Skip to main content

Contoh Kasus Manajemen Perpajakan



MAKALAH KELOMPOK PERTEMUAN 13
SEMINAR PERPAJAKAN


Tanggal             : 22 November 2017
Dosen                 : Drs. Iman Santoso, M.Si.

Kelompok 6
Bertha Yuliarti M.                                (1406574775)
Diah Islamiati                                       (1406619546)
Evi Kurnia Sari                                    (1406540755)
Ita Nur Handayani                               (1406540811)
M. Wiryo Susilo                                   (1406619470)
Naufan Ghani Putra                             (1406568715)
Teta Karina L. W.                                (1406540692)



FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI FISKAL REGULER
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
NOVEMBER 2017


BAB 1
GAMBARAN KASUS

PT Tambang Asri Lestari (TAL) merupakan perusahaan tambang batu bara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Provinsi Sumatera Selatan. Untuk kegiatan eksplorasinya, TAL berencana melakukan peminjaman langsung (direct loan) kepada pemegang sahamnya, Tamborine Stargazer, Pty. Ltd (TSP), sebuah perusahaan di Australia, sejumlah dana sebesar USD 25 Juta untuk jangka waktu 5 tahun ke depan.
TSP adalah pemilik 80% saham TAL dimana seluruh modal TSP seluruhnya telah disetor penuh. Peminjaman direncanakan bersifat non-interest bearing loan (pinjaman tanpa bunga), mempertimbangkan kondisi TAL yang masih belum lama berdiri dan dalam fase kegiatan eksplorasi.
Sementara tingkat suku bunga peminjaman USD di pasaran adalah 4% per tahun (yang merupakan representasi SIBOR + 1.5%). Dana terkait dengan rencana peminjaman tersebut, berasal dari penerbitan global bond anak perusahaan TSP di Belanda, TSP Finance International, Inc. (TFII).





BAB 2
PERMASALAHAN KASUS

Sehubungan dengan gambaran fakta pada Bab 1, Saudara diminta untuk menganalisis dan mengkuantifisir:
1)      Risiko perpajakan (tax risk) yang potensial dialami TAL berdasarkan fakta diatas.
2)      Alternatif skema pembiayaan (financing scheme) dan pendekatan lain yang dapat Saudara tawarkan untuk memitigasi risiko perpajakan tersebut.
3)      Alternatif terbaik dari pilihan yang tersedia (suitable option) dengan menunjukkan basis rationale (alasan) atau dasar hukum peraturannnya!


BAB 3
PERATURAN PERPAJAKAN TERKAIT DENGAN KASUS

Dalam membahas permasalahan kasus yang terdapat pada Bab 2, perlu untuk memperhatikan peraturan-peraturan perpajakan terkait dengan kasus pada Bab 1. Inventarisasi peraturan-peraturan perpajakan terkait dengan kasus terangkum dalam Bab 3 sebagai berikut.
1)        Tax Treaty Indonesia – Belanda Article 1 tentang Personal Scope.
2)        Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 18 ayat (3) dan pasal 18 ayat (4).
3)        Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Pada Tahun Berjalan Pasal 12.




