivis HAM menilai bahwa hukuman mati bagi koruptor, kelas kakap sekalipun, merupakan pelanggaran HAM dan tidak sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila. Hukuman mati dinilai bertentangan dengan Pancasila sila kedua, "Kemanusian yang adil dan beradab." Selain itu, hukuman mati juga tidak taat dengan Pasal 28A dan 28 I UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun.
Denny Indrayana menilai bahwa rendahnya hukuman bagi para koruptor seperti hanya hukuman penjara beberapa tahun saja, sedangkan para pelaku merupakan pelaku pelanggaran tindak pidana korupsi skala berat dan merugikan kepentingan umum tidak membawa pengaruh dan efek jera bagi pelaku dan calon pelakunya, koruptor-koruptor baru terus bermunculan. Belum selesai satu koruptor diperiksa dan diadili, muncul lagi koruptor baru. Sehingga pemberlakuan hukuman mati untuk para koruptor sudah saatnya diperlakukan. Apalagi di Indonesia mempunyai undang-undang yang mengaturnya. Dengan hukuman matilah kiranya kejahatan korupsi bisa diberantas di negeri ini. Sebagaimana yang diterapkan di China, Singapura, dan Malaysia sudah dengan tegas menghukum mati para penjahat korupsinya. Negara-negara tersebut cukup berhasil dalam menekan angka korupsi. Penerapan hukuman mati di negara-negara tersebut di atas sangat didukung oleh pemimpinnya. Di China, sang pemimpin negara tersebut dengan lantang berani mengatakan, “Jika ia terlibat dan terbukti korupsi maka sediakan satu peti mati untuk saya.” Artinya, sang pemimpin di negara tersebut bersedia dihukum mati jika memang ia terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Denny Indrayana menilai bahwa hukuman mati yang dilakukan di China amat baik untuk dicontoh. Hasilnya lebih kurang sudah 4000 koruptor dihukum mati (Denny Indrayana, 2008:141).
Sebenarnya, tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera bagi para koruptor. Buktinya, sebagaimana dilansir di berita hukumonline.com edisi Selasa, 25 Februari 2003, bahwa di Negeri China, setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum mati. Tapi buktinya, China tetap masuk sebagai negara yang masuk sepuluh besar paling korupsi di dunia. Jadi, tidak dapat kita menyimpulkan bahwa negara yang menerapkan hukuman mati, paling sedikit korupsinya. Sebenarnya yang menjadi pokok korelasi adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban para pejabat publik menjalankan hak dan kewajiban profesinya.
Berbicara mengenai penegakan hukum yang bijak dan berkeadilan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, kita kembalikan kepada dasar ideologi negara bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Ketika kita hendak memberantas korupsi di Indonesia, kita seharusnya bercermin kepada diri kita sendiri, termasuk para pejabat publik tersebut dalam memahami konsep dasar nilai-nilai ideologi Pancasila, UUD 1945, dan hak serta kewajiban sebagai warga negara sebagai landasan dalam berperilaku yang menjadi konsep yang dianggap baik atau buruk dan tepat atau tidak tepat yang disepakati oleh masyarakat.
Kasus tindak pidana korupsi akan terus berlanjut ketika setiap pihak (masyarakat dan pejabat publik) tidak memahami tanggung jawab dan lari dari pengawasan nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai nilai merupakan fondasi dari pembentukan karakter. Nilai Pancasila berhubungan positif sehinggga kecenderungan masing-masing nilai saling menguatkan pemahamannya.
Nilai pertama Pancasila adalah ketuhanan. Ketika, hukum mati diberlakukan bagi pelaku tindak pidana korupsi, berarti melanggar sila pertama Pancasila karena hukum konstitusi memutuskan ikatan hubungan antara makhluk dengan Tuhannya sebelum waktunya. Sehingga, seseorang tidak memiliki kesempatan lagi untuk beribadah dan memperbaiki kualitas diri (bertaubat) di hadapan Tuhannya. Yang perlu ditekankan dari pengamalan nilai sila pertama adalah bagaimana menanamkan rasa takut di kalangan para pejabat publik ketika berbuat korupsi dan sadar bahwa Tuhan selalu mengawasi gerak-gerik perbuatannya dan jika dilanggar akan mendapat sanksi dari Tuhan berupa dosa, dan para pelaku korupsi akan senantiasa diikuti rasa ketidaktenangan dan gelisah atas perbuatannya.
