Skip to main content

Tanya Jawab Seputar Manusia dan Masyarakat Indonesia



1.      Soal:
Setiap sukubangsa/etnis di Indonesia, memiliki budaya yang mendasari terbangunnya kearifan lokal untuk kelangsungan hidup mereka saat beradaptasi dengan lingkungan alamnya, baik dalam mengelola sumberdaya alam, mitigasi bencana dan berbagai kehidupan sosial. Sebut dan jelaskan langkah-langkah yang konstruktif harus dilakukan pemerintah dalam membangun kemitraan dengan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan budaya!
Pembahasan:
Kearifan lokal merupakan prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat.[1] Kearifan lokal juga berkaitan dengan strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.[2]
Hidup yang berdampingan dengan alam mengharuskan kita mampu beradaptasi dengan berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya, seperti halnya fenomena bencana alam gunung meletus, gempa bumi, banjir, dan tanah longsor. Adaptasi tersebut kemudian diadopsi oleh masyarakat dalam wujud kearifan lokal.
Bentuk kearifan lokal dapat bercorak religio-magis.[3] Kearifan lokal dalam hal pemenuhan kebutuhan manusia di Tapanuli Selatan misalnya, di mana berlaku kepercayaan penduduk pribumi akan adanya kawasan hutan terlarang (harangan rarangan) untuk aktivitas pertanian, berburu, maupun meramu hasil-hasil hutan karena dipercaya bahwa kawasan hutan tersebut dihuni oleh makhluk-makhluk halus (begu) yang bisa mengganggu manusia. Tempat-tempat seperti itu dinamakan naborgo-borgo. Contoh kearifan lokal tersebut tidak lain bertujuan fungsional untuk menjaga kelestarian sumberdaya, karena tempat-tempat yang disebut naborgo-borgo biasanya merupakan kawasan mata air, atau daerah resapan air, yang vital dalam pemeliharaan tata air bagi komunitas penduduk di sekelilingnya.[4]
Bentuk kearifan lokal dalam hal mitigasi bencana dapat diambil contoh, yaitu pada masyarakat Baduy Tangtu yang melarang menggunakan paku dalam pembuatan rumah. Semua konstruksi bangunan diselesaikan dengan prinsip-prinsip ikatan, tumpuan, pasak, tumpuan berpaut, dan sambungan berkait. Semua ikatan tersebut dapat menggunakan bambu dan rotan sebagai bahannya. Hal tersebut diatur dalam sistem adat bangunan tradisional masyarakat Baduy yang tidak lain adalah untuk mempertahankan struktur rumah agar bergerak secara dinamis, sehingga ketika terjadi gempa rumah-rumah mereka akan terhindar dari kerusakan dan kehancuran.[5]
Nilai-nilai yang menjadi kearifan lokal tersebut menjadi keharusan bagi masyarakat dan pemerintah untuk terus mengembangkannya. Hal tersebut tidak lain untuk menjaga kelestarian lingkungan alam dan menjaga keberlangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Pemerintah harus dapat membangun kemitraan dengan masyarakat sekitar untuk dapat mengembangkan kegiatan budaya tersebut melalui langkah-langkah konstruktif, sebagaimana yang disampaikan oleh Meutia Farida Hatta Swasono, Guru Besar Antropologi FISIP-UI dalam makalah yang berjudul “Pengelolaan Kebudayaan: Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat” [6], sebagai berikut:
Pemerintah perlu memberikan otonomi daerah kepada setiap daerah untuk diberikan peluang bagi masyarakat (termasuk lembaga-lembaga budaya) untuk tetap memelihara, melestarikan, dan mengembangkan berbagai potensi sumberdaya sosial-budaya yang ada dalam pengelolaan masyarakat bersangkutan. Contohnya adalah dengan memberikan peluang bagi penduduk untuk melakukan upacara petik laut, yaitu upacara ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah panen yang diperoleh pada tahun itu. Hal tersebut dapat meningkatkan hubungan sosial dan kedekatan antara penduduk nelayan yang multikultural untuk dapat menghargai kebersamaan dan menghindari konflik dalam kegiatan mencari nafkah di laut yang sama. Selama upacara petik laut juga tidak diadakan melaut selama tiga hari agar laut dapat menetralisisr limbah BBM perahu motor.