BAB 4
PEMBAHASAN KASUS

4.1    Risiko Perpajakan (Tax Risk) yang Potensial Dialami TAL
Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UU Pajak Penghasilan, gambaran kasus mengindikasikan adanya hubungan istimewa antara TAL dengan TSP karena penyertaan modal TSP pada TAL melebihi 25%, yaitu sebesar 80%. Bentuk hubungan istimewa ini dapat mengindikasikan adanya penghindaran pajak karena pinjaman yang diberikan TSP kepada TAL sebagai pihak yang mempunyai hubungan istimewa, memberikan pinjaman tanpa bunga (non-interest bearing loan). Atas dasar kasus yang timbul tersebut, berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU Pajak Penghasilan, DJP berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam hal ini DJP dapat menentukan kembali biaya bunga yang seharusnya timbul berdasarkan tingkat suku bunga di pasaran yaitu 4% per tahun. Bunga yang timbul ini akan dikenai pajak atas bunga.
Dalam kasus ini pinjaman berasal dari penerbitan global bond TFII, bukan dari TSP, sehingga TSP bukan merupakan beneficial owner (pihak yang berhak penuh atas penghasilan). Oleh karena itu, Tax Treaty Indonesia-Australia Article 11 Par. 1 dan 2 dan reduced rate tidak bisa digunakan. Pengenaan pajak atas bunga menggunakan PPh Pasal 26 dengan tarif witholding tax 20%.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan pasal 12 ayat (1) dijelaskan bahwa terdapat syarat-syarat kumulatif yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak Perseroan Terbatas agar diperkenankan menerima pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham menurut peraturan pemajakan. Syarat-syarat yang dimaksud yaitu:
        Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;
        Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
        Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi;
        Perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
Pasal 12 ayat 2 PP Nomor 94 Tahun 2010 juga menyatakan apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar. Dalam kasus ini, pinjaman yang diberikan kepada TAL tidak memenuhi syarat nomor 1. Hal tersebut disebabkan karena pinjaman yang diterima TAL berasal dari penerbitan global bond TFII, bukan dari TSP sebagai pemegang saham TAL, sehingga sesuai dengan PP Nomor 94 Tahun 2010 atas pinjaman TAL dianggap terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar, yaitu sebesar 4%.
Risiko perpajakan yang potensial dialami oleh TAL adalah timbulnya withholding tax PPh Pasal 26 atas deemed interest expense:
        Biaya bunga = 4% x USD 25 juta = USD 1 juta
        PPh bunga = 20% x USD 1 juta = USD 200 ribu
        Sanksi administrasi = 2% x 24 x USD 100 ribu = USD 48 ribu
Pinjaman yang diberikan TSP melalui TFII (yang terlihat seperti SPV untuk TSP) juga memiliki risiko untuk dianggap sebagai modal tambahan yang ditanamkan pada TSP. Hal ini dapat dilakukan oleh DJP dengan melihat kembali (menguji) substansi dan manfaat pinjaman yang diberikan tersebut. Untuk itu, perlu adanya persiapan bukti pendukung yang menjelaskan substansi dan manfaat pinjaman yang diterima TSP melalui dokumen-dokumen pendukung seperti Loan Agreement dan Laporan Penetapan Harga Transfer Dokumen Lokal tahun saat pinjaman diberikan. Walaupun risiko ini justru kurang menguntungkan untuk kantor pajak mengingat TSP dianggap belum untung sehingga belum bisa memberikan dividen.
           
4.2    Alternatif Skema Pembiayaan (Financing Scheme) dan Pendekatan Lain untuk Memitigasi Risiko Perpajakan.
Skema 1
 
Pembiayaan TSP kepada TAL diberikan dalam bentuk pinjaman dengan bunga (interest bearing loan). Bagi TAL, konsekuensi yang timbul atas pinjaman yang diberikan oleh TSP yaitu munculnya biaya bunga sebagai imbalan atas pinjaman. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 6 ayat (1) huruf a, biaya bunga merupakan biaya yang dapat menjadi pengurang dalam menghitung penghasilan kena pajak, karena merupakan biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan).

Skema 2
 
Skema kedua memberikan alternatif pembiayaan melalui pihak ketiga (independen), yaitu bank. TFII sebagai pihak penyedia dana yang akan dipinjamkan kepada TAL, memberikan dana tunai kepada TSP. Kemudian dana tersebut akan ditabung dalam bentuk simpanan deposito atau simpanan lainnya di Bank di Indonesia cabang luar negeri (misalnya Bank Rabobank, sebagai cabang Rabobank, Belanda). Cabang Rabobank yang berbentuk BUT di Indonesia menjadi salah satu alternatif bank yang memberikan pinjaman kepada TAL sebab bank cabang dari luar negeri yang pada umumnya mampu menerima dan menanggung risiko usaha dari perusahaan tambang batu bara. Bank tersebut memberikan pinjaman kepada TAL dengan memperhatikan tingkat suku bunga yang diberikan kepada TAL. Tingkat suku bunga simpanan TSP di Rabobank sebaiknya lebih rendah dibandingkan dengan tingkat suku bunga pinjaman TAL kepada Rabobank Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi dari pinjaman kepada pihak ketiga yang cenderung memiliki risiko adanya biaya tambahan (linkage/kebocoran), seperti perbedaan tingkat suku bunga antara yang diberikan kepada anak perusahaan dan yang dibayarkan oleh induk kepada bank, serta adanya fee dari pemberian pinjaman dan penyimpanan melalui deposito.

