Skip to main content

Pengaturan Tarif Pajak Terkait Pemakaian Kendaraan Bermotor dan Optimalisasi Earmarked Tax sebagai Upaya Pengendalian Emisi Kendaraan: Benchmark dari Negara Jepang (Studi Kasus Daerah Khusus Ibukota Jakarta)

A.    Gambaran Umum Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta dan Eksternalitas yang Ditimbulkan

Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus sentra kegiatan bisnis menjadi daya tarik masyarakat untuk melakukan aktivitasnya di wilayah DKI Jakarta. Aktivitas di DKI Jakarta dilakukan tidak hanya oleh masyarakat DKI Jakarta, melainkan juga masyarakat luar DKI Jakarta.
Berdasarkan Statistika Transportasi (Transportation Statistics of) DKI Jakarta 2015[1], dari hasil survei komuter Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah komuter Jabodetabek sebanyak 3.566.178 orang, terdiri dari 2.429.751 orang melakukan kegiatan bekerja dan sekolah/kursus di DKI Jakarta, 1.067.762 orang di Bodetabek, dan 68.665 orang di luar Jabodetabek. Sementara komuter Bodetabek yang melakukan kegiatan di DKI Jakarta sebanyak 1.382.296 orang. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa transportasi yang masif merupakan kebutuhan mendesak untuk mendukung aktivitas masyarakat sehari-hari.
Terkait transportasi di DKI Jakarta, berdasarkan hasil riset indeks lalu lintas dunia oleh Numbeo, sebuah lembaga riset statistik yang mencatatkan lalu lintas berbagai kota, yang selalu diperbaharui setiap semester, per semester 1 tahun 2016, tingkat lalu lintas Jakarta menempati peringkat 4 terburuk dari 160 kota di seluruh dunia. Kondisi ini lebih buruk dari semester sebelumnya yang menduduki peringkat 4. Nilai indeks yang semakin besar menandakan bahwa lalu lintas kota tersebut tidak efisien. Di Kota Jakarta sendiri, untuk rata-rata waktu tempuh satu kali perjalanan pada tahun 2016 tersebut membutuhkan 57 menit atau lebih lambat 7 menit dibanding tahun sebelumnya yang hanya memerlukan 50 menit.[2] Tidak efisiennya kondisi lalu lintas DKI Jakarta dapat berpotensi menghambat aktivitas masyarakat.
Tingginya angka indeks lalu lintas di Jakarta sebanding dengan pertumbuhan kendaraan di Jakarta yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 1.1. berikut:

Tabel 1.1. Pertumbuhan Jumlah Kendaraan Tahun 2010 s.d. 2012 di DKI Jakarta


Kendaraan
2009
2010
2011
2012
Pertumbuhan 2010
Pertumbuhan 2011
Pertumbuhan 2012
Per Tahun
Per Hari
Per Tahun
Per Hari
Per Tahun
Per Hari
R2 (Roda 2)
3.740.386
4.212.167
4.686.177
5.291.116
471.781
1.311
474.010
1.317
604.939
1.6880
R4 (Roda 4)
1.613.986
1.708.687
1.818.464
2.119.417
94.701
263
109.777
305
300.953
836
Total
5.354.372
5.920.854
6.504.641
7.410.533
566.482
1.574
583.787
1.622
905.892
2.516
Sumber: Diskominfo Provinsi DKI Jakarta.[3]
Tabel 1.1. tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 3 tahun (tahun 2010 s.d. 2012) pertumbuhan kendaraan di DKI Jakarta selalu meningkat setiap tahunnya. Pertumbuhan kendaraan didominasi oleh kendaraan roda dua.