Pemerintah perlu menegaskan peranannya untuk memelihara aset-aset budaya di daerahnya yang terdiri dari pengetahuan budaya (kearifan lokal), perilaku budaya (yang nyata maupun simbolik, misalnya berupa upacara adat), dan artefak-artefak yang digunakan dalam kehidupan masyarakat, yang dapat berdayaguna tinggi.
Pemerintah perlu merencanakan pembangunan nasional yang tidak hanya menekankan aspek pembangunan ekonomi, tetapi juga pembangunan budaya. Pengabaian kebudayaan dapat mempercepat putusnya transmisi kebudayaan kepada generasi berikut, sehingga mereka tidak peduli lagi terhadap asal-usul pembentukan bangsa Indonesia dan tidak sadar mengenai peran dan tanggungjawabnya sebagai warga negara RI untuk membangun Indonesia di masa depan. Padahal, mereka perlu menyadari bahwa kitalah yang harus menjadi tuan di negerinya sendiri, dan tidak tergantung pada bangsa lain.
Pemerintah perlu mendorong terjaganya kearifan lokal melalui program-program pengelolaan yang dilengkapi dengan pemberian apresiasi, seperti memberikan insentif dana bagi para penutur dan pemilik tradisi dalam proses pewarisannya kepada generasi muda.
Pemerintah dan masyarakat (melalui lembaga-lembaga Pemerintah dan Swasta) perlu mensosialisasikan dan mempopulerkan nilai-nilai Pancasila melalui kesenian rakyat dan dalam bidang pendidikan khususnya untuk pendidikan karakter bangsa, yang dikemas sebagai cerita rakyat, ungkapan, pantun, upacara adat, tarian, khususnya mengenai nilai-nilai yang berkaitan dengan ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial.
2.      Soal:
Pada abad ke-21, proses industrialisasi mengedepankan liberalisasi dan keterbukaan, sedangkan dalam konstitusi Republik Indonesia menetapkan bahwa negara tetap berperan dalam proses tersebut sebagai perwakilan rakyat Indonesia. Bagaimana seharusnya negara menyikapi tekanan-tekanan ini dan jelaskan dengan contoh!
Pembahasan:
Industrialisasi didefinisikan sebagai proses perubahan struktur ekonomi, di mana terdapat kenaikan kontribusi sektor industri dalam permintaan konsumen, PDB (Produk Domestik Bruto), ekspor, dan kesempatan kerja dengan tujuan peningkatan efisiensi, daya saing, sinergitas hulu-hilir, serta keseimbangan supply-demand. [7]
Strategi pembangunan, khususnya pembangunan industrialisasi di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, pada umumnya diarahkan pada ISI (Import Substitution Industrialization). Dalam kebijakan industrialisasi yang berorientasi pada pengembangan industri-industri yang menggantikan barang-barang impor, tarrif digunakan untuk melindungi industri-industri dalam negeri yang baru atau akan tumbuh dengan “proteksi edukatif”, dengan tujuan agar industri tersebut dapat bersaing terutama di pasar domestik. Hal ini disebut dengan infant industry argument.[8]
Pada tahun 1970-an, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan ISI. Saat itu, awal Pelita 1 (1969-1970), salah satu industri yang menjadi target kebijakan ISI adalah industri tekstil. Karena industri tersebut baru lahir, maka domestic price-nya relatif lebih tinggi dibandingkan world price. Untuk itu pemerintah berupaya memproteksi dengan mengenakan bea masuk terhadap barang-barang impor. Dengan memberlakukan tarrif/custom duties, maka produsen dalam negeri mendapat proteksi dari pemerintah berupa cost advantage, sehingga produsen dalam negeri bisa meningkatkan produksinya.
