Analisis Pengambilan Keputusan Melalui Pendekatan Analisis Daur Hidup Organisasi dalam Studi Kasus Restrukturisasi Direktorat Jenderal Pajak Menjadi Badan Penerimaan Perpajakan
ABSTRAK
Krisis
otonomi dalam organisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam hal kewenangan
DJP untuk mendesain struktur organisasi, mengalokasikan anggaran, merekrut dan
memberhentikan pegawai, dan menegosiasikan tingkat gaji pegawai, yang mana
kewenangan tersebut masih terpusat pada kewenangan Kementerian Keuangan dinilai
akan menghambat fleksibilitas DJP dalam mencapai tujuan efisiensi di dalam
menjalankan fungsi administrasi perpajakan sehingga efektivitas organisasi DJP
menjadi terhambat. Oleh karena itu, perlu diselenggarakan restrukturisasi DJP
menjadi badan otonom pajak bernama Badan Penerimaan Perpajakan (BPP).
Restrukturisasi DJP tersebut merupakan bentuk perubahan organisasi melalui
penyesuaian struktur organisasi terhadap perubahan lingkungan agar tercipta fleksibilitas
organisasi dalam merespon setiap perubahan lingkungan. Perubahan organisasi
untuk menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan merupakan bagian dari siklus
hidup organisasi. Teori siklus hidup organisasi yang tepat untuk menggambarkan
organisasi DJP adalah teori daur hidup organisasi menurut Larry Grainer yang menjelaskan
bahwa banyak cara bagi organisasi untuk menanggulangi krisis yang terjadi. Restrukturisasi
DJP menjadi BPP menunjukkan fase delegasi dalam daur hidup organisasi DJP,
yaitu mengenai pentingnya pengendalian krisis otonomi di DJP melalui
pendelegasian otoritas. Perubahan organisasi yang mengikuti perubahan
lingkungan harus disiasati oleh organisasi melalui metode proses pengambilan
keputusan yang sistematis dengan diawali identifikasi masalah, menganalisis alternatif-alternatif,
menentukan satu alternatif untuk dikerjakan, dan implementasi alternatif
terpilih sebagai solusi. Proses pengambilan keputusan dalam studi kasus
restrukturisasi DJP menjadi BPP sudah sesuai dengan metode proses pengambilan
keputusan menurut Simon dalam The New Science of Management Decision,
yang meliputi fase intelijen, fase desain, fase pemilihan, dan fase
implementasi.
Kata
kunci : pengambilan keputusan, daur
hidup organisasi, restrukturisasi
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
dan Penjelasan Permasalahan
1.1.Yurisdiksi Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yurisdiksi didefinisikan
sebagai sebuah pembenaran secara hukum mengenai hak dan kewajiban, serta
tanggung jawab suatu subjek hukum dalam suatu wilayah atau lingkungan kerja
tertentu. Atau dengan kata lain, yurisdiksi merupakan kekuasaan hukum.[1]
Yurisdiksi instansi Direktorat Jenderal Pajak yang kemudian disingkat dengan
sebutan DJP diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan, sebagaimana disebutkan di
dalam Pasal 6, 15, 16 dan 17, merupakan bagian dari susunan struktur
kelembagaan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri
Keuangan di dalam menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan
perpajakan; penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria; pemberian
bimbingan teknis dan supervisi; pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan; serta pelaksanaan administrasi yang berkaitan dengan kebijakan dan
ketentuan di bidang perpajakan dan pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh
Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[2]
1.2.Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Berdasarkan salinan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan,
pasal 6, menyebutkan bahwa struktur organisasi DJP berada di bawah Kementerian
Keuangan yang sejajar dengan lembaga-lembaga lain, yang juga masih di bawah
kendali Kementerian Keuangan, meliputi Sekretariat Jenderal, Direktorat
Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko,
Inspektorat Jenderal, Badan Kebijakan Fiskal, Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan, Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum, Staf Ahli Bidang
Kepatuhan Pajak, Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak, Staf Ahli Bidang Kebijakan
Penerimaan Negara, Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara, Staf Ahli Bidang Makro
Ekonomi dan Regulasi Jasa Keuangan Internasional, Staf Ahli Bidang Kebijakan
Regulasi dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal, dan Staf Ahli Bidang Organisasi,
Birokrasi, dan Teknologi Informasi. Sementara, struktur organisasi DJP itu
sendiri, sebagaimana disebutkan di dalam pasal 382, terdiri atas Sekretariat
Direktorat Jenderal; Direktorat Peraturan Perpajakan I; Direktorat Peraturan
Perpajakan II; Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan; Direktorat Penegakan
Hukum; Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian; Direktorat Keberatan dan
Banding; Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Perpajakan; Direktorat
Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat; Direktorat Teknologi dan
Informasi Perpajakan; Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber
Daya Aparatur; Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi;
Direktorat Transformasi Proses Bisnis; Direktorat Perpajakan Internasional; dan
Direktorat Intelijen Perpajakan. [3]
Setiap Direktorat Jenderal di dalam struktur organisasi Kementerian
Keuangan, memiliki Sekretariat Direktorat Jenderal dan diatur ketentuan jumlah
maksimal Direktorat, yang terdiri atas Kelompok Jabatan Fungsional dan/atau Subdirektorat,
yang dibagi kembali atas Kelompok Jabatan Fungsional dan/atau Seksi, serta
Subbagian yang menangani fungsi ketatausahaan di dalam masing-masing Direktorat
Jenderal. Setiap Sekretariat Direktorat Jenderal diatur ketentuan jumlah
maksimal Bagian dan/atau Kelompok Jabatan Fungsional, serta Subbagiannya. Di
dalam Perpres Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian
Keuangan, pasal 18, diatur ketentuan bahwa DJP memiliki Sekretariat Direktorat
Jenderal dan Direktorat-Direktorat dengan jumlah maksimal tiap-tiap Direktorat
ditetapkan paling banyak adalah 15 (lima belas) Direktorat. Tiap-tiap
Direktorat tersebut memiliki Subdirektorat serta Subbagian yang menangani
fungsi ketatausahaan dengan ketentuan jumlah maksimal adalah 6 (enam), yang
mana tiap-tiap Subbagian dibagi kembali berupa Kelompok Jabatan Fungsional
dan/atau Seksi dengan jumlah maksimal ditetapkan adalah 5 (lima) Seksi.
Sementara, Sekretariat Direktorat Jenderal terdiri atas paling banyak 6 (enam)
Bagian dan/atau Kelompok Jabatan Fungsional, yang mana tiap-tiap Bagian
memiliki jumlah maksimal 5 (lima) Subbagian dan/atau Kelompok Jabatan
Fungsional.
1.3.Urgensi Peran dan Fungsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Apabila pembagian Sub-Subbagian di dalam Struktur Organisasi DJP
dibandingkan dengan Direktorat-Direktorat Jenderal yang lainnya, DJP memiliki
proporsi jumlah Direktorat paling banyak, yaitu mencapai 15 Direktorat.
Sedangkan, Direktorat-Direktorat Jenderal lainnya, seperti misal Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai hanya mendapatkan proporsi maksimal sebanyak 10
Direktorat; Bahkan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Direktorat Jenderal
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, dan Direktorat Jenderal Anggaran, hanya
mendapatkan proporsi maksimal sebanyak 8 Direktorat. Ketentuan tersebut diatur,
berkaitan dengan tujuan optimalisasi penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Hal tersebut mengingat bahwa sumber penerimaan perpajakan memiliki prosentasi
paling tinggi terhadap pendapatan total negara dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Sebagaimana target penerimaan pajak di dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) Tahun 2015, sumber penerimaan
pajak mencapai Rp 1.489.255,5 miliar dari total pendapatan negara sebesar Rp
1.761.642,8 miliar. Dengan kata lain, penerimaan pajak menyumbang sebesar 84,5
% terhadap total pendapatan negara pada tahun 2015. Sementara itu, di dalam
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2016, target
sumber penerimaan perpajakan ditetapkan sebesar Rp 1.565.784,1 miliar dari
total target pendapatan negara sebesar Rp 1.848.107,2 miliar. Dalam artian
bahwa sumber penerimaan pajak memiliki prosentasi sebesar 84,7 % terhadap total
pendapatan negara. Artinya, target penerimaan pajak pada tahun 2016 dinaikkan
sebesar 0,2 % dari tahun 2015. [4]
Mengingat pentingnya penerimaan pajak terhadap kontribusi
pendapatan negara, maka di dalam Perpres Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2015
tentang Kementerian Keuangan, pasal 18, ayat 6, dalam rangka mengoptimalkan
penerimaan negara dari sektor pajak, maka DJP dapat membentuk direktorat yang
melaksanakan tugas di bidang perpajakan internasional, manajemen strategis,
sumber daya manusia, dan kepatuhan internal, yang mana kewenangan mengenai
ketentuan-ketentuan tersebut tidak diberikan kepada Direktorat-Direktorat
Jenderal lainnya.