Setahun kemudian, peningkatan jumlah kendaraan tahun 2013 melonjak cukup fantastis. Berdasarkan Statistika Transportasi (Transportation Statistics of) DKI Jakarta 2015[4], pada tahun 2013 jumlah kendaraan bermotor sudah mencapai 16.072.869 unit. Tahun-tahun berikutnya terlihat juga peningkatan jumlah kendaraan yang cukup signifikan. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta menyebutkan, tahun 2014 jumlah kendaraan terdaftar sebanyak 17,5 juta unit dan tahun 2015 telah meningkat dengan jumlah kendaraan menjadi 18,6 juta unit.[5]
Tingkat pertumbuhan kendaraan yang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir rupanya tidak diikuti dengan penambahan panjang dan lebar jalan, sehingga hal tersebut berdampak pada meningkatnya tingkat kemacetan di Jakarta yang memperburuk indeks lalu lintas di Jakarta. Berdasarkan rilis oleh BPS DKI Jakarta dalam Statistika Transportasi (Transportation Statistics of) DKI Jakarta 2015, pada tahun 2013 panjang jalan DKI Jakarta hanya 6.956.842,26 meter. Artinya, setiap satu unit kendaraan bermotor hanya mencapai 0,43 meter. Sedangkan apabila dibandingkan dengan luas jalan di DKI Jakarta tahun 2013 dengan luas 48.502.763,16 meter persegi, maka untuk setiap unit kendaraan bermotor hanya mencapai 3,02 meter persegi.
Kemacetan di DKI Jakarta dapat ditunjukkan oleh kecepatan rata-rata kendaraan bermotor yang terus menurun. Berdasarkan rilis berita oleh Tempo.Co pada Kamis, 7 November 2013, dipaparkan bahwa menurut justifikasi dari Ketua Dewan Transportasi Jakarta, Azas Tigor Nainggolan, rata-rata kecepatan kendaraan bermotor di Jakarta hanya 12 km/jam. Menurutnya, kecepatan tersebut hanya sedikit di atas kecepatan rata-rata orang berlari santai yang sekitar 10 km/jam. Padahal, pada tahun 2010, kecepatan rata-rata kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 18 km/jam. Artinya, hanya dalam waktu tiga tahun kecepatan kendaraan bermotor di Jakarta menurun 6 km/jam. Penurunan kecepatan rata-rata itu juga diiringi dengan penurunan jumlah penumpang diangkut kendaraan umum. Tahun 2011, angkutan umum Jakarta mampu mengangkut 400 ribu penumpang per hari. Namun, tahun 2013 hanya 350 ribu penumpang per hari. Menurutnya, penurunan tersebut disebabkan oleh terlalu banyaknya kendaraan pribadi yang melintas di jalan. Kondisi semakin parah ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan “mobil murah”.[6]
Kebijakan pemerintah pusat mengenai low cost green car (LCGC) atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai "mobil murah" merupakan program Kementerian Perindustrian. Kebijakan LCGC tersebut diharapkan menumbuhkan industri otomotif dalam negeri karena dibuat di Indonesia dan memakai komponen buatan Indonesia. Aturan mengenai LCGC ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau. Permenperin itu merupakan turunan dari program mobil emisi karbon rendah atau low emission carbon yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang kendaraan yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Peraturan itu antara lain menyebutkan tentang keringanan pajak bagi penjualan mobil hemat energi. Hal ini memungkinkan produsen menjual mobil di bawah Rp 100 juta. Dengan peraturan itu, mobil dengan kapasitas mesin di bawah 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar paling setidaknya 20 km per liter dapat dipasarkan tanpa PPnBM.[7]
Peningkatan kendaraan bermotor sekaligus diperparah dengan meningkatnya kemacetan di DKI Jakarta memicu peningkatan pencemaran udara oleh emisi kendaraan bermotor. Sebagaimana dirilis oleh Tempo.CO pada 30 Agustus 2016, bahwa kadar polusi di dalam mobil mencapai 40 persen saat kondisi macet panjang dan di persimpangan yang padat.[8] Padahal penyebab paling signifikan dari polusi udara di DKI Jakarta adalah kendaraan bermotor yang menyumbang andil sebesar kurang lebih 70 persen.[9]
Berdasarkan riset yang dilakukan Universitas Indonesia pada tahun 2006 untuk memeriksa kadar hidrokarbon yang ada di udara di wilayah DKI Jakarta, menunjukkan bahwa udara di DKI Jakarta sudah jauh di bawah garis rata-rata layak untuk paru-paru. Hal tersebut terlihat dari hasil tes urin masyarakat DKI Jakarta yang sudah mengandung kadar Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) sebanyak empat kali lipat lebih tinggi dari yang diperbolehkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Indikator termudah untuk menandakan polusi udara di lokasi tertentu sudah sangat parah bisa diketahui dari masyarakat yang menggunakan transportasi umum atau sedang berjalan kaki di pusat kota, lalu mencium bau bensin menempel pada pakaian dan kulit mereka.[10]
Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yang dikatakan indikator kualitas udara bersih jika partikel debu maksimal 60 mikrogram per meter kubik. Sedangkan kondisi udara di Jakarta sejak 2012 lalu jauh melampaui ambang batas hingga mencapai 150 mikrogram per meter kubik. Padahal standar WHO secara tegas memberi batas kandungan partikel debu 20 mikrogram per meter kubik. Belum lagi indikator kandungan, seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan hidrokarbon, yang mudah ditemukan di daerah polusi tinggi. Bahkan penelitian dari Kementerian Lingkungan Hidup pada 2010 mencatat 57,8 persen atau setara dengan sekitar lima juta penduduk Indonesia mengalami penyakit akibat polusi udara.