Nilai kedua Pancasila adalah kemanusiaan. Di dalam nilai kemanusiaan, terdapat pengakuan persamaan hak dan kewajiban. Seseorang memiliki hak untuk hidup. Namun, ketika hukum memberlakukan hukum mati bagi koruptor, hukum berarti telah merampas hak hidup orang tersebut, dan merampas hak anggota keluarga koruptor untuk menjalin hubungan afektif (kasih sayang). Misal, jika status koruptor sebagai ibu, anak-anaknya akan kehilangan kasih sayang dari ibunya. Jika status koruptor sebagai ayah, sebagai kepala keluarga, anggota keluarganya akan kehilangan hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak, akan kurang pemenuhan kebutuhan hidup. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana seharusnya para pejabat publik menumbuhkan rasa kepekaan sosial, bahwa tindakan korupsi telah merampas hak-hak orang lain.
Nilai ketiga Pancasila adalah persatuan. Sila ketiga Pancasila mengutamakan kepentingan bangsa daripada diri/kelompok. Misal ketika menjadi pejabat publik (khususnya penegak hukum) hendaknya memiliki pendirian yang kuat terhadap kewajibannya dalam menjalankan undang-undang. Tidak mudah untuk terpengaruh oleh iming-iming suap dalam memutuskan suatu perkara, tetap bersikap profesional dalam menjalankan profesi dan mengabdi kepada bangsa dan negara, serta memperlakukan setiap perkara sesuai undang-undang tanpa pandang bulu antara anggota keluarga atau bukan, antara kelas atas atau bawah. Semestinya para pejabat publik menyadari bahwa mereka mengabdi mewakili kepentingan orang banyak bukan untuk menimbun keuntungan bagi dirinya sendiri.
Nilai keempat Pancasila adalah demokrasi. Sila keempat Pancasila lebih mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Hukum diputuskan tidak bisa hanya berdasarkan suara perseorangan, tetapi diambil dari suara mayoritas. Misal, ketika hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi banyak yang tidak menyetujui, maka tidak bisa dipaksakan undang-undang tersebut untuk diberlakukan sehingga berdampak pada banyaknya pihak yang merasa dirugikan. Dan seharusnya para pejabat publik menyadari, bahwa kekuasaannya bukan menjadi wadah menimbun kekayaan tetapi sebagai mediator dalam menyuarakan aspirasi masyarakat agar tercapai kepentingan bersama.
Nilai kelima Pancasila adalah keadilan sosial. Sila kelima Pancasila mengutamakan dalam menjaga keseimbangan hak-kewajiban sosial dengan mawas diri. Misal, hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi akan lebih adil ketika pelaku diadili dengan harus mengembalikan dana-dana yang sudah dikorupsi oleh pelaku daripada pelaku dihukum mati. Ketika pelaku dihukum mati, tentu saja pelaku lepas tanggung jawab dari kewajiban untuk mengembalikan dana-dana yang sudah dikorupsi. Sehingga dana-dana yang pernah dikorupsi selamanya tidak akan pernah kembali. Jika kewajiban mengembalikan dana-dana yang dikorupsi oleh pelaku dilimpahkan kepada anggota keluarga atau ahli waris pelaku, ini akan memberatkan dan merugikan mereka. Lagipula, belum tentu anggota keluarga atau ahli waris ikut menikmati dana korupsi dari pelaku. Sehubungan dengan hal itu Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa “Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”. Dari bunyi pasal ini tampak bahwa untuk melunasi uang pengganti, jaksa dapat menyita dan melelang harta benda terpidana setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun, apabila ini dilaksanakan, jaksa akan menemui kesulitan dalam menemukan harta benda milik terpidana atau ahli warisnya dan kemungkinan timbulnya tunggakan uang pengganti sangat besar. Oleh karena pendataan dan penyitaan harta benda milik tersangka harusnya sudah dilakukan sejak penyidikan. Untuk itu memerlukan optimalisasi tugas dan fungsi Kejaksaan di bidang penyidikan dan intelejen yustisial.
Selain penyelesaian tunggakan uang pengganti dilakukan dengan penyitaan dan pelelangan harta benda terpidana juga dapat dilakukan melalui tuntutan subsider pidana penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menegaskan bahwa “Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimal dari pidana pokoknya sesuai dengan undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”. Namun yang menjadi permasalahan yang dihadapi dalam praktek adalah terpidana akan memilih melaksanakan hukuman subsider daripada membayar uang pengganti jika hukuman subsidernya lebih menguntungkan daripada pembayaran uang penggantinya. Otomatis, ketika memilih untuk hukuman subsider, akan menambah beban negara untuk membiayai akomodasi hidup terpidana selama di penjara.
Melihat pembahasan di atas, terlihat bahwa hukum tindak pidana korupsi di Indonesia masih perlu untuk dipertimbangkan kembali mengingat semakin maraknya korupsi yang terjadi. Hukum tindak pidana korupsi harus berlandaskan nilai-nilai ideologi Pancasila, UUD 1945, dan disesuaikan dengan hak dan kewajiban warga negara.
 

Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185

Comments

Popular posts from this blog

Kenapa angka India menjadi angka Arab?

Kebanyakan dari kita mungkin mengira angka Arab seperti angka-angka yang tercantum di dalam Al-Qur’an. Namun pada kenyataannya angka Arab bukanlah seperti yang selama ini kita asumsikan. Angka Arab itu sendiri sebenarnya angka yang sekarang menjadi angka internasional yaitu 1, 2, 3, 4, 5, ...dst. Lalu, angka yang kita kenal sebagai angka Arab yang ada di Al Qur’an itu angka apa? Fakta yang lucu. Ketika masyarakat umum dunia menyebutnya angka Arab, tapi orang Arab sendiri justru menyebutnya sebagai angka Hindi. Angka Arab yang sebenarnya adalah angka India yaitu ١ , ٢ , ٣ , ٤ , ٥ , ٦ , ٧ , ٨ , ٩ ,١٠ . Hal ini bisa dilihat dari sejarah perkembangan evolusi tulisan angka Arab dan Hindi itu sendiri. Kenyataannya angka-angka yang kita pakai saat ini adalah keturunan dari angka India. Dan sistem angka Hindu-Arab dikembangkan oleh matematikawan India. Angka India kemudian diadopsi oleh matematikawan Persia di India, dan diteruskan lebih lanjut kepada orang-orang Arab di sebelah barat. ...

Go-Jek Indonesia dan Tantangan Lingkungan dalam Perspektif Teori Organisasi

Organisasi bisnis jasa online , dewasa ini sedang banyak dikembangkan di Indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya penawaran fasilitas-fasilitas yang berdalih memberikan kemudahan dalam memenuhi setiap kebutuhan dan aktivitas masyarakat yang dikemas secara online dalam sebuah software aplikasi. Sebagaimana dapat kita amati, kemunculan berbagai bentuk layanan belanja online seperti Tokopedia , Bukalapak , Lazada , OLX , Grab-Bike , dan Go-Jek. Terkait hal bisnis jasa online , dalam tulisan ini akan dibahas mengenai layanan Go-Jek Indonesia. Go-Jek merupakan startup lokal di bidang digital. Selain Go-Jek, terdapat juga Grab-Bike yang merupakan startup asal Malaysia. Khususnya Go-Jek, ini sangat cermat dalam melihat kondisi lingkungan, yang terkait kemacetan yang terjadi di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Ide diciptakannya layanan Go-Jek muncul dari lingkungan eksternal organisasi Go-Jek, yaitu masyarakat (yang kemudian menjadi target sebagai customer Go-Jek) dan kemace...

Tanya Jawab Seputar Manusia dan Masyarakat Indonesia

1.       Soal: Setiap sukubangsa/etnis di Indonesia, memiliki budaya yang mendasari terbangunnya kearifan lokal untuk kelangsungan hidup mereka saat beradaptasi dengan lingkungan alamnya, baik dalam mengelola sumberdaya alam, mitigasi bencana dan berbagai kehidupan sosial. Sebut dan jelaskan langkah-langkah yang konstruktif harus dilakukan pemerintah dalam membangun kemitraan dengan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan budaya! Pembahasan: Kearifan lokal merupakan prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat. [1] Kearifan lokal juga berkaitan dengan strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. [2] Hidup yang berdampingan dengan alam mengharuskan kita mampu beradaptasi den...