1.4.Rencana Optimalisasi Penerimaan Perpajakan Melalui Restrukturisasi
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Menjadi Badan Penerimaan Perpajakan (BPP)
Selain hal-hal mengenai tugas pokok dan fungsi, wewenang, serta struktur
organisasi DJP yang sudah ditetapkan di dalam peraturan-peraturan pelaksana
perundang-undangan Indonesia, yaitu Perpres Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2015 tentang Kementerian Keuangan dan Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Keuangan, transformasi struktur organisasi kelembagaan DJP menjadi Badan
Penerimaan Perpajakan, yang kemudian disebut BPP, juga menjadi agenda yang
sedang dalam proses pengajuan oleh DJP kepada Pemerintah, yaitu Presiden Joko
Widodo, yang dimasukkan ke dalam pembahasan revisi Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan, yang akan dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat. Rencana restrukturisasi tersebut tidak lain adalah bertujuan untuk
meningkatkan penerimaan negara, khususnya penerimaan perpajakan.
Restrukturisasi yang diajukan DJP untuk menjadi BPP akan menjadikan
DJP sebagai badan otonom pajak. Artinya, DJP akan dipisahkan dari bagian
struktur organisasi Kementerian Keuangan, yang mana DJP akan menjadi badan yang
langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pemisahan
DJP dari Kementerian Keuangan diharapkan dapat mendorong optimalisasi peran DJP
dalam meningkatkan penerimaan perpajakan terhadap total pendapatan negara
karena DJP akan memiliki otoritas yang lebih fleksibel, khususnya dalam hal
melakukan perekrutan pegawai dan pelaksanaan anggaran, serta memperluas
jangkauan DJP agar lebih dekat dengan para wajib pajak melalui pembangunan
cabang-cabang baru.[5]
Sebagaimana kajian yang dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD) mengenai sembilan jenis kewenangan otoritas
perpajakan di berbagai negara yang meliputi kewenangan membuat peraturan,
memberikan pembebasan sanksi/bunga, mendesain struktur organisasi, mengalokasikan
anggaran, pengalokasian pegawai, menetapkan tingkat pelayanan, mengusulkan
kriteria pegawai, merekrut dan memberhentikan pegawai, dan menegosiasikan
tingkat gaji pegawai.[6] Sedangkan,
kewenangan DJP belum mencakup dalam hal mendesain struktur organisasi,
mengalokasikan anggaran, merekrut dan memberhentikan pegawai, dan
menegosiasikan tingkat gaji pegawai karena DJP masih di bawah kendali
Kementerian Keuangan. Pemberian otoritas penuh kepada DJP dalam menjalankan
fungsi anggaran (budgetair), melalui restrukturisasi DJP menjadi badan
otonom pajak, yaitu BPP, merupakan bentuk otonomi di dalam sistem administrasi
perpajakan. Artinya, DJP sebagai bagian dari lembaga pemerintahan, diberikan
kewenangan penuh secara mandiri untuk menetapkan bentuk dan status badan hukum,
mengelola anggaran, keuangan, sumber daya manusia, serta kegiatan administrasi
DJP dalam menjalankan peran dan fungsi sebagai sebuah lembaga organisasi
pemerintahan. Konsep otonomi DJP tersebut selaras dengan konsep otonomi di
dalam administrasi sektor publik oleh William Crandall dalam Revenue
Administration: Autonomy in Tax Administration and The Revenue Authority Model,
yaitu “...the degree to which a government department or agency is able to
operate independently from government, in terms of legal form and status,
funding and budget, and financial, human resources and administrative
practices”.[7]
1.5.Sejarah Restrukturisasi di dalam Instansi Direktorat Jenderal Pajak
(DJP)
Perkembangan
pembentukan instansi DJP, pada awal berdiri, yaitu pada awal masa kemerdekaan,
merupakan sebuah lembaga bernama Jawatan Padjak, di bawah koordinasi Direktur
Iuran Negara, Departemen Keuangan. Jawatan Padjak bertugas menjalankan fungsi
pemungutan pajak. Tahun 1958, struktur kelembagaan Jawatan Padjak secara
vertikal dilakukan restrukturisasi sehingga tidak lagi di bawah koordinasi
Direktur Iuran Negara, melainkan langsung di bawah Departemen Keuangan.
Sementara itu, tahun 1959, seiring dengan diberlakukannya Pajak atas Hasil
Bumi, maka Departemen Iuran Negara membentuk Direktorat Padjak Hasil Bumi yang
terpisah dari Instansi Jawatan Padjak. Tahun 1964, diberlakukan restrukturisasi
kembali di dalam kelembagaan Jawatan Padjak, yang mana Jawatan Padjak
dikendalikan di bawah pimpinan Pembantu Menteri Urusan Pendapatan Negara dan
diubah nama menjadi Direktorat Padjak. Sedangkan, Direktorat Padjak Hasil Bumi
diubah menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) di bawah Menteri
Iuran Negara, yaitu tepat pada tahun 1965. Tahun 1966-1967, nama Direktorat
Padjak diubah menjadi Direktorat Jenderal Pajak dan nama Direktorat IPEDA
diubah menjadi Direktorat Jenderal Keuangan. Kedua instansi tersebut, secara
vertikal, merupakan bagian dari Departemen Keuangan. Sehingga kemudian, pada
tahun 1976, Direktorat IPEDA beserta unit-unit pelaksana di daerah bergabung
menjadi bagian dari Direktorat Jenderal Pajak.
Sebelum tahun
1983, DJP difungsikan dalam rangka menjalankan kepentingan penetapan dan
pengawasan. Hal tersebut mengacu kepada penyesuaian sistem pemungutan pajak
yang diberlakukan, yaitu sistem official assessment. Namun, sejak 1983,
diterapkan kebijakan baru, yang mana DJP mengakomodasi sistem pemungutan pajak self
assessment. Dalam artian, bahwa sistem pemungutan self assessment
mengharuskan wajib pajak untuk memahami dengan baik berbagai peraturan
perpajakan, sehingga para wajib pajak dapat menjalankan kewajiban perpajakannya
dengan baik. Sehingga, dalam rangka pengawasan kepada wajib pajak, pada akhir
dasawarsa 1980-an, DJP melakukan restrukturisasi vertikal kelembagaan, yaitu
DJP membentuk seksi-seksi atau bagian dari DJP di bawah DJP, berupa pembentukan
seksi menurut jenis pajak. Hal tersebut dilakukan dalam rangka memberikan
pelayanan, termasuk pendidikan, sekaligus pengawasan kepada Wajib Pajak secara lebih
fokus. Pembentukan struktur bagian vertikal organisasi DJP mengacu pada tiga
fungsi administrasi pajak, yaitu meliputi penyuluhan, pelayanan, dan
pengawasan. Sehingga, kemudian diwujudkan dalam bentuk pendirian Kantor
Penyuluhan, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Unit Pemeriksaan dan Penyidikan
Pajak (kemudian menjadi Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak) pada tahun
1989. Adapun tujuan resrukturisasi struktur organisasi DJP tersebut adalah
tidak lain untuk meningkatkan jangkauan DJP agar lebih dekat dengan masyarakat.
Tahun 1985, seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Pajak Bumi dan
Bangunan, organisasi IPEDA menjadi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sehingga, di
tingkat Kantor DJP, Direktorat IPEDA berganti nama menjadi Direktorat PBB.