Setelah infant industry tersebut mature, maka industri tersebut harus bisa ekspansi ke luar negeri. Artinya harus ada perubahan atau pergeseran orientasi pengembangan/pembangunan industrialisasi dari ISI menjadi EOI (Export Oriented Industrialization). Dengan demikian, keterlibatan pemerintah dalam kebijakan ISI harus dicabut jika industri tersebut sudah kompetitif. Apabila pemerintah gagal mengalihkan strategi ISI ke EOI, maka infant industry tidak akan pernah bisa competitive dan mandiri. Akibatnya produsen dalam negeri akan terus meminta untuk diproteksi (yang artinya rakyat juga yang dirugikan) karena domestic price akan terus lebih tinggi daripada world price, sehingga harga-harga produk dalam negeri cenderung lebih mahal.
Penjelasan tersebut menekankan pentingnya intervensi pemerintah untuk meningkatkan daya saing suatu negara melalui proses pembangunan industrialisasi. Walaupun sistem industrialisasi dunia sekarang ini lebih mengedepankan liberalisasi dan keterbukaan, dalam artian berusaha menghapus segala bentuk campur tangan negara, namun intervensi pemerintah tidak bisa dihindarkan, mengingat tanggungjawab negara dalam konstitusi Republik Indonesia untuk menjalankan fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi, dan regulasi.
Mengenai fungsi regulasi, sebenarnya berkaitan dengan efek samping dari kegiatan industrialisasi itu sendiri, berupa eksternalitas negatif, dalam artian bahwa produsen tidak sepenuhnya menanggung biaya-biaya yang timbul akibat limbah pabrik yang berbahaya, yang merupakan ekses proses produksi suatu barang dari kegiatan industri. Dalam beberapa kasus masyarakat yang menanggung biaya atau efek samping tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka pemerintah juga yang harus bertanggungjawab untuk menanggulangi hal tersebut. Sebagai contoh, asap pabrik sebagai ekses proses produksi besi, dapat mencemarkan udara. Jika tidak ada intervensi pemerintah, produksi besi secara besar-besaran akan memperburuk polusi udara dan bisa menyebabkan penyakit gangguan pernapasan. Sedangkan pabrik industri tidak menangani masalah sekompleks itu dan tidak memiliki otoritas untuk membatasi dampak buruk tersebut dan menghukum setiap orang/badan yang melakukannya. Oleh karena itu, negara yang harus berfungsi sebagai regulator, antara lain dengan mengharuskan industri-industri membuat analisis mengenai dampak lingkungan, membuat tempat pembuangan limbah atau dengan melalui pemungutan pajak. Pajak yang dipungut untuk mengoreksi efek eksternalitas negatif tersebut kemudian disebut sebagai pajak Pivogian. Pemungutan pajak dilakukan karena cenderung lebih efektif karena akan mempengaruhi harga sehingga kurva penawaran bergeser dan jumlah barang yang ditawarkan (produksi) cenderung menurun, sehingga polusi dapat berkurang.[9]
Dari uraian penjelasan tersebut menunjukkan bahwa peran negara tidak hanya secara teknis mengikuti konsep liberalisasi dan keterbukaan industrialisasi, tetapi lebih kepada pengawasan dari proses pembangunan industrialisasi, terkait dengan peranannya sebagi regulator masyarakat dan lingkungan suatu negara. Sehingga dalam liberalisasi industri bukan lagi menjadi tekanan bagi pemerintah untuk tidak ikut terlibat dalam kegiatan industrialisasi, tetapi justru senantiasa mendampingi keberlangsungan kegiatan industrialisasi itu sendiri.
3.      Soal:
Sesuai dengan sila ke-4 Pancasila, untuk mengedepankan musyawarah untuk mufakat sebagai salah satu jalan menuju konsensus dalam penyelesaian masalah. Berkaitan dengan hal itu, apakah musyawarah untuk mufakat dapat disamakan dengan demokrasi? Apakah keduanya dapat bersinergi bagi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks Indonesia? Berikan jawaban Saudara dengan contoh yang ada di masyarakat Indonesia!