Skema 3
Skema ketiga memberikan alternatif yang hampir sama dengan skema kedua. Perbedaannya terletak pada Bank (independent party) yang memberikan pinjaman bukan merupaka resident Indonesia (berada di luar negeri). Risiko yang dimiliki oleh skema ketiga ini sama dengan skema kedua, yakni adanya linkage atau kebocoran yang berasal dari perbedaan bunga antara yang diberikan oleh bank kepada TAL dan yang diberikan bank kepada TSP atas simpanannya. Risiko spread interest ini akan dibandingkan dengan risiko biaya perpajakan (tax cost) yang dimiliki TAL di Indonesia, yaitu sebesar USD 200.000. Pinjaman kepada bank pada skema kedua dan ketiga dapat dikatakan lebih aman dibandingkan jika TAL menerima pinjaman dari TSP secara langsung (skema pertama). Hal ini dikarenakan Bank merupakan pihak ketiga independen dan dianggap Beneficial Owner dari pinjaman tersebut karena kegiatan usahanya yang memang memberikan pinjaman kepada pelaku usaha.

Skema 4
Pinjaman TAL dilakukan dengan penerbitan global bond anak perusahaan TSP di Belanda, yaitu TFII. Berdasarkan tax treaty Indonesia-Belanda Article 11 Par. 4, apabila pinjaman dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 2 tahun, maka atas bunga tersebut hanya akan dipajaki di Belanda. Dalam hal ini, pinjaman dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 2 tahun. Namun perlu dipastikan kembali apakah TSP benar beneficial owner.

Ilustrasi perhitungan:
Keterangan
Loan Financing
Equity Financing
Laba
1.000.000
1.000.000
Biaya bunga
(4% x USD 25 juta)
(1.000.000)
-
Penghasilan Kena Pajak
-
1.000.000
PPh (25%)
-
250.000
Dividen
-
600.000
Witholding Tax (Tax rate untuk interest 20% dan untuk dividen 15%)
200.000
90.000
Pajak yang harus disetor
200.000
340.000