Demikian juga di tingkat Kantor Wilayah dan Inspeksi, yang mana IPEDA menjadi
Inspeksi PBB. Kemudian, tahun 1989, Inspeksi PBB diubah nama menjadi Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB). Tahun 2002, seiring dengan
diberlakukannya program modernisasi administrasi perpajakan, maka dibentuk
Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Pajak Modern, yang mana kemudian menambah
struktur vertikal DJP. Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Pajak Modern
tersebut menggabungkan fungsi Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak dan
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan ke dalam Kantor Pelayanan Pajak.
Selain itu, diatur ketentuan segmentasi administrasi Wajib Pajak, yang meliputi
Wajib Pajak Besar yang mana melaksanakan administrasi perpajakannya di KPP
Wajib Pajak Besar; Wajib Pajak Menengah yang mana melaksanakan pelayanan
administrasi perpajakannya di KPP Madya; dan Wajib Pajak Kecil yang
melaksanakan administrasi perpajakannya di KPP Pratama. Selain itu, KPP
menjalankan tugasnya berdasarkan fungsi serta diterapkan sebuah paradigma baru
bahwa orientasi pelayanan adalah menjalankan asas ease of administration,
yaitu memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban
perpajakannya malalui pemberian berbagai bentuk fasilitas. Paradigma baru
tersebut bertujuan untuk memperbaiki persepsi masyarakat dan Wajib Pajak
terhadap DJP, agar DJP lebih terkesan bersahabat dalam melayani administrasi
perpajakan para wajib pajak.[8]
1.6.Urgensi Rencana Optimalisasi Penerimaan Perpajakan Melalui
Restrukturisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Menjadi Badan Penerimaan
Perpajakan (BPP)
Pentingnya optimalisasi fungsi DJP melalui restrukturisasi menjadi BPP
mempertimbangkan bahwa masih rendahnya realisasi penerimaan pajak dari target
yang sudah ditetapkan. Sebagaimana berdasarkan laporan Menteri Keuangan,
Bambang Brodjonegoro, disampaikan bahwa tercatat penerimaan pajak per 31
Desember 2015, realisasi penerimaan pajak terpaut jauh dari target APBNP 2015,
yang mana hanya mampu merealisasikan sebesar Rp 1.055,61 triliun.[9]
Artinya, realisasi penerimaan pajak tahun 2015 adalah hanya sebesar 70,9 % dari
target penerimaan pajak dalam APBNP tahun 2015. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekurangan
penerimaan perpajakan mencapai Rp 433,65 triliun dari target sebesar Rp
1.489.255,5 miliar.
Selain masih rendahnya realisasi penerimaan perpajakan, masih
rendahnya tax ratio, yaitu perbandingan antara jumlah penerimaan pajak
dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara, untuk mengetahui tingkat
kepatuhan pembayaran pajak oleh masyarakat suatu negara, sepanjang tahun 2015
yang berada pada kisaran 10,47 %. Padahal, sebagaimana rencana strategis DJP
2015-2019 yang telah ditetapkan, tingkat tax ratio ditargetkan sebesar
19 % pada tahun 2019.[10]
Artinya, capaian tax ratio tahun 2015, masih terbilang sangat jauh dari
target, yaitu terpaut lebih kecil 8,53 % dari target 19 %. Selain itu, tingkat tax
coverage ratio, yaitu rasio antara realisasi pajak yang berhasil dipungut
dibandingkan dengan potensi pajak yang sebenarnya ada di dalam perekonomian, yang
juga masih terbilang kecil, yaitu berada pada capaian 55 % menunjukkan masih
rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayarkan kewajiban pajak. Padahal, pada
tahun 2015 ditargetkan bahwa tingkat tax coverage ratio adalah maksimal
70 %. Rendahnya capaian tax coverage ratio tersebut dinilai disebabkan
oleh masih terbatasnya jumlah elemen DJP, khususnya pegawai pajak yang bertugas
meningkatkan penerimaan pajak bagi 250.000.000 masyarakat Indonesia, yang mana
hingga Maret 2016 tercatat hanya terdapat 37.000 pegawai. Selain itu,
berdasarkan informasi dari Dirjen Pajak, Ken Dwijugiastiadi, disampaikan bahwa
masih terdapat 129.000.000 masyarakat kelas menengah ke atas di Indonesia yang
belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).[11]
Kondisi yang demikian menjadi bahan pertimbangan untuk mengoptimalkan peran dan
fungsi DJP dalam hal mendorong peningkatan pendapatan negara, khususnya
penerimaan sektor perpajakan melalui pengumpulan penerimaan pajak secara
efektif dan efisien dengan tetap mempertimbangkan aspek cost collection
efficiency ratio (CCER), yaitu rasio perbandingan antara biaya dalam rangka
pengumpulan penerimaan perpajakan (collection cost) dengan pendapatan
dari penerimaan perpajakan yang berhasil dikumpulkan (tax revenue). Hal
tersebut menunjukkan bahwa antara asas efficiency dengan asas revenue
productivity akan saling berkaitan.[12]
Sehingga, dalam hal melakukan pengumpulan pajak (tax collection), selain
dapat dicapai peningkatan penerimaan pajak (revenue productivity) sesuai
dengan target penerimaan pajak yang sudah ditetapkan, diharapkan DJP juga dapat
melakukan pemungutan pajak secara efisien. Sehingga diharapkan, dengan
terbukanya kewenangan DJP dalam menentukan alokasi pegawai dan anggaran akan
memudahkan DJP untuk menjalankan berbagai kebijakan yang berpengaruh langsung
terhadap kinerja pegawai. Dengan demikian, peningkatan kinerja pegawai DJP
melalui restukturisasi DJP menjadi badan otonom pajak yang diberikan kewenangan
untuk menentukan alokasi pegawai dan anggaran akan berdampak positif terhadap
peningkatan tax ratio serta tax coverage ratio di kemudian hari.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan terkait kinerja peran dan
fungsi DJP dalam hal menjalankan fungsi anggaran (budgeteir) terhadap
APBN, penting untuk dikaji kembali mengenai rencana restrukturisasi struktur
organisasi DJP menjadi badan otonom pajak, sebagai BPP, yang diwacanakan akan
terpisah dari Kementerian Keuangan dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden. Pembentukan BPP perlu sebuah pengambilan keputusan secara terprogram
dengan mengenali secara mendalam masalah-masalah di dalam organisasi DJP serta
mempertimbangkan peluang-peluang yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut.
Sehingga kemampuan mengenali daur hidup organisasi penting untuk dipahami oleh
setiap organ di organisasi DJP untuk merencanakan usaha-usaha sebelum atau
sesudah diimplementasikannya pilihan yang nyata. Dengan demikian akan dapat dibuat
sebuah pemetaan (mindmapping) pengambilan keputusan yang berkualitas mengenai
rencana restrukturisasi struktur organisasi DJP menjadi badan otonom pajak BPP
yang sesuai dengan visi misi DJP dalam rangka mendorong perbaikan kinerja DJP
sebagai aktor fungsi budgeteir melalui peningkatan ketahanan alokasi sumber
penerimaan perpajakan secara berkelanjutan di dalam APBN. Hal tersebut selaras dengan
tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu untuk menganalisis pengambilan
keputusan melalui pendekatan analisis daur hidup organisasi dalam studi kasus
restrukturisasi DJP menjadi BPP. Sehingga diharapkan, analisis ini dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan terkait restrukturisasi DJP menjadi BPP berdasarkan informasi yang
lebih baik.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Restrukturisasi
Organisasi
1.a. Restrukturisasi DJP Menjadi BPP sebagai Bentuk Perubahan Organisasi
1.a.1. Teori Perubahan Organisasi
1.a.1.a. Ketidakpastian Lingkungan dalam Organisasi
Suatu organisasi cenderung rentan untuk mengadakan sebuah perubahan
karena pengaruh lingkungan organisasi. Stephen P. Robbins, dalam Teori
Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi[13], menyampaikan
bahwa setiap organisasi akan dihadapkan kepada adanya ketidakpastian (uncertainty)
lingkungan.