Pembahasan:
Konsep demokrasi yang dijalankan Indonesia adalah demokrasi Pancasila yang disesuaikan dengan karakter dan kepribadian Indonesia, sebagai suatu model demokrasi dengan cita-cita kebudayaan berdasarkan daya cipta, rasa, dan karsa bangsa Indonesia sendiri, sesuai dengan sifat-sifat “tanah air”, kondisi sosial, dan perjalanan sejarah bangsa, karena sebuah bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang mana persatuan karakter atau watak tumbuh, lahir, dan terjadi karena persatuan pengalaman.[10] Oleh karena itu, setiap bangsa tidak perlu identik, dalam artian sama dengan demokrasi yang dijalankan oleh bangsa-bangsa lain, melainkan menjalankan demokrasi yang membawa corak kepribadian bangsanya sendiri.
Institusi demokrasi Indonesia diletakkan dalam isi pokok pikiran ketiga dari pembukaan UUD 1945, yang sekaligus tertuang dalam kerangka semangat sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Inti dari kerangka pikir tersebut adalah bahwa demokrasi hendaknya mengandung ciri kerakyatan (daulat rakyat) dan permusyawaratan (kekeluargaan).
Ciri kerakyatan dalam demokrasi Indonesia diartikan sebagai penghormatan suara rakyat dalam politik, dengan memberi jalan bagi peranan dan pengaruh besar yang dimainkan oleh rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.[11]
Kemudian, ciri permusyawaratan dalam demokrasi Indonesia diartikan sebagai kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, sebagai wujud dari semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui adanya kesederajatan/persamaan dalam perbedaan.
Kedua ciri tersebut menekankan pentingnya suatu langkah pengambilan keputusan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat atas dasar persetujuan semua pihak yang terlibat setelah permasalahan didiskusikan. Jadi, musyawarah untuk mufakat merupakan syarat utama dari konsep demokrasi Pancasila di Indonesia.
Suatu musyawarah dikatakan mufakat bilamana memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan, bukan hanya berdasarkan subjektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua, didedikasikan kepada kepentingan banyak orang (kemaslahatan umum), bukan demi kepentingan perseorangan ataupun golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte minoritas elit penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas.[12]
Namun, dalam konteks kenegaraan Indonesia saat ini, dengan semakin banyaknya partai politik yang rentan akan pertentangan politik, sehingga keputusan dengan mufakat secara bulat sulit dicapai di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), sehingga antara musyawarah untuk mufakat dalam demokrasi Pancasila sulit disinergikan, maka sebagai pilihan terakhir, harus dimungkinkan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak. Hal tersebut merujuk dari pernyataan Mohammad Hatta, bahwa mufakat yang dipaksakan sebagaimana lazim terjadi di negara-negara totaliter tidaklah sesuai dengan paham demokrasi di Indonesia. Sehingga, mengharuskan pemungutan suara (voting) sebagai alternatif pengambilan keputusan di sistem demokrasi di Indonesia saat ini.
Namun, dalam demokrasi permusyawaratan, suara mayoritas tetap diterima sebatas persyaratan minimum dari demokrasi, yang masih harus berusaha dioptimalkan melalui partisipasi dan persetujuan yang luas dari segala kekuatan secara inklusif. Partisipasi dan persetujuan luas ini dicapai melalui persuasi, kompromi, dan konsensus secara bermutu dengan mensyaratkan mentalitas kolektif dengan pertimbangan hikmat-kebijaksanaan, sehingga membuat kekuatan manapun akan merasa ikut memiliki, loyal, dan bertanggungjawab atas segala keputusan politik. Atas dasar itu, maka pemungutan suara (voting) harus ditempatkan sebagai pilihan terakhir, dan itu pun harus menjunjung tinggi semangat kekeluargaan yang saling menghormati.