B.     Kebijakan Fiskal untuk Mengendalikan Eksternalitas Negatif Kendaraan Bermotor di Indonesia Saat Ini

Seiring dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta, tentunya diperlukan pengendalian terhadap dampak eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor. Salah satu instrumen kebijakan fiskal yang sudah diimplementasikan di Indonesia adalah melalui pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB), dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB).
PKB merupakan pajak yang dipungut atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor (ownership tax). BBN-KB dipungut atas penyerahan kepemilikan kendaraan bermotor (acquisition tax). Sedangkan PBB-KB dipungut atas penggunaan kendaraan bermotor (usage tax).
Kebijakan perpajakan di Indonesia, PKB, BBN-KB, dan PBB-KB merupakan kelompok jenis pajak provinsi. Namun, untuk pajak provinsi, khusus untuk Daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, khususnya DKI Jakarta, jenis pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk daerah provinsi dan Pajak untuk daerah kabupaten/kota.
Tahun 2013 (s.d. 27 November), penerimaan PKB di DKI Jakarta sebesar 20,04% dari total penerimaan Pajak Daerah Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan penerimaan BBN-KB berkontribusi sebesar 26,54 %. Adapun penerimaan PBB-KB berkontribusi sebesar 3,97%. Artinya, terkait pemajakan yang berkaitan dengan kendaraan bermotor di DKI Jakarta, penerimaan terbesar adalah bersumber dari BBN-KB. Hal tersebut relevan dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta yang terus meningkat setiap tahunnya. Namun penerimaan pajak yang tinggi dari objek BBN-KB tersebut cukup mengkhawatirkan, pasalnya hal ini mengindikasikan akan terjadi peningkatan beban lingkungan akibat pemakaian kendaraan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk melihat bagaimana alokasi penerimaan pajak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor untuk mengatasi eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor.
Jika melihat ketentuan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah di Indonesia, menunjukkan bahwa hasil penerimaan PKB paling sedikit 10% (sepuluh persen), termasuk yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. Alokasi ini sesuai dengan konsep earmarked tax, yaitu pemungutan pajak dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu yang sudah ditetapkan pemerintah (Rosdiana dan Irianto, 2013:80).[11] Sedangkan untuk BBNKB dan PBB KB tidak diatur dalam UU PDRD terkait ketentuan earmarked tax-nya.
Walaupun penerimaan pajak berkaitan dengan kendaraan bermotor tinggi, namun rupanya penerimaan pajak tersebut belum signifikan dalam mengendalikan eksternalitas negatif khususnya pencemaran dari zat emisi bahan bakar kendaraan di DKI Jakarta. Belum optimalnya pengendalian masalah lingkungan tersebut dapat dikarenakan kurang optimalnya earmarked tax atas penerimaan pajak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor dan/atau masih rendahnya perhatian Pemerintah terhadap dampak lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor dengan lebih mengejar target penerimaan (revenue productivity priority).