Ketidakpastian (uncertainty) lingkungan menunjukkan bahwa pimpinan
organisasi tidak memiliki informasi memadai mengenai keadaan lingkungannya,
sehingga akan menyebabkan timbulnya kesulitan dalam memperkirakan
perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi. Ketidakpastian ini
menyebabkan tindakan-tindakan yang akan diambil oleh organisasi mempunyai
risiko kegagalan yang tinggi. Sehingga, ketidakpastian lingkungan tersebut
menuntut setiap organisasi untuk menyesuaikan organisasinya dengan kondisi
lingkungan. Artinya perubahan lingkungan organisasi menuntut sebuah organisasi
ikut mengadakan perubahan agar sebuah organisasi tetap dapat bertahan hidup.
1.a.1.b. Kompleksitas dan Stabilitas Lingkungan sebagai Penentu
Ketidakpastian Lingkungan dalam Organisasi
Ketidakpastian lingkungan ditentukan oleh kompleksitas dan
stabilitas dari lingkungan organisasi itu sendiri. Kompleksitas menunjukkan
heterogenitas atau banyak-sedikitnya elemen eksternal yang berpengaruh terhadap
berfungsinya suatu organisasi. Lingkungan yang kompleks adalah lingkungan yang
terdiri atas banyak elemen. Semakin banyak elemen lingkungan organisasi akan
mendorong ketidakpastian lingkungan semakin tinggi. Sehingga peluang terjadinya
perubahan organisasi juga akan cenderung lebih tinggi. Sementara stabilitas
lingkungan menunjukkan kecepatan perubahan yang terjadi pada elemen-elemen
lingkungan. Lingkungan yang stabil adalah lingkungan yang elemen-elemennya
memiliki frekuensi perubahan sangat kecil. Sehingga, organisasi pada lingkungan
yang stabil cenderung akan lebih sedikit terjadi perubahan.
1.a.1.c. Kompleksitas di dalam Organisasi DJP
Kompleksitas lingkungan organisasi DJP dapat dilihat dari
kompleksitas struktur organisasi DJP yang berpengaruh pada ukuran organisasi.
Stephen P. Robbins menambahkan bahwa kompleksitas struktur menunjuk pada
derajat diferensiasi yang terdapat di dalam sebuah organisasi. Diferensiasi
struktur organisasi tersebut meliputi diferensiasi horizontal, vertikal, dan
spasial. Diferensiasi horizontal menunjukkan derajat pemisahan antar unit-unit
dalam organisasi yang mencakup ukuran banyak sedikitnya jumlah unit dalam
organisasi. Diferensiasi vertikal menunjukkan kedalaman hierarki organisasi
berdasarkan pada ukuran level organisasi. Diferensiasi spasial menunjukkan
derajat persebaran lokasi geografis dari fasilitas dan personil suatu
organisasi.
Dalam konteks DJP, terlihat bahwa terdapat diferensiasi horizontal,
vertikal, dan spasial yang kompleks. Secara diferensiasi horizontal, DJP
terdiri atas unit-unit sebanyak 15 (lima belas) divisi yang disebut Direktorat.
Kemudian secara diferensiasi vertikal, DJP memiliki kedalaman hierarki yang
tinggi, berupa banyaknya pembagian level-level secara vertikal. Terbukti bahwa
DJP merupakan bagian dari Kementerian Keuangan. Kemudian, di unit DJP memiliki
Sekretariat Direktorat Jenderal dan Direktorat. Sekretariat Direktorat Jenderal
terdiri atas paling banyak 6 (enam) Bagian dan/atau Kelompok Jabatan
Fungsional, yang mana tiap-tiap Bagian memiliki jumlah maksimal 5 (lima)
Subbagian dan/atau Kelompok Jabatan Fungsional. Sementara tiap-tiap Direktorat
tersebut memiliki Subdirektorat serta Subbagian yang menangani fungsi
ketatausahaan dengan ketentuan jumlah maksimal adalah 6 (enam), yang mana
tiap-tiap Subbagian dibagi kembali berupa Kelompok Jabatan Fungsional dan/atau
Seksi dengan jumlah maksimal ditetapkan adalah 5 (lima) Seksi. Kemudian secara
diferensiasi spasial, dalam rangka meningkatkan pelayanan administrasi
perpajakan terhadap 250.000.000 masyarakat Indonesia, DJP harus mampu
menyediakan fasilitas pelayanan perpajakan berupa penambahan fasilitas dan
personil yang tersebar berdasarkan lokasi persebaran geografis para wajib pajak.
Fasilitas-fasilitas tersebut terdiri dari Kantor Wilayah DJP (Kanwil DJP) yang
melaksanakan koordinasi, bimbingan, pengendalian, analisis, dan evaluasi atas
pelaksanaan tugas Kantor Pelayanan Pajak (KPP), serta penjabaran kebijakan dari
kantor pusat; Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang terdiri atas KPP Wajib Pajak
Besar, KPP Madya, dan KPP Pratama. KPP melaksanakan penyuluhan, pelayanan, dan
pengawasan kepada wajib pajak; dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi
Perpajakan (KP2KP) yang melaksanakan tugas pelayanan, penyuluhan, dan
konsultasi perpajakan kepada wajib pajak atau masyarakat yang tinggal di
daerah-daerah terpencil (remote area) yang tidak terjangkau oleh KPP.
Selain itu, dibentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang melaksanakan teknis
operasional dan/atau teknis penunjang dalam pengolahan data, namun tidak
bersifat pembinaan serta tidak berkaitan langsung dengan perumusan dan
penerapan kebijakan publik. UPT di lingkungan DJP meliputi Pusat Pengolahan Data
dan Dokumen Perpajakan (PPDDP), Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan
(KPDDP), Kantor Pengolahan Data Eksternal (KPDE), dan Kantor Layanan Informasi
dan Pengaduan (KLIP). DJP mencatat bahwa jumlah kantor operasional DJP hingga
tahun 2012 berjumlah total 574 kantor yang tersebar di seluruh wilayah
geografis di Indonesia.[14]
Tabel 1 Infomasi Jumlah Kantor Operasional DJP Tahun 2012
Jenis
|
Kanwil
DJP
|
KPP
Wajib Pajak Besar
|
KPP
Madya
|
KPP
Pratama
|
KP2KP
|
UPT
|
Jumlah
|
Jumlah
|
31
|
4
|
28
|
299
|
207
|
5
|
574
|
Sumber: Data
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dalam Laporan Tahunan tahun
2012
|
Gambar 1 Informasi Peta Persebaran Kantor Operasional DJP Tahun 2012
Sumber: Data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dalam
Laporan Tahunan tahun 2012
Gambar 2 Informasi Peta Persebaran Kantor Operasional DJP Tahun 2012
Sumber: Data
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dalam Laporan Tahunan tahun 2012
Berdasarkan informasi Gambar 1 dan 2 tentang Peta Persebaran Kantor
Operasional DJP Tahun 2012 menunjukkan bahwa kantor-kantor operasional DJP
cenderung terpusat di wilayah Pulau Jawa. Sementara wilayah lain seperti Kantor
Wilayah DJP Papua dan Maluku pelayanan administrasi perpajakan dalam rangka
menjalankan kepatuhan wajib pajak masih sulit terjangkau oleh para wajib pajak karena
masih terbatasnya jumlah KPP dan KP2KP. Sementara mengenai terbatasnya jumlah
personil menunjukkan bahwa hingga Maret 2016 tercatat hanya terdapat 37.000
pegawai pajak. Selain itu, 129.000.000 masyarakat kelas menengah ke atas di
Indonesia yang hingga tahun 2016 tercatat belum memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) menjadi tanggung jawab DJP untuk untuk menjangkau para wajib pajak
tersebut. Tuntutan tersebut mendorong DJP untuk selalu menambah jumlah kantor
operasional dan personil aparat DJP di seluruh lokasi geografis persebaran para
wajib pajak. Sehingga, hal tersebut mendorong tercipta semakin tingginya
kompleksitas organisasi DJP berdasarkan diferensiasi spasial.
Kompleksitas berdasarkan diferensiasi vertikal di DJP yang tinggi
mempengaruhi pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan menurut tingkatan
hierarki dalam organisasi. Artinya organisasi DJP akan memiliki tingkat
sentralisasi yang tinggi atau dikenal dengan sentralistik, yang mana wewenang
pengambilan keputusan terpusat di pucuk pimpinan atau lapisan atas organisasi.