4.      Soal:
UUD ’45 yang sudah diamandemen mengakomodasi berbagai upaya perlindungan dan penjaminan HAM secara lebih rinci. Namun masih saja menghadapi berbagai masalah dalam implementasinya, terutama berkaitan dengan sikap dan perilaku egois, ingin menang sendiri tanpa memperhatikan orang lain. Mohon dijelaskan masalah-masalah tersebut yang menimpa pada komunitas adat yang banyak tersebar dan bagaimana sebaiknya menyikapi dan menyelesaikannya? Sehingga masalah itu tidak menjadi penghambat pembangunan nasional Indonesia.
Pembahasan:
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang menekankan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komuniti-komuniti sukubangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jati diri.[13] Corak masyarakat majemuk yang menjadi landasan dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia berisikan potensi-potensi kekuatan primordial yang anti demokrasi yang dapat memecah belah kebangsaan Indonesia.[14]
Potensi-potensi destruktif karena kekuatan primordial dikarenakan oleh masyarakat majemuk yang menghasilkan batas-batas sukubangsa yang didasari oleh stereotip dan prasangka, yang menghasilkan penjenjangan sosial secara primordial yang subyektif, dan bila berkembang lebih lanjut dapat menghasilkan stigma sosial yang dapat memicu terjadinya diskriminasi oleh suatu suku bangsa yang ditujukan pada suku bangsa lainnya.
Diskriminasi karena stigma terlihat nyata pada kasus pembantaian yang menewaskan empat jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada 6 Februari 2011, yaitu Suparman, Mulyadi, Tarno, dan Roni, sebagai kaum minoritas. Pembantaian dilakukan oleh warga sekitar. Pembantaian tersebut didasarkan atas stigma bahwa ajaran Ahmadiyah tidak sesuai dengan syariat Islam yang dianut oleh warga sekitar, yang mana mengakui Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), pendiri Ahmadiyah, sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad SAW, dan mengatasnamakan dirinya sebagai nabi Isa al Masih sekaligus Imam Mahdi. Hal ini bertentangan dengan pandangan umat Islam secara umum yang mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, walaupun juga mempercayai akan kedatangan Isa al Masih dan Imam Mahdi setelah masa dia, dan mereka akan menjadi umat Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut dinilai dapat membahayakan umat Islam yang lain jika penyebaran pengaruh ajaran Ahmadiyah tidak segera diberantas. Hal tersebut dikhawatirkan dapat mempengaruhi ajaran keyakinan Islam yang sudah ada sebelumnya.[15] Namun, pembantaian yang telah warga sekitar lakukan terhadap penganut Ahmadiyah tidak lain merupakan pelanggaran HAM. Mengingat penganut Ahmadiyah, sebagai kaum minoritas yang juga memiliki hak yang sama atas pengakuan hak-haknya dalam memperoleh rasa aman untuk beribadah dan menjalankan kepercayaannya. Apalagi jemaat Ahmadiyah Indonesia juga sudah berbadan hukum sejak 1953, yang tertuang dalam SK Menteri Kehakiman RI Nomor JA 5/23/13 Tanggal 13-3-1953.
Selain memicu timbulnya stigma, setiap kelompok sukubangsa atau komuniti sukubangsa yang menempati suatu wilayah yang menjadi tempatnya hidup, secara tradisional mengakui wilayahnya dan hal tersebut juga diakui oleh kelompok suku bangsa lain sebagai hak ulayatnya. Konsep hak ulayat ini, secara politik hubungan antarsukubangsa, dapat berkembang menjadi pembedaan yang diskriminatif antar warga sukubangsa asli setempat dengan warga sukubangsa pendatang, dengan pihak yang asli yang harus unggul, dan pendatang yang harus asor (mengalah).
Kemajemukan masyarakat Indonesia yang memicu potensi terjadinya primordialisme ataupun etnosentrisme yang dapat menimbulkan perpecahan sehingga menghambat pembangunan nasional Indonesia tersebut harus diredam dengan cara mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi yang menekankan pentingnya hak individu dan kesetaraan individu atau warga, dan toleransi terhadap perbedaan dan keanekaragaman.