C.    Reformasi Perpajakan Daerah Terkait Kendaraan Bermotor untuk Mengendalikan Eksternalitas Negatif Kendaraan Bermotor

Untuk mengatasi masalah ekternalitas negatif, khususnya pencemaran udara berupa emisi kendaraan bermotor, akibat aktivitas kendaraan bermotor dapat mengambil benchmark dari negara Jepang. Jepang dalam mengatasi eksternalitas negatif bahan bakar kendaraan dengan cara menekan konsumsinya melalui kebijakan menaikkan tarif fuel tax dan menurunkan acquisition tax dan ownership tax atas kendaraan. Selain itu, pemerintah Jepang memberikan insentif pada pabrik mobil yang mendukung fuel efficiency dan memberikan subsidi untuk transportasi massa melalui alokasi earmarked tax dari penerimaan pajak car-related tax.

D.    Hal-hal yang Harus Diperhatikan untuk Menerapkan Reformasi Perpajakan Daerah Terkait Kendaraan Bermotor untuk Mengendalikan Eksternalitas Negatif Kendaraan Bermotor yang Diadopsi dari Negara Jepang

Apabila benchmark tersebut akan diadopsi oleh Pemerintah Indonesia untuk mengendalikan eksternalitas negatif emisi kendaraan bermotor, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.       Terkait penurunan tarif acquisition tax (dalam konteks di Indonesia adalah Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor – BBNKB) berpotensi meningkatkan pertumbuhan kendaraan di DKI Jakarta. Tarif BBNKB saat ini ditetapkan paling tinggi 20% untuk penyerahan pertama dan untuk penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1%. Namun, khusus kendaraan bermotor alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi 0,75% untuk penyerahan pertama dan untuk penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075%. Oleh karena itu, agar dapat tercapai efektivitas penurunan emisi kendaraan bermotor, maka penurunan tarif BBNKB harus diikuti kenaikan tarif fuel tax (dalam konteks Indonesia PBBKB) yang signifikan. Pasalnya, frekuensi pemakaian kendaraan bermotor akan lebih banyak dibandingkan terjadinya penyerahan kepemilikan, sehingga kalaupun biaya atas penyerahan kendaraan murah, namun ketika untuk pemakaian rutin (biaya operasional) harus dikenakan biaya lebih mahal, maka orang akan lebih memilih untuk tidak melakukan penyerahan kendaraan (tidak melakukan pembelian kendaraan baru) atau apabila sudah terlanjur memiliki kendaraan bermotor akan memilih untuk tidak mengoperasikan kendaraannya, sehingga secara tidak langsung dapat menurunkan jumlah pemakaian kendaraan di jalan. Penurunan pengoperasian kendaraan akan mengurangi kadar emisi dari kendaraan di udara.
b.      Terkait penurunan tarif ownership tax (dalam konteks di Indonesia adalah Pajak Kendaraan Bermotor – PKB), walaupun sifat PKB dan BBNKB berbeda namun potensinya sama halnya pengaruh penurunan tarif BBNKB, berpotensi meningkatkan pertumbuhan kendaraan bermotor di DKI Jakarta, bahkan potensi peningkatannya dapat lebih besar apabila masyarakat di daerah tersebut memiliki income yang tinggi. Tarif PKB dan PBBKB di Indonesia saat ini ditetapkan paling tinggi 10%. Ketika PKB yang seharusnya dibayarkan setiap tahunnya secara rutin murah, dan income (budget) memadai, maka kenaikan PBBKB yang akan berpengaruh tehadap kenaikan harga jual bahan bakar akan bersifat inelastis terhadap kuantitas konsumsi (demand) bahan bakar kendaraan bermotor tersebut. Pada akhirnya, peningkatan emisi kendaraan bermotor akan tetap meningkat karena tidak adanya perubahan jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan.
c.       Terkait urgensi moda transportasi bagi masyarakat DKI Jakarta dan para commuter yang melakukan aktivitasnya di Jabodetabek, kenaikan harga bahan bakar kendaraan bermotor berpotensi mengubah pilihan seseorang untuk kemudian tidak mengendarai kendaraan pribadinya untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Sebagai alternatifnya, maka pemerintah harus menyediakan sarana transportasi umum yang lebih massive lagi dan memadai, misal moda transportasi kereta api listrik (seperti KRL Jabodetabek-Cikarang) yang ramah lingkungan dan dapat menunjang aktivitas masyarakat.
d.      Terkait optimalisasi earmarked tax dari penerimaan PKB, BBNKB, dan PBBKB sebaiknya perlu diperhatikan bahwa kebijakan tersebut juga harus diikuti dengan meningkatkan efektivitas eamarking taxes untuk infrastruktur jalan  dan beralih ke  spending  pada transport sector needs atau untuk environmental protection activities. Mengingat ketentutan UU PDRD saat ini baru mengatur earmarked tax untuk penerimaan PKB, maka penerimaan BBNKB dan PBBKB juga sebaiknya ditentukan earmarked tax-nya. Oleh karena itu, apabila mengadopsi tax reform di Jepang,  apabila reformasi perpajakan daerah berkaitan dengan kendaraan bermotor ditujukan untuk mengendalikan emisi kendaraan bermotor, maka diharapkan penerimaan pajak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor dapat dialokasikan pada subsidi untuk mass transit dengan mengurangkan harga penggunaan rail (kereta api) dan pemberian subsidi rail operation cost. Selain subsidi, instrumen kebijakan fiskal dengan memberikan insentif berupa diskon pada pembeli yang membeli kendaraan dengan mpg tinggi dan men-support investasi research and development  untuk mengembangkan mpg sebagaimana telah menjadi alternatif langkah reformasi perpajakan di Jepang untuk mengurangi konsumsi bahan bakar kendaraan.