Sentralistik di dalam DJP lebih kepada hal-hal untuk mendesain struktur
organisasi, mengalokasikan anggaran, merekrut dan memberhentikan pegawai, dan
menegosiasikan tingkat gaji pegawai karena DJP masih di bawah kendali
Kementerian Keuangan.
1.a.1.d. Pengertian Restrukturisasi Organisasi
Menurut Sutarto, dalam Dasar-Dasar Organisasi, dalam Tesis
berjudul Restrukturisasi Organisasi Administrasi Perpajakan Modern (Studi
Kasus di KPP Pratama Jakarta Cingkareng) oleh Jose Andrew Ramos, sebuah
organisasi dalam menyelenggarakan perubahan dapat dilakukan melalui penyesuaian
diri dalam bentuk perubahan struktur, tatakerja, orang, dan peralatan kerja.
Perubahan struktur organisasi disebut dengan restrukturisasi organisasi.
Restrukturisasi organisasi berarti mengubah struktur dengan cara menambah
satuan, mengurangi satuan, mengubah kedudukan satuan, menggabung beberapa
satuan menjadi satuan yang lebih besar, memecah satuan besar menjadi
satuan-satuan yang lebih kecil, mengubah sistem sentralisasi menjadi
desentralisasi atau sebaliknya, mengubah luas sempitnya rentangan kendali,
merinci kembali kegiatan atau tugas, menambah pejabat, atau mengurangi pejabat.
Perubahan organisasi dengan cara mengubah tata kerja berarti mengubah tata
cara, tata aliran, tata tertib, dan syarat-syarat melakukan pekerjaan.
Perubahan organisasi dengan cara mengubah orang berarti mengubah sikap, tingkah
laku, perilaku, meningkatkan pengetahuan, meningkatkan keterampilan dari
pejabat. Sementara perubahan organisasi dengan mengubah peralatan kerja berarti
mengubah teknologi misal penggunaan teknologi dari yang bersifat manual menjadi
otomatis atau sebaliknya.[15]
1.a.1.e. Restrukturisasi Organisasi DJP
Dalam konteks restrukturisasi DJP menjadi BPP merupakan bentuk
perubahan organisasi melalui penyesuaian struktur organisasi dalam rangka
mendapatkan bentuk yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi
melalui upaya manajemen dengan cara melakukan penataan ulang atau rekayasa
ulang (reengineering) sehingga organisasi dapat melakukan adaptasi
terhadap perubahan lingkungan. Restrukturisasi DJP menjadi BPP lebih diarahkan
untuk tujuan merespon perubahan lingkungan seperti perubahan peningkatan jumlah
sumber potensi pemajakan dan peningkatan jumlah wajib pajak sehingga DJP dalam
rangka merespon perubahan lingkungan tersebut harus dilakukan secara proaktif
dengan mendorong fleksibilitas DJP dalam mendesain struktur organisasi,
mengalokasikan anggaran, merekrut dan memberhentikan pegawai untuk meningkatkan
pelayanan administrasi perpajakan agar DJP dapat menjangkau para wajib pajak
dan sebaliknya bagi wajib pajak dalam melaksanakan kepatuhan wajib pajaknya.
Artinya, pemberian otonomi kepada DJP akan meningkatkan fleksibilitas DJP.
Dengan demikian administrasi perpajakan dapat dilakukan secara lebih efisien
dan mengutamakan kepada kemudahan administrasi baik bagi fiskus maupun para
wajib pajak. Dalam hal memberikan kemudahan administrasi terhadap para wajib
pajak menunjukkan bahwa pelayanan pajak adalah berbasis customer oriented.
Oleh karena itu, diharapkan organisasi akan tetap dapat bertahan
hidup di tengah-tengah ancaman ketidakpastian lingkungan. Rencana
restrukturisasi organisasi DJP tersebut termasuk ke dalam bentuk modernisasi
administrasi perpajakan. Hal tersebut selaras dengan pendapat Liberti
Pandiangan dalam Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan, bahwa
modernisasi administrasi perpajakan meliputi restrukturisasi organisasi,
penyempurnaan proses bisnis melalui pemanfaatan teknologi komunikasi, dan
penyempurnaan manajemen sumber daya manusia. Sementara itu, Liberti Pandiangan
menambahkan bahwa dalam hal restrukturisasi organisasi mencakup konsep-konsep
debirokratisasi, struktur organisasi berbasis fungsi terkait dengan perpajakan,
terdapat pemisahan antara fungsi pemeriksaan dengan keberatan, terdapat segmentasi
wajib pajak (level operasional) yang dikelola Kantor Pelayanan Pajak (KPP),
terdapatnya internal audit dan change program unit, serta menciptakan
efisiensi dan customer oriented. [16]
2. Siklus Hidup Organisasi
2.a. Restrukturisasi DJP Menjadi BPP sebagai Siklus Hidup
Organisasi
Ketidakpastian lingkungan menjadi hambatan bagi ketahanan hidup
suatu organisasi karena menyebabkan tindakan-tindakan yang akan diambil oleh
organisasi mempunyai risiko kegagalan yang tinggi. Sehingga suatu organisasi
harus mampu mengelola ketidakpastian tersebut melalui fleksibilitas organisasi
dalam merespon setiap perubahan lingkungan. Sebagaimana dikatakan oleh Ichak Adizes,
dalam Siklus Hidup Organisasi: Suatu Analisis Perkembangan Organisasi,[17]
bahwa pertumbuhan dan kemunduran setiap organisasi terutama disebabkan oleh dua
faktor, yaitu fleksibilitas dalam merespon setiap perubahan lingkungan dan
kekakuan (controllability) dalam merespon setiap perubahan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa perubahan organisasi yang terjadi karena
penyesuaian organisasi terhadap perubahan lingkungan merupakan bagian dari
siklus hidup organisasi.
Siklus hidup organisasi merupakan suatu tahapan perkembangan yang
dialami oleh setiap organisasi beserta kondisi, kesulitan, dan masalah-masalah
transisi serta implikasi yang mengikuti dari setiap perkembangan tersebut.
Setiap tahapan-tahapan yang dilalui organisasi akan selalu memunculkan
kesulitan atau masalah yang memerlukan penanganan baik secara internal maupun
intervensi dari pihak luar (eksternal). Ichak Adizes menambahkan bahwa walaupun
terdapat ketidakpastian di dalam perkembangan organisasi, tahapan perkembangan
organisasi itu sendiri sebenarnya dapat diprediksi dan bersifat repetitif. Oleh
karena itu penting bagi pimpinan organisasi untuk memiliki kemampuan memahami
setiap perkembangan tahapan organisasi sehingga seorang pimpinan organisasi
dapat melakukan tindakan preventif dan proaktif dalam rangka menyongsong
persoalan-persoalan organisasi di masa mendatang atau setidaknya organisasi
dapat menghindari masalah-masalah dengan risiko lebih tinggi karena
ketidakpastian lingkungan selama masa perkembangan suatu organisasi dalam
proses perubahannya.
2.b. Teori Siklus Hidup Organisasi
Teori siklus hidup organisasi yang tepat untuk menggambarkan
organisasi DJP adalah teori daur hidup organisasi menurut Larry Grainer.[18]
Gagasan daur hidup organisasi menurut Larry Grainer dijelaskan secara sederhana
bahwa organisasi pada umumnya mengalami suatu proses perkembangan sejalan
dengan waktu dan bertambahnya ukuran organisasi itu sendiri. Larry Grainer
menjelaskan bahwa organisasi mengalami proses pertumbuhan yang berbanding lurus
dengan ukuran organisasi. Proses pertumbuhan organisasi yang terdiri dari masa
kelahiran, kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Masing-masing tahap pertumbuhan
tersebut disebut oleh Larry Grainer sebagai fase enterpreneurial, kolektivitas,
delegasi, formalisasi, dan kolaborasi.
2.b.1. Fase Enterpreneurial
Fase enterpreneurial ditandai dengan ukuran organisasi yang masih
kecil karena organisasi baru mulai didirikan. Pengelolaan dilakukan secara
langsung oleh pemilik secara personal. Sehingga, ketika perkembangan organisasi
semakin meluas, akan terjadi krisis kepemimpinan karena pengelola tidak mampu
hanya bekerja secara sendiri untuk mengendalikan aktivitas organisasi.