Dalam mendukung berlakunya prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dapat bercermin dari masyarakat Amerika yang dikenal sebagai sebuah masyarakat multietnis atau bersukubangsa banyak. Tetapi, masyarakat Amerika bukanlah sebuah masyarakat majemuk, karena masyarakat tersebut berwujud sebagai bangsa tidak dengan cara mempersatukan sukubangsa-sukubangsa yang dilakukan oleh sistem nasionalnya. Berbeda dengan masyarakat majemuk, seperti di Indonesia, yang mana sistem nasional senantiasa berupaya mempersatukan kelompok-kelompok sukubangsa menjadi sebuah bangsa secara paksa.
Kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk terlihat nyata pada masa Orde Baru, era pemerintahan Presiden Soeharto, yang dikenal sebagai pemerintahan yang otoriter dan militeristik, yang mana menerapkan kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan sebagai kekuatan sosial dan politik yang dipelihara dan dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru untuk mendukung kemantapan pemerintahan dan kekuasaannya.
Contoh nyata sistem masyarakat majemuk pada masa Orde Baru tersebut adalah upaya pemerintah Orde Baru melalui kekuatan Departemen Agama, yang dengan kekuatan birokrasinya membangun pengembangan agama, terutama agama Islam. Selain itu, pemerintahan Presiden Soeharto juga menggalang kekuatan sosial dan politik yang primordial guna mendukung kemantapan pemerintahannya melalui Departemen Dalam Negeri yang menyeragamkan corak pemerintahan pada tingkat pedesaan yang secara tradisional bercorak semi-otonomi, menjadi bercorak seperti pemerintahan desa Jawa yang dikuasai dan dikendalikan oleh pemerintah yang dilakukan oleh Ditjen PUOD (Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah). Hal itu kemudian berkembang sebagai kekuasaan perorangan yang absolut, sehingga sangat sulit untuk mencapai tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis.
Sedangkan, pada masa kini, yang ditonjolkan di Amerika bukanlah coraknya yang multietnis atau bersukubangsa banyak, melainkan beranekaragamnya kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Amerika. Kebudayaan Amerika yang beranekaragam itu bisa dimiliki oleh setiap individu atau komuniti, sehingga jatidiri sukubangsa atau rasial dari individu menjadi tidak relevan. Jadi, kelompok orang Kulit Putih yang tergolong keturunan WASP (White Anglo-Saxon Protestan) atau kulit putih bisa saja mempunyai kebudayaan yang merupakan kombinasi kebudayaan WASP dengan unsur-unsur kebudayaan India, Cina, Jepang, atau yang lain. Keanekaragaman kebudayaan atau masyarakat multikulturalisme dengan menonjolkan kekayaan yang memang sejalan dan mendukung berlakunya prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat tersebut, pada hakikatnya dapat dilihat sebagai sebuah kebijakan yang bertujuan untuk meredam potensi-potensi konflik rasial dan sukubangsa, sehingga Amerika pada sekarang ini menjadi kiblat demokrasi bangsa-bangsa di dunia.[16]
Oleh karena itu, model masyarakat multikultural atau beranekaragam kebudayaan perlu dipelajari secara seksama dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya majemuk. Dengan menggeser idiom masyarakat majemuk menjadi masyarakat beranekaragam kebudayaan dapat menjadi sebuah kebijakan politik kebudayaan pada tingkat nasional maupun lokal, yang dapat memungkinkan diterapkannya prinsip demokrasi yang dilandasi oleh kesetaraan derajat individu atau warga, serta muncul dan mantapnya hak budaya komuniti dalam kaitan keseimbangannya dengan kekuasaan negara atau masyarakat.
Dalam masyarakat yang multikultural tersebut, demokrasi dapat bekembang, dan begitu pula sebaliknya, yang mana demokrasi dapat mengembangkan masyarakat yang multikultural. Hal itu disebabkan oleh diberlakukannya prinsip perbedaan dan saling menghargai perbedaan, konflik atau persaingan berdasarkan atas hukum atau aturan main yang adil dan beradab, yang tidak dapat ditawar oleh seseorang yang mempunyai posisi tinggi atau kekuasaan yang besar.