E.     Kekurangan dan Kelebihan Kebijakan Reformasi Perpajakan Daerah Terkait Kendaraan Bermotor untuk Mengendalikan Eksternalitas Negatif Kendaraan Bermotor yang Diadopsi dari Negara Jepang

Kebijakan meningkatkan tarif fuel tax, dalam konteks di Indonesia berarti meningkatkan tarif PBBKB. Kenaikan PBBKB akan mempengaruhi harga jual bahan bakar kendaraan untuk mengoperasikan kendaraan bermotor menjadi lebih mahal. Secara tidak langung, secara teoritis sesuai hukum permintaan, kenaikan harga akan direspon dengan penurunan jumlah barang yang diminta, sehingga masyarakat akan mengurangi pemakaian kendaraan. Akibatnya, bagi supplier bahan bakar kendaraan berpotensi mengalami penurunan omset penjualan. Begitu pun bagi pemerintah daerah, penerimaan PBBKB akan mengalami penurunan. Apalagi ditambah dengan kebijakan penurunan tarif PKB dan BBNKB juga dapat memicu penurunan penerimaan pajak daerah berkaitan dengan kendaraan bermotor. Penurunan penerimaan pajak daerah berkaitan dengan kendaraan bermotor akan mengurangi anggaran alokasi untuk subsidi pelayanan transportasi umum, sehingga pembiayaan akan diserap dari rekening umum atau alokasi lainnya. Apabila alokasi lainnya tidak memadai, maka hal ini berpotensi pada pencabutan subsidi yang akan mempengaruhi peningkatan harga pelayanan moda transportasi umum. Pengaruhnya secara makro, kenaikan harga bahan bakar akan direspon oleh kenaikan harga barang-barang lain secara keseluruhan karena kenaikan biaya angkut, sehingga hal demikian memicu terjadinya inflasi.
Selain potensi negatif yang mungkin timbul dari kebijakan tersebut, perlu dikembalikan kepada fungsi pokok kebijakan pajak terkait kendaraan bermotor, bahwa fungsi pajak bertujuan untuk fungsi regulerend (mengatur). Kelebihan dari kebijakan tersebut nyata dan teruji di Jepang telah efektif mengurangi konsumsi bahan bakar. Sebagaimana telah dijelaskan, kenaikan tarif PBBKB memberikan implikasi kenaikan pada harga jual bahan bakar. Kenaikan harga akan direspon dengan penurunan kuantitas. Reformasi kebijakan earmarked tax atas penerimaan pajak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor untuk pemberian subsidi transportasi massa akan mempengaruhi masyarakat untuk beralih ke moda transportasi umum dengan harga yang lebih murah.