2.b.2. Fase Kolektivitas
Fase kolektivitas menunjukkan bahwa organisasi membangun integrasi
kolektif di antara unit-unit operatif dalam organisasi, yang mulai diperjelas
struktur dan fungsi-fungsinya, walaupun masih bersifat informal. Namun, integrasi
kolektif antar unit dalam organisasi yang terbentuk menciptakan krisis otonomi.
Unit-unit operatif merasa perlu wewenang yang lebih besar untuk mengelola
aktivitas operasional unitnya daripada dikontrol melalui pengambilan keputusan
yang terpusat karena kreativitas dan inovasi masih menjadi ciri dominan di fase
kolektif.
2.b.3. Fase Delegasi
Fase Delegasi terjadi ketika organisasi mendelegasikan
keputusan-keputusan ke bawah dan aturan-aturan serta prosedur dibuat secara
lebih formal untuk tujuan agar dapat mempertahankan efisiensi dan stabilitas
organisasi. Namun, seiring dengan pertumbuhan organisasi yang semakin kompleks,
desentralisasi keputusan dapat menjadi penghambat pencapaian tujuan organisasi.
Sehingga pada fase ini akan cenderung terjadi krisis kontrol.
2.b.4. Fase Formalisasi
Fase formalisasi menunjukkan diterapkannya cara-cara kontrol secara
birokratik dengan melakukan standardisasi terhadap berbagai aktivitas. Namun,
kontrol yang berlebihan dan dibuat dalam sebuah formalisasi dapat menyebabkan
terhambatnya daya adaptasi organisasi terhadap lingkungan. Sehingga kondisi
demikian disebut dengan krisis birokratik.
2.b.5. Fase Kolaborasi
Fase kolaborasi menggantikan kerja birokrasi yang terlalu rasional
dan impersonal menjadi kerja tim. Tugas-tugas yang telah terdiferensiasi
disatukan kembali dalam gugus pekerjaan yang dikelola oleh tim. Namun, yang
perlu menjadi perhatian dalam fase kolaborasi adalah kerja tim yang semakin
intensif dapat mengakibatkan kelelahan secara fisik maupun psikologis, sehingga
perlu upaya penyegaran atau pembaharuan (renewal). Apabila upaya
pembaharuan tidak dapat tercapai untuk mengatasi kejenuhan aktivitas organisasi
maka akan tercipta krisis pembaharuan (renewal crisis).
2.c. Restrukturisasi DJP Menjadi BPP sebagai Fase Delegasi dalam
Daur Hidup Organisasi
Berdasarkan teori daur hidup organisasi oleh Larry Grainer,
restrukturisasi DJP menjadi BPP akan menunjukkan sebuah fase delegasi dalam
daur hidup organisasi DJP. Fase tersebut muncul sebagai akibat adanya krisis
otonomi di dalam organisasi DJP dalam hal kewenangan DJP untuk mendesain
struktur organisasi, mengalokasikan anggaran, merekrut dan memberhentikan
pegawai, dan menegosiasikan tingkat gaji pegawai.
Misal dalam hal kewenangan mengalokasikan anggaran, selama masih di
bawah Kementerian Keuangan, alokasi pembiayaan untuk pelaksanaan
program-program dalam rangka pelaksanaan administrasi perpajakan dan menegakkan
kepatuhan wajib pajak akan terbatas. Keterbatasan alokasi anggaran tidak lain
adalah karena Kementerian Keuangan harus membagi anggaran yang tersedia kepada
seluruh Direktorat-Direktorat di bawah Kementerian Keuangan. Peningkatan
pembiayaan untuk program-program tertentu di suatu Direktorat akan mempengaruhi
penurunan alokasi pembiayaan untuk penyelenggaraan program-program di
Direktorat lainnya, yang mana Kementerian Keuangan akan menyusun proporsi
alokasi anggaran berdasarkan skala prioritas di Kementerian Keuangan. Kondisi tersebut
dapat mempengaruhi terhambatnya pelaksanaan program-program kerja di dalam
Direktorat yang bukan menjadi prioritas di Kementerian Keuangan sehingga fungsi
dan tujuan Direktorat tersebut tidak dapat berjalan secara efektif.
Apabila hal tersebut terjadi pada DJP, misal dalam rangka mencapai
efisiensi administrasi perpajakan oleh wajib pajak dan efisiensi pengumpulan
pajak oleh fiskus maka DJP akan menambah jumlah Kanwil DJP, KPP, dan KP2KP di
setiap wilayah. Penambahan fasilitas tersebut diharapkan dapat mempengaruhi
peningkatan tax ratio dan tax coverage ratio karena dapat
menjangkau kemudahan para wajib pajak dalam menjalankan kepatuhan wajib
pajaknya serta mempermudah fiskus untuk mendekati para wajib pajak potensial
yang selama ini belum taat administrasi pajak. Namun, apabila program DJP
tersebut terhambat karena keterbatasan anggaran sebagai akibat
diprioritaskannya Direktorat lain di Kementerian Keuangan sehingga harus
mengorbankan prioritas DJP, maka akan berdampak kepada sulitnya tercapai
efektivitas di DJP dalam menjalankan fungsi administrasi perpajakan. Sehingga
target tax ratio dan tax coverage ratio akan semakin sulit untuk
dicapai oleh DJP. Bahkan cost collection efficiency ratio (CCER) tidak
semakin kecil melainkan semakin besar sebagai akibat tidak dicapainya target tax
coverage ratio. Artinya, DJP tidak semakin efisien dalam menjalankan
administrasi pajak, khususnya dalam rangka menarik para wajib pajak potensial
karena para fiskus tidak mampu menjangkau para wajib pajak potensial tersebut
sebagai akibat tidak tersedianya fasilitas berupa kantor-kantor pelayanan
perpajakan di daerah-daerah. Jika pun para fiskus dikirimkan ke daerah-daerah
untuk menjalankan penegakan hukum kepatuhan wajib pajak, hal tersebut sangat
dimungkinkan hanya akan menambah biaya operasional. Walapun apabila dilakukan
penambahan kantor wilayah juga akan menambah biaya, namun dampak positif yang
ditimbulkan dalam jangka panjang akan lebih terjamin karena fasilitas dekat
dengan wajib pajak dan cenderung bersifat permanen, daripada harus mengirimkan
secara berkala para fiskus untuk melakukan pendataan.
Krisis otonomi tersebut dinilai akan menghambat fleksibilitas DJP
dalam mencapai tujuan efisiensi di dalam menjalankan fungsi administrasi
perpajakan sehingga efektivitas organisasi DJP menjadi terhambat. Oleh karena
itu perlu untuk mendelegasikan keputusan-keputusan ke bawah dan aturan-aturan
serta prosedur dibuat secara lebih formal untuk tujuan agar dapat
mempertahankan efisiensi dan stabilitas organisasi DJP dalam rangka mencapai
pendapatan negara yang sustainable atau berkelanjutan dari sumber
penerimaan perpajakan. Dalam konteks restrukturisasi DJP, pendelegasian
dilakukan melalui pemberian otonomi kepada DJP untuk menjadi badan otonom pajak
yang terpisah dari Kementerian Keuangan yang kemudian disebut sebagai Badan
Penerimaan Perpajakan (BPP).
Teori daur hidup organisasi oleh Larry Grainer menjelaskan bahwa
banyak cara yang dapat digunakan organisasi dalam menanggulangi krisis yang
terjadi. Begitu pula dengan restrukturisasi DJP menjadi BPP menunjukkan bahwa
bentuk organisasi DJP disesuaikan dengan tujuan mengenai pentingnya
pengendalian krisis yang sedang terjadi di DJP, yaitu krisis otonomi. Sehingga
pendelegasian otoritas menjadi pilihan yang tepat untuk menanggulangi krisis
otonomi di DJP.
3. Pengambilan Keputusan dalam Organisasi
Suatu organisasi akan tumbuh dan berkembang mengikuti perubahan
lingkungannya. Tantangan ketidakpastian lingkungan yang sering menjadi masalah
bagi organisasi sehingga memicu terjadinya perubahan organisasi yang mengikuti
perubahan lingkungan harus disiasati oleh organisasi melalui proses pengambilan
keputusan yang sistematis.