Daftar Pustaka:
Chenery, Hollis, Sherman Robinson, and Moshe Syrquin (Editor). 1986.  Industrialization and Growth: A Comparative Study. New York: Oxford University Press, for The World Bank.
Departemen Sosial RI. (2006). Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil. Indonesia. Jurnal Pemukiman Natah, 1, 29-43.
Hatta, Mohammad. 1957. Islam, Masyarakat Demokrasi dan Perdamaian. Djakarta: Tintamas. Hal. 34-35.
Latif, Yudi, Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi, (tt.), Hal. 11. (Makalah)
Lubis, Zulkifli B. (2005). Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Tapanuli Selatan, hal. 240, dalam Antropologi Indonesia, Vol. 29, No. 3, 2005.
Permana, Raden Cecep Eka, dkk. (2011). Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy, dalam Makara, Sosial Humaniora, Vol. 15, No. 1, Juli 2011, 67-76, hal. 71-72.
Rosdiana, Haula, dan Edi Slamet Irianto. 2012. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Soekarno. Pantja-Sila sebagai Dasar Negara, jilid 1, jilid 2, jilid 3, & 4, Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1958.
Suparlan, P. 1972. “The Javanese in Bandung: Ethnicity in a Medium Sized Indonesian City”. Tesis MA tidak dipublikasikan. University of Illinois.
Suparlan, P. 1999. “Kemajemukan Amerika dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme”, dalam Jurnal Studi Amerika (5), hal. 43-52
Suparlan, P. Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, dalam Jurnal Antropologi Indonesia 66, 2001. Universitas Indonesia.
Swasono, Meutia F. H., (2013),  “Pengelolaan Kebudayaan: Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat”, makalah dipresentasikan pada Kongres Kebudayaan Indonesia 2013, dengan tema “Kebudayaan untuk Keindonesiaan”, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud pada tanggal 8-11 Oktober 2013.
Zakaria, Y. R. 1994. Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta: Penerbit WALHI.
Zulkarnain, A. Ag., dan Febriamansyah, R. (2008). Kearifan Lokal dan Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir. Jurnal Agribisnis Kerakyatan 1, 69-85, dalam Permana, Raden Cecep Eka, dkk. (2011). Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy, dalam Makara, Sosial Humaniora, Vol. 15, No. 1, Juli 2011, 67-76.
Referensi lain:
“Kisah Nayati, Saksi Hidup Penyerangan Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang”, dipublish tanggal 9 Februari 2011, tersedia di http://m.jpnn.com/news.php?id=84023,  diakses tanggal 31 Mei 2015, pukul 09.52 WIB.
.


[1] Zulkarnain, A. Ag., dan Febriamansyah, R. (2008). Kearifan Lokal dan Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir. Jurnal Agribisnis Kerakyatan 1, 69-85, dalam Permana, Raden Cecep Eka, dkk. (2011). Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy, dalam Makara, Sosial Humaniora, Vol. 15, No. 1, Juli 2011, 67-76.
[2] Departemen Sosial RI. (2006). Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil. Indonesia. Jurnal Pemukiman Natah, 1, 29-43.
[3] Zakaria, Y. R. 1994. Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta: Penerbit WALHI.
[4] Lubis, Zulkifli B. (2005). Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Tapanuli Selatan, hal. 240, dalam Antropologi Indonesia, Vol. 29, No. 3, 2005.
[5] Permana, Raden Cecep Eka, dkk. (2011). Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy, dalam Makara, Sosial Humaniora, Vol. 15, No. 1, Juli 2011, 67-76, hal. 71-72.
[6] Swasono, Meutia F. H., (2013),  “Pengelolaan Kebudayaan: Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat”, makalah dipresentasikan pada Kongres Kebudayaan Indonesia 2013, dengan tema “Kebudayaan untuk Keindonesiaan”, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud pada tanggal 8-11 Oktober 2013.
[7] Chenery, Hollis, Sherman Robinson, and Moshe Syrquin (Editor). 1986.  Industrialization and Growth: A Comparative Study. New York: Oxford University Press, for The World Bank.
[8] Rosdiana, Haula, dan Edi Slamet Irianto. 2012. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 73-77.
