Konsep mengenai “Islam” harus dikaji
secara transdisiplin ilmu (menyatukan berbagai konsep ilmu pengetahuan dan
menghilangkan batas-batas) dan perspektif kontekstual (menyesuaikan kondisi di
mana suatu konsep digunakan). Sebagaimana sebuah metode pendekatan pemaknaan
suatu konsep yang ditawarkan oleh Toshihiku Izutsu, dalam Fitrah dan
Kepribadian Islam (Sebuah Pendekatan Psikologis) oleh Abdul Mujib, M. Ag.,
bahwa untuk dapat memahami hakikat suatu konsep (dalam hal ini penulis
menspesifikasikan dalam hal konsep mengenai “Islam”, termasuk strukturnya)
dapat ditempuh melalui tiga tahap; Pertama, memilih istilah-istilah
kunci (key term) dari vocabulary Al Qur’an, yang dianggap sebagai
unsur konseptual dasar bagi ideologi Qur’ani. Kedua, menentukan
pokok (basic meaning) dan makna nasabi (relational meaning).
Makna pokok berkaitan dengan makna kebahasaan atau makna semantik yang menjadi
elemen penting dalam istilah tersebut. Sedangkan makna nasabi merupakan makna
tambahan yang terjadi karena istilah itu dihubungkan dengan konteks di mana
istilah itu berada. Ketiga, menyimpulkan dan menyatukan konsep-konsep
itu ke dalam satu kesatuan.[1]
Islam secara etimologi memiliki tiga makna, yaitu penyerahan dan
ketundukan (al-silm), perdamaian dan keamanan (al-salm), dan
keselamatan (al-salamah).[2]
Penyerahan terhadap al-Islam ditandai dengan penyerahan
terhadap dua keharusan, yaitu keharusan kauni dan Qur’ani.[3]
Keharusan kauni adalah keharusan yang ditetapkan oleh Allah
terhadap alam fisik (termasuk fisik manusia). Keharusan ini hampir sama dengan
“hukum alam”. Hal yang membedakan antara keharusan kauni dengan hukum
alam adalah bahwa keharusan kauni merupakan ciptaan Allah SWT yang
berlaku pada alam, sedangkan hukum alam hanya ciptaan alam sendiri. Prinsip
utama keharusan kauni adalah kausalitas (Q.S. al-Kahfi:
84-85,92), berproses secara bertahap (Q. S. al-Anbiya’: 30), memiliki
ukuran tertentu (Q. S. al-Qamar:49), berevolusi menuju pada
kesempurnaan (Q. S. al-A’la:2), diciptakan secara riil, objektif,
bi al-haq, sengaja, konkrit, tidak main-main, dan bukan pancaran dari
alam nirwana (Q. S. Ibrahim:18, al-An’am:73, al-Anbiya’:16-18,
al-Mu’minun:115, Shad: 27, al-Dukhan: 39, al-Taghabun:3),
dan senantiasa tunduk dan patuh secara reserve kepada aturan Allah
SWT (Q. S. al-Nahl:49, al-Hajj:18, Hadid:1), dan tidak
memiliki perubahan, kecuali adanya campur tangan al-Rahman untuk
kepentingan dan kebaikan manusia.
Sedangkan keharusan Qur’ani adalah keharusan yang ditetapkan
oleh Allah untuk ruhani manusia. Keharusan ini berupa hukum-hukum atau
aturan-aturan verbal. Prinsip utama keharusan ini adalah mengutamakan nilai
ketauhidan (Q. S. al-A’raf:172, Ali Imran:64, al-Ikhlash:
1, al-Anbiya’:21-22), kemaslahatan (Q. S. Hud:117), keadilan
(Q. S. al-Maidah:2), kesatuan (Q. S. al-Hujurat:10), tolong-menolong
(Q. S. al-Maidah:2), kesamaan (Q. S. al-Baqarah:139), keseimbangan
(Q. S. al-Baqarah:143), musyawarah dan kesepakatan (Q. S. Ali
Imran:159), kemerdekaan (Q. S. al-Kahfi: 29), dan amar
makruf nahi mungkar (Q. S. Ali Imran: 104).
Daftar pustaka:
Mujib, Abdul. 1999. Fitrah dan Kepribadian Islam (Sebuah
Pendekatan Psikologis). Jakarta: Darul Falah
[1] Abdul
Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam (Sebuah Pendekatan Psikologis), (Jakarta:
Darul Falah, 1999), hal. 8.
[2] Afif Abd
al-Fatah, Ruh al-Din al-Islamiy, (Damascus: Syarif Khalil Syakar, 1966),
hal. 18 dalam Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam (Sebuah Pendekatan
Psikologis), (Jakarta: Darul Falah, 1999), hal. 21.
[3] Abdul
Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam (Sebuah Pendekatan Psikologis),
(Jakarta: Darul Falah, 1999), hal. 21.
Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185
Comments
Post a Comment
Your comments help me improving my papers; therefore, I'm going to be glad receiving your advice. Thanks for visiting my blog.