3.a. Teori Pengambilan Keputusan
Proses pengambilan keputusan merupakan proses dalam mengenali
masalah-masalah dan peluang-peluang untuk kemudian dipecahkan melalui proses memilih
alternatif tindakan untuk mencapai tujuan.
Simon dalam The New Science of Management Decision, dalam
mengenalkan metode proses pengambilan keputusan yang terdiri dari empat fase,
yaitu fase intelijen, fase desain, fase pemilihan, dan fase implementasi.[19]
Fase Intelijen
Fase intelijen merupakan proses pengambilan keputusan organisasi
dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi permasalahan yang menjadi pokok
untuk diberikan solusi melalui pengambilan keputusan.
Fase Desain
Fase desain merupakan proses untuk mengembangkan dan menganalisis
alternatif –alternatif tindakan yang dapat dikerjakan melalui proses konstruksi
dengan memperkirakan kemungkingan terjadi dari setiap variabel dan hubungan
antar variabel tersebut.
Fase Pemilihan
Fase pemilihan merupakan proses menentukan satu alternatif untuk
dikerjakan dari berbagai alternatif yang telah dianalisis. Pemilihan dilakukan
dengan terlebih dahulu mencari, mengevaluasi, dan merekomendasikan solusi yang
tepat yang merupakan satu kesatuan nilai variabel keputusan dalam beberapa
alternatif yang dipilih.
Fase Implementasi
Fase implementasi merupakan proses menjalankan solusi yang telah
disepakati.
3.b. Proses Pengambilan Keputusan dalam Kasus Restrukturisasi DJP
Proses pengambilan keputusan organisasi DJP mengenai rencana
restrukturisasi DJP menjadi BPP diawali dengan identifikasi permasalahan di
dalam organisasi DJP, berupa krisis otonomi di dalam organisasi DJP dalam hal
kewenangan DJP untuk mendesain struktur organisasi, mengalokasikan anggaran,
merekrut dan memberhentikan pegawai, dan menegosiasikan tingkat gaji pegawai,
yang mana kewenangan tersebut masih terpusat pada kewenangan Kementerian
Keuangan. Krisis otonomi tersebut dinilai akan menghambat fleksibilitas DJP
dalam mencapai tujuan efisiensi di dalam menjalankan fungsi administrasi
perpajakan sehingga efektivitas organisasi DJP menjadi terhambat. Khususnya
mengenai terhambatnya fungsi DJP dalam mempertahankan efisiensi dan stabilitas
organisasi DJP dalam rangka mencapai pendapatan negara yang sustainable
atau berkelanjutan dari sumber penerimaan perpajakan. Identifikasi masalah
tersebut merupakan bagian dari fase intelijen dalam proses pengambilan
keputusan.
Dalam hal menyikapi permasalahan di dalam organisasi DJP tersebut,
kemudian dinilai perlu untuk mendelegasikan keputusan-keputusan ke bawah dan
aturan-aturan serta prosedur dibuat secara lebih formal untuk tujuan agar dapat
mempertahankan efisiensi dan stabilitas organisasi DJP dalam rangka mencapai
pendapatan negara yang sustainable atau berkelanjutan dari sumber
penerimaan perpajakan. Dalam hal ini, telah dibuat alternatif-alternatif
tindakan yang mungkin untuk dikerjakan dalam hal mendelegasikan kewenangan
tersebut melalui pembentukan badan otonom pajak. Sebagaimana dua pilihan yang
ditawarkan DJP kepada Pemerintah mengenai pembentukan badan otonom pajak ketika
telah terpisah dengan Kementerian Keuangan, yaitu bahwa badan otonom pajak akan
diberikan kewenangan untuk bertanggung jawab terhadap penerimaan perpajakan dan
bea cukai sehingga kemudian badan otonom pajak tersebut disebut sebagai Badan
Penerimaan Negara (BPN) dan alternatif kedua adalah badan otonom pajak tersebut
hanya akan diberikan kewenangan tanggung jawab terhadap fungsi mengurusi
penerimaan pajak sehingga badan otonom pajak tersebut akan disebut sebagai
Badan Penerimaan Perpajakan (BPP).[20]
Proses mengembangkan dan menganalisis alternatif –alternatif tindakan yang
dapat dikerjakan oleh DJP ketika menjadi badan otonom pajak melalui proses
konstruksi dengan memperkirakan kemungkingan terjadi dari setiap variabel dan
hubungan antar variabel tersebut merupakan bagian dari fase desain dalam proses
pengambilan keputusan.
Berdasarkan alternatif-alternatif tindakan mengenai pembentukan
badan otonom pajak sebagaimana telah disebutkan, Presiden Joko Widodo sudah
menyetujui transformasi DJP menjadi BPP. Artinya dari kedua alternatif yang
telah dianalisis, yaitu alternatif antara perubahan DJP menjadi BPN dan BPP,
telah ditentukan satu alternatif untuk dikerjakan, yaitu DJP menjadi BPP.
Proses menentukan satu alternatif untuk dikerjakan dari berbagai alternatif
yang telah dianalisis tersebut merupakan bagian fase pemilihan dalam
pengambilan keputusan.
Dalam rangka menjalankan solusi yang telah disepakati, yaitu
mengenai restrukturisasi DJP menjadi BPP, sebagaimana disampaikan oleh Direktur
Peraturan Perpajakan I DJP, Irawan, bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU)
mengenai pembentukan badan otonom BPP yang akan tertuang di RUU Ketentuan Umum
Perpajakan telah didaftarkan dalam Program Legislasi Nasional 2016 dan akan
dibahas bersama Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2016 ini,
serta ditargetkan akan dapat mulai beroperasi dalam rangka pemungutan pajak
secara penuh pada tahun 2018.[21]
Hal tersebut merupakan wujud implementasi dalam rangka menjalankan solusi yang
telah disepakati, yang mana merupakan bagian fase implementasi dalam proses
pengambilan keputusan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berdasarkan analisis proses
pengambilan keputusan dalam studi kasus restrukturisasi DJP menjadi BPP sudah
sesuai dengan metode proses pengambilan keputusan menurut Simon dalam The
New Science of Management Decision, yang meliputi fase intelijen, fase
desain, fase pemilihan, dan fase implementasi.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis pengambilan keputusan melalui pendekatan
analisis daur hidup organisasi dalam studi kasus restrukturisasi Direktorat
Jenderal Pajak menjadi Badan Penerimaan Perpajakan dapat disimpulkan bahwa
restrukturisasi DJP Menjadi BPP merupakan bentuk perubahan organisasi.
Restrukturisasi DJP menjadi BPP merupakan bentuk perubahan organisasi melalui
penyesuaian struktur organisasi dalam rangka mendapatkan bentuk yang lebih
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi melalui upaya manajemen dengan
cara melakukan penataan ulang atau rekayasa ulang (reengineering)
sehingga organisasi dapat melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan
karena suatu organisasi harus mampu mengelola ketidakpastian tersebut melalui
fleksibilitas organisasi dalam merespon setiap perubahan lingkungan.
Perubahan organisasi yang terjadi karena penyesuaian organisasi
terhadap perubahan lingkungan merupakan bagian dari siklus hidup organisasi.
Teori siklus hidup organisasi yang tepat untuk menggambarkan organisasi DJP
adalah teori daur hidup organisasi menurut Larry Grainer. Teori daur hidup
organisasi oleh Larry Grainer menjelaskan bahwa banyak cara yang dapat
digunakan organisasi dalam menanggulangi krisis yang terjadi. Begitu pula
dengan restrukturisasi DJP menjadi BPP menunjukkan bahwa bentuk organisasi DJP
disesuaikan dengan tujuan mengenai pentingnya pengendalian krisis yang sedang
terjadi di DJP, yaitu krisis otonomi. Sehingga pendelegasian otoritas menjadi
pilihan yang tepat untuk menanggulangi krisis otonomi di DJP. Oleh karena itu,
restrukturisasi DJP menjadi BPP akan menunjukkan sebuah fase delegasi dalam
daur hidup organisasi DJP.