4.3    Alternatif Terbaik dari Pilihan yang Tersedia (Suitable Option).
 
Skema ini memberikan alternatif pembiayaan melalui pihak ketiga (independen), yaitu bank. TFII sebagai pihak penyedia dana yang akan dipinjamkan kepada TAL, memberikan dana tunai kepada TSP. Kemudian dana tersebut akan ditabung dalam bentuk simpanan deposito atau simpanan lainnya di Bank di Indonesia cabang luar negeri (misalnya Bank Rabobank, sebagai cabang Rabobank, Belanda). Cabang Rabobank yang berbentuk BUT di Indonesia menjadi salah satu alternatif bank yang memberikan pinjaman kepada TAL sebab bank cabang dari luar negeri yang pada umumnya mampu menerima dan menanggung risiko usaha dari perusahaan tambang batu bara. Bank tersebut memberikan pinjaman kepada TAL dengan memperhatikan tingkat suku bunga yang diberikan kepada TAL. Tingkat suku bunga simpanan TSP di Rabobank sebaiknya lebih rendah dibandingkan dengan tingkat suku bunga pinjaman TAL kepada Rabobank Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi dari pinjaman kepada pihak ketiga yang cenderung memiliki risiko adanya biaya tambahan, seperti perbedaan tingkat suku bunga dan fee dari pemberian pinjaman dan penyimpanan melalui deposito.
4.4 Kasus Perpajakan Indofood International Finance Ltd dan JP Morgan Chase Bank N.A., London Branch (Formerly J P Morgan Chase Bank, London Branch)
Kasus tersebut diputuskan sampai pada tingkat Mahkamah Agung di Inggris yaitu pada The Supreme Court Of Judicature Court Of Appeal (Civil Division). Dalam kasus tersebut JP Morgan sebagai waliamanat (trustee) dari pemegang obligasi eurobond yang dikeluarkan oleh anak perusahaan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (PT ISM) yaitu Indofood International Finance Ltd yang berkedudukan di Mauritius tidak menyetujui buyback yang hendak dilakukan oleh issuer bond sebagai akibat diterminasinya Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia – Mauritius. JP Morgan lalu membawa perkara tersebut ke Pengadilan.
Berikut latar belakang dari kasus tersebut :
       Indofood International Finance Ltd yang berkedudukan di Mauritius dan 100% dimiliki oleh PT Indofood Sukses Makmur Tbk telah menerbitkan obligasi senilai US$ 280.000.000,- pada tanggal 18 Juni 2002 dan akan jatuh tempo pada tanggal 18 Juni 2007.
       Hasil emisi obligasi seluruhnya dipinjamkan kepada PT Indofood Sukses Makmur Tbk dengan suatu perjanjian hutang yang skema pinjamannya sama dengan skema obligasi yang diterbitkan oleh Indofood International Finance Ltd, termasuk tingkat bunga tetap sebesar 10,375% (neto) pertahun yang wajib dibayarkan oleh PT Indofood Sukses Makmur Tbk kepada Indofood International Finance Ltd setiap 6 (enam) bulan.
       Berdasarkan Condition 6 dari Offering Circular obligasi, ditentukan bahwa Indofood International Finance Ltd berhak melunasi seluruh obligasi yang masih terhutang dengan par value sebelum jatuh tempo apabila terdapat perubahan peraturan perpajakan di Mauritius maupun di Indonesia yang mengakibatkan Indofood International Finance Ltd atau PT Indofood Sukses Makmur Tbk berkewajiban membayar tambahan pemotongan pajak melebihi tarif 10% per tahun dan kewajiban tersebut tidak dapat dihindari dengan melakukan "reasonable measures" baik oleh Indofood International Finance Ltd maupun PT Indofood Sukses Makmur Tbk.
       Mulai tanggal 1 Januari 2005, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Mauritius telah diterminasi sehingga kewajiban pemotongan pajak atas bunga oleh PT Indofood Sukses Makmur Tbk kepada Indofood International Finance Ltd berubah dari semula 10% menjadi 20%.
       Adanya terminasi P3B di atas telah menimbulkan masalah yang saat ini masih menunggu proses hukum di pengadilan Inggris yakni apakah struktur pembiayaan Mauritius ini dapat disesuaikan sehingga peningkatan kewajiban pemotongan pajak atas bunga tersebut dapat dihindari.
       Wali amanat (Trustee) dari obligasi, dalam hal ini JP Morgan, NA Cabang London, menyampaikan beberapa bentuk struktur pembiayaan yang dapat dipertimbangkan oleh Indofood International Finance Ltd dan/atau PT Indofood Sukses Makmur Tbk termasuk:
1)      Memindahkan tempat kedudukan manajemen ("seat of management") Indofood International Finance Ltd dari Mauritius ke jurisdiksi lain;
2)      Mengganti Indofood International Finance Ltd dengan sebuah perusahaan baru di jurisdiksi lain (Perusahaan Baru) yang akan mengambil alih kewajiban Indofood International Finance Ltd ("substitution") atau;
3)      Mendirikan suatu "Perusahaan Baru" berdasarkan hukum di jurisdiksi lain yang memiliki P3B dengan Pemerintah Indonesia dan menempatkannya di antara PT Indofood Sukses Makmur Tbk dan Indofood International Finance Ltd ("interposition") sehingga dapat menikmati tarif pemotongan pajak sesuai P3B sebesar 10% atau kurang. Jurisdiksi yang disarankan adalah Inggris, Netherlands dan Luxemburg.
Berdasarkan usulan dari wali amanat tersebut, PT ISM berkonsultasi dengan pihak Dirjen Pajak Indonesia apakah perusahaan baru tersebut dapat disebut sebagai beneficial owner – terdapat Surat Direktorat Jenderal Pajak Nomor S-517/Pj.343/2005 Tanggal 24 Juni 2005 Tentang Permohonan Penjelasan Dan Konfirmasi Atas Transaksi Dengan Hubungan Istimewa yang sepertinya menjelaskan kasus tersebut. Lihat skema “perusahaan baru” tersebut dalam gambar 1. Menurut Direktorat Jenderal Pajak, perusahaan baru tersebut merupakan conduit company dan nominee yang bukan merupakan pemilik yang sebenarnya dari penghasilan atau bukan beneficial owner.
Pihak Mahkamah Agung di Inggris juga mempertimbangkan petunjuk dari Direktorat Jenderal Pajak tersebut. Dalam kasus tersebut pengadilan menolak status beneficial owner terhadap usulan JP Morgan Chase untuk membentuk interposing company tersebut. 