F.     Analisis Teoritis Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 1 angka 15), sehingga termasuk jenis pungutan yang dikategorikan sebagai usage tax terkait dengan kendaraan bermotor. Adapun Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 1 angka 16). Objek PBBKB adalah Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di air (UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 16).
Secara teoritis, pemungutan PBBKB dapat ditinjau dari konsep dan teori kebijakan pajak (tax policy), fungsi pajak mengatur (regulerend), kegagalan pasar (market failure) dan eksternalitas, pigouvian tax, dan earmarked tax.
PBBKB merupakan salah satu kebijakan pajak (tax policy) yang berkaitan dengan fungsi pajak regulerend (fungsi mengatur). Penjelasannya adalah bahwa dalam transaksi ekonomi/peristiwa, produsen tidak sepenuhnya menanggung biaya-biaya yang timbul akibat limbah pabrik yang berbahaya, yang merupakan ekses produksi suatu barang. Namun, masyarakatlah yang menanggung biaya atau efek sampingan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka pemerintah juga yang harus bertanggungjawab untuk menanggulangi hal tersebut. Dalam hal pemungutan PBBKB, dapat dicontohkan ekses berupa polusi udara (pencemaran udara) atas emisi dari penggunaan kendaraan. Sedangkan pasar tidak menangani masalah sekompleks itu dan pasar tidak memiliki otoritas untuk membatasi dampak buruk tersebut dan menghukum setiap orang/badan yang menggunakan bahan bakar kendaraan bermotor, sehingga perlu intervensi pemerintah melalui suatu kebijakan atau regulasi.
Intervensi pemerintah dalam hal pemungutan PBBKB dihubungkan dengan adanya kegagalan pasar (market failure) karena faktor eksternalitas. Eksternalitas merupakan kondisi di mana manfaat konsumsi dibagi dan tidak terbatas pada konsumen tertentu, atau di mana aktivitas ekonomi menghasilkan biaya sosial yang tidak dibayarkan oleh produsen atau konsumen yang menimbulkan biaya sosial tersebut (Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, 1989:42).[12] Kegagalan pasar dalam hal ini produsen tidak menanggung biaya sosial yang timbul sebagai efek samping dari produksi kendaraan, maka pemerintah melalui instrumen kebijakan berperan sebagai regulator.
Instrumen kebijakan yang dapat digunakan untuk mengendalikan dampak eksternalitas negatif atas penggunaan kendaraan bermotor salah satunya adalah melalui instrumen tax policy (kebijakan pajak). Tax policy  adalah kebijakan yang berhubungan dengan penentuan apa yang akan dijadikan sebagai tax base (dasar pengenaan pajak), siapa-siapa yang akan dikenakan pajak dan siapa-siapa yang dikecualikan, apa-apa yang akan dijadikan sebagai objek pajak dan yang dikecualikan, bagaimana menentukan besarnya pajak yang terhutang dan bagaimana menentukan prosedur pelaksanaan kewajiban pajak terhutang (Mansury, 1999: 1).[13]
Instrumen tax policy  untuk mengoreksi efek eksternalitas negatif disebut dengan Pigouvian Tax. Pemungutan pajak akan memengaruhi harga sehingga kurva penawaran bergeser. Artinya, pemerintah akan mengintervensi kegagalan dalam pasar kendaraan melalui pemungutan pajak. Kenaikan harga karena tambahan pajak akan mengurangi kuantitas, sehingga diharapkan terdapat penurunan penggunaan kendaraan dan pada akhirnya akan menurunkan eksternalitas negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan kendaraan.
Instrumen tax policy akan lebih efektif jika dibarengi dengan konsep earmarked tax, yaitu pemungutan pajak dilakukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan pemerintah. Earmarked tax yaitu tax collected and used for specific purpose.[14] Menurut Katrin Millock, dalam pemungutan pajak yang menggunakan sistem earmarked tax, umumnya pemungutan pajak dikombinasikan dengan pemberian subsidi.[15]
          Penerapan sistem earmarked tax dalam pemungutan PBBKB belum diatur dalam UU PDRD. Namun terlihat dalam sistem bagi hasil penerimaan PBBKB. PBBKB yang merupakan pajak daerah provinsi, hasil penerimaannya diserahkan kepada kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan sebesar 70% (tujuh puluh persen). Artinya, penerimaan pemungutan PBBKB sebagian besar dikembalikan kepada daerah terdampak terberat atas penggunaan kendaraan bermotor di mana kendaraan tersebut dioperasikan. Selain itu, khusus PBBKB untuk bahan kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% lebih rendah dari tarif PBBKB  untuk kendaraan pribadi. Artinya, instrumen tax policy tersebut diharapkan mempengaruhi perilaku konsumen untuk menggunakan kendaraan umum dibandingkan kendaraan pribadi, sehingga diharapkan terdapat penurunan jumlah kendaraan pribadi yang pada akhirnya untuk menekan kadar polusi kendaraan. Dalam hal ini, sistem earmarked tax, dapat diterapkan dengan mengalokasikan penerimaan PBBKB untuk pembangunan infrastruktur transportasi umum dan menyelenggarakan moda transportasi umum yang lebih ramah lingkungan dan memadai, serta pemberian subsidi bagi konsumen yang memilih menggunakan transportasi umum dan/atau subsidi bagi produsen kendaraan untuk menyelenggarakan penelitian dan pengembangan (research and development) kendaraan dengan emisi rendah, sehingga tujuan earmarked tax dan pigouvian tax dapat lebih efektif.