Selain itu, perubahan organisasi yang mengikuti perubahan
lingkungan harus disiasati oleh organisasi melalui metode proses pengambilan
keputusan yang sistematis dengan diawali identifikasi masalah, menganalisis
alternatif-alternatif, menentukan satu alternatif untuk dikerjakan, dan
implementasi alternatif terpilih sebagai solusi. Proses pengambilan keputusan
dalam studi kasus restrukturisasi DJP menjadi BPP sudah sesuai dengan metode
proses pengambilan keputusan menurut Simon dalam The New Science of
Management Decision, yang meliputi fase intelijen, fase desain, fase
pemilihan, dan fase implementasi
2.
Saran
Berdasarkan hasil analisis pengambilan keputusan melalui pendekatan
analisis daur hidup organisasi dalam studi kasus restrukturisasi Direktorat
Jenderal Pajak menjadi Badan Penerimaan Perpajakan, penting untuk
dipertimbangkan bahwa pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan tidak dapat
sepenuhnya DJP secara langsung lepas ketergantungan dari Kementerian Keuangan.
Antara DJP atau BPP dengan Kementerian Keuangan harus tetap sharing
knowledge mengingat bahwa memori induk DJP sebelumnya berada pada
Kementerian Keuangan. Sehingga dalam rangka menentukan asumsi dasar dan
menentukan indikator target visi misi BPP ke depannya harus menggali data dan
informasi yang ada di dalam Kementerian Keuangan sebagai landasan dasar.
Artinya BPP harus menerapkan organizational learning sehingga BPP dapat
belajar dari pengalaman dan kesalahan-kesalahan DJP sebelumnya. Dengan
demikian, tujuan restrukturisasi DJP menjadi BPP dalam meningkatkan efektivitas
fungsi DJP dalam rangka mendorong peningkatan ketahanan pendapatan negara yang sustainable
atau berkelanjutan yang bersumber dari penerimaan perpajakan dapat tercapai.
Daftar Pustaka
[2]
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2015 tentang Kementerian Keuangan.
[3]
Republik Indonesia, Salinan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, pasal
6 dan pasal 382.
[4]
Republik Indonesia, Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016.
[5]
Putri, Tri Atrining, “Ditjen Pajak Tunggu Jadi Badan Tersendiri pada
Tahun 2018”,
(Online) https://m.tempo.co/read/news/2016/02/26/087748470/ditjen-pajak-tunggu-jadi-badan-tersendiri-pada-tahun-2018,
(TEMPO.CO, Denpasar, Jumat, 26 Februari 2016, pukul 09.26 WIB), diakses pada
tanggal 28 Mei 2016, pukul 15.32 WIB.
[6]
OECD. 2001. Tax Ratios: A Critical Survey. The Policy Studies. Paris:
Perancis.
[7]
Crandall, William. (2010). Revenue Administration: Autonomy in Tax
Administration and The Revenue Authority Model. Washington DC of USA:
Fiscal Affairs Department of International Monetary Fund.
[8] The
Indonesian Tax in Brief, 2006, dalam Tesis berjudul “Analisis Implementasi
Kebijakan Pembentukan Account Representative dalam Upaya Meningkatkan
Pelayanan Wajib Pajak (Studi Kasus pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Jakarta
Utara”, Frintin Anggraini, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2010.
[9] W,
Arkhelaus, “Penerimaan Pajak Desember 2015 Rp 1055,61 Triliun”, (Online) https://m.tempo.co/read/news/2016/01/11/090734853/penerimaan-pajak-desember-2015-rp-1055-61-triliun,
(TEMPO.CO, Jakarta, Senin, 11 Januari 2016, pukul 13.26 WIB), diakses pada
tanggal 29 Mei 2016, pukul 12.33 WIB.
[10]
Hidayat, Asrul, “Kewenangan Otoritas Pajak untuk Meningkatkan Tax Ratio”,
(Online) http://www.pajak.go.id/content/article/kewenangan-otoritas-pajak-untuk-meningkatkan-tax-ratio,
(dipublikasikan pada Jumat, 6 Juni 2014, pukul 17.56 WIB), diakses pada tanggal
30 Mei 2016, pukul 08.32 WIB.
[11]Afrianto,
Dedy, “Ditjen Pajak Ungkap Penyebab Tax Ratio RI Hanya 10%”, (Online) http://m.okezone.com/read/2016/03/02/20/1326165/ditjen-pajak-ungkap-penyebab-tax-ratio-ri-hanya-10,
(OKEZONE.COM, Jakarta, Rabu, 2 Maret 2016, pukul 20.33 WIB), diakses pada
tanggal 30 Mei 2016, pukul 07.44 WIB.
[12]
Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. 2013. Pengantar Ilmu Pajak:
Kebijakan dan Implementasi di Indonesia (Cetakan ke-2). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. Halaman 173.
[13]
Robbins, Stephen P. (1994). Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi
(Jusuf Udaya, penerjemah, edisi ke-3). Jakarta: Penerbit Arcan.
[14]
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2012. Harmonisasi
Membangun Negeri Laporan Tahunan 2012.
[15] Sutarto.
1993. Dasar-Dasar Organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, halaman
414, dalam Tesis Restrukturisasi Organisasi Administrasi Perpajakan Modern
(Studi Kasus di KPP Pratama Jakarta Cingkareng) oleh Jose Andrew Ramos,
FISIP UI, Program Studi Ilmu Administrasi, kekhususan Administrasi dan
Kebijakan Perpajakan, 2008.
[16]
Pandiangan, Liberti. 2008. Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo, halaman 7.
[17]
Adizes, Ichak. 1989. Corporate Lifecycles: How and Why Corporations Grow and
Die and What to Do About It. Prentice Hall Inc., New Jersey, dalam Raharja,
Samu’un Jaja. 2010. “Siklus Hidup Organisasi: Suatu Analisis Perkembangan
Organisasi”. Jurnal Administrasi Bisnis, Volume 6, Nomor 1, halaman
94-100, (ISSN:0216-1249), Center for Business Studies, FISIP Universitas
Padjadjaran.
[18]
Grainer, L. E. 1972. Evolution and Revolution Grow. Harvard Business Review.
Dalam Jones, Gareth R. 1995. Organizational Theory Text and Cases.
Amerika: Addison-Wesley Publishing Company. Dalam Santoso, Suryo Budi dan Herni
Justiana Astuti. 2005. “Siklus Hidup Organisasi: Upaya-Upaya Strategis dalam
Menghadapi Gejala Penurunan Organisasi Agar Dapat Going Concern dan
Tetap Unggul”. EKUITAS, Volume 9 Nomor 1, Maret 2005, halaman 17-34,
(ISSN: 1411-0393).
[19]
Simon, H. A. (1997). The New Science of Management Decision. New Jersey:
Prentice-Hail, Englewood Cliffs. dalam Ayrafedi, 2009, “Pengambilan Keputusan
Perubahan Rancangan untuk Menurunkan Sisa Bahan pada Konstruksi Baja dengan
Metoda Multi Criteria Decision Making” (Tesis), Fakultas Teknik, Program
Pasca Sarjana Teknik Industri, Universitas Indonesia.
[20]
Piglet, “Ditjen Pajak Siapkan Dua Opsi Saat Terpisah dari Kemkeu”, (Online): https://pemeriksaanpajak.com/2016/01/11/ditjen-pajak-siapkan-dua-opsi-saat-terpisah-dari-kemkeu/,
(PEMERIKSAANPAJAK.COM, 11 Januari 2016), diakses pada tanggal 8 Juni 2016,
pukul 02.04 WIB.
[21]
Ariyanti, Fiki, dan Septian Deny, “Badan Penerimaan Pajak Beroperasi Penuh
Mulai 2018”, (Online): http://m.liputan6.com/bisnis/read/2446014/badan-penerimaan-pajak-beroperasi-penuh-mulai-2018,
(LIPUTAN6.COM, 26 Februari 2016, pukul 18.45 WIB), diakses pada tanggal 8 Juni
2016, pukul 02.39 WIB.
Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185
Comments
Post a Comment
Your comments help me improving my papers; therefore, I'm going to be glad receiving your advice. Thanks for visiting my blog.