Gambar 1 Skema Interposing Company Dalam Kasus Indofood Int. Ltd dan JP Morgan              
Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185

Comments

Popular posts from this blog

Kenapa angka India menjadi angka Arab?

Kebanyakan dari kita mungkin mengira angka Arab seperti angka-angka yang tercantum di dalam Al-Qur’an. Namun pada kenyataannya angka Arab bukanlah seperti yang selama ini kita asumsikan. Angka Arab itu sendiri sebenarnya angka yang sekarang menjadi angka internasional yaitu 1, 2, 3, 4, 5, ...dst. Lalu, angka yang kita kenal sebagai angka Arab yang ada di Al Qur’an itu angka apa? Fakta yang lucu. Ketika masyarakat umum dunia menyebutnya angka Arab, tapi orang Arab sendiri justru menyebutnya sebagai angka Hindi. Angka Arab yang sebenarnya adalah angka India yaitu ١ , ٢ , ٣ , ٤ , ٥ , ٦ , ٧ , ٨ , ٩ ,١٠ . Hal ini bisa dilihat dari sejarah perkembangan evolusi tulisan angka Arab dan Hindi itu sendiri. Kenyataannya angka-angka yang kita pakai saat ini adalah keturunan dari angka India. Dan sistem angka Hindu-Arab dikembangkan oleh matematikawan India. Angka India kemudian diadopsi oleh matematikawan Persia di India, dan diteruskan lebih lanjut kepada orang-orang Arab di sebelah barat. ...

Go-Jek Indonesia dan Tantangan Lingkungan dalam Perspektif Teori Organisasi

Organisasi bisnis jasa online , dewasa ini sedang banyak dikembangkan di Indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya penawaran fasilitas-fasilitas yang berdalih memberikan kemudahan dalam memenuhi setiap kebutuhan dan aktivitas masyarakat yang dikemas secara online dalam sebuah software aplikasi. Sebagaimana dapat kita amati, kemunculan berbagai bentuk layanan belanja online seperti Tokopedia , Bukalapak , Lazada , OLX , Grab-Bike , dan Go-Jek. Terkait hal bisnis jasa online , dalam tulisan ini akan dibahas mengenai layanan Go-Jek Indonesia. Go-Jek merupakan startup lokal di bidang digital. Selain Go-Jek, terdapat juga Grab-Bike yang merupakan startup asal Malaysia. Khususnya Go-Jek, ini sangat cermat dalam melihat kondisi lingkungan, yang terkait kemacetan yang terjadi di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Ide diciptakannya layanan Go-Jek muncul dari lingkungan eksternal organisasi Go-Jek, yaitu masyarakat (yang kemudian menjadi target sebagai customer Go-Jek) dan kemace...

Tanya Jawab Seputar Manusia dan Masyarakat Indonesia

1.       Soal: Setiap sukubangsa/etnis di Indonesia, memiliki budaya yang mendasari terbangunnya kearifan lokal untuk kelangsungan hidup mereka saat beradaptasi dengan lingkungan alamnya, baik dalam mengelola sumberdaya alam, mitigasi bencana dan berbagai kehidupan sosial. Sebut dan jelaskan langkah-langkah yang konstruktif harus dilakukan pemerintah dalam membangun kemitraan dengan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan budaya! Pembahasan: Kearifan lokal merupakan prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat. [1] Kearifan lokal juga berkaitan dengan strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. [2] Hidup yang berdampingan dengan alam mengharuskan kita mampu beradaptasi den...