[9] Ibid, hal. 40-41.
[10] Soekarno. Pantja-Sila sebagai Dasar Negara, jilid 1, jilid 2, jilid 3, & 4, Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1958.
[11] Hatta, Mohammad. 1957. Islam, Masyarakat Demokrasi dan Perdamaian. Djakarta: Tintamas. Hal. 34-35.
[12] Latif, Yudi, Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi, (tt.), Hal. 11. (Makalah)
[13] Suparlan, P. 1972. “The Javanese in Bandung: Ethnicity in a Medium Sized Indonesian City”. Tesis MA tidak dipublikasikan. University of Illinois.
[14] Suparlan, P. Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, dalam Jurnal Antropologi Indonesia 66, 2001. Universitas Indonesia.
[15] “Kisah Nayati, Saksi Hidup Penyerangan Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang”, dipublish tanggal 9 Februari 2011, tersedia di http://m.jpnn.com/news.php?id=84023,  diakses tanggal 31 Mei 2015, pukul 09.52 WIB.
[16] Suparlan, P. 1999. “Kemajemukan Amerika dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme”, dalam Jurnal Studi Amerika (5), hal. 43-52.
 


Best regards, Muhammad Abdur Rozaq Undergraduate Student of Fiscal Administration Study Faculty of Social and Political Science University of Indonesia E-mail: muh.abdurrozaq@gmail.com Mobile: 082260280185

Comments

Popular posts from this blog

Kenapa angka India menjadi angka Arab?

Kebanyakan dari kita mungkin mengira angka Arab seperti angka-angka yang tercantum di dalam Al-Qur’an. Namun pada kenyataannya angka Arab bukanlah seperti yang selama ini kita asumsikan. Angka Arab itu sendiri sebenarnya angka yang sekarang menjadi angka internasional yaitu 1, 2, 3, 4, 5, ...dst. Lalu, angka yang kita kenal sebagai angka Arab yang ada di Al Qur’an itu angka apa? Fakta yang lucu. Ketika masyarakat umum dunia menyebutnya angka Arab, tapi orang Arab sendiri justru menyebutnya sebagai angka Hindi. Angka Arab yang sebenarnya adalah angka India yaitu ١ , ٢ , ٣ , ٤ , ٥ , ٦ , ٧ , ٨ , ٩ ,١٠ . Hal ini bisa dilihat dari sejarah perkembangan evolusi tulisan angka Arab dan Hindi itu sendiri. Kenyataannya angka-angka yang kita pakai saat ini adalah keturunan dari angka India. Dan sistem angka Hindu-Arab dikembangkan oleh matematikawan India. Angka India kemudian diadopsi oleh matematikawan Persia di India, dan diteruskan lebih lanjut kepada orang-orang Arab di sebelah barat. ...

Go-Jek Indonesia dan Tantangan Lingkungan dalam Perspektif Teori Organisasi

Organisasi bisnis jasa online , dewasa ini sedang banyak dikembangkan di Indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya penawaran fasilitas-fasilitas yang berdalih memberikan kemudahan dalam memenuhi setiap kebutuhan dan aktivitas masyarakat yang dikemas secara online dalam sebuah software aplikasi. Sebagaimana dapat kita amati, kemunculan berbagai bentuk layanan belanja online seperti Tokopedia , Bukalapak , Lazada , OLX , Grab-Bike , dan Go-Jek. Terkait hal bisnis jasa online , dalam tulisan ini akan dibahas mengenai layanan Go-Jek Indonesia. Go-Jek merupakan startup lokal di bidang digital. Selain Go-Jek, terdapat juga Grab-Bike yang merupakan startup asal Malaysia. Khususnya Go-Jek, ini sangat cermat dalam melihat kondisi lingkungan, yang terkait kemacetan yang terjadi di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Ide diciptakannya layanan Go-Jek muncul dari lingkungan eksternal organisasi Go-Jek, yaitu masyarakat (yang kemudian menjadi target sebagai customer Go-Jek) dan kemace...