Comments

Popular posts from this blog

Kenapa angka India menjadi angka Arab?

Kebanyakan dari kita mungkin mengira angka Arab seperti angka-angka yang tercantum di dalam Al-Qur’an. Namun pada kenyataannya angka Arab bukanlah seperti yang selama ini kita asumsikan. Angka Arab itu sendiri sebenarnya angka yang sekarang menjadi angka internasional yaitu 1, 2, 3, 4, 5, ...dst. Lalu, angka yang kita kenal sebagai angka Arab yang ada di Al Qur’an itu angka apa? Fakta yang lucu. Ketika masyarakat umum dunia menyebutnya angka Arab, tapi orang Arab sendiri justru menyebutnya sebagai angka Hindi. Angka Arab yang sebenarnya adalah angka India yaitu ١ , ٢ , ٣ , ٤ , ٥ , ٦ , ٧ , ٨ , ٩ ,١٠ . Hal ini bisa dilihat dari sejarah perkembangan evolusi tulisan angka Arab dan Hindi itu sendiri. Kenyataannya angka-angka yang kita pakai saat ini adalah keturunan dari angka India. Dan sistem angka Hindu-Arab dikembangkan oleh matematikawan India. Angka India kemudian diadopsi oleh matematikawan Persia di India, dan diteruskan lebih lanjut kepada orang-orang Arab di sebelah barat. ...

Go-Jek Indonesia dan Tantangan Lingkungan dalam Perspektif Teori Organisasi

Organisasi bisnis jasa online , dewasa ini sedang banyak dikembangkan di Indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya penawaran fasilitas-fasilitas yang berdalih memberikan kemudahan dalam memenuhi setiap kebutuhan dan aktivitas masyarakat yang dikemas secara online dalam sebuah software aplikasi. Sebagaimana dapat kita amati, kemunculan berbagai bentuk layanan belanja online seperti Tokopedia , Bukalapak , Lazada , OLX , Grab-Bike , dan Go-Jek. Terkait hal bisnis jasa online , dalam tulisan ini akan dibahas mengenai layanan Go-Jek Indonesia. Go-Jek merupakan startup lokal di bidang digital. Selain Go-Jek, terdapat juga Grab-Bike yang merupakan startup asal Malaysia. Khususnya Go-Jek, ini sangat cermat dalam melihat kondisi lingkungan, yang terkait kemacetan yang terjadi di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Ide diciptakannya layanan Go-Jek muncul dari lingkungan eksternal organisasi Go-Jek, yaitu masyarakat (yang kemudian menjadi target sebagai customer Go-Jek) dan kemace...

Tanya Jawab Seputar Manusia dan Masyarakat Indonesia

1.       Soal: Setiap sukubangsa/etnis di Indonesia, memiliki budaya yang mendasari terbangunnya kearifan lokal untuk kelangsungan hidup mereka saat beradaptasi dengan lingkungan alamnya, baik dalam mengelola sumberdaya alam, mitigasi bencana dan berbagai kehidupan sosial. Sebut dan jelaskan langkah-langkah yang konstruktif harus dilakukan pemerintah dalam membangun kemitraan dengan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan budaya! Pembahasan: Kearifan lokal merupakan prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat. [1] Kearifan lokal juga berkaitan dengan strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. [2] Hidup yang berdampingan dengan alam mengharuskan kita mampu beradaptasi den...